REFERAT DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SYARAF
ULASAN PEMBERIAN TERAPI PADA PENYAKIT PARKINSON
Disusun Oleh : Nama
: Cindy Sally
NIM
: 29.12.1185.2013
Pembimbing
: dr. Riri Sarisanti, Sp.S, M.Kes, FINS
Rumah Sakit
: BLUD RS Sekarwangi
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SYARAF BLUD RUMAH SAKIT SEKARWANGI SUKABUMI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA TAHUN 2017
BAB I PENDAHULUAN
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegenerative terbanyak ke-2 setelah penyakit Alzheimer.Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurologi
yang
terjadi secara progresif pada system motoric dan non- motoric yang dapat memberikan efek gangguan pada system tersebut.1 Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun. Penyakit parkinson menyerang penduduk dari berbagai etnis dan status sosial ekonomi. Penyakit parkinson diperkirakan menyerang 876.665 orang Indonesia dari total jumlah penduduk sebesar 238.452.952. Total kasus kematian akibat penyakit parkinson di Indonesia menempati peringkat ke-12 di dunia atau peringkat ke-5 di Asia dengan prevalensi mencapai 1100 kematian pada tahun 2002.2 Pada tahun 1817 James Parkinson pertama kali mendeskripsikan kumpulan gejala dalam sebuah percobaan mengenai kelumpuhan pada getaran tubuh yang kemudian sindrom tersebut diberi nama menggunakan namanya yaitu penyakit Parkinson. Terdapat 4 tanda khas dari penyakit Parkinson yang dapat disingkat TRAP ; Tremor at rest, Rigidity, Akinesia (atau bradykinesia) dan Postural instability ( Ketidakseimbangan postur tubuh) selain 4 tandA khas tersebut terdapat 2 tanda klasik yang biasanya menyertai penyakit prkinson yaitu freezing postuer atau yang biasa disebut dengan kekauan mandadak yang menyebabkan penderitanya tiba-tiba tidak dapat bergerak seolah “membeku”.3 Gejala Non- motoric yang dapat muncul pada penyakit Parkinson adalah Disfungsi otonom dimana dapat terjadi Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia dan hipotensi ortostatik. Pengeluaran urin yang banyak - Gangguan
seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual, perilaku orgasme. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat . Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia) dan Gangguan sensasi. Patofisiologi
Pada penyakit Parkinson terjadi kehilangan neuron dopamine di
substansia nigra sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara kadar dopamine dan asetilkolin di ganglia bangsalis dimana didaerah ini memainkan peran yang penting dalam sistem ekstrapiramidal yang mengendalikan postur tubuh dan koordinasi gerakan motorik volunter dan ditemukan adanya lewly body 1 Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar 40-50% yang disertai dengan inklusi sitoplamik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab multifactor. Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu region kecil di otak (brain stem) yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi pusat kontrol/koordinasi dari seluruh pergerakan. Selselnya menghasilkan neurotransmitter yang disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh gerakan otot dan keseimbangan tubuh yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamine diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran komunikasi (bicara). Dopamin diproyeksikan ke striatum dan seterusnya ke ganglion basalis. Reduksi ini menyebabkan aktivitas neuron di striatum dan ganglion
basalis
menurun, menyebabkan gangguan keseimbangan antara inhibitorik dan eksitatorik. Akibatnya kehilangan kontrol sirkuit neuron di ganglion basalis untuk mengatur jenis gerak dalam hal inhibisi terhadap jaras langsung dan eksitasi terhadap jaras yang tidak langsung baik dalam jenis motorik ataupun non-motorik. Hal tersebut mengakibatkan semua fungsi neuron di sistem saraf pusat (SSP) menurun dan menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia), tremor, kekakuan (rigiditas) dan hilangnya refleks postural. Setelah menegakkan diagnosis maka perlu ditetapkan stadium dari penyakit parkinson tersebut. Terdapat 2 macam staging yang sering digunakan untuk menentukan stadium penyakit parkinson yaitu Unified Parkinson Disease rating Scale (UPDRS) dan staging menurut Hoehn-Yahr. Kriteria penilaian dengan UPDRS meliputi 4 bagian besar yaitu Nonmotor aspect of expiriences of daily living, Motor experiences of dailiy living,
Motor examination dan Motor complication. Penentuan stadium dapat dilakukan dengan lebih cepat dan singkat dengan menggunakan kriteria Hoehn-Yahr.12 Untuk gejala non motoric seperti gangguan tidur dan aktivitas sehari-hari dapat di nilai dengan menggunakan Parkinson deases Questioner-8, Parkinson's Disease Sleep Scale version 2 (PDSS-2); global score of the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).11 Kriteria Hoehn-Yahr Stadium Diskripsi 1 Gejala dan tanda pada 1 sisi, gejala ringan, tidak menimbulkan disabilitas, trmor 1 anggota gerak, keluarga dekat mengenali adanya perubahan postur dan ekspresi wajah. 2 Gejala bilateral, disabilitas ringan, terdapat gangguan langkah dan postur 3 Gejala gerak melambat secara signifikan, gangguan keseimbangan 4 Gejala berat, jalan sangat terbatas, rigiditas dan bradikinesia, tidak dapat tinggal sendiri, tremor mungkin berkurang. 5 Stadium kakeksia, tidak dapat berjalan, memerlukan perawatan dengan bantuan penuh.
Oleh karena penyakit ini adalah penyakit neurodegenerative yang menganggu system motorik dan nonmotoric maka dibutuhkan adanya upaya penatalaksanaan dengan terapi simptomatik guna mempertahankan independensi penderita serta pemberian neuroproteksi dan dan neurorestorasi yang untuk menghambat progesivitas guna meningkatkan kualitas hidup penderitanya. Pengobatan Parkinson bersifat jangka panjang dan dapat menimbulkan adanya efek samping baik jangka panjang maupun jangka pendek maka dari itu pemberian terapetik dilakukan secara terkontrol.4
BAB II TERAPI PENYAKIT PARKINSON
a. Terapi Farmakologi Terapi harus segera di berikan setelah diagnosis dari penyakit Parkinson telah ditegakan. Pengobatan awal yang tidak diberikan secara cepat dapat meningkatkan risiko fluktuasi system motor dan hasil ahir yang muncuk pada pasien Parkinson di nilai lebih baik jika dengan segera mendapatkan terapi.10 Terapi yang diberikan sesuai dengan gejala yang timbul dengan memperhatikan kefektivitasan, keoptimalan dan efek samping dari pemberian obat tersebut. Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang timbul. Pengobatan penyakit parkinson bersifat individual dan simtomatik, obat-obatan yang biasa diberikan adalah untuk pengobatan penyakit atau menggantikan atau meniru dopamin yang akan memperbaiki tremor, rigiditas, dan slowness yang merupakan gejala motoric dan terapi untuk mengurangi gejala nonmotoric.5
1) Terapi Sistem Motorik Dalam terapi untuk memperbaiki system motorik di terapi Parkinson dapat dikelompokan menjadi terapi yang bekerja pada system dopaminergic,Sistem kolinergik,glutamatergik dan bekerjaa sebagai pelindung neuron. Pengganti Dopamin Levedopa Levedopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit parkinson. Di dalam otak levodopa dirubah menjadi dopamine. Ldopa akan diubah menjadi dopamine pada neuron dopaminergic oleh L-aromatik asam amino dekarboksilase (dopadekarboksilase). Walaupun demikian, hanya 1-5% dari L-Dopa memasuki neuron dopaminergik, sisanya dimetabolisme di sembarang tempat, mengakibatkan efek samping yang luas. Pemberian L-Dopa diberikan secara oral dengan dosis 100 mg. Efek samping levodopa
pada pemakaian bertahun-tahun adalah diskinesia yaitu gerakan motorik tidak terkontrol pada anggota gerak maupun tubuh.4 Patofisiologi terjadinya diskesnia dapat disebabkan oleh karena efek pemberian obat ( efek iatrogenic) dari pemberian dopamine yang tidak terus menerus dan tidak terjadi secara fisiologis.10 Respon penderita yang mengkonsumsi levodopa juga semakin lama semakin berkurang. Untuk menghilangkan efek samping levodopa, jadwal pemberian diatur dan ditingkatkan dosisnya, juga dengan memberikan tambahan obat-obat yang memiliki mekanisme kerja berbeda seperti dopamin agonis, COMT inhibitor atau MAO-B inhibitor.1 Pemberian Levedopa di kombinasi dengan pemberian obat golongan DDI seperti Karbidopa(25mg) untuk menurunkan efek samping pada perifer seperti mual dan muntah akibat pemberian dopaminergic.4
Agonis Dopamin Non-ergot dan Ergot Jenis ergot dan non ergot bekerja langsung pada respetor post sinaptik dopamine tanpa perlu melakukan konversi menjadi dopamine. Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor dopamin, akan tetapi obat ini juga menyebabkan penurunan reseptor dopamin secara progresif yang selanjutnya akan menimbulkan peningkatan gejala Parkinson. Obat ini dapat berguna untuk mengobati pasien yang pernah mengalami serangan yang berfluktuasi dan diskinesia sebagai akibat dari levodopa dosis tinggi. Apomorfin dapat diinjeksikan subkutan. Dosis rendah yang diberikan setiap hari dapat mengurangi fluktuasi gejala motorik Jenis dari golongan ergot adalah pergolid dengan dosis pemeliharaan
1 mg tid. Untuk golongan non-ergot adalah
pramipeksol (dosis pemeliharaan 0.5- 1.5 mg tid) dan ropinirole ( dosis pemeliharaan 3-8 mg tid).1
Pemberian agonis dopamine
secara transdermal dengan rontigotine juga cukup terbilang manjur. Efek sampingnya adalah terjadinya reaksi alergi kulit.4 Dalam sebuah penelitian menyatkan bahwa penggunaan non- ergod lebih banyak digunakan sekarang hal ini karena golongan ergot dapat menyebabkan terjadi fibrosis dimana kondisi merupakan hal yang serius dan terkadang sampai mengancam jiwa karena gejala yang muncul tidak langsung dan baru terdeteksi setelah beberapa tahun penggunaannya, meskipun komplikasi ini jarang terjadi.4
Non- Ergoline slow released sudah tersedia
sekarang. Formulasi ini menunjukan tolerabilitas dan khasiat yang lebih baik pada gejala non- motoric tambahan,seperti tidur. Dimana hal ini menjadi efisien ketika penderita diminta meminum obat hanya satu kali saja untuk meningkatkan angka kepatuhannya. N- methyl D- Asparte reseptopot Antagonis (NMDA Antagonist) Amantadine Memperbaiki gejala motorik dengan efek stimulasi dopamin tidak langsung, infus amantadine sulfat tertentu berkhasiat. Uji klinis juga menunjukkan efek menguntungkan tertentu pada komplikasi motoric, yaitu gerakan tidak sadar atau dyskinesia. Dosis pemberiannya adalah 100mg bid. Namun berdasarkan hasil uji coba amantadine memliki efek samping berupa halusinasi,psikosis,edem dan insomnia.4
Antikolonergik Pengobatan dengan menggunakan antikolinergik saat ini jarang digunakan karena memili banyak efek samping utama seperti mulut menjadi kering,konstipasi, permasalahan pada gusi,delirum takiaritmia dan dimensia. Penggunaan obat ini dapat
di
pertimbangkan untuk penderita tremor berat pada pasien Parkinson usia muda yang tidak memiliki gangguan kognitif.4 Jenis
dari
golongan obat ini adalah triheksifenidil dengan dosis pemeliharan 2mg tid dan benztropine dengan dosis pemelirahan 1mg.1 Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dan menghambat aksi neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini mampu membantu mengoreksi
keseimbangan antara dopamine dan
asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremo
Monoaminooxidase B (MAO-B) inhibition MAO-B-I menstabilkan kadar dopamin di celah sinaptik. Dua senyawa kelompok propargilamin yaitu selegiline dan rasagiline yang penghambat MAO-B ireversibel, telah menunjukkan efek simtomatik pada penderita parkinson. Pemberian MAO-B mengkatalisis deaminasi oksidatif amina aktif dan oleh karena itu menyebabkan aktivitas dopamin yang berkepanjangan.
4
Selegilin dan rasagilin mengurangi
gejala dengan dengan menginhibisi monoamine oksidase B (MAO-B), sehingga menghambat perusakan dopamine yang dikeluarkan oleh neuron dopaminergik. Metabolitnya mengandung Lamphetamin and Lmethamphetamin. Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan levodopa-carbidopa. Selain itu obat ini juga berfungsi sebagai antidepresan ringan.6 Dosis Pemberian selegilin adalah 5mg bid.1
Penghambat Catechol 0-Methyl Transferase/COMT Entacapone (Comtan), Tolcapone (Tasmar). Obat ini masih relatif baru, berfungsi menghambat degradasi dopamine oleh enzim COMT dan memperbaiki transfer levodopa ke otak. Mulai dipakai sebagai kombinasi levodopa saat efektivitas levodopa menurun. Diberikan bersama setiap dosis levodopa. Obat ini memperbaiki fenomena on-off, memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Efek samping obat ini berupa gangguan fungsi hati, sehingga perlu diperiksa tes fungsi hati secara serial. Obat ini juga menyebabkan perubahan warna urin berwarna merah-oranye.
Neuroproteksi Terapi neuroprotektif dapat melindungi neuron dari kematian sel yang diinduksi progresifitas penyakit. Yang sedang dikembangkan sebagai agen neuroprotektif adalah apoptotic drugs (CEP 1347 and CTCT346), lazaroids, bioenergetics, antiglutamatergic agents, dan dopamine receptors. Adapun yang sering digunakan di klinik adalah monoamine oxidase inhibitors (selegiline and rasagiline), dopamin agonis, dan complek I mitochondrial fortifier coenzyme Q10.
2. Terapi Sistem Non- Motor
Gangguan Tidur
Sebanyak hamper lebih dari 75% penderita Parkinson mengeluh dengan adanya gangguan insomnia pada malam hari. Mengurangi mobilitas yang terkait dengan akinesia dapat menyebabkan penurunan gerakan memutar selama waktu tidur. Awitan kram dystonic atau nyeri akibat kekakuan yang meningkat bisa mengganggu tidur. Disfungsi kandung
kemih
yang
dikombinasikan
dengan
poliuria
dapat
menyebabkan komplikasi tidur lebih lanjut. Insomnia yang terjadi pada malam hari dapat disebabakan oleh karena rendahnya kadar dopamine sehingga gejala ini juga dapat menyebabkan akinesia nocturnal, nokturi dan bahkan pergerakan tubuh periodic. Untuk menghilangi gejala ini dapat diberikan terapi obat.1 Oleh karena gejala insomnia juga sering disebabkan oleh permasalahan psikosis seperti depresi maka antidepresan cenderung lebih di rekomendasikan. Retarded Melatonin dan obat gabaergik dinilai bermanfaat untuk mengurangi gejala ini.1
Mengantuk Pemberian obat-obatan dopamine dapat juga menimbulkan efek
mengantuk bagi penggunanya dan terkadang disertai dengan adanya kelelahan yang terjadi secara tiba-tiba dan biasa disebut dengan “ sleep attack “. Methylphenydate, dextroamphetamine, pemoline, modafinil dan amantadine dikenal untuk meningkatkan kewaspadaan. Oleh karena itu senyawa ini juga bisa memberi manfaat tertentu pada kantuk di siang hari dan serangan tidur.1 Depresi Apatis, gelisah, serangan panik karena depresi tidak hanya muncul pada tahap awal tapi juga pada program keadaan lanjut dari parkinson. Situasi motorik yang buruk atau komplikasi motorik menyebabkan
gangguan
fisik dan karena itu berkontribusi pada timbulnya depresi,
karena kualitas hidup diturunkan. Komponen reaktif ini pada gilirannya memudahkan onset komponen endogen dari gangguan mood yang dikaitkan dengan perkembangan neurodegenerasi kronis pada sistem neurotransmiter non dopaminergic.1 Pemberian intervensi psikoterapi dan perlikau diperlukan secara bersamaan dan sangat penting. Pilihan obat antidepresan harus mempertimbangkan keampuhannya pada depresi itu sendiri, efek jangka panjangnya pada sistem motor, potensinya interaksi dengan obat PD bersamaan, efek samping obat spesifik dan non-spesifik berkaitan dengan gejala non motorik lainnya yaitu fungsi kognitif, berkemih, air liur, orthostasis. Senyawa antidepresan yang efektif adalah obat penenang (yaitu mirtazapin) atau antidepresan atau seperti bupropion, yang mempengaruhi jalur noradrenergik atau dopaminergik, atau nefazodon, trazodone dan venlafaxine, yang mempengaruhi transmisi neurotransmisi serotonin dan norepinephrine.1 Gangguan Kognitif Inhibitor asetilkolinesterase memperbaiki gejala demensia pada pasien PD. Uji coba label terbuka terbuka yang lebih dominan dengan donepezil dan rivastigmine menunjukkan fungsi kognitif yang lebih baik sedangkan memantine hanya menunjukkan efek yang terbatas.1 Psikosis Proses neurodegeneratif kronis dan stimulasi dopaminergik kronik bersamaan yang menjadi predisposisi onset psikosis mungkin dipicu oleh ketidakseimbangan antara sistem dopaminergik dan glutamatergik. Ketakutan, ilusi optik yang dominan, kecemasan, paranoia, halusinasi dan insomnia adalah tanda klinis awal yang mirip dengan delirium. Terjadinya gejala mungkin dipengaruhi oleh struktur kepribadian premorbid. Agen antipsikotik atipikal clozapine diuji dengan baik dalam uji klinis,
menunjukkan komponen obat penenang dan tremoritik tambahan dan mencegah kekambuhan psikosis.1
b. Terapi Non- Farmakologi
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan oleh apa yang dilaporkan pasien, olahraga yang dilakukan pasien, terapi fisik, dan terapi bicara dapat memiliki efek yang baik untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien yang menderita penyakit Parkinson.10
1. Edukasi Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakitnya, misalnya
pentingnya
meminum
obat
teratur
dan
menghindari
jatuh.
Menimbulkan rasa simpati dan empati dari anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikik mereka menjadi maksimal.9
2. Terapi Rehabilitasi Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi
masalah-masalah
sebagai
berikut
:
Abnormalitas
gerakan,
Kecenderungan postur tubuh yang salah, Gejala otonom, Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living – ADL), dan Perubahan psikologik. Latihan yang diperlukan penderita parkinson meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi. Latihan fisioterapi meliputi: latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan frenkle untuk berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai, latihan isometrik untuk kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaiki tangga dan bangkit dari kursi. Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian ADL pasien, pengkajian lingkungan tenpat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai bermacam strategi, yaitu : - Strategi kognitif : untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi, bicara jelas dan tidak cepat, mampu menggunakan tanda-
tanda verbal maupun visual dan hanya melakukan satu tugas kognitif maupun motorik. - Strategi gerak : seperti bila akan belok saat berjalan gunakan tikungan yang agak lebar, jarak kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut sesuatu dilantai. - Strategi keseimbangan : melakukan ADL dengan duduk atau berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar dan dengan lengan berpegangan pada dinding. Hindari escalator atau pintu berputar. Saat berjalan di tempat ramai atau lantai tidak rata harus konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat sekitar. 26 Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi kognitif, kepribadian, status mental pasien dan keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi kognitif dan melakukan intervensi psikoterapi.9
c. Terapi Pembedahan
Dipertimbangkan pada penyakit Parkinson yang berat atau yang tidak responsive terhadap pengobatan yang telah diberikan. Teknik pembedahan yang dapat dilakukan adalah1 :
Talamotomi ventrolateral ( bila tremor menonjol)
Palidotomi (bila akinesia dan tremor )
Transplantasi subtasni nigra
Stimulasi otak dalam
Indikasi dilakukannya pembedahan adalah :
Fluktuasi motoric ( yang sudah tidak merespon terhadap pengobatan)
Diskinesia ( yang sudah tidak respon terhadap pengobatan )
Jenis penyakit : Parkinson
idiopatik yang tidak berespon terhadap
levodopa atau penyakit Parkinson atipikal
Usia muda
d. Penelitian Terbaru Mengenai Terapi Penyakit Parkinson
Pemberian Dopamin Agonist Kerja Panjang 6
Terapi dengan menggunakan dopamine antagonis adalah terapi pilihan pertama untuk terapi penyakit Parkinson. Dalam 7 tahun kebelakang ini telah dikeluarkan dopamine antagonis generasi ke 3 yang terdiri dari formulasi transdermal rontigotine dan pramipexole serta ropininerole
oral kerja panjang.
Rontigotine transdermal memilik efek yang efisien pada stadium awal dari penyakit Parkinson dan penggunaan DA kerja panjang memiliki efek yang sama efisien seperti penggunaan DA kerja pendek dan dapat memperkecil terjadinya efek samping dan di perkirakan bahwa kombinasi antara kedua obat tersebut dapat menunda penggunaan levodopa. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Italy, dilakukan penliaian terhadap efek pemberian Dopamin Agonist generasi ke 3 berupa dopamine agonis kerja panjang pada pasien Parkinson stadium awal dalam pola penlusian resep yang diberikan dengan menggunakan metode retrospektif untuk mengetahui pola pemberian resep DA kerja cepet dan kerja lamba pada masing-masingnya. Observasi penelitian ini dilakukan selama 2 periode (sebelum dan sesudah pemasaran dari obat DA kerja pajang)
yaitu pada sepanjang tahun 2007 dan
sepanjang tahun 2011. Protokol tersebut disetujui oleh Komite Etik "Fondazione Santa Lucia IRCCS" dan masing-masing subjek menandatangani informed consent pada saat pendaftaran. Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah 1) memilik penyakit medis yang dapat terganggu oleh pemberian terapi antiparkinson ; 2) memiliki kormobid sepeti adanya gangguan jiwa atau memiliki kertergantungan atau penyalahgunaan obat dan alkoholisme; 3) terdapar kelainan fokal yang ditunjang dnegan hasil neuroradiologis. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah 1) Mini Mental State Examination ≥27 ; 2) stadium ≤2 pada klasifikasi menurut Hoehn and Yahn selama masa penelitian ; 3) Unified Parkinson’s Disease Rating Scale part III (UPDRS-III)
score ≤30 ; 4) memiliki deficit fluktuasi motor dan / atau non motor selama periode pengamatan, diselidiki oleh wawancara klinis berdasarkan item dalam kuesioner Wearing-off sembilan item ; 5) dan setidaknya telah melakukan kunjungan selama minimal 2x selama masa pengamatan. Untuk setiap peserta, terapi farmakologis yang digunakan (obat-obatan, formulasi dan dosis harian) pada kunjungan terakhir setiap periode 12 bulan diambil sebagai perwakilan dari periode itu sendiri. Dalam penilitian ini terbagi 3 subkategoris yaitu yang berusia <65 tahun,65-75 tahun dan >75 tahun serta kelompok berdasarkan berat-ringanya gejala fungsional pada penyakit Parkinson yaitu rendah,sedang tinggi. Masing- masing grup di hitung berapa banyak pasien yang mendapatkan monotherapy dengan DA,monoterapi dengan LD, dan kombinasi pemberian DA dan LD dan di bandingkan jumlah pemakaian pada awal obseravasi yaitu tahun 2007 dan pada tahun 2011. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa pemberian LD sebagai monoterapi mengalami penurunan sedangkan pemberian DA kerja panjang sebagai monoterapi meningkat dan dapat di simpulkan pemberian dopamine antagonis kerja panjang dapat mengoptimalkan pengelolaan terapetik pada tahap awal perjalanan penyakit Parkinson bahkan pada usia pasien >70 tahun.
Selligilline (MAO –B Inhibitor) Dapat diberikan Sebagai Monoterapi atau Untuk Tambahan Penggunaan Levedopa7
Selegiline (N-Propargyl-methamphetamine) adalah inhibitor MAO B selektif dan ireversibel pada dosis terapeutik 10 mg / hari, namun dapat kehilangan selektivitasnya jika diberikan pada dosis yang lebih tinggi. Eksperimen invitro dan invivo telah melaporkan
bahwa
selegiline
bersifat neuroprotektif. Selegiline
adalah turunan dari methamphetamine dan dimetabolisme menjadi metabolit Lamphetaminelike yang dapat menyebabkan efek samping sympathomimetic seperti insomnia. Monoterapi sellegiline terbukti memberikan manfaat simtomatik dan menunda kebutuhan penggunaan terapi levodopa di awal penyakit parkinson. Sebagai tambahan terapi levodopa, selegiline dapat mengurangi fluktuasi system motor .Deprenyl dan Tokoferol Antioksidan Terapi Parkinson (DATATOP) adalah percobaan terkontrol prospektif terbesar yang pernah dilakukan untuk Selegiline. Dimana 800.000 pasien Parkinson yang belum di obati dimasukan ke dalam penelitian ini untuk mendapatkan terapi sellegilline dengan dosis 10mg/ hari. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa dalam penggunaan sellegiline selama 3 bulan awal dapat menunda pemberian levodopa selama kurang lebih selama 9 bulan dengan ditandai peningkatan skor UPDRS yang dihitung setelah 1-3 bulan pemberian terapi dalam penelitan ini selesai di lakukan. Akan tetepai responden yang tidak mencapai titik ahir pengobatan didapatkan hasil UPDRS yang menurun akibat gejala simpotamtaik dari pemberian sillegiline. Analisis Kaplan-Meier menunjukkan bahwa penggunaan selegiline secara signifikan mengurangi kemungkinan untuk memulai terapi levodopa selama masa studi (rasio hazard 0,50; 95% confidence interval 0,41-0,62, p <0,001). Bukti lebih lanjut yang mendukung peran selegilin dalam pengobatan PD berasal dari penelitian multicentered, randomized, placebo-controlled, doubleblinded, yang melibatkan 157 pasien, yang secara acak menerima selegiline 10mg / hari atau plasebo. Pada follow up 3 bulan, kelompok selegiline mengalami peningkatan yang signifikan dari total skor UPDRS (-1,7 ± 5,4 vs 1,0 ± 5,3, p
<0,01), Skor tremor Visual Analog (VAS) (-4,0 ± 18,4 vs 4,0 ± 16,9, p <0,05) dan skor disfungsi motor VAS (-3,0 ± 21,3 vs 6,8 ± 19,6, p <0,05), bila dibandingkan dengan kelompok plasebo. . Kebutuhan levodopa tertunda 4,1 bulan dengan pemberian selegilin (p = 0,028)
Rasagiline Sebagai Terapi Tambahan Untuk Levodopa dalam Fluktutasi Motorik Penderita Parkinson7 Rasagiline diuji sebagai terapi tambahan untuk levodopa dalam mengurangi fluktuasi motor parkinsonian pada dua percobaan klinis multicentered, double-blind, parallel-group clinical trials. Sebanyak 472 pasien Parkinson diberikan rasagiline 1mg/hari atau 0.5 mg/ hari sebagai terapi tambahan levodopa. Perubahan yang terjadi baik dalam aktifitas sehari-hari dan kualitas penderita kurang konsisten didapatkan.
Efektifitas
dan Keamanan Pramipexole ER dan IR sebagai Terapi Pasien
Parkinson8 Kombinasi terapi dari dopamine antagonis dan penggunaan L-dopa tetap merupakan
terapi
utama
untuk
pasien
PD.
Namun,
pengobatan
yang
berkepanjangan dengan L-dopa dapat menyebabkan komplikasi motorik yang sering terjadi. Untuk menunda terjadinya komplikasi motorik L-dopa, pasien dengan PD stadium awal sering menerima DA sebagai monoterapi, sementara sebagian besar pasien PD yang lebih berat menerima L-dopa dengan kombinasi pemberian DA untuk mengurangi komplikasi motorik yang ada. Pramipexole
baik yang bersifat IR ataupun ER merupakan obagt golongan
domapin agonis non-ergot yang memiliki selektivitas yanh tinggi terhadap reseptor D2 yang dengan gabungan dari D3 akan memberikan efek yang lebih baik dan penurunan dari efek samping . perbandinga efektivitas dari pramipexole ER dan IR telah di lakukan dalam 2 percobaan double blind pada pasien Parkinson stadium awal. Setelah 18 minggu pemberian, dinilai kemjauan skor UPDRS II dan III. Dalam penelitian yang dilakukan di china di 20 pusat kesehetan sepanjang September tahun 2010 sampai January 2012. Dimana kriteria inklusi dari penelitian
ini adalah : 1) menderita Parkinson idiopatik paling sedikit selama 2 tahun ; 2) memiliki usia ≥30 tahun saat terdiagnosis PD, ; 3) memiliki stadium 2-4 menurut skala hoenh and yahr ; 4) Responden dibagi menjadi 2 grup dimana 1 grup di berikan pramipexole ER dan yang lainnya diberikan IR selama 18 minggu dimana selama 7 minggu responden mendapatkan dosis titrasi sama tercapai dosis optimum kemudia dosis optimum tersebut di pertahankan selama 11 minggu. Range dosis pemberian premipexole ER mulai dari 0.375 mg – 4.5 mg per hari dan kemudian dibandingkan ekfetivitasnya dan keamanaannya dengan skala UPDRS II dan III, MME, CGI-I dan PGI-I. Untuk penilaian dari segini keamanaan menggunakan jumlah frekuensi dari munculnya efek samping yang tidak diharapkan dan seberapa berat efek samping yang dialami responden mulai dari mulai awal penelitian sampai ahir penelitian. Efek samping dapat dikatakan sedang jika masih dapat di toleransi oleh responden dan dapat diakatan berat jika sudah dapat menganggu aktivitas dari responden dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Jumlah responden masing-masing grup sebanyak 223 namun untuk mencegah adanya kehilangan data pada responden maka masing-masing group 234 responden. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 228 mendapatkan terapi ER dan
236 mendapatkan terapi IR. Dimana dari kedua kelompok tersebut
mendapatkan peningkatan nilai UPDRS hampir sama setelah 6 minggi pemberian terapi. Nilai mean masing dalam skor UPDRS II dan III pada awal penelitian dengan menggunakan ER dan IR adalah 31.13 dan 32.15 pada ahir terapi minggu ke 18 didapatkan nilai mean -13.81 menjadi 17.32 untuk mean dari pemberian ER dan -13.05 menjadi 19.1 untuk nilai mean penggunanaan IR. Sehingga mutu pemberian Pramipexole ER lebih tinggi dibandingkan dengan IR sedangkan untuk keamaan dinilai sama.
Pemberian Rontigotine Transdermal Sebagai Terapi Tambahan Pengobatan Dopamin Agonist Oral pada Parkinson Stadiun Lanjut 11 Mencapai control gejala yang optimal dengan efek samping yang minimal merupakan tujuan utama dalam praktik klink. Terapi dengan menggunakan dualagent dopamine antagonis pada penyakit Parkinson dapat diperkirakan memberikan efek yang menjanjikan, karena kombinasi farmakokinetik/ farmakoligal yang berbeda ini dapat menurunkan kebutuhan dosis yang tinggi. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan dan
efektivitas ritogotine
transdermal sebagai terapi tambahan dopamine agonist oral pada penyakit Parkinson stadium lanjut yang tidak cukup dengan hanya diberikan levodopa dan dopamine antagonist dosis rendah. Pasien yang termasuk dalam uji coba ini berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berusia 30-80 tahun yang memiliki penyakit Parkinson idiopatik sudah lebih dari 3 tahun dan termasuk ke Parkinson stadium 2 – 4 berdasarkan kriteria Hoehn dan Yahr. Penyakit parksinson didefinisikan dengan ditemukan adanya bradykinesia dan ditemukan setidaknha satu gejala dari ; tremor pada istirahat,kekakuan atau gangguan postur tubuh. Selain itu pasien yang masuk kedalam penelitian ini adalah pasien yang mendapatkan terapi levodopa ( kerja cepat atau kerja terkontrol dengan dosis tetap) yang di kombinasi dengan benserazide atau atau carbidopa dan dosis tetap dari pramipexole kerja cepat atau
lambat (≤15 mg/ hari) atau ropinerol (≤6.0mg/hari) setidaknya selama 28 hari sebelum terapi dasar. Pasien mengalami gangguan fluktuasi motoric atau dyskinesia, gangguan tidur atau gangguan motoric yang terjad pada pagi hari yang terjadi minimal selama 3 malam dan 7 hari sebelum pemberian terapi dasar. Pada screening pasien diminta untuk membedakan antara gangguan yang terjadi pada istirahat atau pada aktivitas dan gejala dyskinesia untuk dicatat dalam catatan harian. Pasien harus menyelesaikan pencatatan harian yang dilakukannya selama 7 hari sebelum dimulai uji coba pengobatan. 4 dari catatan harian tersebut harus dinyatakan “sah” oleh tim peneliti untuk memenuhi syarat. Obat Parkinson yang dapat di izinkan dalam penelitian ini adalah antikolinergik, inhibitor monoamine oxidase B (MAO-B), antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA) (misalnya amantadine), dan entacapone; Obat-obatan aktif CNS yang diizinkan termasuk obat penenang, antidepresan, anxiolytics, hipnotik. Semua obat yang diizinkan harus dengan dosis stabil paling sedikit 28 hari sebelum dimulainya penelitian , dan tetap stabil selama masa penelitian.
Penelitian ini dilakukan secara open-table dengan studi multinasional pada pasien dengan penyakit Parkinson,gangguan tidur dan gangguan motoric yang terjadi di pagi hari. Pasien di titrasi dengan rontigotine dosis optimal (≤ 8mg/ 24 jam) selama 1-4 minggu dan dosis tersebut dipertahankan selama 4-7 minggu ( lama pengobatan 8 minggu). Untuk dosis pemberian levodopa dan dopamine antagonis tetap sama (pramipexole ≤1,5 mg / hari, ropinirol ≤ 6,0 mg / hari). Variable utama dalam penelitian menggunakan Clinical Global Impression (CGI) poin ke 4 yaitu ; efek samping dan penilaian kemanan. Variable lain yang termasuk adalah kejadian buruk (AEs), Patient Global Impressions of Change (PGIC), Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (UPDRS) poin ke 2 dan ke 3, skala tidur penyakit parkinsion (PDSS-2), indeks kualitas tidur Pittsburgh dan waktu tidur. Penelitian
PD0015
(ClinicalTrials.gov:NCT01723904)
merupakan
penelitian tahap ke 3. Open-label dan single arm Pada pasien Parkinson dengan stadium lanjut (antara bulan Oktober 2012 dan April 2013). 21 pusat kesehatan
mendafatarkan pasiennya yang setidaknya mendapatkan rotigotine patch sebanyak 1 kali di korea selatan,Malaysia,Taiwan, Australia dan singapura. Pencatatan data awal dimulai saat screening sampai 4 minggu setelahnya. Rotiogiine ditempeklan di kulit selama 1 hari 1 kali dan tersedia 3 ukuran yang berbeda ; ukuran 10cm2 memiliki dosis 2mg/24 jam, ukuran 20cm2 memiliki dosis 4mg/24 jam, ukuran 30cm2 memiliki dosis 6mg/24 jam. Dalam penelitian ini dilakukan titrasi selama 14 minggu dan di lanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 – 7 minggu (total pengobatan 8 minggu). Pasien dititrasi dalam penambahan bertahap rotigotin 2 mg / 24 jam dan mencapai dosis optimal (atau maksimal) (sampai 8 mg / 24 jam). Dari 90 pasien yang menerima rotigotine, 79 (88%) menyelesaikan penelitian; 5 (6%) mengundurkan diri dalam penelitian karena mengalami AEs. Sebagian besar (83/89; 93%) memiliki skor CGI-4 <3 yang menunjukkan bahwa penmabahan rotigotin sebagai terapi tidak mengganggu secara fungsional; 6 (7%) mengalami AE terkait pemberian penambahan terapi dan menganggu fungsional dengan skor ≥3. AEs yang terjadi >5%, dimana 13% mengalami pruritus,10% pusing, 10% mengalami hipotensi ortostastik, 8 % mengalami mual, 8% dyskinesia dan 6% nasofaringitis. Terdapat perbaikan skor
fungsi motorik (UPDRS III),
aktivitas sehari-hari (UPDRS II), gangguan tidur (PDSS-2, PSQI), dan pengurangan waktu "off" . mayoritas PGIC mengalami perbaikikan (71/88; 81%) Sehingga dapat di simpulkan Penambahan rotigotin terapi dopami antagonist
transdermal pada
dosis rendah pada pasien dengan PenyakitParkinson
stadium lanjut dapat dilakukan dan dapat dikaitkan dengan manfaat klinis.
Daftar Pustaka 1. Departemen Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran UNIKA ATMA JAYA. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Syaraf. ECG. 2009 2. Hanifah M. Pengaruh Ekstrak Biji Korobenguk Hasil Soxhletasi Terhadap Gejala Penyakit Parkinson. 2013 3. Parkinson J. An essay on the shaking palsy. J Neuropsychiatry Clin Neurosci 2002;14:223–36 4. Muler Thomas. 2012 . “Drug therapy in patients with Parkinson’s disease”. Translational Neurodegeneration 2012, 1:10 5. Baehr MF, Michael. Duu,s Topical Diagnosis in Neurology. 4th ed. United States of America: Thieme; 2005. 6. Pellicano Clelia et all. 2013. “The impact of extended release dopamine agonists on prescribing patterns for therapy of early Parkinson’s disease: an observational study” . European Journal of Medical Research 2013, 18:60 7. Teo & Ho 2013. Monoamine oxidase-B (MAO-B) inhibitors: implications for disease-modification in Parkinson’s disease. Translational Neurodegeneration 2013, 2:19 8. Wang et al. 2014. The efficacy and safety of pramipexole ER versus IR in Chinese patients with Parkinson’s disease: a randomized, double-blind, double-dummy, parallel-group study. Translational Neurodegeneration 2014, 3:11 9. . Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. 10. Pedrosa J, David . Review : Management Of Parkinson . 2013. Department of Neurology, University Hospital Cologne, Cologne, Germany 11. Kim,jong Min et all. 2015: Rotigotine transdermal system as add-on to oral dopamine agonist in advanced Parkinson’s disease: an open-label study. BMC Neurology (2015) 15:17 12. Pinzon RT & Adnyana KSG, Penyakit Parkinson. Yogyakarta. Betha Grafika, 2015.