Monograf Divisi Budaya ASPEK PSIKIATRI PADA TRADISI N G E R E B E G DI DESA P E K R A M A N TEGALALANG TEGALALANG
Penulis: dr. I Gusti Ayu Agung Yulianti
Pembimbing: DR. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K)
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISAS-I BAGIAN/SMF PSIKIATRI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya monograf ini bisa diselesaikan. Tugas yang berjudul “Aspek “ Aspek Psikiatri Tradisi Ngrebeg di Desa Pekraman Tegalalang” Tegalalang” ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas residen Program Pendidikan Dokter Spesialis-I Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar pada tahap III. Penyusunan monograf monograf ini adalah suatu upaya untuk memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan di bidang psikiatri budaya yang diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis maupun para pembaca. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ selaku Kepala Departemen Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah. 2. Dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K) selaku sel aku Kordinator pendidikan Program Studi Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah. 3. DR. Dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K) selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan-masukan dalam penulisan monograf ini. 4. Seluruh staf pengajar senior dan seluruh staf pengajar lainnya pada Bagian/SMF Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah yang sudah memberikan dukungan dan masukan. 5. Chief Residen, seluruh Residen Psikiatri dan semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini. Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari seluruh pembaca. Atas masukannya penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Hormat saya, Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................. ....................................................... ............................................ ..................................... ............... i DAFTAR ISI ............................................ .................................................................. ............................................ ........................................ .................. ii DAFTAR GAMBAR .......................................... ................................................................ ............................................ ............................ ...... iii DAFTAR ISTILAH ........................................... ................................................................. ............................................ ............................ ...... iv BAB I PENDAHULUAN ......................................... ............................................................... ............................................. .......................1 .......................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... .............................................................................................. 3 1.2 Batasan Permasalahan ...............................................................................................
1.3 Tujuan dan Manfaat .................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................... ............................................................... .................................. ............4 .................................................................................... 5 2.2 Pengertian Tradisi Ngerebe Tradisi Ngerebeg g ..................................................................................... ......................................................................................... 6 2.3 Makna Tradisi Ngerebe Tradisi Ngerebeg g . .......................................................................................... ........................................................................................... 8 2.4 Peserta Ritual Ngerebeg Ritual Ngerebeg ............................................................................................ .............................................................. 9 2.5 Waktu dan Runtutan Pelaksanaa Ngerebeg Pelaksanaa Ngerebeg .............................................................. ............................................................................................................. 10 2.6 Wawancara .............................................................................................................. ............................... 10 2.6.1 Wawancara dengan Bendesa Desa Pekram Desa Pekraman an Tegalalang Tegalalang ............................... ....................................... 13 2.6.2 Wawancara dengan Jero dengan Jero Mangku Pura Mangku Pura Duur Bingin ....................................... ................................................. 14 2.6.3 Wawancara dengan Krama dengan Krama Peserta Peserta Ngerebeg Ngerebeg ................................................. ............................................................................................................. .......................................... 17 2.7 Pembahasan...................................................................
BAB III SIMPULAN ....................................................... ............................................................................. ................................... .............22 DAFTAR PUSTAKA ............................................. ................................................................... ............................................ ........................ ..23
ii
DAFTAR GAMBAR
Foto 1: kama (hawa nafsu) yang diekspresikan dengan gadis hamil Foto 2: nunas pica alit
iii
DAFTAR ISTILAH
Bebek belang kalung: itik dengan dengan bulu berwarna hitamdi leher yang tumbuh melingkar. Bendesa
: pemimpin organisasi masyarakat adat di suatu desa dengan kegiatan utama dalam hal upacara agama Hindu di Bali
Bhuana Agung Agung
: alam semesta/alam raya (macrocosmos)
Bhuana Alit
: alam kecil/dunia kecil /dunia kecil yaitu isi dari alam semesta seme sta (microcosmos). : kotor : luar area : panggilan kehormatan untuk orang yang yang mempunyai jabatan secara adat, panggilan untuk orang yang belum dikenal : hawa nafsu : anyaman dari bamboo yang berfungsi sebagai alas sesajen : warga masyarakat yang merupakan anggota organisasi masyarakat di sebuah desa atau banjar : bendera suci : marah / kemarahan : tamak, rakus : mabuk : dengki, iri hati : kegiatan makan bersama dalam satu alas : ritual pembersihan diri dengan cara diguyur atau diperciki air : ritual pembersihan alat-alat yang dianggap suci yang biasanya dilakukan di laut atau tempat yang secara simbolis dianggap dapat membersihkan. : kegiatan mengeluarkan benda sakral berupa barong dari tempatnya berstana untuk diarak keliling desa. : turut terlibat dalam suatu kegiatan yang wajib dilakukan sebagai anggota sebuah organisasi adat : kegiatan mencuci beras pada saat akan dilaksanakan upacara besar di pura sebagai simbolis menyucikan bahan-bahan yang digunakan untuk upacara. : bangunan suci tempat meletakkan benda yang dianggap sacral : orang yang disucikan melalui proses ekajati/mawinten sebagai pelayan atau perantara antara manusia dengan sang pencipta. : persembahan yang tulus iklas kepada para buta buta kala : pengampu pura : tempat pemandian yang suci
Cuntaka Jaba Jero Kama Klakat Krama Kober Kroda Loba Mada Matsyara Megibung Melukat Melasti
Ngamedalang Ngayah Ngingsah
Pelinggih Pemangku
Pecaruan Pengempon Pesiraman
iv
Piodalan Sad Ripu Sekaha teruna Somya Tapakan Tukad Wong samar
: upacara perayaan di pura : enam musuh yang ada dalam diri manusia : kelompok/ organisasi kepemudaan : menjadi suci : simbul alam semesta : sungai : mahluk halus, mahluk tidak kasat mata
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bali dikenal juga sebagai pulau dewata karena memiliki banyak pura yang tersebar di seluruh wilayah ini. Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu tidak bisa dilepaskan dari suatu keyakinan dan kepercayaan serta t radisi-tradisi yang dianggap suatu suatu mitos bagi masyarakat ataupun daerah yang mempercayai mempercayai mitos tersebut. Bali juga mempunyai daya tarik tersendiri baik dari segi keindahan alam, keramahan penduduk maupun kebudayaannya yang memiliki keunikan dan kekhasan yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya yang berciri sosial religius. Salah satu keunikan Bali yang menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan adalah masyarakatnya yang masih berpegangan be rpegangan pada tradisi-tradisi kuno yang tersebar
di
berbagai pelosok desa di Bali. Tradisi berasal dari suatu
kebudayaan atau yang juga disebut peradaban mengandung pengertian yang luas meliputi pemahaman perasaan suatu su atu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat se rta pembawaan yang diperoleh dari anggota masyarakat. Istilah peradaban sering dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks (Koentjaraningrat, 2002). Kebudayaan adalah suatu komponen penting dalam suatu kehidupan masyarakat, khususnya struktur sosial. Secara sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu cara hidup (Abdulsyani, 1994).
1
Tingginya kunjungan pariwisata ke Bali berdampak pula pada masyarakat Bali mengalami perubahan dalam berbagai hal seperti sudah berkembangnya teknologi serta banyaknya masyarakat yang meniru kehidupan budaya luar, namun banyak tradisi yang tetap dipertahankan. Salah satu tradisi yang masih tetap dipertahankan adalah tradisi ngerebeg . Salah satu desa yang memiliki tradisi ngerebeg adalah masyarakat desa pekraman pekraman Tegalalang. Tradisi ngerebeg merupakan suatu kebudayaan
yang telah
mengakar di kalangan masyarakat
Desa Pakraman Tegalalang yang berada di Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar, Bali. Kata ngerebeg berasal dari bahasa Jawa kuno yaitu gerebeg yaitu gerebeg yang yang berarti suara keras, ribut, menggedor, merampas, atau mengusir. Ngerebeng merupakan aksi bersama-sama yang menimbulkan suara gaduh untuk mengusir atau menempatkan, dalam hal ini menempatkan para wong samar (mahluk halus). Para wong samar itu itu di berikan sebuah tempat atau palinggih. atau palinggih. Dalam Dalam kepercayaan masyarakat, tradisi ngerebeg merupakan simbol menjaga keharmonisan makhluk tuhan yang ada di dua dunia yang berbeda. Makna ritual ngerebeg adalah membersihkan pikiran dalam bhuana alit (tubuh manusia) dan bhuana agung (alam semesta). Setelah ngerebeg ini diharapkan semua pikiran menjadi jernih, sehingga pelaksanaan upacara terlaksana dengan baik, suci dan tulus ikhlas. ikhlas. Ritual ngerebeg diyakini sebagai upaya untuk menetralisir sifat negatif manusia ( sad ripu) ripu) menjelang upacara piodalan. upacara piodalan. Sad ripu atau dalam Agama Hindu merupakan enam musuh yang ada di dalam diri manusia merupakan representasi dari sifat buruk yang dimiliki oleh manusia. Tradisi ngerebeg merupakan merupakan salah satu budaya lokal yang memiliki filosofi yang mampu mengembangkan dan meningkatkan karakter
2
manusia, sehingga dalam tradisi ngerebeg dapat dapat di ambil nilai-nilai karakter yang dapat di terapkan dalam membentuk karakter yang lebih matur yang mampu beradaptasi dengan lingkungan. 1.2 Batasan Permasalahan Monograf ini hanya akan membahas mengenai fenomena tradisi ngerebeg tradisi ngerebeg di Desa Tegalalang. Tegalalang. Obyek pembahasan dalam Monograf ini adalah individu yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam fenomena ini. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan Monograf ini bertujuan untuk mencari dan mendapatkan informasi dari berbagai sumber kepustakaan dan wawancara yang berhubungan dengan tradisi ngerebeg di desa tegalalang serta tinjauannya dari aspek Psikiatri. Manfaat Monograf ini untuk menambah pengetahuan baru serta bahan pembelajaran tentang peran preventif peran preventif budaya budaya dalam kesehatan jiwa, bagi praktisi kesehatan terutama calon Psikiater.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Tradisi Ngerebeg Tradisi Ngerebeg Tradisi ngerebeg di di desa pekraman Tegalalang diperkirakan telah ada sejak abad ke-13 sesuai dengan dengan kedatangan kedatangan Tjokorda Ketut Segara Segara ke desa ini. ini. Tradisi ngerebeg ini ngerebeg ini dikaitkan dengan sejarah pura sebagai suatu perayaaan. Dimana ketika Pura Duur Bingin di bangun pada zaman Kerajaan Ratu Dalem Segara, di wilayah tersebut sempat terjadi ketegangan yang berhubungan dengan mempertahankan posisi dan wilayah yang saat ini bernama tegalalang (Suwartika, 2014). Pelaksanaan tradisi ngerebeg sudah diterima secara turun-temurun oleh masyarakat desa pakraman Tegalalang dan sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Adapun alasan atau faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat desa pakraman desa pakraman Tegalalang masih tetap mempertahankan tradisi ngerebeg adalah adanya suatu keyakinan dan kepercayaan dalam suatu masyarakat jika tradisi ngerebeg tidak dilaksanakan maka akan terjadi bencana yang menimpa masyarakat. Krama setempat, khususnya pangempon Pura Duur Bingin, sangat percaya jika ritual ngerebeg ini tidak dilaksanakan, bisa terjadi bencana di wilayah desa pekraman Tegalalang. Oleh karena itu tradisi ngerebeg ini tetap dilestarikan hingga sekarang. Sistem keyakinan dalam suatu religi terwujud dalam gagasan dan pikiran manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi alam gaib, tentang terjadinya
4
alam, dunia dan tentang akhirat, tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, hantu, roh jahat dan tuhan. Wujud pikiran tersebut terkandung dalam kesusastraan suci yang ada dalam masyarakat dan biasanya berupa ajaran, dongeng, serta mitologi yang menuturkan menuturkan kehidupan dunia gaib (Koentjaraningrat, 2002). 2.2 Pengertian Tradisi Ngerebeg Tradisi Ngerebeg Tradisi adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi secara tertulis dan seringkali disampaikan secara l isan, karena tanpa adanya ini suatu tradisi dapat dapat punah (Koentjaraningrat, 2002). Tradisi berarti adat atau kebiasaan, yang diteruskan dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat. Dalam Dal am pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang dilakukan dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Dalam agama Hindu tradisi pada suatu masyarakat mas yarakat sangat berkaitan dengan konsep filosofis dari desa (tempat), kala (tempat), kala (waktu), patra (waktu), patra (bentuk) (Gunarta, 2008). Kata ngerebeg berasal ngerebeg berasal dari Bahasa Jawa kuno yaitu “ gerebeg ” yang berarti kelompok, suara keras, ribut, menggedor, merampas, mengusir. Gerebeg juga juga dapat berarti ritual besar. Namun pada dasarnya kata “ gerebeg ” yang diberi anusuara menjadi ngerebeg berarti aksi bersama-sama yang menimbulkan suara gaduh. Berdasarkan hal tersebut ngerebeg mengacu mengacu pada upacara yang besar yang diikuti
5
oleh banyak banyak orang dengan semangat dan dengan suara yang gaduh. gaduh.
Tradisi
ngerebeg bermakana ngerebeg bermakana menempatkan para wong samar , dimana wong samar ini ini di berikan sebuah tempat atau palinggih. palinggih. Dalam kepercayaan masyarakat, tradisi ngerebeg merupakan simbol menjaga keharmonisan makhluk Tuhan yang ada di dua dunia yang berbeda. Di samping itu, makna ritual ngerebeg adalah membersihkan pikiran dalam bhuana alit (tubuh manusia) dan bhuana agung (alam semesta) (Sanjaya, 2010). 2.3 Makna Tradisi Ngerebeg Tradisi Ngerebeg . Ngerebeg merupakan merupakan sebuah tradisi unik yang berasal dari Desa Pakraman Tegallalang. Desa Tegallalang berada di Kecamatan Tegallalang Kabupaten Gianyar. Desa pekraman Tegalalang terdiri dari lima banjar yang mengampu sembilan pura yang ada di wilayah tersebut. Salah satu pura yang diampu tersebut bernama Pura Duur Bingin. Piodala (upacara) Piodala (upacara) di Pura Duur Bingin dilaksanakan enam bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali), setiap Kamis Umanis Pahang atau setelah pegat uwakan (berakhirnya perayaan hari raya Galungan). Ritual ngerebeg ini dilaksanaka sebagai rangkaian prosesi upacara di pura Duur Bingin, sehari sebelum puncak upacara. Sebagaimana kepercayaan warga setempat, ritual yang dilaksanakan sehari sebelum piodalan ini merupakan simbol menjaga keharmonisan makhluk Tuhan yang ada di dua dunia yang berbeda. Di samping itu, makna ritual ngerebeg adalah membersihkan pikiran dalam bhuana alit (tubuh manusia) dan bhuana agung (alam semesta) (Suwartika, 2014). Ritual ngerebeg diyakini sebagai upaya untuk menetralisisr sifat negatif dalam diri manusia yang disebut Sad Ripu. Sad Ripu artinya enam musuh, di dalam
6
ajaran Hindu bahwa enam musuh
tersebut
harus
dihindari,
dijauhi, dan
dimusnahkan. Permusuhan sedapat mungkin tidak sampai terjadi. Musuh menyebabkan terganggunya kehidupan yang ideal sesuai dengan yang dicitacitakan.
Pembagian sad
ripu
meliputi
lobha/tamak artinya rakus; 3) krodha
: 1)
artinya
kama/raga artinya nafsu; 2) kemarahan;
4) moha artinya
kebingungan, 5) mada artinya mabuk, dan 6) matsarya artinya dengki atau irihati. Enam jenis musuh dalam diri manusia yang harus dinetralkan itu terwakili dalam kreasi hiasan wajah menyeramkan para peserta ritual ngerebeg. Hiasan bermotif menyeramkan pada tubuh peserta ritual ngerebeg itu sendiri sebagai simbul sifat buruk manusia. Adapun simbul Sad Ripu itu Ripu itu terdiri dari pertama Kama pertama Kama (hawa nafsu yang tidak terkendali) yang diekspresikan gadis hamil. Kedua loba (rakus) yang digambarkan dengan perut besar, selalu ingin memiliki lebih banyak dari haknya. Ketiga kroda (pemarah) kroda (pemarah) yang diekspresikan dengan wajah yang babak belur sebagai akibat orang yang yang suka terlibat perkelahian. Keempat moha (bingung) moha (bingung) yang digambarkan dengan wajah mirip orang meninggal lantaran bunuh diri. Kelima mada (mabuk) mada (mabuk) yang digambarkan dengan tampilan wajah buruk akibat suka
Foto 1. Kama (hawa nafsu) yang diekspresikan dengan gadis hamil
7
mabuk-mabukan dan suka mengkonsumsi narkoba. Keenam matsarya matsarya (iri hati) yang disimbulkan dengan perwajahan seorang penjahat dengan pakaian berdasi (Suwartika, 2014). 2.4 Peserta Ritual Ngerebeg Ritual Ngerebeg Ritual ini dilaksanakan oleh warga baik anak-anak maupun dewasa khususnya laki-laki yang berasal dari wilayah desa tegalalang, dan tak jaran g juga diikuti oleh orang-orang yang berasal dari luar desa disekitar desa Tegalalang. Semua orang boleh mengikuti ritual ini kecuali dalam keadaan cuntaka atau sebel (ada anggota keluarga yang meninggal). Peserta menghias diri mereka dengan cat, termasuk merias wajah supaya terlihat seram, tampak berbeda dari wajah aslinya sehingga tidak bisa dikenali dan menjadi menyerupai wong samar . Para wong samar ini perlu di- somya-kan somya-kan (dirubah sifat negatifnya menjadi sifat positif) atau diberikan persembahan agar bisa hidup berdampingan dan tidak saling mengganggu dengan manusia. Ritual ini begitu sakral di mata warga Desa Des a Pekraman Tegalalang. Pekraman Tegalalang. Pasalnya beberapa kali terjadi musibah bagi warga yang tidak mau ikut meramaikan ritual ini. Juga ada orang yang mengalami kecelakaan di jalan raya lantaran mengganggu anak-anak yang ikut dalam ritual ini. Secara kasat mata yang ngayah memang warga desa, namun diyakini saat prosesi ngerebeg para para wong samar turut di dalamnya. Hal ini diyakini karena saat ritual ini berlangsung jumlah peserta tiba-tiba menjadi sangat banyak.
8
2.5 Waktu dan Runtutan Pelaksanaa Ngerebeg Pelaksanaa Ngerebeg Pelaksanaan ritual ngerebeg ini dimulai setelah jam 12.00 siang yang dilaksanakan dalam beberapa rentetan. Pertama dilaksanakan pecaruan pecaruan di Pura Duur Bingin, lalu dilanjutkan dengan menghaturkan paica alit yakni warga diberikan ajengan ajengan berupa nasi bungkus dengan lauk lawar. Nasi bungkus ini dipersiapkan di pura oleh warga. Saat membungkus tidak boleh dihitung jumlahnya, dibuat sebanyak-banyaknya. Menurut kepercayaan bila dihitung maka jumlahnya tidak akan cukup untuk peserta ngerebeg .
Hidangan ini langsung
dinikmati bersama di halaman Pura Duur Bingin. Kemudian dilanjutkan dengan ngamedalang (mengeluarkan) Ida (mengeluarkan) Ida Sasuhunan Pura Sasuhunan Pura Duur Bingin.
Foto 2. Nunas 2. Nunas pica alit Barulah kemudian peserta yang didominasi anak-anak dan remaja putra ini melakukan ritual jalan kaki keliling desa dengan hiasan tubuh menyeramkan.
9
Selama berjalan kaki, warga yang berhias seram ini juga membawa hiasan berupa pelepah janur, pelepah daun aren, pelepah daun salak yang dihiasi gantunggantungan, dedaunan, dan bunga. Selain itu peserta juga membawa lelontek , kober (bendera suci) dan penjor kecil. Rute yang ditempuh dalam ritual ngerebeg ini diawali dari Pura Duur Bingin menuju ke arah selatan ke Pura Prajapati, Desa Pekraman Tegalalang. Pekraman Tegalalang. Setibanya di Pura Prajapati, karma lanang (warga (warga laki-laki) yang ikut ngerebeg langsung melakukan persembahyangan, dengan tujuan agar mereka dilindungi selama ritual berlangsung. Dari Pura Prajapati, iring-iringan ngerebeg berlanjut berlanjut menuju arah utara sampai batas akhir di Objek Wisata Ceking. Selanjutnya, melewati arah turunan melalui Banjar Gagah, hingga kembali ke Pura Duur Bingin. Pada saat yang bersamaan, kalangan krama krama dewasa menghaturkan sesajen di setiap pura dan setra dan setra (kuburan) (kuburan) yang dilewati dalam prosesi ngerebeg . 2.6 Wawancara 2.6.1 Wawancara dengan Bendesa Desa Pekraman Desa Pekraman Tegalalang Tegalalang Bapak Made Jaya Kusuma, umur 58 tahun mantan kepala sekolah SMPN 2 Singapadu dan SMPN 1 Sukawati. Menjabat sebagai bendesa desa pekraman Tegalalang sejak lima belas tahun yang lalu. Wawancara dilakukan pada tanggal 11 Desember 2017. Sebelum wawancara berlangsung, disampaikan tujuan wawancara adalah untuk membagi pengalaman dalam hal filosifis ngerebeg. Menurut Jero Bendesa wong samar yang yang jumlahnya ratusan diyakini ikut serta membaur dalam arak-arakan Ngerebeg keliling desa ini. Karena keikutsertaan wong samar , kata bendesa Jaya bendesa Jaya Kusuma, ritual ngerebeg ini ini pantang untuk diganggu. Karena kalau berani mengganggu prosesi upacara dapat mengalami bahaya. Jero bendesa
10
mengatakan keberadaan wong samar di wewidangan wewidangan desa pekraman Tegalalang terus bertambah dari waktu ke waktu. Bahkan wong samar ini memiliki perkampungan khusus di tukad (sungai) (sungai) yang berada di sebelah barat Pura Duur bingin. Sehingga bila lewat di atas tukad itu itu minimal harus membunyikan klakson sambil mohon ijin secara niskala. Ngerebeg diselenggarakan sehari sebelum piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Tegalalang, Gianyar. Tradisi yang melibatkan anak-anak sampai sekaha teruna ini, teruna ini, sebagai pertanda rencangan (penjaga) yang ada di kawasan pura sangat senang dengan anak-anak. Bendesa anak-anak. Bendesa Pakraman Tegallalang, Pakraman Tegallalang, I Made Jaya Kesuma menegaskan, jika anak yang berkeinginan ngayah saat tradisi ngerebeg harus diizinkan. Jika tidak, maka akan ditakutkan terjadi apes atau malapetaka yang bisa menimpa anak bersangkutan. Tradisi ngerebeg bersamaan dengan rentetan pujawali di Pura Duur Bingin. Jaya Kesuma mengatakan, pangamong pujawali dilakukan secara bergilir, tetapi dalam tradisi ngerebeg tersebut, bisa seluruh warga desa. Bahkan, luar desa juga diperbolehkan. “Pelaksanaan piodalan “Pelaksanaan piodalan di sini diselenggarakan secara bergiliran. Ketika satu banjar melaksanakan piodalan di piodalan di Pura Dalem Kangin, maka piodalan di Pura Duur Bingin banjar tersebut juga yang ngamong ,” ,” terang Kesuma ketika ketika diwawancarai. Di Desa Pakraman Desa Pakraman Tegalalang Tegalalang memiliki dua pura dalem, yakni Pura Dalem Kangin dan Pura Dalem Kauh. Makanya, dalam prosesi pelaksanaan ngerebeg di di Pura Duur Bingin diamong secara secara bergantian. Meskipun secara bergantian, lanjut Kesuma, yang ikut ngerebeg tidak pernah dengan pangayah dengan pangayah yang sedikit. Dikarenakan setiap pelaksanaan ngerebeg , harus dijalankan dengan keinginan
11
sendiri. Terlebih memang dari keinginan anak-anak yang mau ngayah. ngayah. “Sebab, dulu pernah ada yang melarang untuk ikut ngerebeg karena karena dianggap masih kecil. Namun, beberapa hari setelah piodalan setelah piodalan,, orang tersebut masuk ke dalam jerami yang dibakar. Karena tempatnya yang seperti lubang di areal persawahan. Akibatnya kulitnya melepuh mengalami luka bakar,” papar pensiunan guru tersebut. Lantaran peristiwa itu, lanjut Kesuma tidak ada yang berani lagi untuk menghalangi kemauan anaknya untuk ngayah ngerebeg . Sebelum ngerebeg dimulai, prosesi pacaruan pacaruan dilakukan terlebih dulu, sebagai pembersih secara niskala di areal pura. Setelah itu, baru sasuhunan sasuhunan yang ada di pura dilinggihkan (diletakkan kembali) pada gedong pada gedong , karena pujawali karena pujawali nyejer salama salama tiga hari. Setelah pacaruan pacaruan selesai, dilanjutkan untuk nunas pica alit yang berisi nasi dan dan lawar yang dibungkus dibu ngkus menggunakan daun pisang. “Selesai “ Selesai nunas pica alit , ada yang disebut dengan nunas pica ageng yang berisi adonan lawar saja, namun dengan porsi yang lebih banyak. Alasnya digunakan digunakan sebuah klakat (bambu (bambu yang dirangkai) dan daun pisang. Baru saat itu dilakukan megibung dengan serentak pada penataran pura," terangnya. Selesai megibung , lanjutnya, ada pelaksanaan malukat terlebih terlebih dahulu, sambil mempersiapkan pelaksanaan tradisi ngerebeg tersebut. Dikatakannya, prosesi ngerebeg berawal dari jaba jaba pura menuju ujung Desa Pakraman Tegalalang. Selanjutnya melewati objek wisata Ceking, kemudian ke barat menuju Pura Dalem Kauh, melewati persawahan agar sampai di Pura Duur Bingin kembali. Dikatakan Kesuma, ada tiga sasuhunan tiga sasuhunan yang yang malinggih, malinggih, yakni sasuhunan berupa sasuhunan berupa rangda dan sasuhunan barong sasuhunan barong landung lanang landung lanang - istri. istri . " Kali ini pacaruan ini pacaruan yang yang diselenggarakan
12
menggunakan seekor anak sapi. “Pacaruan menggunakan sarana anak sapi ini, bertujuan untuk menyelenggarakan taur, yaitu suatu upakara terkait status Gunung Agung yang sedang aktif. Semoga dari pacaruan pacaruan yang diselenggarakan di sini, sebagai salah satu langkah untuk membuat situasi tetap kondusif. Agar bencana tidak sampai memakan korban satu pun,” tandas Kesuma. 2.6.2 Wawancara dengan Jero dengan Jero Mangku Pura Mangku Pura Duur Bingin Wawancara dilakukan di rumah tinggal jro mangku Gusti mangku Gusti Nyoman Raka di Dusun Panusuan Tegalalang. Wawancara berlangsung pada tanggal 11 Desember 2017 mulai pukul 18.00 sampai pukul 20.00 WITA. Gusti Nyoman Raka mengatakan belum pernah membaca buku tentang sejarah tradisi ngrebeg di desa Tegalalang. Beliau mengataka ritual ini sudah dilakukan secara turun-temurun dan belum pernah tidak dilakukan. Makna dari ngerebeg adalah menyomiakan (mensucikan) para buta kala agar turut menjaga upacara sehingga dapat berjalan lancer dan juga menjaga alam beserta isinya. Ngerebeg ini merupakan rangkaian dari upacara piodalan upacara piodalan di di Pura Duur Bingin. Piodalan Bingin. Piodalan berlangsung berlangsung tiap enam bulan sekali jatuh pada hari kamis umanis, Pahang. Prosesi piodalan dipersiapkan pertama kali sejak lima hari sebelumnya, yaitu pada hari sabtu krama istri (warga istri (warga perempuan) membuat jajan, anak-anak ngayah ngayah mencari bahan-bahan seperti bambu, janur, sayur-sayuran, buah-buahan dan lain-lain. lai n-lain. yang akan dipergunakan dalam piodalan dengan meminta ke rumah-rumah warga. Warga desa dengan senang hati akan memberikan apa yang diminta oleh anak-anak yang ngayah tersebut. Karena menurut kepercayaan kalau memberikan apa yang diminta akan mendatangkan rejeki, namun bila tidak menghaturkan maka akan terjadi
13
sebaliknya. Misalnya bila dimintai pisang tidak memberikan maka pisangnya akan busuk. Pada jam 11.00 siang s iang para pengayah diberi pengayah diberi pica pica alit , kemudian pengayah kemudian pengayah pulang. Kurang lebih mulai jam delapan malam krama banjar dewasa dewasa dan anakanak kembali berdatangan ke pura walaupun tidak ada kegiatan apa-apa. Para anakanak akan bermain di pelataran pura, para orang tua duduk-duduk sambil mengawasi anak-anak bermain. Kemudian seluruh krama kembali mendapat pica mendapat pica alit dan semua semangat untuk nunas pica pica dan tidak ada perasaan malu-malu. Kegiatan mempersiapkan upacara ini berlangsung hingga hari selasa. Pada hari Rabu ritual ngerebeg dimulai dimulai dengan acara mecaru dengan sarana lima ekor ayam manca warna dan satu ekor bebek belang kalung . Jero mangku menambahkan, mangku menambahkan, setelah ngerebeg dilaksanakan, akan dilanjutkan dengan melasti, yaitu sesuhunan lunga ke beji (pergi beji (pergi ke sungai) yang ada di wilayah desa setempat. Kemudian keesokan harinya dilaksanakan prosesi pujawali prosesi pujawali di di Pura Duur Bingin, bertepatan Buda bertepatan Buda Kliwon Pegat Uwakan. Uwakan . “Saat piodalan piodalan berlangsung, dilakukan upacara ngingsah ngingsah dan nyangling , yakni prosesi menggunakan beras untuk dibersihkan. Ini juga pertanda bahwa pujawali akan pujawali akan segera dilaksanakan,” dilaksanakan,” terang Jero terang Jero Mangku. 2.6.3 Wawancara dengan Krama dengan Krama Peserta Peserta Ngerebeg Ngerebeg Dalam wawancara dengan karma karma desa yang bernama I Gusti ngurah Widnyana, umur 32 tahun, pekerjaan guru, mengatakan bahwa perasaannya saat mengikuti ritual sangat senang karena seru, rame-rame dan bangga dapat terlibat dalam prosesi. Untuk peserta ngrebeg dikatakan dikatakan tidak ada persyaratan khusus, siapa saja karma boleh ikut, pada umumnya laki-laki dari anak-anak hingga dewasa.
14
Namun krama yang dalam dalam keadaan cuntaka atau cuntaka atau sebel sebel misalnya misalnya ada keluarga yang meninggal, tidak boleh ikut ataupun masuk ke areal pura. Sebelum acara peserta menyiapkan beberapa hal, pertama merencanakan riasan pada tubuh dan wajah, yang biasanya sudah dipikirkan beberapa hari sebelumnya. Hal ini dikatakan sangat menyenangkan karena ingin tampil beda dari ritual sebelumnya dan beda dari peserta lainnya. Tubuh dan wajah hingga rambut biasanya dicat dicat dengan cat minyak yang mudah dibersihkan dan tidak merusak kulit. Ada juga yang mengenakan mahkota yang terbuat dari janur, karton dan lain-lain sesuai kreasinya masing-masing. Peserta juga menyiapkan hiasan untuk dibawa berupa penjor kecil yang dapat terbuat terbuat dari pelepah daun daun kelapa, pelepah daun salak atau pelepah daun enau yang diberi gantu-gantungan dari janur, bunga, dan daun plawa. Peserta berasal dari tujuh banjar yang ada di Tegalalang dan yang berasal dari daerah di sekitarnya yang sering ada keterlibatan dengan wilayah Tegalalang, misalnya yang bersekolah atau bekerja di wilayah Tegalalang. Ngurah Widnyana mengatakan ia selalu mengikuti ritual ini dan sejak kecil hingga sekarang belum pernah melewatkan acara ini dan selalu antusias menyiapkan berbagai hal untuk acara ini. Ia mengatakan tidak pernah merasa lelah walaupun berjalan kaki cukup jauh berkeliling di wilayah desa pekraman desa pekraman Tegalalang. Setelah selesai berkeliling desa seluruh peserta kembali melakukan persembahyangan di pura Duur Bingin mengucapkan syukur karena telah usai melakukan ritual dengan selamat. Setelah itu peserta diberi pica berupa pica berupa nasi dan
15
dinikmati bersama-sama di jaba di jaba pura. pura. Setelah semua ritual selesai seluruh peserta menuju pesiraman menuju pesiraman (pemandian) (pemandian) yang berada tak jauh dari pura Duur Bingin, untuk membersihkan seluruh riasan sebagai simbolis menyucikan diri kembali dan ritual selesai dilaksanakan. Seluruh peserta kembali pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan gembira. Peserta lain yang juga diwawancarai bernama I Gede Pasek Pradana mengaku sudah ikut tradisi itu sejak dirinya TK. Bahkan setiap enam bulan sekali ia selalu mengikuti tradisi tersebut. Pasek juga mengatakan, makna dari nunas pica alit itu itu merupakan persembahan kepada anak-anak yang ikut ngerebeg. Dikarenakan wong samar sangat menyukai sosok ana-anak. Maka saat anak-anak sudah berkumpul di pura, terlebih itu akan mengikuti ngerebeg . Semua pasti akan merasakan kegembiraan. Saat mecaru juga mecaru juga sambil bersorak-sorak menunjukkan kebahagiaan kebahagiaan Selesai melakukan acara ngerebeg , Pasek mengatakan peserta akan kembali ke pura untuk melakukan persembahyangan lagi. Sebab selama ikut ngerebeg dianggap masih sebagai tapakan wong samar , sehingga ke pura lagi untuk mengembalikan tapakan tapakan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan diri ke sungai, yaitu di beji pura taman desa setempat. Ditanya tentang pewarna yang digunakan pada tubuhnya, Pasek mengatakan menggunakan cat air yang sangat mudah dibersihkan dengan air. Bahkan pasek juga mengatakan tidak merasakan gatal pada kulitnya. Sebab sudah terbiasa menggunakan cat tersebut, terlebih yang ia gunakan pada tubuhnya setiap ngerebeg berlangsung. berlangsung.
16
2.7 Pembahasan Dalam Ilmu Kedokteran Jiwa, manusia dipandang secara Holistik yaitu BioPsikoSosioBudaya-Spiritual . Apa yang terjadi atau dialami oleh seorang individu menjadi sesuatu yang bersifat patologis ( psikopatologis) psikopatologis) atau fisiologis akan dipengaruhi oleh faktor dari biologi penyebab dasarnya, faktor psikologis atau stresor
yang
dialaminya,
dan
faktor
sosial-budaya
yang
dianut
atau
diyakini/kepercayaan yang akan memberikan pengaruh terhadap persepsi tentang sakit-sehat yang dialami oleh individu tersebut. Hal ini mudah dipahami karena pada prakteknya di dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa kita tidak bisa mengabaikan begitu saja latar belakang budaya masyarakat yang kita layani. Juga dipengaruhi bagaimana anggota dikeluarga tersebut dalam menyikapi kasus gangguan jiwa akan diwarnai oleh latar belakang budaya mereka sendiri termasuk nilai kepercayaan mereka (Kolegium Psikiatri Indonesia, 2008). Psikiatri budaya memberikan warna tersendiri dalam hal faktor resiko, faktor pelindung atau protektif dan juga dalam hal penanganan gangguan jiwa. Gangguan jiwa tidak hanya menggunakan pendekatan secara medik namun juga melihat dari faktor budaya dalam hal mencari akar permasalahan, menegakkan diagnosis juga dalam hal memberikan terapi (Kolegium Psikiatri Indonesia, 2008). Tradisi ngerebeg di Desa Pakraman Tegalalang bila diimplementasikan memiliki beberapa aspek (Sanjaya, 2010): 1.
Religius
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada
nilai-nilai ketuhanan dan atau ajaran agamanya. Tradisi ngerebeg yang
17
dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Desa Pakraman Tegalalang merupakan bagian dari upacara piodalan di Pura Duur Bingin. Sebagimana yang di ketahui, piodalan merupakan suatu upacara untuk melakukan wujud bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi dapat di ketahui bahwa tradisi ngerebeg memiliki nilai religius dalam pelaksanaannya dan merupakan bagian utama dari nilai pendidikan karakter. Karakter yang kuat biasanya memiliki mekanisme pembelaan ego yang matur yang merupakan faktor protektif terhadap terjadinya gangguan jiwa. Di sisi la in perilaku religious dapat menjadi patologis jika kepercayaan menjadi sangat fanatic dan pelaksanaannya menjadi tidak biasa (Triadis, 1980). 2. Bertanggung jawab. Nilai ini menekankan pada sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa, bersungguh-sungguh dan terus menerus dalam bekerja meskipun mengalami kesulitan, hambatan dan rintangan. Pelaksanaan Tradisi ngerebeg yang ada di desa Pakraman Tegalalang sudah mencerminkan adanya rasa tanggung jawab dari seluruh peserta dan masyarakatnya. Ini terlihat dari pelaksanaan Tradisi ngerebeg, dimana sebelumnya harus di persiapkan sesajen-sesaje n berupa upakara yang akan di gunakan pada saat berlangsungnya tradisi. Selanjutnya juga dipersiapkan paica alit dan paica gede yang juga berupa sesajen dan berisi makanan, yang di persiapkan oleh krama banjar adat. Adapun sarana dan prasarana lain juga harus di persiapkan oleh peserta untuk kegiatan tradisi seperti pembuatan penjor dan dan sarana riasan wajah. Setelah semua di persiapkan barulah dilakukan persembahyangan
18
terlebih dahulu di Pura Duur Bingin dan kemudian di lanjutkan dengan ritual ngerebeg keliling Desa Pakraman Desa Pakraman Tegalalang. Tegalalang. 3. Disiplin. Nilai pendidikan karakter ini menekankan pada tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang ada ad a dalam kehidupan bernegara. Dalam sebuah ritual dan upacara terdapat suatu aturan-aturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap orang yang melaksanakannya. Dalam pelaksanaan tradisi ngerebeg yang ada di Desa Pakraman Tegalalang terdapat aturan-aturan yang harus di turuti dan tidak boleh dilanggar oleh masyarakat dan peserta dari tradisi ngerebeg . Adapun aturan yang harus di ikuti oleh para peserta ngerebeg adalah adalah dengan merias wajah mereka dengan sedemikian rupa, sehingga mirip dengan wong samar atau atau pun sifat buruk dari pada manusia, dengan tujuan untuk menghilangkan menghilangkan sifat-sifat negatif tersebut. Selain itu, peserta juga membawa perlengkapan dari batang bambu yang berhiaskan daun janur ja nur dan enau dan ada juga pantangan yang tidak boleh dilakukan adalah menghitung jumlah paica yang disiapkan, karena konon jika dihitung akan selalu kurang. Meskipun tidak ada sanksi yang mengikat atas peraturan tersebut, namun krama desa tetap mengikuti aturan-aturan tersebut. Dari pelaksanaan tradisi ngerebeg terlihat jelas adanya rasa disiplin yang dilakukan oleh masyarakat serta peserta yang melaksanakan tradisi ngerebeg ini. Sehingga tradisi ngerebeg tidak hanya sebagai sarana upacara tetapi juga memiliki nilai karakter berupa disiplin yang dapat dijadikan acuan dari para generasi muda.
19
4. Kerja keras. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya. Dalam setiap kegiatan harus dilakukan dengan kerja keras sehingga kita dapat menikmati hasil yang maksimal. Dalam pelaksanaan tradisi ngerebeg terlihat adanya rasa kerja keras yang yang dilakukan oleh para peserta peserta tradisi. Dimana para peserta tradisi yang terdiri dari anak-anak hingga remaja harus melakukan perjalanan yang cukup jauh demi keberlangsungan keberlangsungan tradisi ngerebg . Selain itu, para peserta juga merias wajah mereka masing-masing dengan berbagai hiasan. Ini menandakan ada kerja keras yang mereka lakukan untuk mengikuti tradisi ngerebeg . Hal ini sangat baik bagi perkembangan psikologis, dimana individu ditanamkan rasa untuk bekerja keras demi mendapatkan sesuatu yang diinginkan dari aspek psikologis akan tercipta pribadi yang kuat dalam menghadapi stressor (Scott et al. 2004). 5. Kreatif. Nilai kreatif yaitu selalu ingin mencoba dan membuat yang baru dengan dengan ide-ide dan gagasan.
Bali
memiliki
nilai-nilai
budaya
yang
memiliki
dan
mampu
menumbuhkan kreatifitas. Salah satunya terlihat dalam pelaksanaan tradisi ngerebeg. ngerebeg. Dalam tradisi ini peserta di tuntut untuk merias wajahnya sedemikian rupa yang berkaitan dengan sifat negatif. Dari hal ini muncul ide-ide kreatif dari para peserta tradisi yang kebanyakan merupakan anak-anak dan remaja. Disini terlihat adanya nilai kreatif yang berkaitan dengan nilai karakter yang terdapat dalam tradisi ngerebeg . Kreatifitas merupakan kekuatan kognitif, dimana program
20
pelatihan kreatifitas dapat d apat meningkatkan kapasitas memilih solusi yang tepat pada situasi dengan solusi alternatif yang multipal (Scott et al. 2004) 6. Kerja sama. Kerja sama merupakan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama, peduli sosial dan lingkungan. Adapun kerja sama dalam pelaksanaan tradisi ngerebeg dapat dapat dilihat dari pembagian tugas atau kerja dalam setiap pelaksanaannya, ada yang bertugas menyediakan upakara, ada yang bertugas sebagai peserta dan ada juga tugas yang lainnya. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Dalam tradisi ngerebeg nilai nilai peduli sosial dan lingkungan dapat dilihat dari filosofi pelaksanaan tradisi ngerebeg yaitu untuk membersihkan bhuana agung yaitu alam semesta beserta isinya yang terdiri dari lingkungan sekitar dan membersihkan bhuana alit yaitu dalam diri manusia. Jadi terlihat bahwa para leluhur terdahulu lebih perduli pada lingkungan alam, hal ini perlu di terapkan kepada generasi muda, sehingga mereka memiliki rasa peduli terhadap sesama dan alam. Ini merupakan kekuatan interpersonal dan kecerdasan sosial. Meningkatnya rasa hubungan sosial dan positif terhadap yang lain sama halnya dengan emosi positif dan mindfulness secara umum (Fredrickson et al. 2008)
21
BAB III SIMPULAN Pelaksanaan
Tradisi
ngerebeg yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Pakraman Tegalalang berpedoman pada loka dresta dresta yaitu tradisi yang sudah diterima secara turun temurun oleh masyarakat Desa Pakraman Desa Pakraman Tegalalang. Tegalalang. Tradisi ini sampai sekarang masih dipertahan dan dilaksanakan karena adanya keperca yaan dari para masyarakat jika
tidak dilaksanaka akan terjadi suatu bencana yang yang
melanda desa. Tradisi ngerebeg merupakan merupakan salah satu budaya lokal yang memiliki nilai-nilai karakter dan dapat di implementasikan dalam pembentukan karakter. Adapun nilainilai karakter dalam Tradisi ngerebeg di di Desa Pakraman Desa Pakraman Tegalalang Tegalalang diantaranya : religius, bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, kreatif, nasionalis, dan Peduli sosial dan lingkungan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. (1994). Sosiologi, Skematik Teori dan terapan. Jakarta. PT Bumi Aksara Banks, B. (1996) Ethnicity: (1996) Ethnicity: anthropological constructions. London. constructions. London. Rouledge. Bhugra, D. & Bhui, K. Cross-cultural psychiatric Assessment. (2010) In: R. Bhattacharya, S. Cross, & D. Bhugra (eds). Clinical topics in cultural psychiatry. London: psychiatry. London: RCPsych Publications Fredrickson,B.L., Choha,M.A., Coffey,K.A., Pek,J., & Finkel,S.M (2008). Open heart build live; Positive Positi ve emotion, induced through loving-kindness meditation, build consequential personal resources journal of personality and social psychology, ps ychology, 95(5), 1045-1062) Indonesia Menggugah. (2015). Ni (2015). Ni Nyoman Tanjung: Seni Instalasi Ekspresi Mimpi tak Bertepi. Bertepi. [Online] Avilable from: https://www.facebook.com/IndonesiaMenggugah/posts/618230934943789 :0.. [Accessed: May 26th 2015] :0 Kirmayer, Laurence J. (2007). Cultural psychiatry in historical perspective. In D. Bhugra & K. Bhui (eds.) Textbook of Cultural Psychiatry, Cambridge: Psychiatry, Cambridge: Cambridge University Press. Koentjaraningrat, (2002). Pengantar Ilmu Antropologi II. Jakarta. PT Rineka Cipta. Kolegium Psikiatri Indonesia. (2008). Modul (2008). Modul Psikiatri Komunitas. Komunitas. Jakarta: Author. Kuper, A. (1999). Culture: The Antropologists’ Account. Cambridge, Account. Cambridge, MA: Harvard University Press. Loewenthal, K. M. (2007). Spirituality and Cultural Psychiatry. In D. Bhugra & K Bhui (eds.) Textbook of Cultural Psychiatry, Cambridge: Psychiatry, Cambridge: Cambridge University Press. Sadock, B. J. and Sadock, V. A. (2010) Kaplan (2010) Kaplan &Sadock’s Pocket Pocket Handbook of Clinical Psychiatry. Psychiatry. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan Jakarta: Kencana Scott,G., Leritz,L.E., & Mumford,M.D (2004), The effectiveness of creativity reaserch journal, 16(4), 361-388. Suwartika,(2014) Tradisi ngerebeg di desa tegalalang sebagai sumber belajar pendidikan karakter, Singaraja, Universitas Pendidikan Ganesha. Triandis,H.C., & Draguns,J.G.(1980) Hand book cross-culturalps ychology psychopathology vol. 6.pp.65-66
23