RMK AKUNTANSI PEMERINTAH PERTEMUAN V DANAR SUTOPO SIDIG NOMOR ABSEN 14
KELAS A STAR UNIVERSITAS HASANUDDIN
Halaman 1 dari 5
REFORMASI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH A. Latar Belakang Reformasi Keuangan Daerah 1. Pengelolaan keuangan yang tidak akuntabel dan tidak transparan. 2. Pengelolaan keuangan yang berpayung hukum pada peraturan peninggalan Belanda. 3. Penganggaran yang terdiri dari belanja rutin dan pembangunan sehingga membuka celah duplikasi pembiayaan. 4. Utang luar negeri dianggap sebagai pendapatan sehingga tidak memperhatikan keseimbangan antargenerasi. 5. Institusi pemerintah bebas mengelola dana nonbudgetair. B. Tujuan Reformasi Keuangan Daerah 1. Mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. 2. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. 3. Meningkatkan kepercayaan publik. C. Fase Reformasi Keuangan Daerah di Indonesia 1. Era pra otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (1974 s.d. 1999) Era pra otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala orde baru berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 yang bersifat: a. sentralis, b. top down planning dan budgeting, c. penggunaan anggaran tradisional, d. rezim anggaran berimbang, e. sistem pembukuan tunggal dan akuntansi basis kas. Selama fase pertama, praktis belum ada sistem akuntansi keuangan daerah yang baik. Yang ada baru sebatas tata buku. Pengelolaan keuangan daerah berdasarkan buku Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang pada esensinya sekedar penatausahaan keuangan atau tata buku. Era otonomi semu ini berlangsung selama 25 tahun sampai dengan pelaksanaan otonomi luas dan nyata berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999. 2. Era transisi otonomi (2000 s.d. 2003) Dengan terbitnya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 maka pelaksanaan otonomi daerah bersifat: a. desentralisasi, b. bottom up planning and budgeting, c. sistem pembukuan berpasangan dan basis kas modifikasian. Akan tetapi, era ini dinamakan era transisi karena dalam fase awal implementasi otonomi daerah ini banyak ditandai dengan:
Halaman 2 dari 5
a. masih belum mantapnya perangkat hukum, kelembagaan, infrastruktur, dan sumber daya manusia daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, b. masih sering terjadi uji coba sistem baru sehingga sering terjadi revisi peraturan perundangan di bidang pengelolaan keuangan negara/daerah. 3. Era paska transisi (2004 s.d. sekarang) Era paska transisi adalah masa setelah diberlakukannya paket peraturan perundangan yang merupakan suatu peraturan menyeluruh dan komprehensif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pengauditan, dan evaluasi kinerja atas pengeloaan keuangan daerah. D. Dimensi Reformasi Keuangan Daerah 1. Perubahan Kewenangan Daerah Dengan adanya otonomi daerah lebih bebas untuk mengatur daerahnya sendiri. 2. Perubahan Prinsip Pengelolaan Anggaran Perubahan Prinsip Anggaran Tradisional menjadi Anggaran Berbsis Kinerja, Anggaran Terpadu, dan Anggaran dengan KPJM. 3. Perubahan Prinsip Penggunaan Pinjaman Perubahan pengakuan pinjaman, dari semula sebagai pendapatan “penerimaan pembangunan” menjadi sekadar penerimaan yang bukan diakui sebagai pendapatan melainkan sebagai utang yang muncul di neraca. 4. Perubahan Strategi Pembiayaan Perubahan sumber-sumber pendapatan untuk membiayai pembangunan daerah, yaitu dengan adanya Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Dana Alokasi Khusus. Perbedaan utama dengan kondisi sebelumnya adalah bahwa dengan reformasi ini formula distribusinya menjadi lebih pasti. Contohnya: Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. E. Pokok-pokok Reformasi Keuangan Daerah 1. Reformasi Sistem Pembiayaan (Financing Reform) Reformasi ini berkaitan erat dengan adanya perubahan kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana perimbangan. Sebelum reformasi, perimbangan keuangan pusat dan daerah menggunakan sluit post system. Dalam sistem ini masalah keuangan daerah diatur sangat ketat oleh pemerintah pusat, pengalokasian dana tidak bisa diganggu gugat. Sejak tahun 1956, secara konseptual pola hubungan keuangan sistem ini antara pemerintah pusat dan daerah diterjemahkan dalam 3 hal yang utama, yaitu : a. b.
Penyerahan sumber pendapatan Negara kepada daerah Pemberian bagian tertentu dari penerimaan berbagai pajak Negara kepada daerah.
Halaman 3 dari 5
c.
Memberi ganjaran, subsidi dan sumbangan kepada daerah
Berdasarkan ini, sumber-sumber pembiayaan daerah meliputi: a. Pajak daerah dan retribusi b. Pendapatan hasil perusahaan daerah c. Pajak negara yang diserahkan kepada daerah d. Lain-lain (pinjaman, subsidi, penjualan aset, dsb.) Dengan terbitnya Undang-undang nomor 33 Tahun 2004 maka sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah di Indonesia menganut block grant system. Berdasarkan sistem ini, sumber-sumber pembiayaan daerah adalah a. Pendapatan Asli Daerah, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. b. Dana Perimbangan, yaitu Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, dll. c. Lain-lain Pendapatan yang Sah, yaitu hibah, dana daruarat, dana penyesuaian, dll. Di samping itu, dalam hal terjadi defisit, pemerintah daerah dapat menggunakan sumber pembiayaan yang berupa SiLPA, Dana Cadangan, Pinjaman, dll. 2. Reformasi Sistem Penganggaran (Budgeting Reform) Perubahan-perubahan dalam penganggaran antara lain: a. penyatuan anggaran negara yang tadinya dibagi dalam dua kelompok, yaitu anggaran rutin dan anggaran pembangunan. b. peniadaaan anggaran non-bujeter. Contoh anggaran nonbujeter adalah anggaran yang berasal dari berbagai kegiatan bisnis yang terafliasi dengan sebuah institusi tertentu. Lembaga terafliasi tersebut terdiri dari berbagai bentuk badan usaha milik koperasi karyawan, yayasan dan dana pensiun yang terafliasi dengan instansi Pemerintah. Sumber lain dari anggaran nonbujeter adalah pungutan liar penerimaan non pajak yang diatur dan dikumpulkan sendiri oleh instansi yang bersangkutan tanpa mengacu pada UU PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan tanpa setahu DPR serta Kementerian Keuangan. c. penerapkan paket tiga Undang-Undang di bidang Keuangan Negara tahun 2003- 2004 yang menghasilkan adanya Anggaran Terpadu, Anggaran Berbasis Kinerja, Kerangka Penganggaran Jangka Menengah. Beberapa ciri anggaran kinerja adalah adanya: 1) Capaian Kinerja: ukuran prestasi kerja yang akan dicapai (belum ada analisis kelayakan kinerja dengan biayanya) 2) Indikator Kinerja: Ukuran keberhasilan
Halaman 4 dari 5
3) Analisis Standar Belanja: penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakannya. 4) Standar Satuan Harga: harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku di suatu daerah 5) Standar Pelayanan Minimal: tolok ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib. 3. Reformasi Sistem Akuntansi (Accounting Reform) a. Perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal (single entry system) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry system) Reformasi akuntansi merupakan salah satu agenda penting dari reformasi manajemen keuangan daerah. Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi tersebut adalah perlunya dimiliki standar akuntansi pemerintahan dan perubahan sistem akuntansi dari single entry menjadi double entry dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan. Hal ini disebabkan penggunaan single entry tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Sistem single entry juga telah ditinggalkan oleh banyak negara maju. Pengaplikasian pencatatan transaksi dengan sistem double entry ditujukan untuk menghasilkan laporan keuangan yang lebih mudah untuk dilakukan audit (auditable) dan pelacakan (traceable) antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan kekayaan, utang dan ekuitas organisasi. Dengan sistem double entry, maka pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif. b. Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual (accrual basis) Sebelum reformasi, basis pencatatan transaksi yang digunakan pada hampir semua lembaga pemerintahan di Indonesia adalah basis kas (cash basis), yang banyak mengandung kelemahan yang mendasar yaitu tidak mencerminkan kinerja yang sesungguhnya karena dengan sistem cash basis tingkat efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan, program, atau aktivitas tidak dapat diukur dengan baik. Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual (accrual basis) bertujuan agar pemda dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, akurat, komprehensif, dan relevan untuk pembuatan keputusan ekonomi, sosial dan politik. 4. Reformasi Sistem Pemeriksaan (Audit Reform) Reformasi ini berkaitan erat dengan adanya perubahan jenis audit dan posisi BPK sebagai lembaga pemeriksa. Jenis audit mengalami perubahan dari hanya audit keuangan pada era sebelum reformasi menjadi audit keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu. Adapun terkait dengan posisi BPK, telah terjadi perubahan dari yang semula dibatasi dalam lingkup objek auditnya, dibatasi dari segi organisasi, anggaran, maupun personilnya menjadi sebuah
Halaman 5 dari 5
badan pemeriksaan yang bebas dan mandisi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. 5. Reformasi Sistem Manajemen Keuangan Daerah (Financial Management Reform) a. Aspek kelembagaan Pada era orde baru, pengertian pemda adalah kepala daerah dan DPRD. Artinya tidak terdapat pemisahan secara kongkret antara lembaga eksekutif dan legistatif. Sedangkan pada era reformasi, pengertian pemda adalah kepala daerah beserta perangkat lainnya. Pemda yang dimaksut disini adalah bada eksekutif, sedang badan legislatifnya adalah DPRD. Jadi, terdapat pemisahan yang nyata antara lembaga legislatif dan eksekutif. b. Aspek ketentuan pinjaman Terjadinya perubahan pengakuan pinjaman, dari semula sebagai pendapatan “penerimaan pembangunan” menjadi sekadar penerimaan yang bukan diakui sebagai pendapatan melainkan sebagai utang yang muncul di neraca. c. Aspek treasury single account Sebelum adanya reformasi keuangan negara, uang negara disimpan dalam berbagai rekening yang saling terpisah.Akibatnya, Menteri Keuangan tidak punya gambaran tentang posisi keuangan negara secara menyeluruh setiap saat. Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. d. Aspek akuntabilitas 1) Perubahan akuntabilitas vertikal menjadi horizontal Sebelum reformasi, pemerintah memiliki kedudukan lebih tinggi. Namun, setelah reformasi rakyat melalui DPRD bersama pemerintah bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran. 2) Perubahan jenis laporan pertanggungjwaban APBD Jenis laporan pertanggunjawaban sebelum reformasi adalah Perhitungan APBD, Nota Perhitungan, dan Perhitungan kas dalam pencocokan antara sisa perhitungan yang dilengkapi dengan lampiran Ringkasan Perhitungan Pendapatan dan Belanja. Adapun setelah reformasi adalah Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah yang Dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur rencana strategis renstra. 3) Konsep value for money: Ekonomis, Efisien, dan Efektif. 4) Adanya pusat-pusat pertanggungjawaban Paska Reformasi terdapat pusat-pusat pertanggungjawaban, yaitu: dinas pendapatan sebagai (revenue center), bagian keungan diperlakukan sebagai (expense center), dan BUMD Sebagai (profit center).