Judul Penulis Publikasi
Tinjauan Kepatuhan Wajib Pajak Berdasarkan Teori Perilaku Terencana Dan Teori Psikologi Fiskal Elana Era Yusdita Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya, 2016 BAB I
Latar Belakang Pajak merupakan pendapatan terbesar Indonesia, yaitu sekitar 74%. Pajak dikenakan hanya pada tambahan ekonomis yang didapatkan seseorang. Semakin besar perolehan bersifat ekonomis, baik berupa barang dan jasa, maka semakin besar pula iuran wajib yang harus Wajib Pajak (WP) setorkan kepada negara. Negara menghimpun perolehan pajak tersebut untuk membiayai kepentingan masyarakat melalui subsidi. Pemerataan ekonomi dapat dicapai jika perpajakan sukses. Kesuksesan perpajakan dapat diukur melalui rasio pajak, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dapat dipungut dari setiap rupiah pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB). Peningkatan PDB menandakan baik buruknya perekonomian suatu negara karena mencerminkan pendapatan total yang diperoleh semua orang yang ada di dalam negara tersebut te rsebut (Mankiw, Quah, & Wilson, 2014: 4). PDB Indonesia tercatat terus meningkat dari tahun ke ke tahun, namun tak sejalan dengan rasio pajak. Artinya, peningkatan standar hidup masyarakat tidak diimbangi dengan kesadaran membayar pajak. Rasio pajak rendah mencerminkan tingkat kepatuhan WP yang rendah pula (A. Hidayat, 2014). Pendapatan per kapita penduduk Indonesia dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk penduduk lebih lebih spesifik spesifik karena mencerminkan kemakmuran suatu negara dengan memperhitungkan jumlah penduduknya. penduduknya. Pendapatan per penduduk Indonesia meningkat dari tahun ke tahun mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, sayang sekali hal ini tidak disertai dengan peningkatan kesadaran penduduk Indonesia yang telah berpenghasilan untuk membayar pajak. Pemerintah yang prihatin dengan kepatuhan pajak rendah pada tahun 2014 dan untuk menggenjot penerimaan negara, mengadakan Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP) pada 2015 (Waluyo, 2013: 2013: 391). WP yang khilaf terlambat atau SPT Masa, terlambat membayar atau menyetor kekurangan pembayaran pajak, serta melakukan pembetulan SPT yang mengakibatkan utang pajak pa jak menjadi lebih besar akan mendapat pengurangan dan penghapusan sanksi. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) disibukkan dengan kegiatan sosialisasi TPWP setelah peraturan yang mendasarinya terbit, yaitu PMK91/PMK.03/2015. Kebijakan diskon tarif pajak bagi WP badan yang melakukan revaluasi aset tetap juga menghasilkan tambahan penerimaan pajak sebesar 20 triliun rupiah (Anonim, 2016c). Pengurangan dan penghapusan hanya sanksi hanya dapat mendongkrak penerimaan pajak jangka pendek. Segala upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam membina kesadaran WP untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya secara berkesinambungan rupanya belum menghasilkan suatu dampak yang signifikan. Pencapaian realisasi pajak yang besar pada 2015 tidak diimbangi dengan rasio pajak yang masih berada pada 11%. Tak cukup TPWP, pemerintah Indonesia membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Tax Amnesty. Adanya tax amnesty merupakan indikasi adanya ketidakpatuhan WP di masa sekarang karena adanya pemberian ampunan untuk mendorong peningkatan kepatuhan sukarela WP di masa yang akan datang (Hutagaol, 2007: 27). Tax amnesty berfungsi untuk “mengembalikan” dana WP Indonesia yang terparkir di luar negeri dan transaksi ekonomi yang tak terjangkau otoritas pajak, ke dalam sistem perpajakan (Tambunan, 2015). Teori Psikologi Fiskal menjelaskan hubungan kontrak psikologis antara WP dan pemerintah (Hasseldine & Bebbington, 1991). Kepatuhan WP jangka panjang dapat dicapai pemerintah dengan memberikan rasa percaya kepada WP. Pengertian pajak yang memberi kontraprestasi tidak langsung, memberi rasa tidak yakin kepada WP mengenai perolehan manfaat atas apa yang telah mereka bayarkan kepada negara. Teori Perilaku Terencana menyediakan kerangka teoritis untuk memahami determinan kepatuhan pajak. Pendekatan psikologi ini dikemukakan oleh Ajzen (1991) dan telah digunakan di dalam banyak penelitian determinan perilaku pengguna teknologi maupun keputusan seseorang untuk melakukan sesuatu. Teori ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan manusia dipicu oleh niat. Niat WP untuk patuh dipengaruhi oleh persepsi positif atau negatif atas sesuatu, dorongan orang-orang yang ia anggap penting, dan pertimbangan mengenai mudah tidaknya menampilkan suatu perilaku. Penelitian ini menggabungkan Teori Perilaku Terencana, Teori Psikologi Fiskal, serta variabel kewajiban moral berdasarkan dua penelitian terdahulu, yaitu Bobek & Hatfield (2003) dan Damayanti (2015). Teori Perilaku Terencana digunakan oleh Bobek & Hatfield (2003) dengan menambahkan kewajiban moral untuk meneliti kepatuhan pajak di Amerika Serikat. Damayanti (2015) mempertimbangkan Teori Psikologi Fiskal untuk disertakan dalam memprediksi niat untuk patuh dalam perpajakan di Indonesia. Salah satu komponen dalam Teori Psikologi Fiskal adalah rasa percaya WP kepada pemerintah untuk menunjang kepatuhan perpajakan itu sendiri. Rumusan Masalah
1. Apakah sikap atas kepatuhan pajak mempengaruhi niat WPOP untuk patuh? 2. Apakah norma subjektif mempengaruhi niat WPOP untuk patuh? 3. Apakah kontrol perilaku persepsian mempengaruhi niat WPOP untuk patuh? 4. Apakah kontrol perilaku persepsian mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak WPOP? 5. Apakah kewajiban moral mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak WPOP? 6. Apakah pertanggungjawaban pemerintah atas dana pajak mempengaruhi niat untuk pajak WPOP?
7. Apakah niat untuk patuh mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak WPOP? 8. Apakah kontrol perilaku persepsian mempengaruhi kepatuhan pajak WPOP melalui niat untuk patuh? Manfaat Penelitian
1. Kontribusi Teori Hasil penelitian ini memberi tambahan atas bukti empiris mengenai faktor penentu kepatuhan WP berdasarkan model yang dikembangkan oleh Ajzen (1991) dengan konstruk niat untuk patuh dan norma subjektif yang berasal dari Teori Perilaku Terencana, beserta pertanggungjawaban pemerintah atas dana pajak yang berasal dari Teori Psikologi Fiskal. Kontribusi teori yang kedua adalah penelitian ini berhasil mengkolaborasikan Teori Psikologi Fiskal dengan Teori Perilaku Terencana untuk menjelaskan determinan kepatuhan pajak WPOP yang terdaftar di dua KPP berprestasi 2015, yaitu KPP Pratama Batu dan KPP Pratama Kepanjen. 2. Kontribusi Praktek Penelitian ini dapat membantu DJP untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP untuk jangka panjang melalui pendekatan psikologi, sehingga antara DJP dan WP dapat terjalin ikatan saling percaya.
Teori
3. Kontribusi Kebijakan Penelitian ini dapat menambah wawasan pemerintah, khususnya DJP, tentang perspektif WP dalam pembuatan sistem maupun peraturan yang mendorong meningkatnya kepatuhan WP. BAB II a. Teori Perilaku Terencana
Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior ) dikemukakan oleh Ajzen pada 1991. Teori ini merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA) dengan menambahkan konstruk kontrol perilaku persepsian ( perceived behavioral control ). Dua konstruk lainnya yang dikembangkan dari TRA (Fishbein & Ajzen, 1975) adalah sikap (attitude) dan norma subjektif ( subjective norm). Sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku persepsian merupakan determinan niat keperilakuan (behavioral intention). Niat keperilakuan akan menentukan perilaku seseorang. Model ini berasal dari psikologi sosial yang diformulasikan dan digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku individu. TRA yang merupakan asal Teori Perilaku Terencana, merupakan salah satu dasar teori perilaku manusia (Baridwan, 2012). Niat berperilaku merujuk kepada kemungkinan seseorang dalam melakukan suatu tindakan (Fishbein & Ajzen, 1975: 288). Sikap terhadap perilaku menggambarkan perasaan positif atau negatif individu secara umum terhadap suatu obyek stimulus (Fishbein & Ajzen, 1975: 216). Norma subjektif mengarah pada persepsi
seseorang bahwa banyak orang yang penting baginya, memikirkan mengenai apakah dia harus atau tidak melakukan suatu tindakan (Fishbein & Ajzen, 1975: 302). b.
Teori Psikologi Fiskal Teori psikologi fiskal diperkenalkan oleh Schmölders (1959). Tujuan utama teori psikologi fiskal adalah pada awalnya adalah untuk menganalisis penolakan individu terhadap pajak langsung sesuai dengan mentalitas pajak yang ia miliki (Schmölders, 1959). Psikologi fiskal dikembangkan untuk mengetahui motivasi dan reaksi pembayar pajak secara lebih sistematis dan mendalam (Schmölders, 1959). Lewis pada 1982 mengembangkan model ini pada sub bidang psikologi ekonomi (Warneryd, 1988: 14). Salah satu hubungan yang diangkat oleh psikologi fiskal yang dikembangkan Lewis adalah aspek sikap dan persepsian individu tentang sistem pajak. Persepsi WP kepada pemerintah merupakan salah satu variabel penting dalam menciptakan kepatuhan WP dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya (Damayanti, 2015). Penekanan teori ini terletak pada ketiadaan motivasi dari WP untuk membayar pajak karena WP tidak merasakan keuntungan secara langsung dari pembayaran pajak (Hasseldine & Bebbington, 1991). Artinya, perasaan WP atas pemerintah sebagai pengelola dana pajak menjadi determinan untuk memunculkan niat untuk patuh secara sukarela (Kogler et al., 2013).
c.
Kewajiban Moral Kewajiban moral merupakan norma individu yang dimiliki oleh seseorang, namun belum tentu dimiliki oleh orang lain (Bobek & Hatfield, 2003; Mustikasari, 2007). Kewajiban moral diusulkan masuk ke dalam pengembangan Teori Perilaku Terencana oleh Ajzen (1991) karena menyadari adanya perasaan personal tentang kewajiban moral, selain tekanan sosial yang dirasakan individu untuk melakukan sesuatu. Selain itu, Theory of Interpersonal Behaviour (TIB) yang diciptakan oleh Triandis pada 1977 juga menyertakan personal normative belief sebagai determinan niat berperilaku seseorang (Robinson, 2010). Personal normative belief disebut sebagai kewajiban moral dalam setiap studi yang menguji model Triandis dan memiliki karakteristik yang mirip dengan norma moral yang disebut oleh Ajzen pada Teori Perilaku Terencana (Parker et al., 1995).
d.
Kepatuhan Wajib Pajak Pajak merupakan iuran yang dibayarkan oleh rakyat kepada kas negara dengan memakai dasar undang-undang, yang sifatnya dapat dipaksakan dan dipakai untuk membiayai pengeluaran umum, serta tanpa memperoleh kontraprestasi langsung (Mardiasmo, 2013: 1). Pajak yang dipungut di dalam suatu negara memakai sistem tertentu. Indonesia menggunakan sistem self assessment . Sistem
ini mewajibkan WP untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang oleh dirinya sendiri ke KPP tempat WP tersebut terdaftar (IAI, 2015: 39). Kepatuhan pajak di Indonesia terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan No 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Peraturan tersebut menunjukkan secara spesifik ketentuan yang menunjukkan seorang WP dapat dikatakan patuh, yaitu: 1. WP tepat waktu dalam melaporkan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan; 2. WP tak mempunyai tunggakan atau utang pajak untuk segala macam pajak, kecuali tunggakan atau utang pajak yang sudah mendapatkan izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; 3. Laporan Keuangan WP memperoleh pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam jangka waktu tiga tahun berturut-turut berdasarkan hasil audit Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah yang mengaudit; dan 4. WP tidak pernah dipidana untuk jangka waktu lima tahun terakhir berdasarkan putusan pengadilan, yang disebabkan oleh tindak pidana di bidang perpajakan. Pengukuran kepatuhan pajak dilakukan dengan cara menilai jumlah sebenarnya dari kewajiban perpajakan yang dipenuhi, dengan memasukkan kerjasama sukarela dari WP yang terlibat (Schmölders, 1959). Dua kewajiban perpajakan utama yang dimiliki WP adalah membayar dan melaporkan pajak yang terutang. Pembentukan Hipotesis
1) Pengaruh Sikap atas Kepatuhan Pajak terhadap Niat untuk Patuh Sikap atas kepatuhan pajak merupakan dua kemungkinan seseorang dalam memandang perilaku kepatuhan di dalam sistem perpajakan, yaitu perilaku kepatuhan merupakan hal yang menguntungkan atau sebaliknya, merugikan orang tersebut (Damayanti, 2015). Artinya, jika orang tersebut merasakan perilaku kepatuhan pajak sebagai hal yang menguntungkan, maka individu tersebut bersikap positif. Sikap positif ini akan menciptakan kepatuhan pajak (Marti, 2010 dalam Damayanti, 2015). Marandu, Mbekomize, & Ifezue (2015) melakukan meta-analisis atas studi kepatuhan pajak di seluruh dunia. Hasilnya menunjukkan 28 dari 29 studi kepatuhan pajak memberi dukungan atas sikap yang dapat memicu niat untuk patuh. Meta-analisis ini menunjukkan bahwa sikap merupakan salah satu prediktor yang baik dalam penelitian kepatuhan WP. Hasil survey yang dilakukan terhadap sejumlah wajib pajak orang pribadi (WPOP) di Jawa Tengah, Indonesia, juga mendukung pengaruh positif sikap terhadap niat untuk patuh
(Damayanti, 2015; Damayanti, Sutrisno, Subekti, & Baridwan, 2015b). Berdasarkan analisis di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: H1: Sikap atas kepatuhan pajak berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh. 2) Pengaruh Norma Subjektif terhadap Niat untuk Patuh Norma subjektif ( subjective norms) adalah persepsi atau perasaan seseorang terhadap tekanan sosial untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu perilaku (Ajzen, 1991). Jika diaplikasikan dalam penelitian kepatuhan WP, maka norma subjektif lebih merujuk kepada tekanan lingkungan di sekitar individu bahwa kepatuhan merupakan suatu kewajiban bagi seorang WP (Damayanti, 2015). Beberapa penelitian memberikan dukungan empiris untuk hubungan norma subjektif terhadap niat untuk patuh. Eksperimen Bobek & Hatfield (2003) membuktikan norma subjektif pada WP di Amerika Serikat mempunyai pengaruh positif kepada niat untuk patuh. Awaludin (2014) yang melakukan penelitian di Indonesia dengan survey terhadap WP badan di KPP Kendari juga mendukung hubungan positif di antara norma subjektif dan niat untuk patuh. Berdasarkan analisis di atas, maka hipotesis penelitian yang dirumuskan adalah: H2: Norma subjektif berpengaruh positif terhadap nia t untuk patuh. 3) Pengaruh Kontrol Perilaku Persepsian terhadap Niat untuk Patuh Kontrol perilaku persepsian didefinisikan merupakan kemudahan atau kesulitan yang dirasakan individu atas sebuah tindakan keperilakuan (Ajzen, 1991). Sehingga, individu dapat memutuskan apakah dia harus terlibat atau tidak dalam sebuah perilaku tertentu berdasarkan tingkat kontrol dirinya (Bobek & Hatfield, 2003). Bobek & Hatfield (2003) menjelaskan kontrol perilaku di dalam kepatuhan pajak merujuk pada seberapa besar kontrol kepercayaan individu yang ia bawa pada perilaku spesifik, misalnya melaporkan penghasilan lebih rendah. Artinya, jika seorang individu merasa ia yakin mampu melaporkan penghasilan lebih rendah, maka ia akan melakukannya. Damayanti (2015) menyatakan bahwa kontrol perilaku persepsian juga menggambarkan pengalaman masa lalu individu dan antisipasi atas hambatan yang akan dihadapi. Artinya, kepatuhan WP sekarang dapat ditentukan dari masa lalu W P tersebut, apakah ia memiliki kesulitan untuk patuh. Hubungan kontrol perilaku persepsian terhadap niat untuk mematuhi peraturan perpajakan didukung oleh beberapa riset. Eksperimen Bobek & Hatfield (2003) memberi bukti bahwa kontrol perilaku persepsian pada WP di Amerika Serikat dapat memberikan pengaruh positif kepada niat untuk patuh. Hasil survey kepada sejumlah WPOP di Jawa Tengah, Indonesia, juga
mendukung hubungan kontrol perilaku persepsian terhadap niat WPOP untuk mematuhi peraturan perpajakan (Damayanti, 2015; Damayanti et al., 2015b). Berdasarkan analisis yang telah diuraikan, hipotesis penelitian yang diajukan adalah: H3: Kontrol perilaku persepsian berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh. 4) Pengaruh Kontrol Perilaku Persepsian terhadap Perilaku Kepatuhan Pajak Berdasarkan model Teori Perilaku Terencana, selain berpengaruh terhadap niat, kontrol perilaku persepsian juga berpengaruh langsung terhadap perilaku individu. Bobek & Hatfield (2003) menyatakan persepsi kontrol keperilakuan dalam konsep kepatuhan perpajakan menunjukkan tingkat pengendalian yang dimiliki seorang WP dalam melaksanakan perilaku tertentu, misalnya mengurangkan beban yang semestinya dilarang untuk dikurangkan terhadap penghasilan, melaporkan jumlah penghasilan yang lebih rendah, dan perilaku atas ketidakpatuhan pajak yang lain. Uji eksperimen yang dilakukan oleh Bobek & Hatfield (2003) terhadap WP di Amerika Serikat mendukung hubungan persepsi kontrol perilaku perilaku kepatuhan pajak. Riset dengan menggunakan metode survey terhadap sejumlah WPOP di Jawa Tengah, Indonesia, juga mendukung hubungan kontrol perilaku persepsian terhadap perilaku kepatuhan WPOP dalam memenuhi kewajiban perpajakan (Damayanti, 2015; Damayanti et al., 2015b). Berdasarkan analisis di atas, hipotesis penelitian yang dirumuskan adalah sebagai berikut: H4: Kontrol perilaku persepsian berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. 5) Pengaruh Kewajiban Moral terhadap Niat untuk Patuh Kewajiban moral merupakan norma individu yang dimiliki oleh seseorang, namun belum tentu dimiliki oleh orang lain (Bobek & Hatfield, 2003). Kewajiban moral dalam konteks kepatuhan pajak merujuk pada nilai yang pada diri seseorang, yang tidak akan tergoda untuk berbuat tidak bermoral, meskipun individu tersebut melihat keuntungan atau manfaat dari luar dirinya (Bobek & Hatfield, 2003). WP yang mempunyai kewajiban moral untuk mematuhi kewajiban perpajakan yang rendah akan mudah terpengaruh oleh segala hal di sekitarnya untuk berbuat sebaliknya (Bobek & Hatfield, 2003). Sejumlah dukungan untuk hubungan kewajiban moral dan niat untuk patuh ditunjukkan di Indonesia. Mustikasari (2007) membuktikan hubungan negatif kewajiban moral terhadap niat para tax professional dalam berperilaku tidak patuh. Hasil riset W. Hidayat & Nugroho (2010) terhadap WPOP di Surabaya menunjukkan semakin tidak bermoral seseorang, semakin tinggi niat individu tersebut untuk tak mematuhi peraturan pajak.
Berdasarkan analisis di atas, hipotesis penelitian yang diiajukan adalah: H5: Kewajiban moral berpengaruh positif terhadap nia t untuk patuh. 6) Pengaruh Pertanggungjawaban Pemerintah atas Dana Pajak terhadap Niat untuk Patuh Pertanggungjawaban pemerintah atas dana pajak berkaitan dengan anggapan atau perasaan WP terhadap sistem perpajakan dan pemanfaatan dana pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Persepsi WP terhadap pemerintah mengarah pada bagaimana kelompok-kelompok sosial memberi apresiasi atau sebaliknya menjadi oposisi terhadap sistem perpajakan yang berlaku (Edlund, 1999). Hubungan persepsi WP kepada pemerintah atas pengelolan dana pajak terhadap niat untuk patuh didukung secara empiris oleh beberapa riset terdahulu. Razak & Adafula (2013) membuktikan niat untuk mematuhi segala peraturan perpajakan dipengaruhi oleh perasaan WP di Ghana atas pemanfaatan dana pajak oleh pemerintahnya. Dukungan serupa di Indonesia juga diperoleh dari Jawa Tengah, Indonesia, atas perasaan WPOP terhadap pengelolaan dana pajak oleh pemerintah (Damayanti, 2015; Damayanti et al., 2015a). Berdasarkan analisis di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah: H6: Pertanggungjawaban pemerintah atas dana pajak berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh. 7) Pengaruh Niat untuk Patuh Terhadap Perilaku Kepatuhan Pajak Perilaku kepatuhan terhadap pajak dipelajari di dalam ekonomi dengan cara menganalisis keputusan seseorang antara dua pilihan, yaitu membayar atau menggelapkan pajak (Feld & Frey, 2002). Manusia berperilaku sesuai dengan niat atau tendensinya dan sesuai dengan keyakinan atas kemampuannya sendiri (Damayanti, 2015). Trivedi, Shehata, & Mastelman (2005) memberikan bukti empiris tentang hubungan positif antara niat untuk patuh kepada perilaku kepatuhan pajak dengan memakai metode eksperimen terhadap WP di Kanada. Damayanti (2015) juga menyediakan bukti empiris dari Jawa Tengah, Indonesia bahwa kedua variabel tersebut berhubungan positif. Berdasarkan analisis di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah: H7: Niat untuk patuh berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. 8) Pengaruh Kontrol Perilaku Persepsian Terhadap Kepatuhan Pajak Melalui Niat untuk Patuh Riset ini telah mengajukan hipotesis untuk tiga hubungan
langsung. Pertama, hubungan kontrol perilaku persepsian terhadap niat untuk mematuhi peraturan perpajakan ada pada hipotesis ketiga. Kedua, hubungan antara niat WP dalam mematuhi kewajiban perpajakan dengan perilaku kepatuhan pajak ada pada hipotesis ketujuh. Ketiga, hubungan langsung antara kontrol perilaku persepsian terhadap perilaku kepatuhan pajak ada pada hipotesis ketujuh. Ketiga hipotesis ini disusun berdasarkan kerangka Teori Perilaku Terencana. Ketiga hubungan yang didukung teori tersebut secara tidak langsung mengindikasikan adanya hubungan mediasi melalui niat di antara kontrol perilaku persepsian dan kepatuhan pajak. Damayanti (2015) telah menguji pengaruh tidak langsung antara kontrol perilaku persepsian terhadap perilaku kepatuhan pajak melalui niat untuk patuh. Hasilnya mendukung kontrol perilaku persepsian berpengaruh secara tidak langsung kepada kepatuhan pajak. Berdasarkan analisis di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah: H8: Kontrol Perilaku Persepsian Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Pajak Melalui Niat untuk Patuh.
Jenis penelitian Alat Analisis
Sampel & populasi
BAB III Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
Peneliti menggunakan Structural Equation Modeling - Partial Least Square (SEM-PLS) dengan bantuan WarpPLS 3.0 untuk analisis data dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini.
Populasi penelitian ini adalah WPOP yang memiliki pekerjaan bebas di wilayah Kanwil DJP Jatim III. Sampel dari penelitian ini adalah 150 W POP di wilayah Kanwil DJP Jatim III
Objek penelitian
Wilayah yang dipilih peneliti untuk menyebarkan kuesioner adalah wilayah dalam naungan KPP berprestasi pada tahun 2015. KPP yang berada dalam wilayah Kanwil DJP Jatim III menurut PMK RI Nomor 29/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak adalah KPP Pratama Kediri, KPP Pratama Malang Selatan, KPP Malang Utara, KPP Pratama Pasuruan, KPP Pratama Probolinggo, KPP Pratama Jember, KPP Pratama Banyuwangi, KPP Pratama Batu, KPP Pratama Tulungagung, KPP Pratama Blitar, KPP Pratama Kepanjen, KPP Pratama Pare, KPP Pratama Situbondo, dan KPP Pratama Singosari.
Analisis yang digunakan
Uji kualitas data dalam penelitian ini meliputi dua macam evaluasi, yaitu evaluasi untuk model pengukuran (outer model ) dan model reliabilitas (inner model). 1. Evaluasi model pengukuran atau outer model
a. Uji validitas konstruk i. Validitas Konvergen ii. Validitas Determinan b. Uji reliabilitas i. Cronbach s alpha ii. Composite reliability 2. Evaluasi model struktural atau inner model a. Nilai R-squared (R 2) ’
b. Nilai Q2 c. Effect size Rumus Regresi
Mengapa Penelitian Tersebut Digolongkan kedalam penelitian akuntansi keperilakuan?