•
Mazhab Yin Yang Yaitu suatu mazhab yang dipelajari oleh orang – orang yang pada mulanya mempunyai kedudukan penting dalam istana. Mereka itu ahli nujum
dab
ilmu perbintangan,
kemudia
mereka menawarkan
keahliannya kepada masyarakat. Menurut pandangan orang Cina, Yin dan Yang merupakan dua prinsip pokok di alam semesta. Yin: prinsip betina seperti bumi, bulan, air hitam, kepasifan, dan sebagainya. Yang: prinsip jantan seperti surga, matahari, api, putih, keaktifan, dan sebagainya. Antara Yin dan Yang jika digabungkan akan memberikan pengaruh timbal balik dan akan terjadilah semua peristiwa yang terdapat di alam semesta. Dala hubungan dengan makrokosmos maka aliran ini mengajarkan bahwa di alam semesta ada lima unsur asali, yaitu tanah, logam, air, kayu, dan api. Kelima unsur asali mempunyai sifat produktif dan destruktif dalam keadaan yang tertutup. Jadi, kelima unsur asali itu merupakan suatu kekuatan yang dinamis. •
Mohisme atau Mo Chia Yaitu suatu aliran yang terdiri atas kelompok kaum kesatria yang telah kehilangan kududukannya, mereka menawarkan keahliannya di bidang peperangan kepada penguasa baru. Tokohnya Mo Tzu (479381 SM).
•
Dialektisisme – Ming Chia Aliran dialektisi dikenal juga dengan sebutan mazhab nama – nama. Aliran ini dipelopori oleh orang – orang yang ahli dalam bidang debat dan pidato. Mereka menyalurkan kepandaiannya kepada rakyat. Ajaran dimaksudkan untuk mempengaruhi pandangan agar orang dapa dengan mudah untuk memberikan nama pada suatu objek.
•
Legalisme – Fa Chia Yaitu suatu aliran yang dipelopori oleh orang – orang yang ahli di dalam bidang pemerintahan, mereka menawarkan kepandaiannya kepada para penguasa di berbagai daerah. Fa Chia mengajarkan bahwa
pemerintahan yang baik harus didasarka pada kitab undang – undang yang tetap dan tidak didasarkan pada pendapat orang – orang berilmu, baik dalam bidang pemerintahan maupun bidang moral. Menurut pandanganya bahwa setiap manusia itu jahat, oleh karena itu harus diperlakukan dengan kekerasan dan hukum yang ketat agar tidak melakukan pelanggaran. Tokoh yang terkenal adalah Han Fei Tzu dan Li Sse. b. Zaman Pembauran Zaman ini ditandai dengan masuknya Budhisme dari India, yang kemudian berkembang pesat di Cina dan memberikan warna baru bagi pemikiran kefilsafatan di Cina. Budhisme sendiri banyak berbaur dengan alam pemikiran filasfat Cina sehingga kemudian melahirkan aliran baru dalam Budhisme Cina yang diberi nama Ch’an Budhisme atau Ch’anisme. Selain Budhisme muncul juga aliran Neo-Taoisme yang memberikan arti baru ‘Tao’ sebagai ‘Nirwana’. Puncak dari zaman pembaruan yang terjadi pada waktu pemerintahan Dinasti Han, dengan munculnya seorang tokoh Tung Chung Shu. c. Zaman Neo-Konfusianisme Zaman ini ditandai dengan adanya gerakan untuk kembali kepada ajaran – ajaran Konfusius yang asli. d. Zaman Modern Pada zaman modern pemikiran kefilsafatan sangat banyak dipengaruhi oleh pemikiran – pemikiran yang berasal dari Barat, hal ini karena banyaknya paderi – paderi yang masuk ke daratan Cina. Aliran yang paling berpengaruh adalah pragmatisme yang berasal dari Amerika Serika. Pada tahun 1950 daratan Cina dikuasai oleh pemikiran Marx, Lenin dan tokoh yang terkenal Mao Ze Dong.
B. Sejarah Filsafat India
India adalah suatu wilayah yang dibatasi pegunungan yang terjal. Tidak ada jalan lain terkecuali melalui lintasan kaibar. Pada zaman kuno, daerah india sulit dimasuki musuh sehingga penduduknya dapat menikmati kehidupan yang tenang dan banyak peluang untuk memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kerohanian. 1. Ciri Khas Filsafat India Menurut Rabindranath Tagore (1861-1941) filsafat india berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, harmoni antara indivisu dan kosmos. Harmoni ini harus disadari supaya dunia tidak dialami sebagai tempat keterasingan ataupun penjara. Orang Insia bukan belajar untuk menguasai dunia, tetapi untuk berteman dengan dunia. Semua filsafat muncul dari pemikiran – pemikiran yang semula bersifat keagamaan, baik dari Filsafat Yunani, maupun Filasfat Cina dan Filsafat India. Karena kurang puas akan keterangan – keterangan yang diberikan agama, atau karena sebab – sebab lainnya akal manusia mulai dipaki untuk memberi jawaban atas segala persoalan yang dihadapi. Di barat, sekalipun semula filsafat tumbuh dari perkembangan agama, namun lama – kelamaan filsafat memisahkan diri dari agama dan berdiri sendiri sebagai kekuatan rohani, yang saring bahkan bertentangan dengan agama. Akan tetapi, tidak demikian keadaan filsafat India. Filsafat itu tidak pernah berkembang sendiri lepas dari agama, serta menjadi kekuatan yang berdiri sendiri. Di India, filsafat senantiasa bersifat religius. Tujuan terakhir bagi filsafat adalah keselamatan manusia di akhirat. Menurut Harun Hadiwijono (1985), pertumbuhan filsafat India keluar dari agama itu meliputi suatu proses yang sangat pelan – pelan. Jikalau zaman Upanisad pada umumnya dipandang sebagai saat kelahiran sang bayi filsafat India maka bayi sudah ada di dalam kandungan sang ibu “ Agama Hindu” selama lebih dari sepuluh abad. Di dalam waktu yang sekian lamanya itu “embrio filsafat India” berkembang sehingga khirnya lahir sebagai Filsafat
India, sekalipu setelah kelahirannya Filsafat India tidak pernah melepaskan diri dari pelukan sang ibu “Agama Hindu”. 2. Periodisasi Filsafat India Filsafat India bercorak religius dan etis. Sejarah filsafat India dibagi menjadi empat periode, yaitu periode Weda (1500-600 SM), periode Wiracarita (600 SM – 200 M), periode Sutra – Sutra (200-sekarang), periode Skolastik (200 M – sekarang). a. Periode Weda Periode ini ditandai dengan kedatangan bangsa Arya dan penyebarannya di India. Bangsa Arya mulai menanamkan kekuasaan di India, demikian juga kebudayaan Arya mulai berkembang dan berpengaruh. Pada periode Weda ini tercatat berdirinya perguruan – perguruan di hutan – hutan di mana idealisme yang tiggi dari India mulai berkembang. Di sini dihadapkan pada aliran – aliran yang susul – menyusul dan mulai dikena karena adanya mantra – mantra, brahmana – brahmana, serta upanisad – upanisad. Asas – asas filsafat sudah terdapat pada brahmana dan upanisad walaupun belum sistematis. Zaman ini belum dapat disebut zaman filsafat dalam arti yang sebenarnya atau dalam arti teknis. Periode ini adalah suatu periode di mana orang masih meraba-raba dan mencaricari di mana pikiran dan tahayul susul – menyusul. Konsep – konsep religi masih boleh dikatakan bersifat mitologis. Literatus suci mereka disebut Weda. Jarak waktu antara pewahyuan yang pertama dan pembukuan yang terakhir meliputi zaman hingga berabadabad, kira-kira dari tahun 2000 SM hingga tahun 500 SM, selama kirakira 1500 tahun. Pembukuan itu bukan terjadi sekaligus, melainkan bertahap. Pertama-tama terkumpullah bagian Weda yang disebut Weda smhita, kemudia bagian Weda yang disebut Brahmana dan akhirnya bagian Weda yang disebut Upanisad. Weda samhita adalah suatu pengumpulan mantra-mantra yang berbentuk syair, yang dipergunakan untuk mengundang Dewa, yang untuknya akan dipersembahkan korban, agar ia berkenan menghadiri upacara korban itu,
juga untuk menyambut dewa yang diundang tadi, setelah dianggapnya sebagai telah hadir, dan untuk mengubah korban yang dipersembahkan hingga menjadi makan dewa yang sebenarnya. Selain dari bagi Weda samhita yang berkaitan dengan persembahan korban kepada dewa-dewa ini, ada bagian yang dihubungkan dengan tenung dan sihir serta segala hal yang berhubungan dengan magis hitam. Kitab Brahmana, yaitu bagian kedua Kitab Weda, berbentuk prosa yang pewahyuannya terjadi setelah zaman mantra-mantra diwahyukan. Bagian ini berisi peraturan dan kewajiabn keagamaan, terlebih-lebih keterangan yang mengenai korban. Kitab Upanisad berbentuk prosa dan diwahyukan setelah zaman Brahmana. Bagian ini berisi keterangan – keterangan yang mendalam mengenai asal mula alam semesta serta segala isinya, terlebih-lebih yang mengenai manusia dan keselamatannya. Jadi, yang menonjol untuk filsafat India adalah dalam Upanisad, yakni ajaran tentang hubungan antara Atman dan Brahman. Atman adalah segi subjektif dari kenyataan ‘diri’ manusia. Brahman adalah segi objektif ‘makrokosmos’, alam semesta. Upanisad mengajar bahwa Atman dan Brahman memang sama dan bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa,mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman. b. Periode Wiracarita Periode ini sering disebut periode epic atau periode hikayat cerita-cerita kepahlawanan. Periode ini meliputi berkembangnya upanisad-upanisad yang tertua dan sistem-sistem filsafat (Darsyana). Sistem-sistem dari Budhisme, Jainisme, Syiwaisme, dan Wishnuisme termasuk periode ini. c. Periode Suta-Sutra Pada periode ini bahan yang berupa konsep-konsep pemikiran menjadi banyak, sehingga sukar sekali untuk disederhanakan serta perlu untuk membuat semacam rangkuman, skema kefilsafatan yang pendek dan ringkas. Ikhtisa ini dibuat dalam bentuk sutra-sutra. d. Periode Skolastik
Sukar sekali dipisahkan dengan periode sutra-sutra, tetapi di sini muncul tokoh-tokoh besar seperti Kumarila, Sankara, Syridhara, Ramanuja, Madhwa, Wacapati, Udayana, Bhaskara, dan Jayanta. Guru-guru filsafat itu dijumpai berselisih paham karena masing-masing mempunyai teoriteori sendiri yang cukup mantab, dengan mengajukan alasan-alasan yang tersusun rapi. Mereka dengan penuh harapan saling mengajukan argumentasi dengan menetapkan sifat-sifat umum atas dasar logika 3. Kesamaan dalam Ajaran di Filsafat India Filsafat di India di dalam perjalanannya di sepanjang zaman, sekalipun terdapatbanyak
perbedaan
di
sana-sini,
namun
pada
pokoknya
menampakkan suatu kesamaan. Kesamaan itu ternyata bahwa filsafat India bukan hanya bermaksud untuk memuaskan orang-orang yang gemar akan pikiran yang spekulatif saja, melainkan terlebih-lebih bermaksud untuk membawa orang kepada pengrealisasi cita-cita yang tertinggi di dalam agama dan hidup. Adanya kesamaan dalam empat ajaran, yaitu sebagai berikut, a. Ajaran tentang Kenyataan yang Tertinggi Seberapa sistem yang mengajarkan hal ini, semua mengemukakan bahwa kenyataan yang tertinggi adalah Zat yang Mutlak, dalam arti filsafati, artinya bahwa kenyataan yang tertinggi itu bebas dari segala sebutan dan bebas dari segala hubungan. Akal manusia tidak dapat menerobos kenyataan itu untuk menyelaminya. Sejak Upanisad hingga Sri Ramana ajaran yang demikian itu bertahan, mungkin juga akan bertahan terus di dalam perkembangan filsafat India selanjutnya. Kecuali itu diajarkan, bahwa Zat yang mutlak tadi karena emanasi, menjadi lapisan dasar alam semesta. Demikian tidak ada perbedaan yang asasi di antara Zat yang Mutlak dengan dunia, antara Tuhan dengan dunia. b. Ajaran tentang Jiwa Kecuali beberapa sistem yang tidak mengakui adanya Tuhan, dapat dikatakan bahwa semua sistem mengajarkan bahwa karena emanasi, jiwa manusia adalah sebagian dari Zat yang Mutlak, atau bahwa jiwa adalah
Zat yang Mutlak itu selengkapnya. Jiwa itu disebut dengan berbagai sebutan, yaitu atman, purusa atau jiwa. Jiwa adalah bagian yang tetap dari manusia, bagian yang murni dan yang tidak tercela, yang berada di samping ego yang lebih rendah atau di samping alat-alat bainiah, dengannya manusia berhubungan dengan dunia luar. Jiwa sebagai asas yang lebih tinggi, tidak turut aktif di dalam segala pergumulan hidup ini. Oleh karena itu, segala hal yang jahat tidak menjadi bagian yang nyata dari jiwa. c. Ajaran tentang Karma Segala sistem filsafat India mengajarkan bahwa segala perbuatan manusia, yang baik maupun yang jahat, meninggalkan bekas-bekasnya pada manusia, yang tinggal sebagai daya terpendam, yang kemudianakan menghasilkan kegirangan atau kesusahan. Sehubungan dengan itu, diajarkan bahwa jiwa manusia berada di dalam samsara, yaitu perputaran jantera hidup. Oleh karena itu, dunia tampak beraneka ragamnya, baik dipandang
sebagai
khayalan
maupun
sebagai
hal
yang
nyata,
mewujudkan suatu godaan yang besar bagi hidup manusia. Manusia harus berusaha melepaskan diri dari belenggu dunia ini. Akibatnya, bahwa filsafat-filsafat itu cenderung untuk menyangkal dunia atau menolak dunia sebagai hal yang jahat. d. Ajaran tentang Kelepasan Jikalau ajaran karma dan samsara memberikan sikap hidup yang pesimistis, maka ajarannya tentang kelepasan memberikan harapan yang optimis kepada hari depan manusia. Sebab ajaran tentang kelepasan itu memberi keyakinan, bahwa perputaran jantera hidup, yaitu perputaran karma dengan buah-buahan, ada akhirnya. Padahal akhir itu tidak perlu dicari jauh-jauh. Sebab akhir itu telah berada di dalam diri manusia sendiri. Segala perbuatan yang didorong oleh emosi-emosi membawa akibatnya,
membawa
karmanya.
Maka
jalan
kelepasan
yang
membebaskan manusia dari samsara, ialah berbuat tanpa emosi. Jiwa manusia dapat melepaskan diri dari segala perbuatan, perasaan atau cita-
citanya, jiwanya akan dapat tahu, bahwa hubungannya dengan dunia sebenarnya adalah hubungan yang hanya lahiriah saja, hubungan yang tidak mendalam dan yang semu. Itu jikalau jiwa dapat hiduo tanpa emosi. Selanjutnya jiwa juga akan dapat tahu, bahwa hakikat yang sebenarnya tidak dipengaruhi oleh kekotoran hidup ini. Dengan demikian, barang siapa dapat hidup tanpa emosi, ia akan merealisasikan kedudukannya yang tinggi itu dan lepaslah ia.
C. Filsafat Islam
Islam dan kebudayaannya telah berjalan selama 15 abad dan 5 abad untuk perjalanan dalam kegiatan pemikiran filsafat. Dalam kurun waktu lima abad itu para ahli pikir Islam merenungkan kedudukan manusia di dalam hubungannya dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan, dengan menggunakan akal pikirannya. Dalam kegiatan pemikiran filsafat tersebut, terdapat dua macam (kekuatan) pemikiran berikut: •
Para ahli pikir Islam berusaha menyusun sebuah sistem yang disesuaikan dengan ajaran Islam,
•
Para Ulama menggunakan metode rasional dalam menyelesaikan soal-soal ketauhidan.
Dari sekian banyak ulama Islam ada yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat Islam, tetapi ada juga yang menyetujuinya. Ulama yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat (golongan salaf) berpendapan bahwa “adanya pemikiran filsafat dianggapnya sebagai bid’ah dan menyesatkan. Alquran tidak untuk diperdebatkan, dipikirkan, dan ditakwilkan menurut akal pikir manusia, tetapi alquran untuk diamalkan sehingga dapat dijadikan tuntunan hidup di dunia dan di akhirat. Ulama yang tidak berkeberatan terhadap pemikiran filasfat berpendapat bahwa “pemikiran filsafat sangat membantu dalam menjelaskan isi dan kandungan Alquran dengan penjelasan yang dapat diterima oleh akal pikir manusia. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menekankan pentingnya manusia untuk
berpikir tentang dirinya sendiri, tentang alam semesta untuk mengimani Tuhan Sang Pencipta”. 1. Perbedaan yang Mendorong Aliran Pemikiran Filsafat Timbul Timbulnya aliran pemikiran filsafat didorong oleh beberapa perbedaan: a. Persoalan tentang Zat Tuhan yang tidak dapat diraba, dirasa, dan dipikirkan b. Perbedaan cara berpikir c. Perbedaan tujuan dan orientasi hidup d. Perasaan “asabiyah”, keyakinan yang buta atas dasar suatu pendirian walaupun diyakini tidak benar lagi.
2. Periodisasi Filsafat Islam Pembagian ini berdasarkan pada hubungan dengan sistem pemikiran Yunani, sebagai berikut. a. Periode Mu’tazilah Periode ini bermula pada abad ke-8 sampai abad ke-12, yang merupakan sebuah teologi rasional yang berkembang di Bagdad dan Basrah. Golongan ini memisahkan diri dari Jumhur ‘ulama’ yang dikatakan menyeleweng dari ajaran Islam. Keberadaan Mu’tazilah sangat penting dalam pemikiran filsafat Islam. Karena terlihat orientasi peikirannya dalam menetapkan hukum, pemakaian akal pikir didahulukan, kemudian baru diseralaskan dengan Alquran dan Alhadist. b. Periode Filsafat Pertama Periode ini berlangsung mulai dari abad ke-8 sampai dengan abad ke-11, memakai sistem pemikiran yang dipakai ahli pikir Islam yang bersandar pada pemikiran Hellenisme, seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Terdapat dua bagian dalam periode filsafat pertama, yaitu pertama, Neoplatonic yang berkembang di Irak, Iran, dan Turkestan; kedua, Peripatetis yang berkembang di Spanyol dan Maroko.
Sebagai upaya awal adalah diadakan pengumpulan naskah-naskah filsafat Yunani, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ole Ibnu Sina dan Al-Kindi. c. Periode Kalam Asy’ari Periode ini berlangsung mulai abad ke-9 samapi abad ke-11, pusatnya di Bagdad. Aliran pemikiran ini mengacu pada sistem Elia (Atomistis). Sistem ini mempunyai dominasi besar, sejajar dengan Sunnisme dan Ahli Sunnah wal-Jamaah. Timbulnya aliran ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Perlunya mempertahankan kemurnian Tauhid, dari keragaman sistem pemikiran dalam Islam 2) Untuk menangkis hal-hal yang melemahkan tauhid dari serangan luar 3) Terdapat gerakan yang membahayakan ketauhidan, misalnya AlHallaj Al-Asy’ari membuat sintesis teologis sebagai alternatifnya dan memilih atomisme Democritos. Banyak yang tidak setuju dengan teori ini, namun kemudian Al-Asy’ari memperkokoh dengan ayat-ayat Alquran. d. Periode Filsafat Kedua. Periode ini berlangsung mulai abad ke-11 sampai abad ke-12, yang berkembang di Spanyol dan Maroko. Aliran ini mengacu pada sistem peripatetis. Tokohnya Ibnu Bajah, Ibnu Taufail, dan Ibnu Rusyd. Kegiatan ilmu pengetahuan (terutama filasafat) tersebut merupakan prestasi besar dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa. Hal ini merupakan sumbangan Islam terhadap Eropa yang dapat membawa intelektual.
kebebasan
berpikir
untuk
mendorong
perkembangan
D. Filsafat Indonesia
Pandangan hidup dan sistem pemikiran bangsa Indonesia tidak sama dengan pandangan hidup dan sistem pemikiran bangsa di negara lainnya. Seperti bangsa-bangsa di negara-negara Barat, dimana pandangan hidup dan sistem pemikirannya bersumber pada pemikiran filsafat Yunani, walaupun pemikiran filsafat Yunani ini telah dapat dibuktikan dengan keberhasilannya memba ngun peradaban manusia, tetapi pada akhirnya akan mengalami kepincangan hidup. Kepincangan tersebut dapat kita lihat bahwa manusia produk dari pemikiran Yunani hanya melahirkan manusia-manusia yang individualistis, yang di dalam dirinya terdapat sifat saling curiga, saling bermusuhan. Juga, dari pandangan bahwa di dalam pribadinya terdapat hal-hal yang selalu dipertentangkan dengan rasio (akal). Mengapa demikian. Karena dari sifat individualistis dan materialistis yang akarnya dari pemikiran Yunani tidak terdapat warna yang Transedental atau yang Immanent, tetapi pemikiran Yunani hanya diwarnai oleh warna mitologi dan rasio. Dengan demikian, pandangan hidup atau pemikiran yang diperuntukkan membangun peradapan manusia, akan melahirkan manusia-manusia yang egoistis, yaitu manusia yang mementingkan dirinya sendiri dan menganggap orang lain sebagai objek kepentingan diri sendiri. Demikian juga halnya dengan pandangan hidup yang mengacu pada materialisme, di mana di dalamnya mengandung bibit keserakahan, kemurkaan, dan menganggap orang lain sebagai objek keuntungan material, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia-manusia yang tidak bermoral atau jauh dari nilai-nilai moral. Jadi, sesuatu pandangan hidup atau pemikiran (paham kehidupan) yang berasaskan individualisme akan melahirkan manusia-manusia yang berpola “dangkal” dalam lingkup pergaulan social. Sementara itu, pandangan hidup yang berasaskan materialisme akan melahirkan manusia-manusia yang berpola pada penyimpangan nilai-nilai moral dalam lingkup sosial. 1. Pemikiran Filsafat Indonesia Maksud pemikiran filsafat Indonesia adalah suatu pemikiran filsafat yang diperuntukkan dalam atau sebagai landasan hidup bangsa Indonesia. Setiap manusia tentu menginginkan hidupnya dalam keadaan baik, sejahtera, dan bahagia. Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu sistem pemikiran yang sesuai dengan hakikat manusia
dan hakikat kehidupannya. Manusia akan kehilangan sebagian kehidupannya apabila hidupnya tidak atau tanpa suatu sistem pemikiran yang digunakan dalam tujuan kehidupan sehingga hidupnya akan mengalami kepincangan, selanjutnya akan mengalami kekecewaan hidup. Untuk itu, perlu sekali adanya suatu sistem pandangan hidup yang di dalamnya terdapat keselarasan atau keharmonisan antara hakikat pribadi manusia Indonesia dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketenteraman. Maksud hakikat pribadi dalam kedudukannya sebagai manusia Indonesia adlah sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketenteraman seseorang harus mngupayakan dengan tiga cara keselarasan atau keharmonisan, yaitu: a.
Selaras atau harmonis dengan dirinya sendiri;
b. Selaras atau harmonis dengan (terhadap) pergaulan sesame manusia, dan lingkungan kehidupannya; c.
Selaras atau harmonis dengan (terhadap) Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ketiga keselarasan atau keharmonisan tersebut merupakan harmoni yang mutlak adanya, di mana di dalamnya tidak terdapat lagi pertentangan satu sama lainnya (harmoni sempurna). Dengan demikian, sistem pemikiran seperti di atas diharapkan akan membawa pada suatu bentuk manusia Indonesia yang diwarnai dan sekaligus mengarah “pergaulan hidup” (bukannya “perjuangan hidup”). Sistem pemikiran tersebut juga diharapkan dapat dijadikan sebagai mot
or penggerak setiap tindakan dan
perbuatan manusia Indonesia. Suatu pemikiran filsafat yang implementasinya sebagai suatu pandangan hidup bagi setiap orang Indonesia mempunyai peranan yang penting, yaitu apabila seseorang tidak mempunyai pandangan hidup niscaya hidupnya tidak mengarah. Bagi bangsa dan rakyat Indonesia tidaklah demikian, karena manusia-manusia Indonesia mempunyai kedudukan sebagai makhluk Tuhan. Karena hidup ini tidak hanya diperuntukkan di dunia, akan tetapi juga untuk akhirat (kehidupan setelah kehidupan dunia). Dimensi keakhiratan inilah yang mengharuskan manusia Indonesia untuk mendasarkan pada suatu sistem pandangan hidup yang selaras atau harmoni, tidak bertentangan, dan sejalan dengan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Jadi, pandangan hidup model Indonesia mempunyai dimensi yang berakar keselarasan atau keharmonisan dengan hakikat kedudukan kodrat manusia, yang implementasinya berupa asas kekeluargaan dan asas kehidupan yang diridai Tuhan. 2. Materi Filsafat (Pandangan Hidup) Indonesia Suatu pandangan hidup yang sesuai dengan manusia Indonesia adalah suatu pandangan hidup yang berasal dari akar hikmat yang terkandung dalam khasanah budaya Indonesia, yang dapat dijumpai dalam berbagai adat istiadat, peribahasa, pepatah yang kesemuanya itu merupakan ungkapan-ungkapan perilaku kehidupan manusia Indonesia. Melihat uraian di atas, budaya yang terungkap tersebut merupakan esensi filsafat bangsa Indonesia. Karena budaya tersebut sebagai hasil perkembangan rohaniah dan intelektual bangsa. Setelah rakyat Indonesia terbebas dari penjajahan tahun 1945, rakyat Indonesia mulai timbul kesadarannya bahwa suatu Negara apabila tidak mempunyai kebudayaan dikatakan sebagai bangsa yang miskin. Pengertian budaya di sini dalam artian yang luas, yaitu budaya yang memperlihatkan kepribadian bangsa Indonesia. Negara Republik Indonesia terdiri dari 17 ribu pulau lebih, beragam adat istiadat, dan berates suku dan bangsa. Dari sekian banyak suku yang tersebar, yang paling besar adalah suku Jawa, sedangkan yang kedua adalah suku Minangkabau. Dari keragaman tersebut menunjukkan adanya kekayaan budaya yang semuanya itu lebih ditentukan oleh aspek-aspek geografis, lingkungan, dan budaya, semuanya mempunyai suatu kesamaan hakikat. Dari kesamaan hakikat inilah nantinya akan muncul suatu rumusan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Filsafat Pancasila. Untuk membentuk kesatuan budaya yang meliputi seluruh wilayah kesatuan Indonesia dibutuhkan waktu yang lama, penuh tantangan, dan berliku-liku. Menurut sejarahnya, 2000 tahun yang lalu telah ada sekelompok orang yang kelak akan melahirkan bangsa Indonesia. Keberadaannya baru terwujud sebagai embrio. Kemudian, tercetusnya Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 merupakan wujud embrio kesatuan bangsa Indonesia, di mana pada saat itu belum mencapai taraf yang memuaskan. Pada tahun 1945, lahirnya Negara kesatuan Republik Indonesia, diikuti “kepribadian bangsa Indonesia”. Bangsa Indonesia yang saat itu jumlahnya baru puluhan juta telah mempunyai kedudukan sebagai negara kesatuan seperti negara
lainnya. Di mata Negara lain, bangsa dan neraga Indonesia dengan segala corak kebangsaannya sudah terlihat, tetapi apabila dilihat dari dalam masih banyak kekurangannya. Setelah terbebas dari penjajahan, setapak demi setapak bangsa Indonesia mengupayakan untuk mengembangkan kepribadian, yaitu dengan jalan dirintis oleh beberapa tokoh: Moh. Yamin, Ir. Soekarno, dan lain-lainnya. Upaya tersebut didasarkan pada, “semakin tinggi tingkat kepribadian suatu bangsa, semakin tinggi tingkat filsafat bangsanya”, karena pandangan hidup bangsalah yang menentukan corak kepribadiannya, sekaligus menentukan corak moralnya. Upaya yang lainnya adalah memantapkan kebudayaan nasional yang terbentuk dari kebudayaan-kebudayaan daerah atau lokal, sehingga kepribadian dan kebudayaan nasional terbentuk lewat kepribadian atau kebudayaan daerah atau lokal. Maka kepribadian dan kebudayaan secara bersama-sama membentuk suatu titik kulminasi, yaitu terbentuknya pandangan hidup dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia. Bersyukurlah baha para pemimpin bangsa Indonesia dengan segala kemampuan dan kebijaksanaannya telah berbuat untuk menggali khasanah kepribadian dan kebudayaan untuk mencari titik kulminasi. Maka, lahirlah Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-niali luhur yang mencerminkan kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia. Hanya Pancasilalah yang pantas dijadikan pandangan hidup sekaligus landasan pemikiran bangsa dan negara Indonesia. 3. Bentuk Filsafat Indonesia Bentuk filsafat Indonesia terdiri dari lima sila berikut. Sila I
:
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila II
:
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sila III
:
Persatuan Indonesia.
Sila IV
:
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyaaratan /perwakilan. Sila V
:
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sila di atas juga disebut lima dasar sebagai suatu totalitas, merupakan suatu kebulatan tunggal, yang setiap sila-silannya selalu harus mengandung keempat sila yang lainnya. Setiap sila tidak boleh dipertentangkan terhadap sila yang lain karena di antara sila-sila itu memang tidak terdapat hal-hal yang bertentangan.
Dengan demikian, Pancasila mempunyai sifat yang abstrak, umum, universal, tetap tidak berubah, menyatu dalam suatu inti hakikat mutlak: tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil, yang kedudukannya sebagai inti pedoman dasar yang tetap. Kejadian tersebut, melalui suatu proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa, akan tetap berakar pada kepribadian kita berarti Pancasila merupakan pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, yang telah disetujui oleh para wakil rakyat menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Jadi, Pancasila adalah satu-satunya pandangan hidup (filsafat) yang dapat mempersatukan rakyat dan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar . Jakarta: Bumi Aksara.