SEJARAH PAJAK DI INDONESIA DAN NEGARA INGGRIS
MATA KULIAH : PENGANTAR PERPAJAKAN
DOSEN : RACHMAT PRAMUKTY, S. E., M. Si.
Penyusun :
Olivia Ananta Asri CG317112014
MANAJEMEN KOMUNIKASI
INSTITUT STIAMI
2017
Assalamu'alaikum Warrohmatullah Wabarokatuh, atas berkat rahmat Allah.SWT yang Maha Kuasa saya dapat memulai dan menyelesaikan tugas sejarah pajak di indonesia dan negara berkembang lalu membandingkannya dari Bapak Rachmat Pramukhti, semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan lindungan Allah.SWT aamiin. Dalam mengerjakan tugas ini saya membaca dan literatur dari e-book karya dan berbagai blog di internet untuk menguatkannya.
Sejak zaman peradaban dimulai manusia sudah mengenal pajak yang ditekankan penguasa atau orang yang memiliki kedudukan pada masa itu. Pajak yang dibebankan oleh rakyat mulanya hanya untuk kepentingan penguasa atau pembiayaan perang hingga menjadi sumber dana dalam menjalankan kepentingan bersama yang dipercayakan oleh penduduk. Peristiwa ini terjadi karena kehendak manusia untuk mengubah kehidupannya yang semula primitif. Menurut Rousseau dalam buku le contract social, suatu mekanisme dengan cara apa masing-masing manusia menyerahkan diri dan seluruh kekuasaan untuk kepentingan bersama, dibawah pimpinan tertinggi yaitu kehendak umum (volonte generale),dan didalam korps politis dimana setiap orang menerima setiap anggota sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Jadi dalam hal ini terjadi ikatan antara individu dengan kolektifitas tempat ia menjadi bagian dari anggotanya.
Sejarah mencatat adanya kegiatan perpajakan pertama kali diprkirakan berasal dari enam ribu sebelum masehi, yang ditemukan di kota kuno Lagash, Iraq di sebelah barat laut sungai Tigris dan Efrat dalam bentuk lempengan tanah liat. Menurut Juru Taksir yang memfokuskan sekitar kota kerajaan, Raja pada waktu itu menggunakan sistem pajak yang disebut bala, yang artinya perputaran dimana pajak tersebut di taksir dan ditarik di suatu wilayah sebulan sekali. Di Legash pajak yang dikenakan sangat rendah, namun ketika terjadi krisis dalam kerajaan pajak dikenakan sepuluh persen dari semua kekayaan, yang sebagian besar terdiri dari hasil bumi.
Sejarah perpajakan dunia selalu dihiasi dengan pemaksaan kehendak dari penguasa kepada rakyatnya. Mulai dari era Firaun Mesir, masa peperangan di Yunani, hingga era kekaisaran Romawi, semuanya tidak lepas dari praktik pemaksaan tersebut. Tidak jarang juga dalam prosesnya pemungutan pajak dilakukan dengan kekerasan dan ancaman. Kekerasan dan ancaman itu menjadi sanksi tersendiri bagi rakyat sehingga mereka menjadikan pajak tersebut suatu kewajiban. Bukan suatu hal yang mengherankan kala itu terbangun pemahaman yang sangat buruk terhadap dunia perpajakan.
SEJARAH PAJAK DI INDONESIA
Zaman Jawa Kuno dan Kerajaan
Upeti menurut kbbi adalah uang (emas dan sebagainya) yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) oleh negara-(-negara) kecil kepada raja atau negara yang berkuasa atau yang menaklukkan atau uang dan sebagainya yang diberikan (diantarkan) kepada seorang pejabat dan sebagainya dengan maksud menyuap. Upeti dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta utpatti. Selain upeti alternatif pengejaan untuk kata ini adalah ufti. Kata upeti yang sering dipakai pada era hindu - budha atau kata sesuai daerah masing - masing dengan makna yang sama ini bersifat wajib dan memaksa, dan standar ukuran pemberian upeti sering berubah – ubah dan berbeda – beda setiap orang. Pada masa berkembangnya kerajaan hindu – budha abad VIII sampai XV masehi upeti atau pajak mulai tersusun sistematis. Berdasarkan Prasasti Sangguran yang dibuat 928 Masehi dikeluarkan oleh raja Mataram kuno, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga, atau Raja Dyah Wawa, seorang arekolog dan sejarahwan Indonesia Dr. Hasan Djafar menjelaskan pajak pada masa itu tak diserahkan pada raja di pusat, namun untuk membiayai desa (Sangguran) dan desa tetangga (Mananjung). Pungutan atau kas yang dibayarkan desa sangguran dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Bhatara adalah orang yang didewakan di tempat suci dan semua upacara ritual keagamaannya, kemudian penjaga sima adalah pengurus desa yang bertanggung jawab memelihara tempat suci dan menyelenggarakan upacara ritual itu serta pejabat desa yang mengurusi desa. Orang yang membayar pungutan itu adalah warga yang mencari nafkah dengan kriteria yang telah ditentukan raja, seperti Pedagang kerbau yang hanya punya 40 ekor tak dikenai pajak, namun bila punya lebih dari 40 ekor dia dipungut pajak, pedagang kambing yang punya 80 ekor tak dikenai pajak, namun selebihnya dikenai dan sebagainya. Proses pemungutan dilakukan oleh sang mangilala drawya haji yang berasal dari kata 'ala' yang berarti memungut, kemudian 'drawya' berarti kekayan dan 'haji' berarti raja alias pemungut kekayaan raja bisa diartikan pemungut pajak. Dengan adanya sistem pajak kelompok usaha kerajinan, pertukangan, dalam hal ini pandai besi. Masing-masing ada batas minimal kena pajak dan ada daerah bebas pajak yang disebut sima karena telah berjasa ataupun karena terdapat bangunan suci . Sanksi atas tindakan lalai dalam pajak, pastinya mendapat hukuman langsung dari kerajaan baik yang menimbulkan efek jera sampai yang ringan. Dalam prasasti ini lebih menekankan tentang pajak usaha, pajak penghasilan, dan ada penetapan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Masih banyak lagi prasasti – prasasti yang dikorelasika dengan sumber – sumber lainnya yang memperjelas istilah hingga memberikan info terperinci. Terdapat penggolongan pajak pada masa jawa kuno, yakni pajak bumi (prasasti ramwi. 882M) , profesi (Prasasti Watukura dan Panggumulan nn 902M)dan orang asing (palepangan 906M). Terdapat juga pembebasan pajak yang tertuang pada prasasti Karangtengah (824M) menjelaskan di daerah tersebut berdiri bangunan keagamaan berupa candi borobudur yang ditetapkan daerah sima dan warga yang tinggal di daerah tersebut dibebaskan dari pajak dengan catatan tetap merawat bangunan suci itu.
Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar dari Zaman kerajaan mataram kuno yang pajaknya berupa,pajak (dwarya haji), kerja bakti (buat haji), pajak perdagangan dan kerajinan dan denda atas tindak pidana (sukha dukha). Pada zaman kerajaan majapahit, selain bersumber dari pajak bumi dan pajak tanah rakyat juga bersumber dari pajak perdagangan dan kerajinan. Hingga pajak pada zaman kerajaan mataram islam yang agraris yang menekankan pajak hasil dari pertanian atau berupa tenaga kerja.
Zaman Kolonial
Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1596 dengan dipimpin Cornelis de Houtman dengan niat awal berbelanja rempah-rempah, kemudian membawa rempah-rempah tersebut ke Belanda untuk diperdagangkan. Kemudian untuk meningkatkan keuntungan dan mempersatukan para pedagang Belanda didirikanlah VOC Oost Vereenigde Indische Compagnie pada 20 maret 1602. Kebijakan - kebijakan yang di berlakukan membuat kekuasaan kerajaan berkurang bahkan di dominasi oleh voc. Salah satu kebijakannya yang berkaitan dengan pajak adalah verplichte leverantien ( penyerahan wajib ) dan Prianger Stelsel ( system Priangan) dimulai tahun 1723 Masyarakat di Priangan dikenai aturan wajib kerja menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada kompeni. Wajib kerja ini sama dengan kerja paksa / rodi, rakyat tanpa diberi upah, menderita dan miskin.VOC dibubarkan pada tahun 1799 karena kasus korupsi yang dilakukan para pegawainya. Kemudian kekuasaan voc diambil alih oleh pemerintahan Hindia Belanda. Perubahan politik yang terjadi di Belanda merupakan pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis. Herman Willems Deandels yang diberi titah oleh sang raja prancis Lois Napoleon untuk mengatur pemerintahan indonesia dan menerapkan sistem kerja wajib atau kerja rodi serta mempertahankan tanah jawa dari invasi inggris. Hingga terjad Peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui kapitulasi Tuntang pada tahun 1811, menjadi awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Tahun 1811-1816 berada di Indonesia dengan bawah kekuasaan Inggris.
Kolonial inggris memasuki Indonesia pada periode 1811 – 1816 dengan Thomas Stanford Raffless sebagai pemimpin ekspedisi pada waktu itu merancang dan memulai sistem perpajakan yang dikenal dengan land rent atau pajak tanah serta menghapus wajib kerja dan mengubah sistem contingenten digente diganti menjadi sistem sewa tanah atau landrent . Pada masa raffles pajak tanah yang dibebankan untuk perdesa bukan untuk perorangan. Raffless membagi tanah atas kelompok – kelompok terhadap tanah kering dan tanah basah, pengenaan pajaknya adalah rata – rata produksi.
Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah (basah) maupun di lahan tegal(kering). Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah masing-masing, dan terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
1) Pajak Tanah Sawah :
Golongan I, 1/2 Hasil Panenan
Golongan II, 2/5 Hasil Panenan
Golongan III, 1/3 Hasil Panenan
2) Pajak Tanah Tegal :
Golongan I, 2/5 Hasil Panenan
Golongan II, 1/3 Hasil Panenan
Golongan III, 1/4 Hasil Panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten. Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa, dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya, karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan penyelewengan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kebijakan Raffles pada umumnya diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama di bawah komersaris jenderal Elout, Buyskes dan Van Der Capellen pada tahun 1816-1819 dan kemudian di bawah gubernur jenderal Van Der Capellen pad tahun 1819-1826 dan komisaris jenderal Du Bus De Gisgnies pada tahun 1826-1830. Sistem sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan seorang gubernur jenderal baru, bernama Van Der Bosch pada tahun 1830 yang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien yaitu cultuur stelsel.
Cultuur stelsel (harafiah: sistem kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai sistem budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut dengan Sistem Tanam Paksa ialah peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal Johannes Van Der Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagaian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastilan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintahan kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 haru dalam setahun (20%) pada kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada tahun 1830 terjadi perubahan. Ketika itu negeri Belanda sangat payah keuangannya kerena harus membiayai perang diponogoro dan usaha mencegah Belgia memisahkan diri.Johannes Van Der Bosch, yang kemudian menjadi gubernur jenderal mengajukan rencana untuk dapat meningkatkan produksi tanaman ekspor di Indonesia. Hasilnya dijamin akan dapat meolong keuangan Belanda. Sistem ini dinamakan cultuur stelsel yang dinamakan tanam paksa.
Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1830-1840. Pada waktu itu Belanda menikmati hasil tanam paksa yang tertinggi. Rakyar di Belanda tidak banyak mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Karena saat itu hubungan telekomunikasi belum ada dan surat kabar masih kurang. Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di Ceribon dan Demak lambat laun sampai pula terdengar di Belanda. Mereka juga mendengar tentang sikap pegawai Belanda sewenang-wenang.
Sementara itu pada tahun 1860 di Belanda terbit dua buku yang menentang tanam paksa oleh Douwes Dekker dengan nama kalangan masyarakat yang menghendaki agar tanam paksa dihapus.
Kedua buku itu ialah Max Havelaar yang dikarang oleh Douwes Dekker dengan nama samaran Murtatuli. Buku kedua ialah Suiker Contracten (kontrak gula) ditulis ileh Frans Van De Putte. Karena pendapat umum yang membalik, sejak itu tanam paksa berangsur dihapuskan. Pada tahun 1860, tanam paksa lada dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan teh. Tahun 1870 boleh dikata semua tanam paksa sudah dihapus, kecuali kopi di daerah priangan yang baru dihapuskan pada tahun 1917.
Sebelum tahun 1920 diberlakukan sistem pajak yang berbeda untuk pribumi, untuk orang Asing Asia dan untuk orang Eropa ("indigenous" Indonesians, "foreign" Asians and Europeans). Pajak pendapatan bagi orang Eropa (tax patent duty), dan untuk orang Indonesia adalah pajak pendapatan yang disebut business tax.
Seluruh orang Indonesia atau yang dianggap secara hukum menjadi orang Indonesia yang ikut serta dalam perdagangan kecil-kecilan atau eceran baik untuk dirinya sendiri maupun untuk pihak lain merupakan subjek dari pajak ini. Yang dikecualikan menurut Undang-undang business tax adalah para petani dan buruh yang bekerja pada tanah pertanian, kepala desa dan pegawai pemerintahan. Tax patent duty yang berlaku di Indonesia adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dari usaha. Pajak dikenakan terhadap pendapatan yang diperoleh dari kegiatan pertanian, manufaktur, kerajinan tangan, atau kegiatan industry di Hindia Belanda. Memiliki tariff proporsional, yakni 2% dari pendapatan. Pendapatan minimum tidak disebutkan dan biaya pengeluaran dari rumah tangga atau pengeluaran pribadi tidak termasuk dalam perhitungan yang dikenakan pajak. Pajak pendapatan untuk pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan Ordonasi Pajak Pendapatan 1908 (Ordonantie op de Inkomstenbelasting 1908). Kemudian ordonasi ini diganti dengan Ordonasi Pajak Pendapatan 1920. Subjek Pajak Pendapatan 1932 adalah orang pribadi, badan/persekutuan (Fa-Firma, CV, Kongsi). Objeknya adalah Pendapatan bersih. Dengan berbagai kekurangan maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ordonantie op Inkomstenbelasting 1932.
Masa antara tahun 1920 sampai dengan 1983 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ordonansi PPd 1920 (The Income Tax Ordinance of 1920). Sekarang diberlakukan pajak yang sama tanpa melihat asal usul keturunan (the unification principle) masa itu pula diperkenalkan Pajak Kekayaan.
2. Corporation tax Ordinance of 1925 (ordonansi pajak perseroan PPS 1925 dan berlaku sampai dengan 1983). Subjeknya adalah badan hukum seperti, PT,CV atas saham, objeknya adalah laba bersih.
3. Personal Income Tax Ordinance of 1932 (Ordonansi pajak Pendapatan 1932 = ordonantie op Inkomstenbelasting 1932). Pajak pendapatan pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de inkomstenbelasting 1908). Tahun 1920 ordonansi ini diganti dengan ordonansi pajak pendapatan 1920, lalu tahun 1932 menjadi ordonansi pajak pendapatan 1932 dan terakhir diganti menjadi ordonansi pajak pendapatan 1944.
Ordonansi pajak pendapatan 1944 semula bernama "pajak perang" (Oorlogsbelasting) atau pajak peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang. Rancangan ordonansi tersebut disusun tahun 1943 diumumkan dalam staatsblad 1944 No 17 dan diberlakukan 1 Januari 1945 saat yang bersamaan maka "ordonantie op de inkomstenbelasting 1932" dinyatakan tidak berlaku lagi.Ordonansi pajak pendapatan 1944 yang semula dinamakan Oorlogsbelasting (pajak perang). Mulai 1 Januari 1946 namanya diubah menjadi "Overgangsbelasting" (pajak peralihan), lalu dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1957 (LN Nomor 41 tahun 1957) nama ordonansi tersebut dengan resmi menjadi "ordonansi pajak pendapatan 1944". Oleh Pemerintah Hindia Belanda Ordonansi dibuat dengan sederhana dan darurat karena mengingat keadaan saat itu. Dan kelak akan diganti dengan suatu ordonansi pajak atas pendapatan yang lebih sempurna.
Perkembangan Pajak setelah berakhirnya zaman kolonial
Menyadari kekurangan yang terdapat dalam ordonansi ini pemerintah Indonesia berusaha menyempurnakannya dengan menyesuaikan dengan keadaan, yang dilakukan mulai tahun 1960 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970, ordonansi pajak pendapatan 1944 aslinya tersusun dalam bahasa Belanda. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pertama kali dimuat dalam buku "Perundang-undangan Pajak Indonesia, terbitan Juni 1960 yang diterjemahkan oleh Prof Dr.Rochmat Soemitro, SH dan Drs B. Usman.
Wages Tax Ordonance of 1935 (ordonansi pajak upah 1935) dimana pemungutan pajaknya dilakukan oleh para majikan, saat itu diperkenalkan di Indonesia PAYE = Pay-As-You-Earn (bayar sesuai dengan upah yang diterima).
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan nama "Patentrecht" suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya "Patentrecht", ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti "Landrent" dan "Hoofdelijke Belasting".
Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan. Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op de Vennootschapsblasting 1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970. Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan Pajak Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga,
2. Aturan Bea Meterai,
3. Ordonansi Bea Balik Nama,
4. Ordonansi Pajak Kekayaan,
5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor,
6. Ordonansi Pajak Upah,
7. Ordonansi Pajak Potong,
8. Ordonansi Pajak Pendapatan,
9. Undang-undang Pajak Radio,
Undang-undang Pajak Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
a. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
d. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
e. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
d. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:
a. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
b. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
c. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
d. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
e. Pembangunan I;
f. Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
a. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
b. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
c. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
d. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
e. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA SEKARANG
Pengertian
Pada pasal 1 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, menjelaskan "pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi, atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang – undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat".
Fungsi
Fungsi – fungsi pajak menurut waluyo (2011:6), yaitu sebagai berikut :
1. Fungsi penerimaan (budgeter), dimana pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran – pengeluaran pemerintah. Penerimaan negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen penerimaan dalam negeri pada APBN.
2. Fungsi mengatur (regular), yaitu sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Seperti pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada barang mewah dan minuman keras.
Dan terdapat fungsi lainnya, yaitu :
Fungsi stabilitas sebagaimana pajak sebagai penerimaan negara dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Contohnya adalah kebijakan stabilitas harga dengan tujuan untuk menekan inflansi dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat lewat pemungutan dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif.
Fungsi redistribusi pendapatan : penerimaan negara dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Jenis – jenis Pajak
Menurut Waluyo (2011:12) pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, adalah sebagai berikut:
1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi berikut ini.
Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan atau tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB).
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain atau pembayaran pajak tersebut diwakilkan oleh orang lain yang diberi amanah. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai(PPn) .
2. Menurut sifat, dimaksudkan untuk menjadi pembeda dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip, sebagai berikut :
Subyektif, pajak yang pemungutannya didasari oleh wajib pajak itu sendiri atau kondisi wajib pajak tersebut. Dengan alasan bahwa wajib pajak tersebut memiliki alasan objektif yang ada kaitannya dalam pembayaran si wajib pajak. Contohnya adalah penghasilan
Objektif, pajak yang sistem pemungutannya berdasarkan objek pajak yang di dimiliki oleh wajib pajak tanpa memperhatikan kodisi wajib pajak. Seperti kondisi pendapatan wajib pajak itu naik atau turun maka tidak akan mempengaruhi pajak objektif tersebut. Contoh, pajak pertambahan nilai (PPn), pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
3. Menurut pihak yang memungut dan mengelola :
Pajak pusat, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pihak pemerintah pusat memungutnya melalui Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak dibawah Departemen Keuangan. Pajak yang dipungut antara lain pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), kemudian pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). bea meterai, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, bea cukai, pajak orang asing, serta pajak atas royalti dan dividen
Pajak daerah, dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah antara lain, pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame atau retribusi, pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan atau pedesaan, bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak hiburan dsb.
Asas Pemungutan Pajak
Terdapat asas – asas dalam hal pemungutan, pengenaannya yang di anut sistem perpajakan Indonesia, menurut waluyo (2011:16) yaitu,
Asas tempat tinggal, Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku bagi Wajib Pajak dalam negeri
Asas Kebangsaan, Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak.
Asas sumber, Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
Cara Pemungutan Pajak
Menurut Waluyo (2011:160) cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga stelsel, sebagai berikut.
Stelsel nyata (rill stelsel) adalah wajib pajak melakukan pembayaran pajak terhadap yang bersangkutan pada akhira tahun paja
Stelsel anggapan (fictive stelsel) adalah wajib pajak melakukan pembayaran pajak terhadap yang bersangkutan pada awal tahun pajak.
Stelsel campuran yaitu bisa menggunakan keduanya atau menggunakan cara dua sekaligus baik itu stelsel anggapan dan stelsel nyata secara bersamaan.
Stelsel pemunguta pajak di Indonesia mengantut stelsel campuran, khususnya dalam penerapan mekanisme PPh Pasal 25/29. Wajib Pajak menggunakan pajak terhutang tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menentukan besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan. Setelah tahun pajak berakhir, maka wajib pajak akan melaporkan penghasilannya selama setahun kedalam SPT Tahunan untuk menghitung PPh Pasal 29. Dalam menghitung jumlah pajak yang sesungguhnya di akhir tahun pajak (PPh Pasal 29) maka wajib pajak dapat mempertimbangkan kredit pajak PPh Pasal 25 yang telah dibayarkannya.
Sistem pemungutan pajak
sistem pemungutan pajak menurut waluyo (2011:17) ada tiga, yaitu :
KETETAPAN DASAR HUKUM PERPAJAKAN
Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 23, merupakan sumber utama yang berisi tentang aturan dalam hal keuangan negara yang meliputi penyusunan anggaran belanja, mata uang negara, dan peraturan tentang perpajakan. Setiap undang-undang yang dibuat untuk mengatur jenis perpajakan tertentu pada dasarnya secara menyeluruh merupakan bentuk tindak lanjut dari undang-undang dasar pasal 23 terutama pasal 23A yang berisikan "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang".
Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000, mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Undang – undang ini merupakan revisi dari UU No. 6 Tahun 1983. Selain itu didalam UU No. 16 tahun 2000 menjelaskan tanggung jawab pelaksanaan pajak, sistem pemungutan dan perhitungan menggunakan self assesment bagaimana partisipasi aktif wajib pajak dalam menghitung, menyetor dan melaporkan pajak.
Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2000, beberapa hal yang diatur adalah mengenai objek pajak atau setiap penghasilan yang diterima wajib pajak dalam bentuk kekayaan apapun. Undang – undang ini juga mengatur tentang bentuk penghasilan pajak, besarnya PTKP (penghasilan tidak kena pajak) dan tarif pajak penghasilan yang dibagi ke dalam wajib pajak perseorangan dan wajib pajak badan usaha.
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, terhadap objek pajak dalam ppn dan ppnbm ini atas penyerahan jasa dari produsen ke produsen atau dari produsen ke konsumen dan menjadi dasar untuk menghitung nilai pergantian, harga jual, nilai impor atau yang lainnya yang sudah disahkan dan ditetapkan oleh menteri keuangan
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000, entang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dilihat dari isi yang ada dalam undang-undang ini meliputi beberapa ketentuan mengenai pengertian umum tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, penjelasan tentang perolehan hak atas tanah dan bangunan beserta maksud dari adanya hak atas tanah dan bangunan, surat ketetapan dan surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, penjelasan tentang objek pajak atas tanah dan bangunan, dan pemindahan serta pelepasan hak atas tanah dan bangunan.
Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002, menjelaskan tentang beberapa ketentuan umum mengenai susunan lembaga pajak, fungsi dan prosedural dalam perpajakan, kedudukan pengadilan pajak, dan susunan dari pengadilan pajak
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang sebelumnya telah berlaku dalam perpajakan Indonesia. Undang-undang ini secara keseluruhan mengatur pelaksanaan dan aturan tentang pajak bumi dan bangunan yang berlaku di Indonesia. Pengubahan undang-undang ini ditujukan untuk lebih meningkatnya peran pajak dalam pembangunan nasional khususnya dalam kegiatan perekonomian, menjaga agar perkembangan ekonomi terus terselenggara dan berjalan dengan baik sesuai dengan kebijakan pembangunan yang berlaku, dan untuk meningkatkan kepastian hukum yang berkaitan dengan sistem perpajakan yang terus berkembang. Perubahan undang-undang ini memuat beberapa aturan mengenai objek pajak yang tidak termasuk dalam hitungan pajak bumi dan bangunan serta ketentuan terhadap penetapan nilai jual objek pajak beserta ruang lingkup yang terkandung dalam pajak bumi dan bangunan.
Sanksi Pajak
Sistem Self Assessment yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia, yang mempercayakan wajib pajak, untuk mendaftarkan diri, menghitung, menyetor dan melaporkan perpajakannya. Agar pelaksanaan sistem ini tertib dan sesuai target yang diharapkan, pemerintah menerapkan sanksi – sanksi sesuai dengan undang – undang yang berlaku. Secara umum, sanksi perpajakan yang dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan dapat berupa sanksi administrasi seperti denda, bunga atau pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi. Selain sanksi administrasi, berupa denda, bunga dan kenaikan pajak. Terdapat sanksi pidana yakni kurungan penjara.
SEJARAH PAJAK DI INGGRIS
Pajak pertama kali dikenakan di Inggris pada waktu Kekaisaran Romawi menguasai inggris. Antara 55 SM dan 40-an M, status quo pada upeti, sandera, dan negara klien tanpa pendudukan militer langsung, yang dimulai oleh Invasi Caesar ke Britania, tetap utuh. Augustus menyiapkan invasi pada 34 SM, 27 SM dan 25 SM. Yang pertama dan kedua dibatalkan karena adanya pemberontakan di berbagai daerah di kekaisaran, sedangkan yang kedua batal karena bangsa Briton tampaknya siap melakukan kesepakatan.Berdasarkan Res Gestae karya Augustus, dua raja Britania, Dumnovellaunus dan Tincomarus, pergi ke kota Roma sebagai pemohon pada masa kekuasaannya dan berdasarkan Geografi karya Strabo, yang ditulis pada periode ini, Britania membayar lebih dalam hal pabean dan tugas yang dapat ditarik melalui pajak jika pulau tersebut ditaklukan
Di Inggris pada abad ke-11, cerita tentang Lady Godiva yang melegenda merupakan bentuk dukungan pembangkangan pajak yang dilakukan masyarakat di kawasan Conventry. Lady Godiva menunggang kuda dalam keadaan telanjang untuk memprotes kenaikan pajak yang dilakukan oleh suaminya sendiri, Earl of Mercia.
Pada tahun 1197 ketika Alexius III Angelus berkuasa di Konstantinopel, ia mencoba menaikkan pajak dalam rangka membayar uang perlindungan kepada Henry VI. Namun rakyat Konstantinopel menolak untuk membayar sehingga Alexios harus memikirkan cara lain untuk mengumpulkan uang upeti
King John terpaksa menandatangani piagam Magna Carta di Runnymede, Inggris pada 15 Juni 1215 sebagai akibat pembangkangan pajak yang dilakukan para bangsawan didukung rakyat yang tidak puas. Magna Carta disebut-sebut sebagai langkah fundamental dalam proses sejarah panjang menuju pembuatan hukum konstitusional.
United Kingdom (UK) atau Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara, atau secara umum dikenal sebagai Britania Raya, atau Inggris Raya, adalah sebuah negara berdaulat yang terletak di lepas pantai barat laut benua Eropa. UK adalah negara kepulauan yang terdiri dari Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia dan Wales.
Pada 2015, perekonomian di negara ini menduduki posisi kelima terbesar di dunia yang dihitung berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang sebesar US$2,85 triliun. Sementara itu, UK menempati urutan ke-9 sebagai eksportir terbesar di dunia dan urutan ke-6 sebagai negara importir terbesar di dunia.
Dalam sejarahnya, negara ini memiliki begitu banyak wilayah jajahan yang tersebar di seluruh dunia. Meskipun mayoritas daerah jajahannya sudah menjadi negara merdeka, namun negara-negara tersebut masih menjalin kontak dengan negara bekas penjajahnya melalui organisasi persemakmuran.
UK dipimpin oleh Ratu sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Namun sejak 1707, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara telah memiliki pemerintah dan eksekutifnya sendiri.
Sistem Perpajakan
OTORITAS Pajak di UK yang bernama HM Revenue & Customs (HMRC) menetapkan tarif standar pajak penghasilan badan sebesar 20%. Namun, mulai 1 April 2017 tarif tersebut turun menjadi 19% dan kemudian menjadi 18% pada 1 April 2018.
Sebagai catatan, insentif berupa pengurangan pajak (tax credit) sebesar 230% diberikan bagi perusahaan kecil dan menengah (UKM) yang melakukan pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (research & development/R&D). Insentif telah diperkenalkan sejak tahun 2000 guna mendorong kegiatan R&D dan inovasi di negara tersebut.
Adapun, tarif progresif diberlakukan bagi wajib pajak orang pribadi yang terdiri dari 3 lapisan tarif yakni penghasilan hingga £32.000 dikenakan tarif 20%, penghasilan dari £32.001 - £150.000 dikenakan tarif 40% dan tarif tertinggi sebesar 45% dikenakan untuk penghasilan lebih dari £150.000.
Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan produktivitas bisnis, setiap warga yang bekerja dengan menggunakan transportasi sepeda akan diberikan keringanan pajak sebesar £250 (Rp4,1 juta) untuk setahun.
HMRC menetapkan tarif PPN sebesar 20%. Untuk pajak bunga dan royalti ditetapkan sebesar 20%. Untuk pajak dividen, mulai 6 April 2016, pemegang saham yang menerima penghasilan dividen hingga £5.000 tidak akan dikenakan pajak. Sementara, penghasilan dividen lebih dari £5.000 akan dikenakan pajak progresif mulai dari 7,5%, 32,5% dan 38,1%.
Secara umum, sistem transfer pricing di UK sebagian besar telah sejalan dengan rekomendasi OECD, di mana ketentuan dokumentasinya sudah mengadopsi Country-by-Country Reporting/CbCR (Finance Act 2015) yang berlaku efektif 1 Maret 2016. UK juga tercatat menjadi salah satu dari 87 negara yang telah menandatangani persetujuan multilateral (multilateral competent authority agreement/MCAA) untuk pertukaran otomatis informasi keuangan, sama halnya dengan Indonesia.*
Uraian
Keterangan
Sistem Pemerintahan, Politik
Monarki Konstitusional
PDB Nominal
US$2,297 triliun (2016)
Pertumbuhan ekonomi
1,8% (2016)
Populasi
65,13 juta jiwa (2015)
Tax Ratio
34,4% (2015)
Otoritas Pajak
HM Revenue & Customs
Sistem Perpajakan
Self-Assessment System
Tarif PPh Badan
20%
Tarif PPh Orang Pribadi
20%, 40%, 45%
Tarif PPN
20%
Tarif pajak dividen
<£5.000 = Tidak kena pajak
>£5.000 = Progresif (7,5%, 32,5%, 38,1%)
Tarif pajak royalti
20%
Tarif bunga
20%
Tax Treaty
125 negara
Kesimpulan
Dalam sejarah pajak di negara manapun, pajak merupakan sumber pendapatan untuk membangun dan menunjang sistem pemerintahan sehingga sifatnya memaksa. Dilihat dari sejarah indonesia dan inggris memang memiliki masa yang kelam karena pajak yang berlakukan pada masa penjajahan oleh negara lain sehingga tidak ada imbalan untuk rakyat atau negara. Negara inggris lebih maju karena memiliki bangsa dan sdm yang cerdas,maka dalam hal pajak mereka memiliki tingkat kesadaran dan kepatuhan yang tinggi terhadap peraturan pajak. Mengingat pentingnya pajak untuk kemajuan negaranya. Selain itu, Indonesia masih sangat tertinggal jauh, karena besaran pajak yang dikenakan di inggris lebih besar dan di indonesia sangat kecil. Di indonesia masih banyak warga yang tidak dikenakan pajak karena rendahnya pendapatannya, dan banyak pula wajib pajak yang tidak melaporkan dan membayar pajaknya. Kedepannya semoga indonesia dapat terus memberikan pendidikan dan meningkatkan kualitas sdm sehingga dapat bersaing di dunia kerja di masa pasar bebas ini yang berefek pada pendapatan dan peningkatan wajib pajak dan kesadaran akan pentingnya pajak dalam berjalannya kenegaraan serta penjahat – penjahat yang menyelewengkan pajak diberikan hukuman yang sepantasnya sehingga efek jera itu terjadi.