Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
SEJARAH PEMIKIRAN MATEMATIKAWAN YUNANI KUNO Sandy H.S. Herho* *
I.
Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan pengaruh Bangsa Yunani yang mendiami semenanjung strategis di persilangan tiga benua, di mana terjadi pembauran kebudayaan peradaban maju, seperti Asia Kecil dan Mesopotamia. Bangsa Yunani dengan cepat kemudian juga mengadopsi kebudayaan bangsa – bangsa tersebut. Bangsa Yunani mengadopsi matematika dari unsur – unsur geometri dan aljabar yang telah ditemukan lebih dahulu oleh bangsa Mesir dan Mesopotamia. Akan tetapi, dengan cepat mereka mengembangkan ide – ide matematika mereka sendiri. Dan untuk pertama kali sepanjang sejarah matematika, Bangsa Yunani mengawali tradisi pengakuan atas klaim penemuan indvidu. Pemikir – pemikir matematika Yunani pada masa itu meletakan dasar revolusi pemikiran matematika pada periode helenistik. Sistem numerasi Yunani kuno, yang dikenal sebagai bilangan Attik atau Herodianik, sepenuhnya dikembangkan pada sekitar 450 SM dan diperkirakan telah dipergunakan secara rutin mungkin pada awal abad ke-7 SM. Bangsa Yunani mengenal huruf dan angka pada tahun 600 SM yang ditandai dengan tulisan-tulisan bangsa Yunani pada kulit kayu atau logam sehingga bentuk tulisannya pun terlihat kaku dan kuat. Lambang bilangan Yunani Kuno diambil dari huruf awal dari penyebutan bilangan tersebut. Terdapat dua macam sistem numerasi Yunani Kuno, yaitu: -
Sistem Numerasi Attik: Sistem Attik sering disebut sistem Akrofonik dan sistem Herodian. Akrofonik maksudnya adalah bahwa simbol bilangan tersebut berasal dari huruf pertama nama bilangan tersebut. Menggunakan sifat aditif, contohnya : 2897 = 2000 + 500 + 300 + 50 + 20 + 5 + 4 = 2 𝑥 1000 + 500 + 3𝑥100 + 50 + 2 𝑥 10 + 5 + 4𝑥1 Sistem Yunani ini berbasis 10 sistem serupa dengan sistem numerasi yang digunakan Bangsa Mesir, (bahkan lebih mirip dengan kemudian sistem numerasi Bangsa Romawi yang kita kenal saat ini), dengan simbol-simbol untuk 1, 5, 10, 50 100, 500 dan 1.000 diulangi sebanyak yang diperlukan untuk mewakili nomor yang diinginkan . Penambahan dilakukan dengan menjumlahkan secara terpisah simbol (1s, 10s, 100s, dll) di nomor yang akan ditambahkan, dan perkalian merupakan proses yang melelahkan berdasarkan doubling berturut (pembagian didasarkan pada kebalikan dari proses ini). Dilambangkan sederhana, dimana angka satu sampai empat dilambangkan dengan lambang tongkat, misal: 2→ ll.
1|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Gambar 1. Sistem Numerasi Attik/ Herodianik
-
Sistem Numerasi Alfabetik Yunani: Sejarah perkembangan sistem numerasi alfabetik merupakan sendiri merupakan sejarah metode penulisan tertua masyarakat purba yang telah melahirkan dua jalur proses perkembangan sistem penulisan. Jalur penulisan fonetis yang pada akhirnya menjadi tulisan alfabetis merupakan sistem penulisan yang dikembangkan oleh dua pusat peradaban tertua di kawasan Asia Barat (Timur Tengah), yakni Mesir dan Mesopotania. Sedangkan Bangsa Tionghoa di kawasan Asia Timur tetap mempertahankan sistem perlambangan gambar (piktografis – ideografis) dalam penulisan mereka, bahkan masih dipergunakan hingga periode kontemporer saat ini. Kurang lebih pada tahun 450 SM, Bangsa Yunani yang mendiami Ionia telah mengembangkan suatu sistem numerasi baru, yaitu alfabet Yunani sendiri yang terdiri dari 27 huruf. Bilangan dasar yang mereka pergunakan adalah 10. Sistem numerasi alfabetik Yunani digunakan sebagai sistem numerasi Bangsa Yunani sesudah penggunaan sistem numerasi Attik.
Gambar 2. Sistem Numerasi Alfabet Yunani
2|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Contohnya: 𝜄𝜀 = 15; 𝜅𝛽 = 22; 𝜙𝜉𝜀 = 565 Sebagaimana dilihat pada contoh-contoh di atas sampai ratusan, sistem angka alphabet yunani ini mempunyai lambang tersendiri. Untuk menyatakan ribuan, di atas sembilan angka dasar yang pertama (dari ... sampai ...) dibubuhi tanda aksen („) sebagai contoh 𝛼‟ = 1000, 𝜀‟ = 5000. Sedangkan kelipatan 10.000 dinyatakan dengan menaruh angka yang bersangkutan di atas tanda M. Contohnya: 5000 = 𝜀 „ ; 3567 = 𝛾‟ 𝜑 𝜉 𝜍. Dibandingkan dengan sistem angka Mesir Purba, maka penulisan dengan sistem angka alphabet Yunani ini lebih singkat dan sistematis. Sebagai contoh untuk penulisan bilangan 500 dalam sistem angka Mesir Purba lambang 9 ditulis sampai 5 kali tetapi dalam sistem angka alphabet yunani telah mempunyai lambang tersendiri yaitu 𝜑. Akan tetapi, kebanyakan sistem matematika yang dikembangkan oleh para pemikir Yunani awal berupa gagasan geometri. Thales salah seorang filsuf awal Yunani Kuno yang tinggal di Ionia, Asia Kecil mengawali tradisi penelitian individual tentang matematika dengan mengajukan gagasannya tentang teorema kesebangunan segitiga. Teorema Thales sebagai berikut: 1. Sebuah lingkaran terbagi dua sama besar oleh diameternya. 2. Sudut bagian dasar dari sebuah segitiga samakaki adalah sama besar. 3. Jika ada dua garis lurus bersilangan, maka besar kedua sudut yang saling berlawanan akan sama. 4. Sudut yang terdapat di dalam setengah lingkaran adalah sudut siku-siku. 5. Sebuah segitiga terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudut yang bersinggungan dengan bagian dasar tersebut telah ditentukan.
𝐷𝐸 𝐴𝐸 𝐴𝐷 = = 𝐵𝐶 𝐴𝐶 𝐴𝐵
Gambar 3. Teorema Thales
3|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Gambar 4. Jika AC adalah sebuah diameter, maka sudut B adalah selalu sudut siku-siku Teorema Thales ini merupakan dasar yang membangun geometri Euklidesan yang kita kenal sekarang ini. Pembahasan sejarah pemikiran matematika Yunani Kuno tentu tidak lengkap tanpa membahas tentang Sang Legenda Matematika, Pythagoras dari Samos yang hidup di sekitar abad ke – 6 SM. Terdapat kepercayaan yang meyakini bahwa Pythagoras merupakan penggagas istilah ‘filsafat’ yang secara harafiah berarti ‘cinta pada kebijaksanaan’ dan ‘matematika’ yang berarti ‘yang dipelajari’. Pythagoras juga dipercata sebagai orang pertama yang merekonstruksi gagasan tentang suatu sistem matematika yang ‘komplet’, di mana unsur – unsur geometri berkorespondensi dengan angka. Teorema Pythagoras merupakan teorema matematika yang hingga kini paling banyak dikenal. Akan tetapi, Pythagoras merupakan tokoh yang kontroversial dalam sejarah pemikiran matematika Yunani Kuno, seperti yang akan kita lihat pada sub bab berikutnya. Tiga permasalahan geometri yang seringkali dikenal sebagai tiga problema klasik yang dapat dipecahkan hanya dengan garis lurus dan jangka. Tiga permasalahan tersebut ditunjukkan oleh Gambar 5. Permasalahan ini kemudian turut berperan dalam perkembangan geometri di masa mendatang, meskipun kemustahilan pembuktian permasalahan ini baru diketahui pada abad ke – 19.
4|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Gambar 5. Tiga Problema Klasik
Hippokrates dari Kios (hidup pada sekitar abad ke – 5 SM) merupakan salah satu dari pemikir Yunani yang berkontribusi terhadap ketiga permasalahan geometri ini. Bukunya yang berjudul ‘Unsur – Unsur’ yang terbit pada sekitar tahun 440 SM merupakan buku yang memuat elemen – elemen geometri yang nantinya berpengaruh terhadap karya Euklides di periode helenistik. Bangsa Yunani –lah yang pertamakali mengajukan gagasan tentang ketakhinggaan yang terungkap melalui paradoks yang diajukan oleh Zenon dari Elea pada abad ke – 5 SM. . Dipercaya bahwa, Zenon merangkum seluruh pemikirannya pada sebuah bukunya yang terbit sekitar tahun 460 SM. Ia dikenal dengan pendapat – pendapatnya yang tidak lazim dalam argumentasi metafisika, dan semi – matematika, yang mana masih sering didiskusikan hingga hari ini. Pada masa hidupnya, Zenon bertujuan untuk mempertahankan argumen – argumen Parmenides, dan untuk menghantam pendapat – pendapat kaum pluralis, yang mana hendak menghancurkan tesis – tesis utama yang diajukan Parmenides. Pendapat – pendapat, dan paradoks – paradoks – nya seringkali dituliskan dalam bentuk dialektika, hal ini nampaknya merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi filsafat dan matematika tempo itu.Terdapat empat buah paradoks dari enam buah paradoks yang diungkapkan Zenon, yang sekiranya penting untuk dibahas di sini. Empat buah paradoks itu, antara lain: 1. Paradoks Dikotomi
Gambar 6. Paradoks Dikotomi Sebuah benda yang bergerak, tidak akan pernah mencapai tujuan. Pertama – tama benda harus menempuh segmen setengah perjalanan. Lalu, sesudah itu, benda tersebut harus melewati banyak 5|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
segmen: seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertigapuluhdua, dst. Sedemikian, hingga jumlah perjalananya menjadi tak hingga. Karena mustahil melakukan perjalanan sebanyak tak hingga, maka benda tersebut tidak akan pernah sampai tujuan. 2. Paradoks Akhilleus dan Kura – Kura Akhilleus, dan kura – kura melakukan lomba lari. Karena Akhilleus merupakan sesosok ksatria yang sombong, ia mengijinkan kura – kura ‘lambat’ untuk memulai lari terlebih dahulu. Agar dapat menyamai kedudukan kura – kura, Akhilleus menetapkan sasaran ke posisi, dimana kura – kura saat ini berdiri. Akan tetapi, setiap kali Akhilleus bergerak maju, kura – kura pun juga bergerak maju. Ketika Akhilleus sampai ke posisi kura – kura, kura – kura sudah berada di depannya. Lalu, Akhilleus mengejar posisi kura – kura yang sekarang. Akan tetapi, setibanya di sana, kura – kura sudah bergerak maju lagi, begitu seterusnya, hingga akhirnya mustahil bagi Akhilles untuk memenangkan lomba lari tersebut.
Gambar 7. Paradoks Akhilleus dan Kura – Kura 3. Paradoks Anak Panah
Gambar 8. Paradoks Anak Panah 6|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
4. Paradoks Stadion Terdapat tiga buah barisan penonton A, B, dan C di dalam stadion. Barisan A dianggap diam di tengah stadion. Sementara B, dan C masing – masing terletak di ujung kiri, dan kanan A. Kemudian, B dan C bergerak saling mendekati dengan kecepatan yang sama, dan hendak bersejajar dengan A. Anatara ‘ sebelum’, dan ‘sesudah’, titik C paling kiri melewati dua buah B, tetapi hanya sebuah A. Berarti waktu C untuk melewati B sama dengan setengah waktu untuk melewati A. Padahal A, dan B adalah unit yang identik.
Gambar 9. Paradoks Stadion
Secara umum, terdapat dua buah tema yang dominan dalam Paradoks Zenon, yaitu gerak, dan ketakterhinggaan. Zenon menganggap, bahwa perubahan di dunia bersifat semu. Pendapat ini, kemudian tercermin lewat empat buah paradoks yang telah dikemukakan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Zenon merupakan sosok filsuf yang tidak percaya akan gerak, dan perubahan. Lewat empat paradoks yang telah dikemukakan, ia ingin memastikan sebentuk ‘Ada’ realitas. Sebagai seorang pengikut Parmenides, Zenon berpendapat, bahwa semua gerak benda bersifat semu. Untuk membuktikan keyakinannya, ia lalu merancang serangkaian paradoks. Terlepas dari klaim benar – salah, paradoks – paradoks ini kemudian membawa pada kemajuan matematika. Kejanggalan paradoks 1, dan 2, misalnya, dapat dijelaskan lewat deret konvergen. Dengan menggunakan konsep limit yang dipelajari dalam bidang kalkulus, matematikawan dapat menjumlahkan irisan – irisan kecil yang mendekati, tak hingga.
7|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Menariknya, meskipun irisan – irisannya tak hingga, akan tetapi jika diintegralkan, ternyata jumlahnya berhingga. Demokritos, seorang filsuf phusikoi terakhir dari Mazhab Atomisme juga merupakan seorang pionir geometri di abad ke – 5 sampai abad ke – 4 SM. Demokritos menuliskan beberapa karya matematika, seperti ‘Tentang Bilangan’; ‘Tentang Pemetaan’; ‘Tentang Geometri’, ‘Tentang Garis Singgung’ dan ‘Tentang Bilangan Irasional’. Meskipun demikian, hanya sedikit dari karya – karyanya yang masih utuh hingga hari ini. Yang kita ketahui adalah bahwa ia merupakan orang yang pertama menyimpulkan, bahwa kerucut (atau piramida) memiliki sepertiga volume silinder (atau prisma) dengan dasar yang sama dan tinggi. Dan ia mungkin merupakan orang pertama yang secara serius mempertimbangkan pembagian objek – objek ke dalam penampang melintang dari bilangan tak hingga. Di antara pemikir – pemikir matematika era phusikoi, Pythagoras –lah yang sangat berpengaruh pada pemikiran matematika dua filsuf besar Yunani Klasik, yaitu Platon dan muridnya Aristoteles. Gagasan matematika Platon yang terkenal adalah deskripsi tentang lima buah bangun ruang Platonik, meskipun demikian ia juga berkontribusi dalam pengajaran matematika melalui kurikulum di Akademia dan dialog – dialog Sokratik –nya. Aristoteles merupakan peletak dasar bangunan logika formal yang tidak mengalami perubahan selama dua ribu tahun lamanya. Salah seorang murid Platon di Akademia, Eudoxos dari Knidos merupakan penggagas metode penghabisan (method of exhaustion) guna menghitung luas lingkaran (yang akhirnya disempurnakan pada periode helenistik oleh Archimedes). Ia juga salah seorang penggagas cikal bakal teori integral yang ia gunakan untuk menghitung volume kerucut dan piramida. Eudoxos juga melengkapi teori umum tentang perbandingan yang digagas oleh Pythagoras, yang mana berlaku untuk perbandingan antara dua bilangan bulat, baik hasilnya rasional maupun irasional. Pythagoras, Platon dan Aristoteles mungkin merupakan pemikir – pemikir matematika individual yang paling berpengaruh sepanjang periode Yunani Klasik. Para matematikawan periode setelahnya berhutang budi pada mereka dalam hal metode pembuktian suatu teorema yang didasarkan pada aksioma sesuai dengan langkah – langkah logis yang dikembangkan oleh mereka. Gagasan – gagasan matematika yang lebih lampau pada kebudayaan Babilonia dan Mesir dikembangkan berdasarkan penalaran induktif melalui pengamatan berulang pada permasalahan praktis. Melalui kedua tradisi penalaran ini, kemudian penalaran matematika yang utuh akhirnya disempurnakan oleh Euklides pada periode helenistik.
I.
Gagasan – Gagasan Matematika Pythagoras Pythagoras seringkali dikenal sebagai matematikawan murni yang sejati. Meskipun kontribusi matematisnya sangat penting, ia tetap merupakan sosok yang kontroversial. Semasa hidupnya, Pythagoras (layaknya Sokrates) tidak pernah menuliskan satu pun gagasan – gagasannya. Dan apa yang saat ini kita ketahui tentang pemikiran Pythagoras sejatinya merupakan catatan – catatan Philolaos, seorang anggota Ordo Pythagorean. 8|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Maka dari itu, nampak kabur apakah teorema – teorema tersebut diselesaikan oleh Pythagoras sendiri, atau oleh para muridnya. Sekolah Pythagoras didirikan di Kroton, sekarang merupakan wilayah Italia Selatan sekitar tahun 530 SM dan ini merupakan inti dari Ordo Pythagorean yang terkenal agak klenik. Meskipun didominasi oleh matematika, sekte ini terkenal dengan mistisisme – nya. Pythagoras menerapkan suatu kepercayaan semi agama pada seluruh anggota sekolahnya. Hidup sebagai vegetarian dalam suatu komune dengan ritual rahasia dan aturan – aturan aneh (termasuk fatwa aneh yang tampak tidak logis, yakni dilarang kencing ke arah matahari, dilarang menikahi seorang wanita yang memakai perhiasan dari emas, tidak boleh melangkahi keledai yang sedang terbaring di tengah jalan, tidak boleh memakan kacang hitam, dll) merupakan kondisi sehari – hari di sekolah tersebut. Para anggota sekolah ini dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu μαθηματικοί (mathematikoi/ pembelajar) yang bertugas meneruskan pekerjaan dan pengajaran matematika yang dimulai oleh Pythagoras, dan ἀκουσματικοί (akousmatikoi/ pendengar) yang lebih berfokus pada pembelajaran teologi dan ritual keagamaan. Pasca sepeninggalan Pythagoras, akhirnya Ordo Pythagorean ini bubar akibat sentimen warga lokal. Sentimen ini diakibatkan oleh kerahasiaan dan eksklusifitas para anggota Sekolah ini. Pada sekitar tahun 460 SM seluruh tempat pertemuan dan sebagian besar dokumen ordo ini dibakar, terdapat setidaknya 50 anggota Ordo Pythagorean di Kroton yang tewas akibat peristiwa ini. Salah satu diktum paling populer dari Ordo Pythagorean adalah ‘Segalanya adalah bilangan’ dan ‘Allah tersembunyi dalam bilangan’. Ordo ini mempraktikan ritual penyembahan bilangan dan setiap bilangan memiliki makna yang tersembunyi. Misalnya, bilangan satu bermakna sebagai pembangkit; dua merepresentasikan opini; tiga, sebagai lambang kesempurnaan; empat, sebagai keadilan; lima, melambangkan perkawinan; enam, melambangkan penciptaan; tujuh dianggap merepresentasikan tujuh buah planet atau tujuh bintang di langit; dll. Bilangan genap dianggap sebagai lambang kelaki – lakian dan bilangan ganjil dianggap merepresentasikan sifat feminim. Bilangan paling suci adalah sepuluh (atau dalam istilah Pythagorean dikenal sebagai τετρακτύς/ tetraktys) yang merupakan hasil penjumlahan dari bilangan segitiga seperti yang tampak pada Gambar 10. Keempat angka dalam tetraktys juga dianggap memiliki makna geometris, yaitu angka satu melambangkan titik; angka dua melambangkan garis; angka tiga mewakili bidang; dan angka empat mewakili ruang. Angka sepuluh juga dianggap mewakili benda – benda abadi di alam semesta, yaitu lima buah planet (1 – 5); matahari (6); bulan (7); bumi (8); planet misterius pasangan bumi (9) dan pusat api yang menjadi pusat dari keseluruhan semesta sebagai angka 10. Terlepas dari segala hal yang berbau mistis, Pythagoras dan para pengikutnya juga menawarkan proses penalaran matematis yang ketat yang didasarkan pada aksioma – aksioma yang tidak pernah dipertimbangkan oleh para pemikir matematika sebelumnya. Sebelum Pythagoras, pemikir – pemikir geometri umumnya mendasarkan teorema mereka pada pengukuran empiris. Pythagoras merupakan orang pertama yang mengembangkan sistem matematika yang lengkap, di mana unsur – unsur geometri berkorespondensi dengan bilangan dan di mana bilangan bulat serta perbandingannya 9|Sejarah Pemikiran Matematikawan Yunani Kuno
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
dianggap memainkan peran penting dalam membangun sistem logika dan kebenaran yang holistik.
Gambar 10. Tetraktys Pythagorean
Pythagoras dikenal secara luas karena teoremanya tentang segitiga siku – siku. Teorema Pythagoras ini adalah teorema yang sangat terkenal. Teorema ini akan sering digunakan dalam menghitung luas bangun datar. Selain digunakan dalam perhitungan pada bangun datar, perhitungan pada dimensi 3 atau yang lain juga sering menggunakan Teorema Pythagoras. Teorema Pythagoras berbunyi: pada suatu segitiga siku-siku berlaku sisi miring kuadrat sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi lainnya. Secara umum, jika segitiga ABC siku-siku di C maka teorema Pythagoras dapat dinyatakan 𝐴𝐵 2 = 𝐴𝐶 2 + 𝐵𝐶 2 . Atau dapat dituliskan sebagai 𝑐 2 = 𝑎2 + 𝑏 2 , di mana c merupakan sisi miring (hipotenusa) suatu segitiga siku – siku.
Gambar 11. Teorema Pythagoras
10 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Terdapat berbagai macam pembuktian Teorema Pythagoras. Akan tetapi, dalam pembahasan ini hanya akan dibahas salah satunya saja. Terdapat empat buah segitiga siku-siku. Perhatikan Gambar 12 di bawah ini. Keempat segitiga tersebut adalah segitiga yang sama. Mempunyai sisi-sisi 𝑎, 𝑏 dan 𝑐. dan sisi 𝑐 merupakan sisi miring dari segitiga tersebut. Ketiga segitiga disampingnya adalah hasil rotasi 90°, 180° dan 270° dari segitiga pertama.
Gambar 12. Empat Buah Segitiga Siku – Siku
Luas masing – masing segitiga tersebut diketahui 𝐴 =
𝑎𝑏 2
, sehingga luas keempat segitiga
tersebut 4𝐴 = 2𝑎𝑏. Segitiga-segitiga tersebut kita atur sedemikian sehingga membentung persegi dengan sisi c seperti yang ditampilkan pada Gambar 13. Perhatikan gambar hasil susunan keempat segitiga tersebut. Gambar 13 tersebut membentuk sebuah persegi dengan sisi c. dan didalamnya ada persegi kecil. Panjang sisi persegi kecil tersebut adalah 𝑏 − 𝑎, sehingga diperoleh persamaan: 𝑐 2 = 2𝑎𝑏 + (𝑏 − 𝑎)2 𝑐 2 = 2𝑎𝑏 + 𝑏 2 − 2𝑎𝑏 + 𝑎2 𝑐 2 = 𝑏 2 + 𝑎2
11 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Gambar 13. Pembuktian Teorema Pythagoras dengan Persegi
Sebetulnya, Teorema Pythagoras ini sudah diketahui oleh tradisi matematika kuno di Mesir dan Babilonia, serta beberapa tempat lain akan tetapi belum dibakukan dan belum dibuktikan secara deduktif. Salah satu pembuktiannya dapat ditemukan pada teks Tiongkok kuno jauh, bahkan sebelum Pythagoras sendiri dilahirkan. Pythagoras dianggap hanya membakukan Teorema tersebut, meskipun tidak diketahui secara jelas apakah Pythagoras sendiri membuktikan Teorema ini secara definitif. Meskipun demikian, sejarah telah mencatat, bahwa sejak pemakluman Teorema Pythagoras, terdapat lebih dari 400 cara pembuktiannya, di mana hal tersebut juga berperan serta dalam pengembangan aljabar, geometri, bahkan persamaan diferensial lanjut. Disamping itu, solusi sisi miring segitiga siku – siku untuk masing – masing sisi 𝑎 dan 𝑏 = 1, yang berupa bilangan irasional √2, telah diketahui oleh Bangsa Babilonia. Ketika salah seorang pengikut Pythagoras, Hippaseos mencoba menghitung berapa nilai dari √2, ia menyatakan bahwa nilainya tidak dapat dihitung dengan melakukan pembagian antara dua bilangan bulat. Kemudian bilangan irasional secara definitif mulai masuk ke dalam wacana pemikiran matematika. Hal ini kemudian menghancurkan harmoni yang hendak dibangun oleh Ordo Pythagorean, karena terdapatnya suatu bilangan yang tidak dapat dinyatakan melalui pembagian kedua bilangan bulat yang dianggap sakral. Karena dianggap mengancam keberlangsungan sekte, Hippaseos dilarang menyebarkan penemuan ini keluar ordo dan penemuan ini dianggap sebagai rahasia Ordo Pythagorean. Tetapi kemudian hal ini justru memicu revolusi dalam sistem bilangan matematika yang tadinya hanya bertumpu pada bilangan bulat yang dianggap baku, ilahi dan diskrit menjadi penggunaan sistem bilangan yang bersifat kontinyu. Hal inilah yang merupakan sumbangan besar pemikir matematika Yunani, di mana geometri yang mereka kembangkan berkaitan dengan garis, bidang dan ruang yang bersifat kontinyu. 12 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Disamping pendefinisian teoremanya yang terkenal, Pythagoras atau setidaknya para Pythagorean juga pertama kali memaklumkan bahwa jumlah sudut pada segitiga sama dengan jumlah dua sudut tegak lurus (180°). Pythagoras juga memaklumkan bahwa jumlah sudut suatu bidang poligon bersudut n sama dengan 2𝑛 − 4 dari sudut tegak lurus. Mereka juga telah mampu menggunakan aljabar geometri sederhana seperti memberikan definisi geometri pada persamaan 𝑎(𝑎 − 𝑥) = 𝑥 2 . Ordo Pythagorean juga merupakan peletak dasar teori bilangan melalui penelitiannya tentang bilangan segitiga dan persegi, serta bilangan istimewa (bilangan yang dapat dibentuk dari hasil penjumlahan pembagi – pembagi bilangan tersebut). Contoh bilangan persegi adalah: 1, 4, 9, 16, 25, 36, 49, …. dll. Pola bilangan tersebut dapat disusun dari barisan bilangan berikut: 1 →1 = 1 x 1 = 1, 2 → 4 = 2 x 2 = 4, 3 → 9 = 3 x 3 = 9, 4 → 16 = 4 x 4 = 16, 5 → 25 = 5 x 5 = 25, dst. Ternyata banyaknya titik yang membentuk barisan persegi tersebut sama dengan cara mencari luas sebuah persegi, yaitu 𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑥 𝑠𝑖𝑠𝑖. Maka untuk bilangan kesepuluh dari pola tersebut adalah 100, didapat dari 10 𝑥 10 = 100. Jadi, persamaan untuk mencari bilangan ke-𝑛 dari pola bilangan persegi adalah 𝑈𝑛 = 𝑛2 . Sepuluh bilangan pertamnya adalah (1,4,9,16,25,36,49,64,64,100).
Gambar 14. Pola Bilangan Persegi
Pythagoras juga merupakan seorang musisi. Pythagoras mengawali penemuannya tentang interval dalam nada melalui eksperimennya pada monochord, sebuah alat musik kuno berdawai yang ditala, yang dengan media tersebut ia merumuskan interval oktaf, kwint dan kwart, dengan 13 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
cara membagi-bagi dawai secara proporsional. Interval pertama atau prime diperoleh dengan membagi dawai-dawai tersebut menjadi dua bagian atau dengan perbandingan 1:2. Interval kwint diperoleh dengan membagi dawai menjadi tiga bagian, atau 2:3, dan kwart menjadi empat bagian atau 3:4. Dengan rangkaian enam buah kwint maka tersusunah skala diatonik dengan dua interval sekonde kecil (semi tone) dengan istilah Latin limma, dan sekonde besar dengan istilah tonus. Keempat bilangan pertama pada perbandingan Pythagoras berperan dalam menghasilkan bilangan 10 dalam suatu segitiga yang disebut tetraktys: Tetraktys menyatakan bahwa nada-nada musikal merupakan gejala fisis yang dikuasai oleh hukum matematis. Oleh karena itu suatu realitas dapat dicocokkan dengan kategori-kategori matematis dari rasio manusia. Pythagoras berpendapat bahwa nada-nada musikal dapat dijabarkan ke dalam perbandingan antara bilangan-bilangan sehingga dari hal tersebut ia menarik kesimpulan bahwa segala sesuatu adalah bilangan merupakan unsur yang terdapat dalam segala sesuatu.Prinsip bilangan adalah ganjil dan genap, terbatas dan tak terbatas. Oktaf adalah harmoni yang dihasilkan dengan menggabungkan hal yang berlawanan yaitu 1 dan 2. Demikian juga dengan seluruh alam semesta merupakan suatu harmoni yang merupakan hal-hal yang berlawanan. Ajaran Pythagoras ini tampaknya sejalan dengan konsep keindahan Sokrates yang ditulis oleh Platon dalam Symposium.
Gambar 15. Rasio Nada Pythagorean
Melalui penemuan teorinya tentang nada ini, kaum Pythagorean merasa bahwa semesta dan segala keindahannya tersusun berdasarkan bilangan – bilangan. Dan pergerakan jagad raya yang mana seturut bilangan – bilangan tersebut dipahami sebagai musik semesta yang bersifat universal.
14 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
II.
Gagasan – Gagasan Matematika Platon Meskipun akhir – akhir ini Platon lebih dikenal sebagai filsuf terbesar sepanjang sejarah filsafat Yunani Klasik, ia sebenarnya juga merupakan salah satu pemikir terbesar dalam tradisi matematika Yunani Kuno. Terinspirasi oleh Pythagoras, Platon mendirikan Akademia pada tahun 387 SM, di mana ia memberikan penekanan lebih pada matematika yang dianggapnya sebagai suatu cara untuk memahami kebenaran realitas. Secara khusus, ia juga meyakini geometri sebagai kunci untuk menyibak rahasia alam semesta. Di atas gerbang Akademia tertulis, “Dilarang masuk ke dalam, jika tidak memahami geometri !”. Platon juga mendorong perkembangan matematika (sebagaimana filsafat) dalam iklim intelektual Yunani pada masanya. Di Akademia, matematika dianggap sebagai bagian dari formasi pendidikan filsafat. Sepuluh sampai lima belas tahun pertama di Akademia, para siswa dituntut untuk mempelajari gimnastik, musik, sains dan terutama geometri bidang dan geometri ruang. Platon juga dikenal sebagai pendidik para matematikawan. Eudoxos, Theatetos dan Arkhytas merupakan matematikawan besar di periode itu yang merupakan alumni Akademia. Dalam pembahasan geometri Platon umumnya menuntut agar para muridnya membangun geometri berdasarkan definisi yang akurat dan asumsi – asumsi yang jelas yang didasarkan pada pembuktian logika deduktif. Platon berpendapat bahwa geometri tidak perlu dibuktikan secara empiris menggunakan jangka dan busur. Platon juga merupakan orang yang pertamakali mendorong penyelidikan tiga masalah klasik geometri yang telah dibahas di awal artikel ini dan pada beberapa sumber, Platon dianggap sebagai pencetus problema ini, meskipun sebenarnya tidak. Kontribusi Platon yang paling terkenal di bidang matematika adalah identifikasinya tentang bidang tiga dimensi simetris yang dikenal sebagai Bangun Ruang Platonik. Platon menganggap bangun ruang simetris ini merupakan unsur – unsur pembangun semesta. Bangun Ruang Platonik meliputi: tetrahedron (yang dibangun dari empat buah segitiga, bagi Platon bangun ruang ini merepresentasikan api); oktahedron (yang dibangun dari delapan buah segitiga yang mewakili unsur udara); ikosahedron (tersusun dari 20 buah segitiga, mewakili unsur air); kubus (terdiri dari enam buah persegi, melambangkan unsur tanah); dan dodekahedron (disusun dari 12 buah segilima, yang dianggap mewakili unsur surgawi).
15 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
Gambar 16. Bangun Ruang Platonik
Kubus dan dodekahedron nampaknya sudah diketahui dan dipelajari oleh Ordo Pythagorean, sementara ikosahedron dan oktahedron nampaknya ditemukan oleh Theatetos di bawah supervisi dari Platon. Sesungguhnya Euklides –lah pada periode helenistik yang merangkumnya. Tetapi, bangun ruang simetris ini lebih dikenal sebagai Bangun Ruang Platonik yang mendorong para matematikawan periode setelahnya untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Sebagai contoh, Johannes Kepler pada abad ke – 15, ia merancang suatu sistem koordinat benda langit berdasarkan Bangun Ruang Platonik guna mengestimasikan jarak suatu planet terhadap matahari (meskipun hasil akhirnya mengecewakan, karena tidak sesuai dengan hasil observasi). Platon percaya bahwa objek semesta ini terbagi menjadi dua bagian, yang material dan yang non-material. Kursi dan kuda misalnya, kedua benda tersebut termasuk ke dalam objek material. Jiwa dan bilangan termasuk ke dalam realitas non-material. Gambar persegi termasuk ke dalam objek material, sementara persegi itu sendiri merupakan realitas non-material. Platon sempat menasihati siswa di Akademia berkaitan dengan pelajaran geometri yang ia berikan: “Manfaatkan bentuk – bentuk matematis yang nampak, meskipun objek matematis tersebut tidak menggambarkan apa yang menjadi realitas yang sejati. Tetapi, dari objek matematis tersebut kalian akan mendapatkan kemiripan dengan idea sejati. Ambillah contoh pada bidang persegi, kita dapat menaksir idea persegi berdasarkan misalnya forma diagonal. Jadi, pengetahuan kita tentang persegi yang benar tidak didapatkan dari gambar persegi tersebut.” (Politeia 510d). Menurut Platon, realitas material selalu bersifat sementara, berubah dan tidak sempurna. Gambar suatu persegi dapat dihapus; sudut – sudut pada gambar tersebut selalu bukan sudut sejati dari idea persegi dan garis yang tergambar juga tidak selalu berupa garis lurus. Di sisi lain, realitas non-material bersifat tetap; pasti; dan sempurna. Suatu persegi sempurna misalnya memiliki sisi – sisi yang jauh lebih tipis dan memiliki kelurusan yang absolut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa persegi dalam realitas nonmaterial merupakan persegi yang sempurna. Kita dapat mengetahui secara pasti bahwa 16 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
setiap persegi memiliki dua sisi diagonal yang sama. Maka dari itu, persegi bagi Platon bukan merupakan abstraksi mental belaka. Sebaliknya, konsep persegi bukanlah suatu konsep yang bersifat partikular. Proses kita untuk memahami idea persegi sama seperti proses mata melihat objek – objek yang terlihat yang berada secara independen di luar tubuh manusia, begitupun dengan ‘mata’ jiwa kita yang mampu untuk mengintuisikan objek – objek yang berada secara independen di luar jiwa manusia. Secara kasar bagi Platon segala sesuatu yang bersifat material itu buruk dan yang bersifat non-material dikonotasikan sebagai sesuatu yang baik. Sebagai contoh, Cinta Platonik antara Sandy dengan Priska itu baik; sementara hubungan seksual antara Priska dengan Ivan itu buruk (meskipun mereka sudah terikat oleh sakramen perkawinan, yang bagi Platon hanya meminimalkan keburukan). Pada akhir Buku VI Politeia, Platon membagi objek ke dalam dua bagian realitas dengan garis lurus 𝐴𝐸 (Gambar 17). Realitas material dan non-material dipisahkan oleh garis horizontal pada 𝐶. Bagian 𝐴𝐶 dibagi lagi oleh garis horizontal pada 𝐵 dan bagian 𝐶𝐸 dipisahkan oleh garis horizontal pada 𝐷. Sub-bagian 𝐷𝐸 merepresentasikan gambaran, refleksi dan bayangan dari objek – objek fisik. Sub-bagian 𝐶𝐷 merepresentasikan objek – objek fisik itu sendiri. Pada bagian realitas non-material, sub-bagian 𝐵𝐶 merepresentasikan objek – objek matematis dan 𝐴𝐵 merupakan forma Platonisian. Forma ini terdiri dari sifat – sifat kesempurnaan universal seperti, kebaikan; keugaharian; kebulatan; kelurusan; dll. Menurut Platon, jika suatu objek fisik dikatakan bulat, maka itu tak lain akibat emanasi dari forma kebulatan. Objek matematis bagi Platon berbeda dengan forma, karena objek matematis beragam, sedangkan forma bersifat tunggal. Misalnya, kita dapat membandingkan antara lebih dari satu lingkaran, sedangkan kita tidak bisa membandingkan sifat keugaharian yang berbeda.
Gambar 17. Pembagian Realitas Menurut Platon
Bagi Platon, langkah awal untuk mencecap realitas non-material (mencapai suatu keutamaan/ arete) adalah mempelajari matematika. Seseorang harus mempelajari 17 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
geometri untuk memudahkan ia dalam proses menangkap ide tentang kebenaran dan seseorang harus mempelajari teori bilangan untuk memfasilitasi evolusi jiwanya dari dunia material ke dunia non-material (Politeia 525c dan 526e). Platon adalah filsuf Yunani Klasik yang pertamakali mengusulkan bahwa matematika merupakan jalan yang harus dilalui dalam perziarahan menuju keutamaan.
III.
Gagasan Matematika Aristoteles Aristoteles merupakan pelajar Akademia yang menuntut ilmu di sana sepanjang 20 tahun. Akan tetapi, dalam hal merumuskan kodrat matematika, ia tidak sejalan dengan Platon. Bagi Aristoteles, kata ‘satu’ bukan merujuk pada suatu hal yang abstrak, melainkan selalu merujuk pada objek fisik, misalkan ‘satu botol anggur merah’. Kontribusi Aristoteles dalam matematika terbagi menjadi dua bagian, yaitu pada bidang logika dan konsepnya tentang ketidakberhinggaan. Hanya tentang Logika Aristotelian yang dibahas di sini. Sedangkan tentang ketidakberhinggaan akan dibahas pada lain waktu. Logika Aristotelian terbagi ke dalam dua bagian, yaitu analytika (yang biasa disebut sebagai logika dalam kehidupan sehari – hari) bertujuan untuk memeriksa argumentasi yang bertumpu pada pengambilan keputusan yang benar dan dialektika (yang disebut oleh Aristoteles sebagai logika) bertujuan untuk menelusuri argumen yang bertolak dari hipotesis, yaitu anggapan dasar yang masih harus diverifikasi. Aristoteles menyandarkan sistematika logika –nya pada tiga prinsip utama, yaitu kategoria (pangkal dari predikat); prinsip identitas; dan syllogismos. Idea yang ditangkap manusia sebagai konsep, diterangkan oleh Aristoteles sebagai term (istilah). Idea di alam semesta bagi Aristoteles terbagi ke dalam 10 kategoria, yaitu: - Substansi, - Kualitas, - Kuantitas, - Relasi, - Tempat, - Sikap (to be), - Keadaan (to have), - Kerja/ fungsi (aktif), - Derita/objek (pasif). Sementara itu, kategoria hanya mungkin jika prinsip identitas diakui. Contohnya, ‘Dia adalah Sandy’. Sedangkan prinsip identitas hanya mungkin jika prinsip nonkontridiksi juga diakui, misalnya ‘Sandy bukan Ivan’. Tidak mungkin jika ‘Sandy sekaligus Ivan’. Di sini juga berlaku prinsip eliminasi, misalkan ‘Dia Sandy atau bukan Sandy’, di mana kemungkinan ketiga tidak ada. Berdasarkan prinsip – prinsip inilah, kemudian dapat dibangun proses logika yang sistematis, yakni melalui dua kemungkinan berikut: pertama analytika priori 18 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
yang dilakukan dalam logika formal atau disebut juga sebagai logika minor. Kedua, melalui analytika posteriori yang berkaitan dengan persoalan yang lebih sukar dan mendasar, serta dilakukan dalam logika material atau disebut juga logika mayor. Logika formal atau analytika priori terdiri atas dua macam proses pengambilan keputusan, yaitu secara deduktif dan induktif. Proses pengambilan keputusan secara induktif terjadi jika rasio membuat kesimpulan abstrak (umum) dari hal – hal konkret (khusus). Proses pengambilan keputusan secara deduktif terjadi jika rasio membuat kesimpulan dengan bergerak dari kebenaran universal menuju suatu keputusan baru. Dengan kata lain, penalaran induktif lebih banyak bergantung pada unsur – unsur material, sedangkan penalaran deduktif dianggap tidak bergantung pada pengalaman – pengalaman inderawi. Karena itu bagi Aristoteles, proses penalaran deduktif merupakan hal yang penting bagi penemuan pengetahuan yang baru. Logika material/ analytika posteriori bekerja melalui tiga cara, yaitu syllogismos demonstratif; syllogismos dialektik; dan syllogismos sofistik. Sains bagi Aristoteles sesungguhnya bersifat sangat demonstratif. Pandangan ini mencerminkan orientasi Aristoteles yang bersifat empiris berlawanan dengan Platon yang bersifat idealistis. Sementara itu, syllogismos dialektik tidak mutlak bertumpu pada kebenaran niscaya, tetapi dapat bekerja berdasarkan prinsip – prinsip yang mungkin (probable principles) guna menarik kesimpulan. Aristoteles merupakan orang pertama yang merumuskan apodiksi dalam bentuk syllogismos. Berikut ini ditampilkan contoh klasik penerapan syllogismos: 1. Premis Mayor (PM): Semua orang Kristen brengsek. (M→P) 2. premis minor (pm): Ivan adalah orang Kristen. (S→M) 3. Kataleze: Ivan brengsek. (S→P) Dalam prosedur ini, M (middle term) merupakan kunci yang menghubungkan PM dengan pm sedemikian rupa, sehingga S (subjek) tidak mungkin selain P (predikat). Logika klasik yang dirintis oleh Aristoteles merupakan fondasi bagi perkembangan logika simbolik yang dimulai pada abad ke – 19 lalu. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Immanuel Kant, semenjak dua ribu tahun penemuan logika, hampir tidak ada perkembangan yang berarti pasca Logika Aristotelian. Kendati demikian, dalam Critique of Pure Reason, Kant juga mengkritik Aristoteles dengan mengajukan hanya terdapat empat buah kategori yang berlaku dalam Logika Transendental Kantian, yaitu: -
Kuantitas, Kualitas, Kausalitas, dan Modalitas.
19 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o
Diskusi Lingkar Kajian Matematika ITB: ‘Jejak Matematika Dalam Filsafat Yunani Klasik Plato dan Pythagoras’ Bandung, 4 November 2016
DAFTAR BACAAN
Anglin, W.S. (1991). Mathematics: A Concise History and Philosophy. New York: SpringerVerlag. Anglin, W.S. dan Lambek, J. (1991). The Heritage of Thales. New York: Springer. Bertens, K. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Copleston, F. (1993). A History of Philosophy (vol. 1): Greek and Rome. New York: Image Books. Gunawan, H. (2005). Catatan Kuliah MA1121 Pengantar Matematika. Bandung: KK Analisis & Geometri, FMIPA ITB. Herho, S.H.S. (2016). Pijar Filsafat Yunani Klasik. Bandung: PSIK ITB. Wibowo, A.S.(2010). Areté: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius.
20 | S e j a r a h P e m i k i r a n M a t e m a t i k a w a n Y u n a n i K u n o