Sejarah Singkat Indonesia Era Kemerdekaan sampai Reformasi Dengan memundurnya keadaan militer Jepang di Indonesia akibat dari kekalahankekalahan Jepang di berbagai medan pertempuran, mengakibatkan mengakibatkan jepang kehilangan kewibawaannya di mata rakyat Indonesia. Kondisi tersebut membuat jend. Kuniaki Koiso memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia kelak di kemudian hari, dengan tujuan agar rakyat Indonesia tidak melakukan perlawanan. Dalam perjalanannya menyongsong kemerdekaan, dibentuklah BPUPKI dan PPKI. BPUPKI bertugas merumuskan dasar Negara dan membuat UUD(termasuk pembukaan). Dengan selesainya tugas BPUPKI dibentuklah PPKI. PPKI bertugas memilih presiden dan wakilnya,membentuk KNIP, KNI, PNI, BKR. Namun sebelum proklamasi berkumandang, terjadi peristiwa Rengasdengklok, dimana Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok oleh golongan muda karena perbedaan pendapat,setelh itu terjadilah kesepakatan bahwa Proklamasi Indonesia akan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Proklamasi proklamirkan pada 17 agustus 1945 pukul 10.00 WIB di rumah Soekarno Jl. Pegangsaan timur no. 56 Jakarta. Oleh warga Indonesia berita kemerdakaan kemerdakaan disebarkan melalui berbagai media. Diawal kemerdekaan keadaan ekonomi Indonesia memburuk, salah satu penyebabnya adlah blockade ekonomi belanda. Hal ini menyebabkan barang-barang dagangan milik RI tidak dapat diekspor dan hanya dibumuhanguskan. Namun RI juga berusaha mengatasinya, salah satunya usaha menembus blockade Belanda ialah dengan membantu Negara India dalam member bantua beras, sehingga India juga membantu Indonesia. Untuk menindak menindak lanjuti keadaan keadaan politik Indonesia melakukan beberapa kebijakan, diantarannya Pembentukan ParPol, Perubahan otoritas KNIP, Perubahan system Pemerintahan dan pindahnya ibu kota Negara ke DI Yogyakarta. Diawal kemerdekaan Indonesia juga mengalami beberapa konflik, yakni : kedatangan tentara sekutu dan NICA,konflik dengan Belanda di berbagai daerah,Perjuangan diplomasi Indonesia dengan mengadakan perjanjian-perjanjian karena menghadapi serangan agresi militer Belanda. Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949, setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, n egosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB. Pada tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan gerakan yang disebut “ aksi sepih ak “ para petani dan buruh dibantu olrh kader PKI melakukan alih tanah penduduk, melakukan
aksi demonstasi dan pemogokan. Pada tahun 1965 PKI mengajukan gagasan tentang pembentukan angkatan ke-5 yakni para petani dan buruh yang dipersenjatai,dengan tujuanmenggalang kekuatan menghadapi neokolonialisme-imperialisme inggris dalam rangka dwikora. Pada mei 1965 PKI melempar isu tentang adanya dewan jendral dalam tubuh Angkatan Darat yang menyebabkan tidak harmonisnya hubungan antara PKI dan AD.
Pada juli 1965 tersiar kabar bahwa presiden soeharto jatuh sakit, hal tersebut menimbulkan kegentingan di Indonesia yang mencapai puncaknya pada 30 September 1965, yaitu adanya kudeta yang dilakukan oleh PKI. Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya up aya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orangorang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, politik Indonesia memberlakukan Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950). Indonesia mengadopsi demokrasi liberal dengan system pemerintahan parlementer. Situasi poloyik menjadi tidak stabil karena sering terjadi pergantian cabinet dan pertentangan pertentangan politik diantara partai-partai partai-partai yang ada. Pada pemerintahan liberal terjadi pergantian 7 kabinet, dan h ampirsemua cabinet yang dibentuk berdasarkan keahliannya (zaken). Kehidupan ekonomi pada masa liberal masih sangat terbelakang. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengubah struktur ekonomi colonial ke ekonomi nasional berjalan tersendat-sendat. Untuk mengatasi kesulitankesulitan ekonomi, pemerintah juga melakukan beberapa kebijakan, diantaranya: gunting syarifuddin, system ekonomi gerakan benteng, benteng, nasionalisasi De Javasche Bank, system ekonomi Ali baba, Finek. Pemulihan Pe mulihan umum pertama dilaksanakan tahun1955 dan merupakan pemilu paling demokratis yang pernah digelar Indonesia. Pemilu dilakukan dua kali, yang pertama adalah pemilihan DPR dan yang kedua adalah adalah konstituante. Setelah Setelah pemilu 1955 terjadi ketegangan dalam pemerintahan. Penyebabnya adlah banyaknya mutasi yang dilakukan beberapa kementrian. Akibat jatuh bangunnya cabinet dan adanya kenyataan bahwa konstituante hasil pemilu 1955 ti ak bias menyelesaikan tugasnya, maka presiden mengeluarkan dekret 5 juli 1955. Dan pada masa demokrasi terpimpin dalam rangka meningkatkan perekonomian, pemerintah mengambil beberapa kebijakan, diantaranya, devaluasi mata uang rupiah, menekan laju inflasi dan melaksanakan pembangunan nasional. Soekarno melalui Supersemar memerintah soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan mengembalikan kewibawaan pemerintah.Karena terdapat dualisme kepemimpinan yakni presiden ditangan Ir. Soekarno sebagai kepala Negara dan Soeharto sebagai kepala pemerintahan maka MPRS mengadakan sidang. Sidang pada tanggal 2-12 maret 1967 tentang pencabutan seluruh kekusaan Negara dan pemerintahan dari tangan Soekarno. Dan sidang tanggal 21-20 maret berisi tentang pengangkatan Soeharto sebagai presiden sampai pemilu yang akan datang.Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia p ada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan
PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan- kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB
kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam
dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan mene mpuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai dengan tuntutan demokratisasi disegala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadikan perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus bergulir melalui agenda reformasi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, diantaranya, krisis politik,krisis hokum, krisis ekonomi,krisis social dan krisis kepercayaan. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia). Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia. Ketika menjabat sebagai presiden, ada lima isu besar yang harus dihadapi B.J. Habibie, yakni masa depan reformasi, BRI, daerah-daerah yan ingin memisahkan diri, soeharto dan kroni-kroninya dan masa depan perekonomian dan kesejahteraan kesejahteraan rakyat. Namun pada tahun1999 tahun1999 Timor-Timur memisahkan diri dari NKRI. Sebagian berpendapat bahwa lepasnya Timor Timur adalah tanggung jawab Habibie. Dan pada pemilu 1999 terpilihlah K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden yang ke-4. Dengan wakilnya Megawati Soekarno Putri, Gus dur bekerja sama membentuk cabinet Persatuan Nasional. Setelah turunnya Gus dur dari kursi kepresidenan. Megawati naik menjadi presiden yang ke-5. Dalam pemerintahannya, pulau sipadan dan ligitan lepas ke tangan Malaysia, Papua pecah menjadi 3 provinsi. Pada pemilu 2004, Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan wakilnya Jusuf Kalla. SBY-JK membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, anggota-anggotanya dilantik pada 21 oktober 2004. Salah satu kebijakan SBY ialah soal Aceh. SBY memperpanjang status darurat sipil dan mengadakan perundingan damai dengan GAM di Helsinki, Finlandia. Pada tahun pemilu 2009, SBY kembali mencalonkan diri menjadi presiden periode 2009-2014 dengan
wakilnya Budiona. Sedang JK juga mencalonkan diri menjadi presiden. Namun pemilu 2009 dimenangkan olo\eh SBY-Budiono dengan pero\iode jabatan 2009-2014
SEJARAH SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DARI MASA KE MASA Sudah hampir 66 tahun Indonesia merdeka. Akan tetapi kondisi perekonomian Indonesia tidak juga membaik. Masih terdapat ketimpangan ekonomi, tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, serta pendapatan per kapita yang masih rendah. Untuk dapat memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia, kita perlu mempelajari sejarah tentang perekonomian Indonesia dari masa orde lama hingga masa reformasi. Dengan mempelajari sejarahnya, kita dapat mengetahui kebijakan-kebijakan ekonomi apa saja yang sudah diambil pemerintah dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia serta dapat memberikan kontribusi untuk mengatasi permasalah ekonomi yang ada. Sistem perekonomian Indonesia dibagi menjadi 3 yaitu Pemerintahan pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi. PEMERINTAHAN MADA MASA ORDE LAMA Pemerintahan pada masa orde lama dibagi menjadi tiga yaitu a. Masa pasca Kemerdekaan (1945-1950) Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh : 1. Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank ,mata uang pemerintah Hindia Belanda,dan mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI ( Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerahdaerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. 2. Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI. 3. Kas Negara kosong 4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain : 1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946. 2. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India (India merupakan Negara yang mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-obatan kepada Indonesia),mengadakan kontak dengan perusahaan swasta
Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia. 3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan. 4. .Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. 5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan). b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957) Permasalah ekonomi yang dihadai oleh bangsa Indonesia masih sama seperti sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain : 1. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi. Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) 2. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. (Kabinet Sukiman) 3. Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. (Kabinet ini sangat melindungi importer pribumi, sangat berkeinginan mengubah perekonomian dari struktur colonial menjadi nasional) 4. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.(Kabinet Burnahudin)
c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967) Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain : 1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan. 2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%. 3. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi. PEMERINTAHAN MASA ORDE BARU Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru antara lain : a. Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas) Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan menurunnya pendapatan negara. b. Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan penjadualan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada, terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara – negara maju. Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang dan tahun 1987 naik ke peringkat
keempat. Ironisnya, di tahun 1986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar hutang lama ditambah bunganya. Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”. Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut : a. Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah melakukan berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong atau menghapus berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan uang ketat) demi mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang realistik (terutama melalui devaluasi September 1986). b. Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif. Kebijakan “Paknov 1988” yang menghapus monopoli impor untuk beberapa produk baja dan bahan baku penting lain, telah mendorong mekanisme pasar berfungsi efektif pada saat itu. c. Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi fiskal, meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial dan menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan melonggarkan pembatasan. d. Kebijakan menciptakan lingkungan legal yang bisa mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu. Dampak dari kebijakan tersebut cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti investasi asing terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan sistem pajak, produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga meningkat. Namunhutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Pemerintahan Orde Baru runtuh. Pemerintahan Orde Baru membangun ekonomi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi tanpa memperhatikan pondasi ekonomi yang memberikan dampak sebagai berikut:
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan untuk mendukung proses industrialisasi. Barang – barang impor (berasal dari luar negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut. Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta pengusaha – pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang menikmati hasil pembangunan. PEMERINTAHAN REFORMASI Pemerintahan reformasi diawali pada tahun 1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo menuntut presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan Bapak Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta).Pemerintahan reformasi dari tahun 1998 sampai sekarang sudah mengalami beberapa pergantian presiden, antara lain yaitu 1. Bapak B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999) Pada saat pemerintahan presdiden B.J Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan perubahan-perubahan yang cukup berarti di bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk menstabilkan keadaan politik di Indonesia. Presiden B.J Habibie jatuh dari pemerintahannya karena melepaskan wilayah Timor-timor dari Wilayah Indonesia melalui jejak pendapat 2. Bapak Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001) Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman wahid pun belum ada tindakan yang cukup berati untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Kepemimpinan Abdurraman Wahid berakhir karena pemerintahannya mengahadapi masalah konflik antar etnis dan antar agama.
3. Ibu Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) Masa kepemimpinan Megawati mengalami masalah-masalah yang mendesak yang harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hokum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai persoalan-persoalan ekonomi antara lain : a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi sangat berkurang. 4. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004-sekarang) Masa kepemimpinan SBY terdapat kebijakan yang sikapnya kontroversial yaitu a. mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke sector pendidikan dan kesehatan, serta bidangbidang yang mendukung kesejahteraan masyarakat. b. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. c. Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepaladaerah. Investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah. d. Lembaga kenegaraan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dijalankan pada pemerintahan SBY mampu memberantas para koruptor tetapi masih tertinggal jauh dari jangkauan sebelumnya karena SBY menerapkan sistem Soft Law bukan Hard Law. Artinya SBY tidak menindak tegas orang-orang yang melakukan KKN sehingga banyak terjadi money politic dan koruptor-koruptor tidak akan jera dan banyak
yang mengulanginya. Dilihat dari semua itu Negara dapat dirugikan secara besar-besaran dan sampai saat ini perekonomian Negara tidak stabil. e. Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas dikarenakan persediaan bahan bakar minyak semakin menipis dan harga di pasaran tinggi. f. Kebijakan impor beras, tetapi kebijakan ini membuat para petani menjerit karena harga gabah menjadi anjlok atau turun drastis Pada tahun 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF (International Monetary Fund ). Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Pengeluaran Negara pun juga semakin membengkak dikarenakan sering terjadinya bencana alam yang menimpa negeri ini.
ANALISA SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia
dengan
daerah-daerah
di
Barat
(kekaisaran
Romawi).
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu,
karena
mereka
justru
diuntungkan
oleh
banyaknya
kapal
yang
“mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia. Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini. Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi. SEBELUM
KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda Vereenigde
(sebutan
untuk Oost-Indische
Indonesia Compagnie
saat
itu). (VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama
pedagang
Belanda,
sekaligus
untuk
menyaingi
perusahaan
imperialis
lain
seperti
EIC
(Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi : 1.
a.Hak
2.
b.Hak
3.
mencetak
mengangkat
c.Hak
dan
menyatakan
uang
memberhentikan
pegawai
dan
damai
bersenjata
sendiri
perang
4.
d.Hak
untuk
membuat
angkatan
5.
e.Hak
untuk
membuat
perjanjian
dengan
raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak
berarti
bahwa
seluruh
ekonomi
Nusantara
telah
dikuasai
VOC.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik
ton,
melebihi
ekspor
cengkeh
yang
Cuma
1.050
metrik
ton.
Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870an. Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan
itu
nampak
pada
defisitnya
kas
VOC,
yang
antara
lain
disebabkan
oleh
:
a.Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro. b.Penggunaan c.Korupsi
sewaan
yang
d.Pembagian Maka,
tentara
VOC
dividen
membutuhkan
dilakukan kepada
diambil-alih
para
(digantikan)
pegawai pemegang oleh
republik
biaya
besar.
VOC
saham, Bataaf
walaupun (Bataafsche
sendiri. kas
defisit. Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai
puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade
Inggris
di
Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda. Pendudukan
Inggris
(1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang berkembang
di
Eropa,
antara
lain
:
a.Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus (melebihi permintaan). b.Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan
(oleh
Inggris)
dan
peranan
penduduk
dalam
menyerap
hasil
produksi.
c.The quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang yang
beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain
:
a.Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas
tanah
b.Pegawai
pengukur
yang tanah
dari
kena
Inggris
sendiri
pajak.
jumlahnya
terlalu
sedikit.
c.Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun. Cultuurstelstel Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh
kerugian akibat
perang
dengan
Napoleon
di
Belanda langsung
tergantikan
berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada
masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram –yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan –dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi
yang
masuk
gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk
yang
melakukan
kegiatan
ekonomi
nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai
leih
ini
Sistem
meningkatkan Ekonomi
kesejahteraan
Belanda
Pintu
sebagai
kapitalis.
Terbuka
(Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturanperaturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih
tak
lepas
dari
teori-teori
mazhab
klasik,
antara
lain
terlihat
pada
:
a.Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai
golongan
kapitalis,
dan
masyarakat
pribumi
sebagai
buruh
penggarap
tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat
tersebut.
c.Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih
memegang
peran
yang
besar
sebagai
penjajah
yang
sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan,
terutama
bagi
para
Pendudukan
kuli
kontrak
yang
pada
umumnya
Jepang
tidak
diperlakukan
layak.
(1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam
struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya
didapat
dengan
jalan
impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik. II.ORDE LAMA
Masa
Pasca
Kemerdekaan
(1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh : Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan
tingkat
harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI. Kas
negara
kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. Usaha-usaha Program
yang
dilakukan
mengatasi
kesulitan-kesulitan
ekonomi,
antara
lain
:
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP,
dilakukan Upaya
untuk
pada
bulan
Juli
1946.
menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta
Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah
sandang,
Pembentukan
Rekonstruksi
serta
Planning
status Board
administrasi
Perancang
Ekonomi)
perkebunan-perkebunan. 19
Januari
1947
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 >>mengalihkan tenaga bekas angkatan perang
ke Kasimo
(Badan
dan
bidang-bidang
produktif.
Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan
yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa
Demokrasi
Liberal
(1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia
yang
Usaha-usaha
yang
dilakukan
baru
untuk
mengatasi
masalah
merdeka. ekonomi,
antara
lain
:
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang
beredar
agar
tingkat
harga
turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaanperusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan
fungsi
sebagai
bank
sentral
dan
bank
sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. Masa
Demokrasi
Terpimpin
(1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum
mampu
memperbaiki
keadaan
ekonomi
Indonesia,
antara
lain
:
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang
melebihi
25.000
dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada
1961-1962
harga
barang-baranga
naik
400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain. III.ORDE BARU
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per
tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisikondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai
berkiblat
pada
teori-teori
Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita
(Pembangunan
lima
tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah
kelahiran
lewat
KB
dan
pengaturan
usia
minimum
orang
yang
akan
menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi. IV.ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa
kepemimpinan
Megawati
Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan
yang
ditempuh
untuk
mengatasi
persoalan-persoalan
ekonomi
antara
lain
:
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan
pembayaran
utang
luar
negeri
sebesar
Rp
116.3
triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu
banyak
kontroversi,
karena
BUMN
yang
diprivatisasi
dijual
ke
perusahaan
asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa
Kepemimpinan
Susilo
Bambang
Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai
masalah
sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji
memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November
2006
lalu,
yang
mempertemukan
para
investor
dengan
kepala-kepala
daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia,
diharapkan
jumlah
kesempatan
kerja
juga
akan
bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif
A. PANCASILA DI ERA PRA KEMERDEKAAN Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “sejarah merupakan guru kehidupan”. Sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64). Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendekiawanpolitisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization ” (tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42). Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “ confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang “terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
Nilai-Nilai Pancasila dalam sejarah Perjuangan Bangsa Menurut sejarah pada kira-kira abad VII-XII, bangsa Indonesia telah mendirikan kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIII-XVI didirikan pula kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia masa itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa yang mempunyai negara. Kedua kerajaan itu telah merupakan negara-negara berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara ini, kedua zaman kerajaan itu telah mengalami kehidupan masyarakat yang sejahtera. Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: Pertama, zaman Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400). Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525). Kedua tahap negara kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga, negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 (Sekretariat Negara.RI. 1995:11).
Masa Kerajaan Sriwijaya
Pada abad ke VII berdirilah kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa Syailendra di Sumatera. Kerajaan
yang
berbahasa
Melayu
Kuno
dan
huruf pallawa adalah kerajaan
maritime yang
mengandalkan jalur perhubungan laut. Kekuasaan Sriwijaya menguasai selat Sunda (686), kemudian Selat Malaka (775). Sistem perdagangan telah diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui pegawai raja membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan rakyat sehingga rakyat mengalami kemudahan dalam pemasarannya. Dalam sistem pemerintahan sudah terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rohaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehingga saat itu kerajaan dapat menjalankan sistem negaranya dengan nilai-nilai Ketuhanan (Kaelan,1999:27) Pada zaman Sriwijaya telah didirikan Universitas Agama Budha yang sudah dikenal di Asia. Pelajar dari Universitas ini dapat melanjutkan ke India, banyak guru-guru tamu yang mengajar di sini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya sebagai terebut dalam perkataan “ marvuat vannua Criwijaya ssiddhayatra subhiksa” (suatu
cita-cita negara yang adil dan makmur).(1999:27).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an, Kemanusiaan, Persatuan, Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara kongkrit. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur (Dardji Darmodihardjo.1974:22-23). Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu: 1)
Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif. 3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara. 4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu. 5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.
2. Masa Kerajaan Majapahit Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke VII), Sanjaya (abad ke VIII), sebagai
refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX) dan candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X). Di Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX), Dharmawangsa (abad ke X), Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa telah hidup berdampingan secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam kerajaan ini, terbukti menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Sebagai nilai-nilai sila keempat telah terwujud yaitu dengan diangkatnya Airlangga sebagai raja melalui musyawarah antara pengikut Airlangga dengan rakyat dan kaum Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada saat raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian rakyat (Aziz Toyibin. 1997:28-29). Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Zaman Keemasan Majapahit pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari semananjung Melayu sampai ke Irian Jaya. Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai , Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama saat itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk agama Islam. Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan
baik dengan
kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Mengadakan persahabatan dengan negaranegara tetangga atas dasar “ Mitreka Satata”. Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sundda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60). Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama. Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya .
Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Sistem Penjajahan Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama rempah-rempah yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara di luar Indonesia, menyebabkan bangsa Asing masuk ke Indonesia. Bangsa Barat yang membutuhkan rempah-rempah itu mulai memasuki Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Kemasukan bangsa Barat seiring dengan keruntuhan Majapahit sebagai akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti nilai-nilai nasionalisme sudah ditinggalkan, walaupun abad ke XVI agama Islam berkembang dengan pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam,
seperti
Samudra
Pasai
dan
Demak,
nampaknya
tidak
mampu
membendung tekanan Barat memasuki Indonesia. Bangsa-bangsa Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi Indonesia ini. Maka sejak itu mulailah lembaran hitam sejarah Indonesia dengan penjajahan Barat, khususnya Belanda. Masa pejajahan Belanda itu dijadikan tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai citacitanya, sebab pada zaman penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia pada zaman Sriwijaya dan Majapahit menjadi hilang. Kedaulatan negara hilang , persatuan dihancurkan, kemakmuran lenyap, wilayah dinjak-injak oleh penjajah.
Perjuangan Sebelum Abad ke XX Penjajahan Barat yang memusnahkan kemakmuran bangsa Indonesia itu tidak dibiarkan begitu saja oleh segenab Bangsa Indonesia. Sejak semula imprialis itu menjejakkan kakinya di Indonesia, di mana-mana bangsa Indonesia melawannya dengan semangat patriotik melalui perlawanan secara fisik. Kita mengenal nama-nama Pahlawan Bangsa yang berjuang dengan gigih melawan penjajah. Pada abad ke XVII dan XVIII perlawanan terhadap penjajah digerakkan oleh pahlawan Sultan Agung(Mataram
1645), Sultan
Makasar 1660), Iskandar
Ageng
Muda Aceh
Tirta
Yasa dan Ki
1635) Untung
Tapa (Banten
1650), Hasanuddin
Surapati dan Trunojoyo (Jawa
Timur
1670), Ibnu Iskandar (Minangkabau 1680) dan lain-lain. Pada permulaan abad ke XIX penjajah Belanda mengubah sistem kolonialismenya yang semula berbentuk perseroan dagang partikelir yang bernama VOC berganti dengan Badan Pemerintahan resmi yaitu Pemerintahan Hindia Belanda. Semula pernah terjadi pergeseran Pemerintahan penjajahan dari Hindia Belanda kepada Inggris, tetapi tidak berjalan lama dan segera kembali kepada Belanda lagi. Dalam usaha memperkuat kolonialismenya Belanda menghadapi perlawanan bangsa Indonesia
yang
1837), Diponogoro
dipimpin di
oleh Patimura (1817), Imam
Mataram
Bonjol di
(1825-1830), Badaruddin di
Minangkabau
Palembang
(1822-
(1817), Pangeran
Antasari di Kalimantan (1860) Jelantik di Bali (1850), Anang Agung Made di Lombok (1895) Teuku Umar , Teuku Cik Di Tiro, Cut Nya’Din di Aceh (1873-1904), Si Singamangaraja di Batak (1900).
Pada Hakikatnya perlawanan terhadap Belanda itu terjadi hampir setiap daerah di Indonesia. Akan tetapi perlawanan-perlawanan secara fisik terjadi secara sendiri-sendiri di setiap daerah. Tidak adanya persatuan serta koordinasi dalam melakukan perlawanan sehingga tidak berhasilnya bangsa Indonesia mengusir kolonialis, sebaliknya semakin memperkukuh kedudukan penjajah. Hal ini membuktikan betapa pentingnya rasa persatuan (nasionalisme) dalam menghadapi penjajahan.
2. Kebangkitan Nasional 1908 Pada permulaan abad ke XX bangsa Indonesia mengubah cara-caranya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Kegagalan perlawanan secara fisik yang tidak adanya kordinasi pada masa lalu mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia abad ke XX itu untuk merubah bentuk perlawanan yang lain. Bentuk perlawanan itu ialah dengan membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya bernegara. Usaha-usaha yang dilakukan adalah mendirikan berbagai macam organisasi politik di samping organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial. Organisai sebagai pelopor pertama adalah Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Mereka yang tergabung dalam organisasi itu memulai merintis jalan baru ke arah tercapainya cita-cita perjuangan bangsa Indonesia., tokohnya yang terkenal adalah dr. Wahidin Sudirohusodo. Kemudian bermunculan organisasi pergerakan lain, yaitu Sarikat Dagang Islam (1909), kemudian berubah bentuknya menjadi pergerakan politik dengan menganti nama menjadi Sarikat Islam (1911) di bawah pimpinan H.O.S.
Tjokroaminoto.
Berikutnya
muncul
pula Indische
Parti (1913)
dengan
pimpinan Douwes Dekker , Ciptomangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara, namun karena terlalu radikal sehingga pemimpinnya di buang ke luar negeri (1913). Akan tetapi perjuangan tidak kendur karena kemudian berdiri Partai Nasi onal Indonesi a (1927) yang di pelopori oleh Sukarno dan kawan-kawan.
3. Sumpah Pemuda 1928 Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencapai
cita-citanya.
Pemuda-pemuda
Indonesia
yang
di
pelopori
oleh
Muh.
Yamin,
Kuncoro Purbopranoto dan lain-lain mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan akan adanya Bangsa, tanah air dan bahasa satu yaitu Indonesia. Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh Bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa itu diperlukan adanya persatuan sebagai suatu bangsa yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali pengikat persatuan itu adalah Bahasa Indonesia. Realisasi perjuangan bangsa pada tahun 1930 berdirilah Partai Indonesia
yang disingkat
dengan Partindo (1931) sebagai pengganti PNI yang dibubarkan. Kemudian golongan Demokrat yang
terdiri
dari Moh.
Hatta dan Sutan
Syahrir
mendirikan PNI
semboyan kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.
Perjuangan Bangsa Indonesia Zaman Penjajahan Jepang
Baru,
dengan
Pada tanggal 7 Desember 1941 meletuslah Perang Pasifik , dengan dibomnya Pearl Harbour oleh Jepang. Dalam waktu yang singkat Jepang dapat menduduki daerah-daerah jajahan Sekutu di daerah Pasifik. Kemudian pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia menghalau penjajah Belanda, pada saat itu Jepang mengetahui keinginan bangsa Indonesia, yaitu Kemerdekaan Bangsa dan tanah air Indonesia. Peristiwa penyerahan Indonesia dari Belanda kepada Jepang terjadi di Kalijati Jawa Tengah tanggal 8 Maret 1942. Jepang mempropagandakan kehadirannya di Indonesia untuk membebaskan Indonesia dari cengkraman Belanda. Oleh sebab itu Jepang memperbolehkan pengibaran bendera merah putih serta menyanyikan lagu Indonesia raya. Akan tetapi hal itu merupakan tipu muslihat agar rakyat Indonesia membantu Jepang untuk menghancurkan Belanda. Kenyataan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bahwa sesungguhnya Jepang tidak kurang kejamnya dengan penjajahan Belanda, bahkan pada zaman ini bangsa Indonesia mengalami penderitaan dan penindasan yang sampai kepada puncaknya. Kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia yang didambakan tak pernah menunjukkan tanda-tanda kedatangannya, bahkan terasa semakin menjauh bersamaan dengan semakin mengganasnya bala tentara Jepang. Kekecewaan rakyat Indonesia akibat perlakuan Jepang itu menimbulkan perlawanan-perlawanan terhadap Jepang baik secara illegal maupun secara legal , seperti pemberontakan PETA di Blitar. Sejarah berjalan terus, di mana Perang Pasifik menunjukan tanda-tanda akan berakhirnya dengan kekalahan Jepang di mana-mana. Untuk mendapatkan bantuan dari rakyat Indonesia, Jepang berusaha membujuk hati bangsa Indonesia dengan m engumumkan janji kemerdekaan kelak di kemudian hari apabila perang telah selesai. Kemudian janji yang kedua kemerdekaan diumumkan lagi oleh Jepang berupa “Kemerdekaan tanpa syarat” yang disampaikan seminggu sebelum Jepang menyerahkan kepada bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, bahkan menganjurkan agar berani mendirikan negara Indonesia merdeka dihadapan musuh Jepang
B. Pancasila Era Kemerdekaan Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya. Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Untuk merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh
Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Isi Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialismekapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada tahun 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidangsidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.
B. Pancasila Era Orde Lama Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/ Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui ‘kembali ke Undang Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante (Anshari, 1981: 99). Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi: 1. Pembubaran konstituante; 2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan 3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara. Sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto politik (manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105). Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik “gerilya” di dalam kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu payung besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009: 34). Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, melalui sidang MPRS.
C. Pancasila Era Orde Baru Setelah jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5). Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu: Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya
Pancakarsa)
Pasal
4
menjelaskan,
“Pedoman
Penghayatan
dan
Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
1. a.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b.
Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c.
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
d.
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
a.
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b.
Saling mencintai sesama manusia.
c.
Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposeliro.
d.
Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g.
Berani membela kebenaran dan keadilan.
h.
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
3. a.
Sila Persatuan Indonesia
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b.
Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c.
Cinta tanah air dan bangsa.
d.
Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e.
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4.
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. a.
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
b.
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
d.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi olehsemangat kekeluargaan.
e.
Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
f.
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g.
Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
h.
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5. a.
Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
b.
kekeluargaan dan kegotong-royongan.
c.
Bersikap adil.
d.
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
e.
Menghormati hak-hak orang lain.
f.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
g.
Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
h.
Tidak bersifat boros.
i.
Tidak bergaya hidup mewah.
j.
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
k.
Suka bekerja keras.
l.
Menghargai hasil karya orang lain.
m.
Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai
Pancasila
yang
terdiri
atas
36
butir
tersebut,
kemudian
pada
tahun
1994
disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37). Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology . Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian
kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 45).
Asas Tunggal Pancasila
Dalam pidato kenegaraan di depan DPR-RI tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Suharto mengemukakan gagasannya mengenai penerapan asas tunggal Pancasila atas partai-partai politik. Sesungguhnya gagasan ini bukan gagasan baru karena tahun 1966-67 sudah terdengar gagasan
untuk mengasastunggalkan partai-partai politik. Namun, tampaknya keadaan belum
memungkinkan. Tujuan menyeragamkan asas partai-partai politik adalah untuk mengurangi seminimal mungkin potensi konflik idiologis yang terkandung dalam partai-partai politik. Berbeda dengan gagasan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, bahwa Sukarno mengharapkan agar Pancasila dijadikan dasar filosofis negara Indonesia, tiap golongan hendaknya menerima anjuran filosofis ini dengan catatan bahwa tiap golongan berhak memperjuangkan aspirasinya masing-masing dalam mengisi kemerdekaan (Tim. LIP FISIP-UI. 1998. 39-40). Pola seperti ini masih terlihat dalam UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, dengan tidak adanya keharusan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun dengan adanya pidato Presiden Suharto tersebut ada dorongan dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal ini berarti pencantuman asas lain yang sesuai dengan aspirasi, ciri khas dan karakteristik partai politik tidak diperkenalkan lagi. Akhirnya keinginan Presiden Suharto itu terpenuhi dengan merubah UU No.3/1975 dengan UU No.3/1985. Dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan bahwa pengertian asas meliputi juga pengertian “dasar”, “landasan”. “pedoman pokok”, yang harus dicantumkan dalam anggaran dasar partai politik. Perbedaan partai hanya dalam bentuk program saja. Asas tunggal Pancasila menurut Deliar Noer berarti mengingkari kebhinnekaan masyarakat yang memang berkembang menurut keyakinan masing-masing. Keyakinan ini biasanya berumber dari agama atau dari fahaman lain. Bahkan asas tunggal Pancasula cenderung kearah sistem partai tunggal, meskipun secara formal ada tiga partai, tetapi secara terselubung sebenarnya hanya ada satu partai.
D. Pancasila Era Reformasi Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245). Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu
mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50). Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012). Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR NomorXVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia,
dan
Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945”. Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak signifikan karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51). Selain keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama kemudian muncul gejala Perda Syariah disejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan melengkapi kegelisahan publik selama reformasi yang mempertanyakan arah gerakan reformasi dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan. Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah Mada, Simposium