Sistem Hukum di Indonesia
Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistem hukum. Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari hukum agama, hukum adat, dan hukum negara eropa terutama Belanda sebagai Bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Belanda berada di Indonesia sekitar 3,5 abad lamanya. Maka tidak heran apabila banyak peradaban mereka yang diwariskan termasuk sistem hukum. Bangsa Indonesia sebelumnya juga merupakan bangsa yang telah memiliki budaya atau adat yang sangat kaya. Bukti peninggalan atau fakta sejarah mengatakan bahwa di Indonesia dahulu banyak berdiri kerajaan-kerajaan hindu-budha seperti Sriwijaya, Kutai, Majapahit, dan lain-lain. Zaman kerajaan meninggalkan warisan-warisan budaya yang hingga saat ini masih terasa. Salah satunya adalah peraturan-peraturan adat yang hidup dan bertahan hingga kini. Nilai-nilai hukum adat merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar maka tidak heran apabila bangsa Indonesia juga menggunakan hukum agama terutama Islam sebagai pedoman dalam kehidupan dan juga menjadi sumber hukum Indonesia.
Sejarah Hukum di Indonesia
Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme dibedakan menjadi tiga era, yaitu: Era VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga pendudukan Jepang.
a. Era VOC
Pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan bertujuan untuk:
1. Keperluan ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di negera Belanda;
2. Pendisiplinan rakyat asli Indonesia dengan sistem yang otoriter
3. Perlindungan untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan para imigran Eropa.
Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa Belanda atau Eropa. Sedangkan untuk rakyat pribumi, yang berlaku ialah hukum-hukum yang dibuat oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata politik & pemerintahan pada zaman itu telah mengesampingkan hak-hak dasar rakyat di nusantara & menjadikan penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di masa itu.
b. Era Liberal Belanda
Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan Regeringsreglement (kemudian dinamakan RR 1854) atau Peraturan mengenai Tata Pemerintahan (di Hindia-Belanda) yang tujuannya adalah melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di tanah jajahan & untuk yang pertama kalinya mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan yang sewenang-wenang. Hal ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur soal pembatasan terhadap eksekutif (paling utama Residen) & kepolisian, dan juga jaminan soal proses peradilan yg bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap terjadi pada era ini, meskipun tidak lagi sekejam dahulu. Pembaharuan hukum yang didasari oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih terus terjadi.
c. Era Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Politik Etis diterapkan di awal abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum antara lain:
1. Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk juga pendidikan lanjutan hukum;
2. Pendirian Volksraad, yaitu lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3. Manajemen organisasi pemerintahan, yang utama dari sisi efisiensi;
4. Manajemen lembaga peradilan, yang utama dalam hal profesionalitas;
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan yg berorientasi pada kepastian hukum.
Sampai saat hancurnya kolonialisme Belanda, pembaruan hukum di Hindia Belanda meninggalkan warisan: i) Pluralisme/dualisme hukum privat dan pluralisme/dualisme lembaga-lembaga peradilan; ii) Pengelompokan rakyat ke menjadi tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa & Non-Tionghoa, & Pribumi.
Masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum di semua peraturan perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sambil menghapus hak-hak istimewa orang-orang Belanda & Eropa lainnya. Sedikit perubahan perundang-undangan yang dilakukan: i) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang awalnya hanya berlaku untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga untuk kaum Cina; ii) Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang terjadi adalah: i) Penghapusan pluralisme/dualisme tata peradilan; ii) Unifikasi kejaksaan; iii) Penghapusan pembedaan polisi kota & lapangan/pedesaan; iv) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; v) Pengisian secara besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat pribumi.
Era Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Era Revolusi Fisik
i) Melanjutkan unfikasi badan-badan peradilan dengan melaksanakan penyederhanaan;
ii) Mengurangi serta membatasi peranan badan-badan pengadilan adat & swapraja, terkecuali badan-badan pengadilan agama yg bahkan diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.
b. Era Demokrasi Liberal
Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah mengakui HAM. Namun pada era ini pembaharuan hukum & tata peradilan tidak banyak terjadi, yang terjadi adalah dilema untuk mempertahankan hukum & peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Selajutnya yang terjadi hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan & mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan & Kekuasaan Pengadilan.
Era Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a. Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan dan dinamika hukum di era ini
i) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan MA & badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
ii) Mengubah lambang hukum "dewi keadilan" menjadi "pohon beringin" yang berarti pengayoman;
iii) Memberikan kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur tangan secara langsung atas proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU No.13/1965;
iv) Menyatakan bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan tidak berlaku kecuali hanya sebagai rujukan, maka dari itu hakim harus mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional & kontekstual.
b. Era Orde Baru
Pembaruan hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam proses pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i) Pelemahan lembaga hukum di bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem pendidikan & pembatasan pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya, pada era orba tidak terjadi perkembangan positif hukum Nasional.
Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Semenjak kekuasaan eksekutif beralih ke Presiden Habibie sampai dengan sekarang, sudah dilakukan 4 kali amandemen UUD RI 1945. Beberapa pembaruan formal yang terjadi antara lain: 1) Pembaruan sistem politik & ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum & HAM; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Ciri-ciri Sistem Hukum
terdapat perintah dan larangan
terdapat sanksi tegas bagi yang melanggar
perintah dan larangan harus ditaati untuk seluruh masyarakat
Tiap-tiap orang harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga kaedah hukum yakni peraturan-peraturan kemasyarakatan.
Kaedah Hukum
Sumber-sumber yang menjadi kaedah hukum atau peraturan kemasyarakatan:
1. Norma Agama merupakan peraturan hidup yang berisi perintah dan larangan yang bersumber dari Yang Maha Kuasa. Contoh: jangan membunuh, hormati orang tua, berdoa, dll
2. Norma Kesusilaan merupakan peraturan yang bersumber dari hati sanubari. contohnya: melihat orang yang sedang kesulitan maka hendaknya kita tolong.
3. Norma Kesopanan merupakan peraturan yang hidup di masyarakat tertentu. contohnya: menyapa orang yang lebih tua dengan bahasa yang lebih tinggi atau baik.
4. Norma Hukum merupakan peraturan yang dibuat oleh penguasa yang berisi perintah dan larangan yang bersifat mengikat: contohnya: ttiap indakan pidana ada hukumannya.
Unsur-unsur Hukum
Di dalam sebuah sistem hukum terdapat unsur-unsur yang membangun sistem tersebut yaitu:
1. Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat
2. Peraturan yang ditetapkan oleh instansi resmi negara
3. Peraturan yang bersifat memaksa
4. Peraturan yang memiliki sanksi tegas.
Sifat Hukum
Agar peraturan hidup kemasyarakatan agar benar-benar dipatuhi dan di taati sehingga menjadi kaidah hukum, peraturan hidup kemasyarakata itu harus memiliki sifat mengatur dan memaksa. Bersifat memaksa agar orang menaati tata tertib dalam masyarakaty serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh menaatinya.
Tujuan Hukum
Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Sementara itu, para ahli hukum memberikan tujuan hukum menurut sudut pandangnya masing-masing.
Prof. Subekti, S.H. hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
Prof. MR. dr. L.J. Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.
Geny, hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan, dan sebagai unsur daripada keadilan disebutkannya "kepentingan daya guna dan kemanfaatan".
Jeremy Betham (teori utilitas), hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
Prof. Mr. J. Van Kan, hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.
Berdasarkan pada beberapa tujuan hukum yang dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum itu memiliki dua hal, yaitu :
untuk mewujudkan keadilan
semata-mata untuk mencari faedah atau manfaat.
Selain tujuan hukum, ada juga tugas hukum, yaitu :
menjamin adanya kepastian hukum.
Menjamin keadilan, kebenaran, ketentraman dan perdamaian.
Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan masyarakat.
Sumber Hukum
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan-kekutatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dapat ditinjau dari segi :
1. Sumber hukum material, sumber hukum yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalnya ekonomi, sejarah, sosiologi, dan filsafat. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan menyatakan bahwa yang menjadi sumber hukum adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Demikian sudut pandang yang lainnya pun seterusnya akan bergantung pada pandangannya masing-masing bila kita telusuri lebih jauh.
2. Sumber hukum formal, membagi sumber hukum menjadi :
Undang-undang (statue), yaitu suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
a) Dalam arti material adalah setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dilihat dari isinya mengikat secara umum seperti yang diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
b) Dalam arti formal adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang karena bentuknya dan dilibatkan dalam pembuatannya disebut sebagai undang-undang
Kebiasaan (custom/adat), perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama kemudian diterima dan diakui oleh masyarakat. Apabila ada tindakan atau perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan tersebut, hal ini dirasakan sebagai pelanggaran.
Keputusan Hakim (Jurisprudensi); adalah keputusan hakim terdahulu yang dijadikan dasar keputusan oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara yang sama.
Traktat (treaty); atau perjanjian yang mengikat warga Negara dari Negara yang bersangkutan. Traktat juga merupakan perjanjian formal antara dua Negara atau lebih. Perjanjian ini khusus menyangkut bidang ekonomi dan politik.
Pendapat Sarjana Hukum (doktrin); merupakan pendapat para ilmuwan atau para sarjana hukum terkemuka yang mempunyai pengaruh atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan.
Komponen Sistem Hukum Indonesia
a) legal structure,
b) legal substance, dan
c) legal culture.
Pada pembangunan Sistem Hukum Indonesia sebenarnya masih mengarah secara dominan dan substansi saja, akan tetapi untuk struktur dan budaya masih minim dalam mendapatkan sebuah perhatian. Dan ternyata di Indonesia pun belum mempunyai sistem hukum nasional representatif. Maka untuk dapat mewujudkan sistem hukum nasional yang mengacu kepada bentuk keadilan diperlukan perkembangan budaya hukum yang terdapat di seluruh lapisan masyarakat. Kemudian bersikap penuh hormat dan mengakui adanya hukum adat dan hukum agama serta melakukan perubahan dan perbaikan yang sedikit mengenai undang-undang warisan kolonial dan juga sistem hukum nasional yang diskriminatif. Mengenai perilaku para aparat penegak hukum diperlukan untuk diperbaharui sehingga bukan hanya hukumnya saja yang bersikap baik melainkan dalam pelaksanaannya pun bisa berjalan secara benar dan baik , yang disebabkan karena ada dukungan penuh oleh aparat penegak hukum yang baik pula. Sehingga untuk hal-hal tersebut sangat perlu mendapat sebuah perhatian penuh dan sungguh-sungguh serta dapat diimplementasikan dengan baik pula oleh masyarakat dan pihak pemerintah.
Sistem Hukum Indonesia pada dewasa ini merupakan sistem hukum yang sungguh bersifat unik, karena sistem hukum tersebut yang dibangun melalui sebuah proses penemuan, pengembangan, adaptasi, dan diskusi maupun kompromi untuk dari beberapa sistem yang telah ada. Pada sistem hukum Indonesia bukan hanya dapat mengedepankan karakteristik yang lokal, melainkan untuk mengakomodasi prinsip umum yang secara langsung dianut oleh masyarakat internasional. Sebenarnya sistem hukum ini bukan hanya unik saja, namun Sistem Hukum Indonesia masih penuh dengan persoalan dinamika serta dalam mencari format di mana ada ketertiban dan keteraturan hukum sipil untuk mendapatkan suatu tempat dan juga dengan tidak mengecualikan atau mengesampingkan berkenaan pada keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak menghindari adanya suasana kebatinan terhadap masyarakat Indonesia.
Pencermatan pada keadaan yang nyata untuk Sistem Hukum Indonesia dan sistem hukum yang didambakan maka sebaiknya harus menjadi bahan pertimbangan untuk proses pembangunan hukum, yang termasuk di dalamnya adalah pembangunan pendidikan hukum. Untuk para legislator yang cukup handal dan para juris memiliki kemampuan yang sama-sama sangat diperlukan. Akan tetapi, ahli mana mempunyai nilai yang lebih dominan untuk dibutuhkan, maka keahlian apa juga yang lebih dominan diperlukan akan sungguh tentu berbeda. Dengan demikian komitmen dalam menegakkan supremasi hukum akan selalu didengungkan,namun pada keberadaan hukum maupun sistem hukum sebenarnya bukanlah sebuah karakteristik yang mendasar oleh supremasi hukum. Untuk supremasi hukum tersebut dapat ditandai dengan ada penegakan yang rule of law yang telah membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang paling penting dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang dapat mendatangkan suatu keadilan bagi masyarakat.
SISTEM HUKUM INDONESIA: UNIKUM YANG DINAMIS
Ditulis oleh Nyoman Surata " 10 Juni 2010
Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak 'diintervensi' norma hukum.
Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya menegaskan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian, apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.
Berdasarkan pendapat Ludwig von Bertalanffy, H. Thierry, William A. Shorde/ Voich Jr., Bachsan Mustofa ( 2003: 5-6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum adalah sistem sebagai jenis satuan yang dibangun dengan komponen-komponen sistemnya yang berhubungan secara mekanik fungsional yang satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan. Sistem hukum terdiri dari komponen jiwa bangsa, komponen struktural, komponen substansial, dan komponen budaya hukum.
Suherman (2004: 10-11) tidak sependapat jika pengertian sistem hukum hanya penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, atau aturan, dalam konteks ini ada suatu negara federal dengan lima puluh sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah, serta ada sistem hukum yang berbeda seperti halnya dalam organisasi Masyarakat Ekonomi Eropah dan Perserikatan Bangsa-bangsa.
Bagaimanapun juga, sebagai suatu sistem, sistem hukum seharusnya: terdiri dari bagian-bagian, bagian-bagian tersebut saling berhubungan, masing-masing bagian dapat dibedakan tetapi saling mendukung, semuanya ditujukan pada tujuan yang sama, dan berada dalam lingkungan yang kompleks (pendapat ini dihubungkan dengan pendapat Shrode dan Voich (dalam Amirin, 1987: 11)).
Untuk komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah apa yang dikemukakan oleh Friedman (selain Mustofa dan Suherman, juga Acmad Ali (2003: 7-dst)), yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.
Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari seabad, melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan 'revolusi'[1] dalam hukum, yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara keseluruhan, tetapi krisis dalam penegakan hukum.
Sebagai suatu sistem, bagaimanakah gambaran umum Sistem Hukum Indonesia?[2] Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law; hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21) membedakan sistem hukum yang utama di dunia (TheWorld's Major Legal Systems) menjadi: civil law; common law; Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa; dan Far East. Munir Fuady (2007: 32-dst.) myatakan terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum.[3] Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum keagamaan.
Di antara sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum yang dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-Germanic Legal System adalah sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).
Sistem Hukum Adat dinyatakan dianut oleh beberapa negara di antaranya oleh Monggolia dan Srilangka (ada juga yang mengkategorikan Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum adat). Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu, yang umumnya terdapat dalam Kitab Suci. Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan Vatikan dikategorikan sebagai negara dengan sistem hukum agama. Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Secara umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo Saxon dibedakan berdasarkan mana yang dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan hukum, melalui peraturan perundang-undangan atau melalui jurisprudensi, secara lebih mendasar mana yang lebih dipentingkan hukum tertulis atau hukum kebiasaan. Mengingat kekurangan dan kelebihan antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini berhubungan dengan masalah pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang meskipun sama-sama merupakan nilai dasar hukum tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis (ketegangan satu sama lain).
Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.
Kompleksitas sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai produk kebudayaan asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung sebelum kedatangan kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya Indonesia memasuki masa pengaruh kebudayaan Hindu. Pada abad ke-13 sampai ke-14 masuk pengaruh Islam, dan hukum Islam berkembang dan memperkaya sistem hukum yang ada di Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan Eropa-Amerika.
Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem hukum yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), cenderung lebih dekat dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak.
Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan salah satu pendukung terkemuka sistem hukum Eropah Kontinental. Dengan demikian, secara mutatis mutandis sistem Eropah Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian pada dasarnya Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga penundukan diri secara sukarela, banyak penduduk Indonesia saat itu menunduukan diri untuk terikat pada Hukum Barat, terutama yang berusaha di bidang perdagangan. Dalam perkembangan hukum di Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh hukum kolonial dan cenderung meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).
Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Ajaran yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny dan teori keputusan yang dikemukakan oleh Ter Haar, dianggap tidak relevan. Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum itu hinkt achter de feiten aan, hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Teori keputusan menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua paham ini dianggap tidak sejalan dengan pembangunan yang identik dengan perubahan, dengan kemungkinan terjadinya hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dari sudut pandang ini inilah kedua mazhab ini dianggap tidak relevan (lihat antara lain Sunarjati Hartono, 1982).
Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law, computer law, cyber law, dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya banyak mengacu pada Sistem Common law.
Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar menangani nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna bagi Hukum Adat di beberapa tempat di Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.
Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang dicita-citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan hukum, termasuk dalam pembangunan pendidikan hukum. Legislator yang handal dan Juris yang berkemampuan sama-sama diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa yang lebih banyak diperlukan tentu berbeda.
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.