21
PENGERTIAN SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dengan semakin majunya zaman, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, kebudayaan atau budaya Indonesia semakin tidak di perhatikan keberadaanya,bahkan belakangan ini banyak sekali budaya Indonesia yang diklaim oleh pihak lain,
dan mungkin mereka lebih peduli daripada kita yang memilikinya.Indonesia adalah Negara yang kaya, subur dan seharusnya juga makmur. Tapi apa yang terjadi?. Sedikit mengenai Sistem Sosial dan Budaya di Indonesia, dalam kurun waktu yang singkat ini banyak penyimpangan-penyimpangan dari Sistem Sosial dan Budaya itu sendiri, bukan orang lain yang lakukannya, dan anehnya itu dilakukan oleh kita sendiri sebagai bangsa Indonesia yang seharusnya menjaga nilai-nilai kebudayaan tersebut.
Jika hal ini dibiarkan berlanjut, maka Negara Indonesia akan hilang jatidirinya sebagai Negara pancasila. Oleh karena itu, pentingnya kita mengetahui tentang sistem sosial dan budaya Indonesia menjadi pokok bahasan dalam penyusunan makalah ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Agar mempermudah kita untuk lebih mengenal apa itu Sistem Sosial dan Budaya khususnya di Indonesia ini, maka penyusun membatasi bahasan-bahasan yang akan dijelaskan, diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan Sistem, Sistem Sosial, Sistem Budaya, Sistem Sosial Budaya serta Sistem Sosial dan Budaya Indonesia ?
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN SISTEM
Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu setentitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.
Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.
Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.
2.2.PENGERTIAN SISTEM SOSIAL
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan SISTEM SOSIAL.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Menurut Garna(1994),"sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama". Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan. Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), "Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara pelaku sosial".
2.3 PENGERTIAN SISTEM BUDAYA
Dalam pergaulan sehari-hari kita menemukan istilah mentalitas. Mentalitas adalah kemampuan rohani yang ada dalam diri seseorang, yang menuntun tingkah laku serta tindakan dalam hidupnya. Pantulan dalam tingkah laku itu menciptakan sikap tertentu terhadap hal-hal serta orang-orang di sekitarnya. Sikap mental ini sebenarnya sama saja dengan sistem nilai budaya (culture value system) dan sikap (attitude).
Sistem nilai budaya (atau suatu sistem budaya) adalah rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar suatu warga masyarakat. Hal itu menyangkut apa dianggapnya penting dan bernilai. Maka dari itu suatu sistem nilai budaya merupakan bagian dari kebudayaan yang memberikan arah serta dorongan pada perilaku manusia. Sistem tersebut merupakan konsep abstrak, tapi tidak dirumuskan dengan tegas. Karena itu konsep tersebut biasanya hanya dirasakan saja, tidak dirumuskan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Itu lah sebabnya mengapa konsep tersebut sering sangat mendarah daging, sulit diubah apalagi diganti oleh konsep yang baru.
Bila sistem nilai budaya tadi memberi arah pada perilaku dan tindakan manusia, maka pedomannya tegas dan konkret. Hal itu nampak dalam norma-norma, hukum serta aturan-aturan. Norma-norma dan sebagainya itu seharusnya bersumber pada, dijiwai oleh serta merincikan sistem nilai budaya tersebut.
Konsep sikap bukanlah bagian dari kebudayaan. Sikap merupakan daya dorong dalam diri seorang individu untuk bereaksi terhadap seluruh lingkungannya. Bagaimana pun juga harus dikatakan bahwa sikap seseorang itu dipengaruhi oleh kebudayaannya. Artinya, yang dianut oleh individu yang bersangkutan.
Dengan kata lain, sikap individu yang tertentu biasanya ditentukan keadaan fisik dan psikisnya serta norma-norma dan konsep-konsep nilai budaya yang dianutnya. Namun demikian harus pula dikatakan bahwa dalam pengamatan tentang sikap-sikap seseorang sulitlah menunjukkan ciri-cirinya dengan tepat dan pasti. Itulah juga sebabnya mengapa tidak dapat menggeneralisasi sikap sekelompok warga masyarakat dengan bertolak (hanya) dari asumsi yang umum saja.
2.4 PENGERTIAN SISTEM SOSIAL BUDAYA
Dari penjelasan di atas mengenai pengertian sistem, sistem sosial dan sistem budaya dapat dinyatakan secara sederhana dalam arti luas bahwa pengertian Sistem Sosial Budaya yaitu suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat."
2.5 PENGERTIAN SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA
Istilah sosial budaya merupakan bentuk gabungan dari istilah soial dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat, budaya atau kebudayaan dalam arti sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sosial budaya dalam arti luas mencakup segala aspek kehidupan. Karena itu, atas dasar landasan pemikiran tersebut maka pengertian sistem sosial budaya Indonesia dapat dirumuskan sebagai totalitas tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia Indonesia yang merupakan manifestasi dari karya, rasa dan cipta didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945.
Degan demikian, sistem sosial budaya Indonesia memungkinkan setiap manusia mengembangkan dirinya dan mencapai kesejahteraan lahir batinnya selengkap mungkin secara merdeka sesuai dengan kata hatinya dalam kerangka pola berpikir dan bertindak yang berdasarkan pancasila.
Struktur sistem sosial budaya Indonesia dapat merujuk pada nilai - nilai yang terkandung dalam pancasila yang terdiri atas:
A. Tata nilai
Struktur tata nilai kehidupan pribadi atau keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara meliputi berikut ini.
1. Nilai Agama
2. Nilai moral
3. Nilai vital
4. Nilai material ( raga)
B. Tata Sosial
Tata sosial indonesia harus berdasarkan :
1. UUD 1945
2. peraturan perundang-undangan lainnya
3. Budi pekerti yang luhur dan cita-cita moral rakyat yang luhur
C. Tata laku ( Karya )
Tata laku pribadi atau keluarga, masyarakat bangsa dan Negara harus berpedoman pada ;
1. Norma Agama
2. Norma Kesusilaan/kesopanan
3. Norma Adat istiadat
4. Norma Hukum setempat
5. Norma Hukum Negara
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu H .1990, Psikologi Sosial ( edisi revisi ),rimeka cipta.
Garna, Judistira K. 1991. Beberapa Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Bandung :
.1996. Sistem Budaya Indonesia, Bandung: program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge :
Harvard University Press
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang).
(terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
PLURALISME
Pluralisme atau keanekaragaman pada hakekatnya merujuk kepada pengelolaan perbedaan yang dapat menimbulkan konflik dan ketegangan apabila terkait dengan golongan-golongan yang memiliki kepentingan yang berbeda. Pluralisme memang terkait dengan berbagai perbedaan yang seharusnya bersipat dinamis dan bukan statis, sehingga dapat membawa peradapan dalam kehidupan sosial suatu masyarakat. ia harus dapat memisahkan atau mengiliminir unsur-unsur yang dapat memecah belah dan harus menjadi pelekat bagi elemen-elemen pemersatu dengan meredam konflik secara halus.
Pluralisme tidak boleh menjadi faktor penyebab disintegrasi, melainkan harus mengatasi berbagai perbedaan dalam kerangka sosio-kultural masyarakat. Konsep pemersatu didalamnya menjamin istilah yang dikemukakan oleh Norcholis Madjid yaitu harus membumi dan tidak diawang-awang, artinya kemajemukan itu harus dapat mewujudkan integrasi, dimana integrasi yang dilandasi pluralisme harus mengesampingkan premodialisme/pengelompokan, untuk sementara yang selalu menyimpan konflik. oleh karenanya seluruh elemen masyarakat harus memiliki political will untuk mewujudkan integrasi nasional.
KONSEP PLURALITAS MASYARAKAT
Bagi banyak negara didunia pada saat ini kemasyarakatan dianggap sangat penting dan menarik karena sipatnya yang majemuk, pluralistik, yang sering merujuk pada keragaman bahasa, agama, lapisan sosial, kasta, ras serta kebudayaan suku bangsa yang terdapat di negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara yang telah maju.
Menurut Mutakin dan Pasyah 2001: Koentjaraningrat 1988 menyatakan dari seluruh anggota PBB yang berjumlah 157 Negara itu hanya sekitar 17 Negara yang memiliki masyarakat yang beragam.
Terkait dengan masalah ketentraman dan keamanan Nasional maka negara-negara yang multietnik tentu lebih sulit menjaganya daripada negara-negara yang masyarakatnya homogen.
TIPE MASYARAKAT MULTI ETNIK menurut Young (Koentjaraningrat 1988)
terdapat di sebagian besar negara-negara maju di eropa barat, dimana penduduknya terdiri dari sejumlah suku bangsa yang terdiri dari suku bangsa yang dominan dan suku bangsa yang minoritas. suku bangsa yang dominan merupakan kebudayaan perkotaan yang telah berusia ratusan tahun dan di eropa timur suku bangsa yang dominan masih mengandalkan sektor pertanian karena masih dianggap sektor yang sangat penting.
Ditemukan dinegara-negara yang ditinggali oleh keturunan para imigran yang berasal dari eropa yang menjadi suku bangsa yang dominan sehingga etnik pribumi di nomorduakan dan negara-negara ini ada yang ekonominya lebih maju didunia seperti ,kanada, australia dan Selandia Baru. selain itu ada negara-negara yang tergolong kurang berkembang ekonominya seperti negara-negara amerika latin dan aprika selatan.
Negara-negara yang wilayahnya merupakan daerah asal dari bangsa-bangsa yang dipindahkan atau yang berimigrasi ke Amerika atau eropa. penduduknya pada umumnya keturunan dari bangsa-bangsa yang dipindahkan atau berimigrasi tadi, yang kemudian dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing oleh kekuatan-kekuatan politik dari negara-negara maju di Amerika dan Eropa. contohnya liberia di afrika barat dan israel dimana bangsa-bangsa yang dipulangkan menjadi golongan yang berkuasa dan penduduk yang sudah ada menjadi golongan minoritas.
Terdapat dinegara-negara asia dan afrika yang memiliki peradaban kuno dan kerajaan-kerajaan tradisional, serta memiliki sejarah yang panjang. kerajaan merupakan suku bangsa yang berkuasa dalam masyarakat sedang suku bangsa lain menjadi suku bangsa minoritas dan hampir semua negara-negara tersebut perna dijajah oleh negara-negara eropa barat, dan kini tergolong negara dengan ekonomi yang sedang berkembang seperti malaysia, Maroko, Swazi, Kuwait, oman dll dan ada pulah negaranya merdeka setelah kerajaan di gulingkan seperti yang terjadi di Tunisia, Rwanda, vietnam, Burundi, Mesir dan kamboja.
Negara-negara yang ada di asia dan afrika yang sama dengan tipe keempat akan tetapi pada tipe ini negara-negara tersebut tidak perna di jajah oleh eropa barat dan sistem kerajaannya digulingkan oleh revolusioner seperti di Etiofia, Iran, afghanistan dan Cina, atau sistem kerajaan ini beruba menikuti kemajuan jaman modern seperti yang terjadi di muangthai.
terdapat di negara-negara yang mula-mula terbertuk oleh sistem kolonial dimana penduduk yang dominan adalah penduduk yang dibawa oleh penjaja dari daerah-daerah afrika dan asia untuk dijadikan pekerja di perkebunan-perkebunan dan pertambangan yang akhirnya kekuasaan jatuh ke tangan para migran tadi. Kebudayaan nasional dari negara ini adalah kebudayaan yang berasal dari negara itu sebagai migran. contohnya Guyana, Jamaika, Barbados, Trinidat, dan Suriname di Amerika latin dan singapura di asia tenggara.
terdapat dinegara-negara yang batas wilayah yang ditentukan oleh sejarah kolonialisme dan suku bangsanya disatukan oleh pengalaman yang sama yaitu perna dijajah oleh salah satu bangsa di neropa barat. semua suku bangsa memilik kedudukan yang sama sebagai negara yang perna dijajah. identitas nasional, ideologi nasional, solidaritas nasional dan kebudayaan nasional merupakan bagian yang penting dalam pembangunan nasionalnya. contohnya : Negeria, Zaire, Kamerun Kenya dan uganda di afrika sedang dia asia adalah yordania dan Philipina.
Negara tipe ini adalah negara-negara dengan batas wilayah ditentukan oleh sejarah kolonialisme. susku-suku bangsa yang tinggal didalamnya disatukan oleh pengalaman yang sama yaitu perna dijaja oleh suatu bangsa di eropa barat. semua suku bangsa menganggap sama tinggi kedudukan dan derajatnya sehingga pembentukan identitas nasional, solidaritas nasional, ideologi nasionan dan kebudayaan nasional merupakan upaya dari pembangunan nasionalnya. hanya saja bedanya pada negara-negara tipe ketujuh adalah suku bangsa disini memiliki peradapan yang sangat tua serta memiliki sejarah kebudayaan yang panjang sehingga ada persamaan unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan yang secara esensial sama dengan kebudayaan-kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang ada. kadang-kadang ada suatu bangsa nasional yang dipahami oleh sebagian besar warga dari mayoritas suku bangsa dari negara bersangkutan. contoh dari tipe ini adalah Tanzania, aljasair, Syria, Irak, Pakistan, India, Sri langka, Indonesia. Dan di eropa yaitu Czeskoslovakia dan Yogoslavia sebagai negara yang sedanga berkembang dan Belgia dan Swiss yang ekonominya telah maju.
Pluralisme atau Kemajemukan suatu masyarakat dapat dilihat dari dua sudut pandang:
Horizontal yang dilihat dari kenyataan yang menunjukan adanya satuan-satuan sosial yang keragamannya dicirikan oleh perbedaan suku bangsa agama, adat istiadat atau tradisi, serta unsur-unsur kedaerahan lainnya.
Vertikal yang umumnya digambarkan dengan adanya stratifikasi sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut pandangan fungsionalisme struktural, didalam masyarakat pluralitas menganggap bahwa semua disfungsi, semua ketegangan, dan berbagai penyimpangan sosial mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang berupa permasalahan sosial yang semakin kompleks, yang merupakan akibat dari pengaruh faktor-faktor yang datang dari luar. Pluralitas agama, ras, budaya, bahasa dan adat istiadat yang seharusnya merupakan investasi yang sangat berharga terkait dengan konsep integrasi sering dianggap sebagai kendala dalam menyatukan keinginan-keinginan untuk bersama.
SEKILAS TENTANG PERISTIWA-PERISTIWA KONFLIK
Banyak peristiwa kerusuhan yang melibatkan masyarakat dalam sekala luas, yang terjadi di berbagai daerah diindonesia. Lihat saja peristiwa yang terjadi di aceh, Kalimantan barat(konflik etnik di singkawang dan sambas, Kupang, maluku, ambon, papua dan lain-lain dan konflik yang tidak berlatar belakang agama atau etnik seperti dijakarta akan mudah diakhiri karena hal tersebut terjadi karena ketidak adilan atau kesenjangan sosial maupun ekonomi, contohnya kerusuhan mahasiswa menuntut keadilan Pemerintah terhadap sesuatu hal.
Lain halnya kerusuhan atau konflik yang berlatar belakang separatisme atau konflik etnik yang kemudian berkembang antar etnik dan agama ternyata akan lebih sulit untuk terselesaikan dan masih berlangsung sampai sekarang seperti ambo, Aceh merdeka, OPM di papua, antar aliran agama di madura, dan masih banyak yang belum tertangani secara tuntas sampai sekarang ini terutama konflik etnis dan agama.
Berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang kemudian justru berlanjut menjadi besar karena dikaitkan dengan persoalan yang sangat sensitif, yaitu masalah SARA
Namun ada juga upaya-upaya yang dikaikan oleh daerah (propinsi) tertentu yang berangkat dari persoalan-persoalan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dimana pemerintah pusat tidak aspiratif terhadap keinginan daerah.
Munculnya sikap primodialistik pada kelompok-kelompok suku bangsa ketika berinteraksi dapat terjadi karena beberapa hal.
adanya krisis kebudayaan yang bermula pada krisi moneter, kemudian diikuti oleh krisis ekonomi merembet kepada krisis politik dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan.
adanya upaya pemerintah dalam menyusun rencana-rencana dan kebijakannya dan memosisikan sebagai perumus semua rencana kebutuhan dan seolah-olah mengetahui betul semua kebutuhan rakyat, dengan alasan akan memberikan nilai tambah bagi rakyat, justru hal yang dirumuskan itu tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak memperhitungkan nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat luas. contohnya keputusan UAN.
Pemerintah dalam mengambil kepeutusan selalu berperan mengutamakan pemaksaan kehendaknya. Akibatnya pintu konsensus selalu tertutup dan musyawara menjadi buntu. Meskipun ada DPR dan DPD namun fungsinya sering mandul karena lembaga tersebut lebih banyak berpihak kepada pemerintah dan sering lebih memperhatikan kepentingan pribadi, golongan atau partainya.
Dalam konteks ini, menurut Nasikun(1984) bahwa manakala mekanesme konsensus tidak berkembang dan pemerintah tidak membuka saluran konsensus maka hal itu akan mengakibatkan timbulnya pemaksaan(koersif) terhadap upaya-upaya integrasi yang sangat rentan terhadap timbulnya konflik sosial terbuka dan bersekala luas. dan konflik merupakan lahan untuk tumbuhnya sikap primodialistik karena secara sosio kultural didalamnya terdapat benih-benih persaingan dan perbedaan antar kelompok/golongan. walau sisi negatif suatu pembangunan adalah timbulnya suatu persaingan atau konflik (Laurer 1989). Justru disinilah peran pemerintah, peran negara dalam mengakomudasi kepentingan masyarakat/rakyat dan menjadi mediator dalam penyelesaian konflik dengan mengedepankan upaya-upaya persuasif dan menanamkan nilai-nilai kerukunan dan kebersamaan tanpa dibarengi tindakan-tindakan koersif.
Barangkali yang perlu menjadi perhatian adalah suatu upaya integrasi sosial (masyarakat) kedalam ikatan-ikatn kultural yang lebih luas yang dapat menunjang pemerintahan nasional. (Geertz 1973)
Untuk meredam potensi meletupnya konflik dan disintegrasi politik yang diakibatkan oleh SARA (Amal dan Asnawi 1988) harus dapat menepis perbedaan-perbedaan pluralitas masyarakat Indonesia yang merupakan cikal bakal timbulnya sentimen primordial yang menghambat upaya-upaya penyatuan dan kesatuan bangsa.
PENGALAMAN IMPIRIK BANGSA INDONESIA
Dari pengalaman empirik bangsa indonesia Pluralisme masyarakat bangasa indonesia sebagai suatu realitas susio kultural dan realitas sejarah harus dilihat sebagai sesuatu yang seimbang, dalam arti semua konsep, semua wacana, dan semua realitas mengenai pluralitas suku-suku bangsa itu ditempatkan pada tingkatan yang sederajat. dihubungkan dengan sikap premodialistik dan realitas majemuk bangsa indonesia yang melekat pada masyarakat daerah dan kebudayaan berbagai suku bangsa maka sifat pluralitas dan sikap premodialistik harus ditempatkan sebagai bagian dari tradisi atau realitas yang harus diterima eksestensinya, karena kenyataan ini adalah merupakan warisan sejarah bangsa indonesia dimana aspek-aspek positif dari tradisi tersebut harus dikelola secara tepat dengan mengesampingkan unsur-unsur yang bersipat destruktif/ pertentangansehingga tradisi daerah dapat ditransformasikan menjadi tradisi kebangsaan yang kuat demi mempertebal rasa nasionalisme bangsa.
Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh NURCHOLIS MADJIDdalam media indonesia Senin, 4 dan 5 September 2005 yaitu " Keberagaman adalah keniscayaan bagi indonesia, keberagaman adalah sesuatu yang indah, keberagaman merupakan hak azasi manusia dan merupakan karunia Illahi. Persatuan amatlah penting untuk membangun Indonesia. Kita harus menolak citra Indonesia yang militeristik, yang menghadapi perbedaan pandangan dengan kekerasan dan merupakan kebencian.
Kami adalah benang-benang halus yang merajut kembali Indonesia menyusup tak terlihat, menisik harapan dibalik kebisingan konflik dan hura-hura, Kami adalah benang warna warni yang menenun persaudaraan, menjalin keadilan dalam keberagaman.
Dalam usaha mengatasi persoalan konflik diindonesia kita tidak bisa terlepas dari PARADIKMA yang dapat diartikan sebagai:
Kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sehingga mempengaruhi citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita tersebut.
Sudut pandang
Kaca mata pandang
Tata nilai
Tindakan.
Dimana tata nilai mempengaruhi pola pikir dan pola pikir mempengaruhi citra subyektif mengenai realita yang pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan yang merupakan reaksi dari pola pikir dan citra subyektif.
Mulai dari tata nilai sampai ke tindakan dibentuk oleh:
nilai Keluarga
nilai sosial budaya lokal
nilai agama
nilai pendidikan
nilai politik
nilai hukum
nilai ekonomi
Jadi dapat disimpulkan bahwa ke 7 nilai diatas akan saling berhubungan yang akan mempengaruhi individu dan kelompok dalam melakukan suatu tindakan untuk menghindari atau mengatasi suatu konfik.
KONSEP RELIGI DAN SISTEM KEPERCAYAAN
Religi merupakan kesadaran akan adanya hal-hal yang dianggap gaib, kemudian menyebabkan sikap dan perasaan manusia itu menjadi tunduk dan hormat.
Sedangkan Megi : yaitu manusia berupaya memiliki kekuatan yang dianggap gaib sehingga ia dapat menguasai nasibnya sendiri dan seluruh nasib orang lain.
asal mula religi menurut para ahli seperti Taylor, Lang, Marett, Van Gennep, Durkhein dan lain-lain yang di uraikan Kontjaraningrat(1985) dapat dibagi :
Teori-teori yang menggunakan pendekatan atas dasar berbagai keyakinan keagamaan atas isi ajaran keagamaan yang bisa melalui :
eksestensi/keberadaan sesuatu yang gaib yang bisa membuat organisme itu hidup dan bergerak dan bisa mebuat organisme itu mati dan tidak bergerak.
Melalui peristiwa mimpi
dan menurut Tylor dalam Kontjaraningrat(1981) asal mula keyakinan/relidi tersebut melalui evolusionistik yaitu:
animisme yang tertua
Kepercayaan kepada dewa-dewa yang kedua
kepercayaan kepada dewa tertinggi yang ke tiga
adanya kepercayaan kepada tuhan yang monothiestik/ satu-satunya yang merupakan tingkat terakhir.
Teori yang mengemukakan pendekatan atau sikap para penganut serta pengikut suatu religi yang menyangkut hal-hal gaib. Dan menurut teori ini semua sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia ini berpusat pada suatu konsep tentang hal-hal gaib.
Teori yang menggunakan pendekatan ritual dan upacara-upacara keagamaan, yaitu teori yang berangkat dari upacara dan ritual. Ada tiga gagasan penting untuk membawa wawasan kita mengenai azas-azas dari relegi dan agama yaitu:
Menurut Smith didalam banyak agama meskipun latar belakang keyakinan serta doktrinnya berbeda, tetapi ritualnya tetap tidak berubah.
Upacara religi memiliki fungsi sosial yaitu untuk mengintensifkan solidaritas sosial. Dan motivasinya bukan untuk berbakti atau menyembah tuhannya dan mendapat kepuasan rohani, tetapi lebih merupakan kewajiban sosial belaka.
adanya gagasan mengenai fungsi upacara sesaji seperti menyajikan seekor binatang.
Teori batas akal oleh FRAZER(Kontjaraningrat(1981) yaitu Manusia dalam memecahkan berbagai persoalan menggunakan akal dan apabilah persoalan hidup tidak bisa dipecahkan dengan akal maka dipecahkan dengan menggunakan magec yaitu menggunakan kekuatan-kekuatan gaib yang ada didalam alam, sedang religi(religion) adalah seluruh perbuatan manusia untuk mencari suatu maksud tertentu dengan menyederhanakan diri kepada mahluk-mahluk halus seperti kepada Ruh, Dewa, Tuhan dan sebagainya.
KONSEP ETNISITAS DALAM KONTEKS MASYARAKAT INDONESIA
A.DEFINISI ETNISITAS
Pada dasarnya kelompok etnik mengacu pada kelompok dengan kesamaan keturunan, sejarah dan identitas budaya seperti kesamaan tradisi, nilai, bahasa, pola perilaku secara nyata atau dibayangkan.
sedangkan menurut beberapa ahli mendefinisikan etnisitas bukan hanya sekedar pengkategorian manusia berdasarkan budaya namun lebih dari itu etnisitas mengandung relasi kekuasaan dan mempunyai peranan dalam struktur masyarakat. oleh karena itu makna dari konsep etnisitas itu sendiri dapat dilihat dari beberapa pandangan, seperti yang dikemukan oleh LEO AGUSTINO dan sebagian besar kajian-kajian tentang etnisitas:
Pandangan Primordialistis. yang cenderung menganggap etnisitas adalah sesuatu yang inheren dalam diri manusia atau dengan kata lain ras(ciri-ciri biologis manusia) dan etnisitas memiliki arti yang tumpang tindih. Bagi kaum primordialis, perbedaan-perbedaan yang bersipat genitika merupakan sumber bagi lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis. Dan menurut pandangan ini dimana banyak suku, agama atau yang lainnya disitu pulah akan timbul pertikaian hingga kekerasan diantara mereka yang berbeda. Dan itu merupakan hal yang dianggap wajar.
Pandangan Instrumentalis. berpandangan bahwa itnisitas sebagai alat yang digunakan oleh individu atau kelompok untuk mengejar suatu tujuan yang lebih besar yang biasanya dalam bentuk materiil. Dalam konteks ini dianggap tidak terlalu relevan kecuali digunakan atau diperalat oleh elite politik yang ingin mencapai tujuan tertentu. Pada saat seorang pemimpin-elitepolitik memeriahkan slogan kesukuan maka para anggota sukunya langsung merapatkan barisan dan bergerak kearah yang diinginkan oleh pemimpin tersebut. selama setiap orang mau mengala terhadap keinginan/prefrence yang mereka kehendaki maka selama itu pulah kekerasan antar etnis dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Namun kenyataan menunjukan setiap individu memiliki pilihan dan prioritas masing-masing. oleh karena itu, benturan atau konflik individu dan atau antar kelompok mungkin terjadi karena kelangkaan materi didunia (belum tentu kepentingan individu sama dengan kepentingan etniknya, konflik juga tidak berarti kekerasan dan perbedaan etnis tidak serta merta menyebabkan konflik terbuka apalagi kekerasan, ada variabel-variabel lain, seperti apakah suatu kelompok enik dominan atau tidak, dan apaka menunjukan kelas sosial mereka).
Pandangan Konstruktivis dalam pandangan ini kesukuan tidak bersipat kaku atau sedemikian mudahnya diperalat oleh elite politik (seperti yang diduga oleh instrumentalis). Melainkan kesukuan dapat diolah sehingga membentuk suatu jaringan (relasi) pergaulan sosial dan berbagai lapisan pengalaman. Artinya etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki dunia ini untuk saling mengenal dan dan memperkaya budaya satu sama lain. Bagi pandangan ini persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah barokah (tidak selalu perbedaan kelompok menimbulkan konflik terbuka yang menggunakan kekerasan).
KESIMPULAN
Dari beberapa pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa keanggotaan seseorang dalam kelompok etnisitas tertentu tidaklah serta-merta menjadi sama dengan kekeluargaan, karena etnisitas lebih mengarah pada identitas yang dipandang bukan sebagai suatu kelompok yang memiliki aksi sosial yang konkret. Atau dengan kata lain keanggotaan seseorang dalam kelompok etnik tertentu tidak serta merta membentuk suatu kelompok etnik yang bersangkutan dan sebaliknya kelompok kepentingan yang mengatasnamakan etnik tertentu tidak berarti bahwa semua arang yang secara budaya bagian dari etnik tersebut menjadi anggota kelompok. Contohnya : ketika terjadi konflik antar suku Dayak dan Madura di kalimantan tidak dapat secara sederhana diartikan bahwa seluruh masyarakat indonesia yang bersuku madura baik yang dikalimantan maupun yang di madura mempunyai konflik dengan seluruh masyarakat dayak di seluruk indonesia. anggota masyarakat indonesia yang bersuku madura mempunyai konflik dengan seluru masyarakat Dayak diseluruh indonesia
Keanggotaan seseorang dalam etnik tertentu hanya memfasilitasi pembentukan kelompok secara politik. Dan sebaliknya, komunitas politik dalam suatu masyarakat cendrung menginspirasikan kepercayaan akan kesamaan suku.
B.ETNISITAS DALAM KONTEK MASYARAKAT INDONESIA
Salah satu ciri masyarakat indonesia adalah masyarakat yang multi etnik, artinya masyarakat indonesia gabungan dari beberapa kelompok etnik baik suku maupun agama. Dan untuk kesukuan suku didominasi oleh jawa, sunda , lainnya, Melayu dan bugis makasar. dan agama didominasi oleh Islam, keristen, Hindu dan budha.
HUBUNGAN ANTAR ETNIS DI INDONESIA
Untuk melihat komposisi etnis di Indonesia kita bisa menggunakan tiga dimensi:
Dimensi historis, dari dimensi ini kita bisa melihat mulai dari penjajahan belanda, dimana peran penting kolonial belanda menciptakan negara dengan sistem birokrasi, dan model yang tepat untuk hubungan birokrasi pusat dan daerah meskipun modelnya tidak begitu tepat untuk negara-negara kepulauan seperti Indonesia. Dan kesempatan yang diberikan kepada pribumi sangat kecil.
Deminsi struktural sosial etnis dilihat dengan mengaitkan antara peran pemerintah dan negara dalam mengatur hubungan antar etnis, oleh karena itu perubahan peta politik dan kebijakan publik penting untuk dijadikan dasar dalam melakukan analisis hubungan antar etnis di indonesia supaya modernisasi yang terjadi dalam masyarakat tidak menyurutkan identitas etnis dan solideritas etnis tetap menjadi teman seperjuangan.
Deminsi intraksi kelompok, etnis dilihat dalam konteks konflik sosial yang terdiri dari :
konflik komunal yaitu konflik etnis atau agama, antar pribumi dan pendatang.
gerakan separatis yaitu antar kelompok etnis dengan Negara atau kelompok etnis dominan.
Dan menurut Daniel Byman (2002) setidaknya ada 4(empat) teori penyebab konflik :
Delima keamanan kelompok etnik yaitu:
tidak ada suatu otoritas yang berkuasa untuk menjamin keamanan suatu kelompok, misalnya suatu kelompok memiliki rasa tidak percaya kepada kelompok lain dari pengalaman masa lalu sehingga dianggap musuh. Rasa tidak pecaya ini dapat berkembang menjadi mobilisasi kekuatan untuk mempertahankan diri jika pemerintah tidak dapat mencega mobilisasi tersebut.
dalam kondisi pemerintahan yang lemah.
dimana pemerintah pusat adalah bagian dari konflik.
dalam situasi perubahan yang mendadak.
Perlindungan status yaitu konflik etnis muncul sebagai konsekwensi atau hasil dari kekuatan kelompok terhadap dominasi kelompok lain baik secara materiil maupun budaya. Sehingga kelompok berperang mempertahankan status karena merasa sebagai sub dari kelompok lain.
ambisi hegemoni yaitu suatu kelompok yang berkuasa tidak cukup puas dengan bertahannya nilai-nilai budaya dan institusi mereka saja, tetapi mereka menginginkan menjadi dominan. kelompok yang ingin berkuasa ini sering kali menuntut perlakuan tertentu dari pemerintah seperti menjadikan bahasa menjadi bahasa resmi, agama resmi dan lain-lain. contohnya ingin mendirikan negara indonesia menjadi Negara Islam.
aspirasi kaum ilite yaitu adanya ambisi dari kelompok ilite tertentu untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dengan bemain pada isu-isu kekuatan, kebencian dan ambisi kelompok etnik. contohnya Gerakan G 30 s PKI.
keempat penyebab konfilik etnik ini sering kali saling menguatkan secara keseluruhan dan sering menjadi konflik yang palig berdara dan lama.
HUBUNGAN KEBERAGAMAN ETNIK DAN ITEGRASI NASIONAL
Dalam masyarakat di asia tenggara setelah masa kolonial menurut David Brown (2000) menyebutkan terdapat tiga pola pembentukan identitas nasional yaitu:
Ethnocultural Nasionalim mencerminkan bahwa keseluruhan status dan keanggotaan dalam komunitas bangsa hanya diberikan pada mereka yang memiliki atribut etnik tertentu yang dianggap dominan. Dan mereka yang dianggap mewarisi kelompok etnik yang dominan yang mendapat setatus yang lebih tinggi. (negara brunai)
Multicultural Nasionalism yaitu nasionalisme dibangun berdasarkan perbedaan budaya masing-masing kelompok pembentuknya.
dalam bentuk pemerintahan yang otoriter, Pemerintah menciptakan institusi-institusi yang dapat melegitimasi setiap identitas kelompok etnik yang berbeda-beda yang dilakukan untuk memfasilitasi pemusatan kekuasaan elite politik dan untuk melemahkan dan melibatkan elite kelompok minoritas.
Dalam bentuk pemerintahan yang demokratik, pemerintah berusaha mencerminkan keberagaman kelompok etnik dalam struktur institusional negara sehingga distribusi kekuasaan dan sumber daya dilaksanakan berdasarkan aritmatik etnik yang adil. Dan di Indonesia hal ini perna terjadi pada pemerintahan Abdurahman Wahid, dalam pembagian kekuasaan pada pemerintahan lokal, terbentuknya otonomi papua dan aceh, dan perhatian terhadap kelompok minoritas kristen, hindu dan budha dimana hak-hak mereka akan diperhatikan.
Civic Nasionalism Dalam masyarakat ini organisasi yang terutama adalah Negar-Bangsa, Nasionalisme dibangun tidak berdasarkan kesadaran-kesadaran etnisitas tapi kepada nilai-nilai universal. setiap warga negara diberikan status yang sama dan setara tanpa melihat atribut-atribut etnik, dengan satu kondisi dimana mereka memberikan loyalitas terhadap institusi publik di suatu komunitas wilaya(negara).
Dalam pemerintahan demokratis civic nasionalisme menyukai otonomi terhadap masyarakat sipil yang plural dan menuntut kesetaraan hak tiap warga negara yang dilindungi oleh negara hukum dan institusi yang universal dan tidak mengandung bias atribut-atribut etnik. Dan yang di tonjolkan dalam civic nasionalime ini adalah kebijakan publik.
GENDER
Latar belakang :
Semenjak lahir laki-laki dan perempuan sudah memiliki perbedaan secara biologis, yang mengacu pada konsep jenis kelamin(sexes). Artinya Tuhan memang menciptakan adanya perbedaan yang akan dibawa oleh individu itu sampai meninggal. Dan ketentuan inilah yang sering disebut dengan kodrat seperti pada perempuan pasti akan mengalami hait, memiliki vagina, Payudara, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sedang laki-laki memiliki penis, memiliki Skala dan memproduksi sperma.
Akan tetapi perbedaan laki-laki dan perempuan yang berkembang dan berlaku di masyarakat mengacu pada sistem sosial budaya yang bersangkutan yang terus mengalami perkembangan. Yang berarti bahwa ciri laki-laki dan perempuan yang diciptakan tidak abadi atau kekal karena akan selalu ada perubahan dari masa ke masa, serta setiap kelas sosial akan memiliki konstuksi yang berbeda antara ciri laki-laki dan perempuan.
Yang berkembang kemudian di masyarakat adalah sesuatu yang "kodrat" dari perempuan merupakan hasil konstruksi mendidik anak, mengelolah rumah tangga atau urusan domistik itu merupakan kodrat dari perempuan. Akan tetapi pada kenyataan ada juga kaum lelaki yang mengerjakan urusan domistik tersebut. Jadi jenis pekerjaan yang bisa dipertukarkan dan tidak bersipat universal, yang sering disebut kodrat perempuan dalam hal mendidik anak dan mengurus rumah sesungguhnya adalah gender (Fakih, 1996)
Kesimpulan
ciri-ciri laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis mengacu pada konsep kodrat (kodrat laki-laki dan perempuan) sedang ciri-ciri yang diciptakan dan dikonstruksi oleh masyarakat mengacu pada konsep gender. Yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Perbedaan jenis kelamin/Kodrat dan Gender
Jenis kelamin/kodrat
Gender
tidak dapat berubah
tidak dapat dipertukarkan
berlaku sepanjang masa
berlaku dimana saja
merupakan kodrat tuhan
ciptaan tuhan
dapat berubah
dapat dipertukarkan
tergantung waktu
tergantung budaya masyarakat
bukan kodrat tuhan
buatan manusia.
Sumber: Kantor menteri negara pemberdayaan perempuan RI 2001.
Konsep gender menurut para ahli:
Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan yang bersifat fisik biologis.
Ann Oakley (1972) Gender sebagai konstuksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia(wulan 2001).
Mansour Fakih dalam bukunya Analisisi gender dan transformasi sosial menjelaskan gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun secara kultural (Fakih 1996)
Sudrajad (1999) Gender adalah kategori sosial (feminim dan maskulin) yang tercermin dalam perilaku, keyakinan dan organisasi.
Kesimpulan
Jender merupakan konstruksi masyarakat sehingga seseorang dibentuk oleh masyarakat dan budayanya semenjak ia dilahirkan, kemudian muncul peran apa yang dianggap pantas dan tidak pantas untuk dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Hal tersebut menimbulkan pemahaman bahwa perempuan berperan diwilayah domistik dan laki-laki diwilayah publik, maka hubungan sosial yang terjadi tergantung dari peran Gendernya masing-masing.
SOSIALISASI GENDER
Dimulai dari ideologi jender dilakukan melalui corong:
Keluarga Masyarakat
-orang tua, sdr/i -Pemuka masyarakat
-Kakek/Nenek -Tradisi
-Paman/Bibi -dongeng, mitos
-sepupu/kerabat -nilai setempat
-Pembantu RT -Petata, ujaran
-kesenian Trad.
Agama Tempat kerja
-dakwa -Pimpinan
-Pemuka agama -sistem perusahaan
-ajaran agama -peraturan
-interpretasi -rekan kerja
-Trad. agama -AD/ART
Sekolah Negara
-sistem pendidikan -Pejabat Negara
-staf pendidik -Para birokrat
-Buku pelajaran
Yang akan menghasilkan Penanaman keyakinan tentang
apa yang harus dan tidak harus
apa yang pantas dan tidak pantas
apa yang diharapkan dan yang tidak diharapkan
apa yang baik dan buruk
Peran yang baik dan buruk
peran yang cocok dan tak cocok
perilaku yang sesuai dan yang tidak sesuai
apa saja yang boleh dan yang tidak boleh
dan sebagainya.
Hal diatas merupakan proses internalisasi atas individu laki-laki dan perempuan. (kantor Menteri Negara Pemberdayaan perempuan RI. 2001)
BENTUK-BENTUK KETIDAK ADILAN AKIBAT GENDER
MARJINALISASI/dipingirkan
Upah perempuan lebih kecil
ijin usaha perempuan harus diketahui ayah(jika masih lajang) dan diketahui suami (jika sudah menikah)
permohonan keridit harus seijin suami
pembatasan kesempatan di bidang perkerjaan terhadap perempuan.
kemajuan teknologi industri meminggirkan peran serta perempuan
SUBORDINASI/tidak penting atau tidak memiliki kesempatan yang sama.
perempuan sebagai teman kencan
Perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikan
bagian waris perempuan lebih sedikit
rendahnya peran perempuan di bidang politik, jabatan, karier, pendidikan dan lain-lain.
STEREOTIPE/pemberian cacap, julukan
perempuan sumur, dapur dan kasur
perempuan macak-macak manak
laki-laki tulang punggung keluarga
KEKERASAN (VIOLENCE)
eksploitasi terhadap perempuan
pelecehan seksual terhadap perempuan
perkosaan
Perempuan dan laki-laki menjadi obyek iklan
laki-laki diperkuda sebagai pencari nafka
laki-laki yang gagal dibidang karir dan seksual dilecehkan
laki-laki yang feminin dilecehkan
BEBAN KERJA GANDA
permpuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan bekerja mencari nafkah
laki-laki sebagai pencari nafkah sekaligus menjadi pemimpin keluarga
dan lain-lain.
(kantor Menteri Negara Pemberdayaan perempuan RI. 2001)
Kesimpulan : ketidak adilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki dan permpuan menjadi korban dari sestem tersebut yang berbentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban kerja yang berlebihan dimana satu sama lain memiliki keterkaitan.
REALITAS GENDER DI INDONESIA
REALITAS GENDER DALAM SISTEM KELUARGA
Kepala Keluarga.
Dipegangnya jabatan kepala keluara oleh laki-laki ini tidak hanya untuk memudahkan pencacahan jumlah kepala keluarga, tapi juga bagi sebagian besar pelaksana program pembangunan merasa telah melakukan tugasnya jika mereka telah berhubungan dengan kepala keluarga yaitu laki-laki, karena dengan anggapan laki-lakilah yang tahu segalanya tentang keluarganya. padahal dalam keluarga ada subyek lain, yaitu perempuan yang mungkin saja menyebabkan suatu perogram pembangunan tidak sampai pada sasarannya.
Posisi laki-laki sebagai kepala keluarga secara legal mendapat pengesahan dari Penerintah dengan dikeluarkannya UU No. I tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 31 dan 34 yang berbunyi "suami adalah kepala keluarga dan instri adalah Ibu rumah tangga" dan " Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sementara istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya".
Dari UU diatas muncul pertanyaan bagaimana dengan rumah tangga yang tidak ada laki-lakinya atau dikepalai oleh perempuan, apaka keluarga itu tidak mempunyai kepala keluarga. Dan menurut data statistik 1977, menyatakan tidak semua rumah tangga dikepalai oleh laki-laki, dan dari 9 rumah tangga, 1 diantaranya dikepalai oleh perempuan. berarti UU tersebut suda seharusnya diperbaharui. Karena konsep kepala keluarga bukanlah berdasarkan jenis kelamin tapi lebih mengacu kepada faktor individu yang menanggung biaya hidup anggota keluarganya.
Perkawinan.
Dalam siklus hidup manusia, banyak yang beranggapan bahwa perkawinan merupakan ujung dari siklus manusia, sehingga manusia berusaha untuk memiliki perkawinan seideal mungkin.
Di Indonesia selain ada perkawinan yang permanen terdapat juga perkawinan kontrak. Yang mengacu pada tafsir agama Islam yang berasal dari bahasa arab yaitu kawin mut'ah, yang ditinjau dari epestimologi memiliki pengertian antara lain kesenangan, kenikmatan untuk memiliki status hukum dari sesuatu. Secara hukum islam perkawinan mut'ah merupakan suatu kontrak antara laki-laki dan perempuan yang tidak bersuami dimana diakhir periode perkawinan dan uang mas kawin harus ditentukan, karena jika tidak ditentukan maka kontrak dianggap tidak sah. Dan perkawinan kontrak ini tidak ada campur tangan dari pihak keluara perempuan.
Dampak dari perkawinan perkawinan kontrak ini lebih banyak dialami oleh perempuan, yang menimbulkan ketidakadilan gender. (Kinasih, 2004)
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kinasih 2004terungkap bahwa ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan oleh perempuan ketika sudah habis masa kawin kontraknya yaitu:
Kegiatan produktif, yang merupakan kegiatan untuk mencari uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
Kegiatan reproduktif, berkaitan denan pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia dalam rumah tangga yang secara langsung tidak menghasilkan uang seperti mengasuh anak, mendidik anak, memasak, mencuci dan lain-lain.
Kegiatan sosial budaya, yang dilakukan oleh perempuan dalam upayanya untuk berinteraksi dengan lingkungannya dalam kegiatan sosial budaya.
Perceraian
Perceraian ini diatur antara lain oleh UU. No. 1 tahun 1974 Tentang perkawinan, PP No. 9 1975 tentang pelaksanaan, UU. No. 1 tahun 1974, UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang peradilan setelah pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Kustini 2004). Namun pada kenyataannya banyak sekali perceraian yang tidak berakhir dipersiangan malahan dilakukan dibawah tangan.
Dan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kustini sebenarnya perceraian dibawa tangan itu telah memingirkan hak perempuan atau dengan kata lain menimbulkan ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi atas hak perempuan yang antara lain:
Terabaikannya hak perempuan dan anak.
Maraknya Poligami
Memudarnya loyalitas Masyarakat terhadap peraturan perundangan
Rentannya ikatan suatu keluarga (sulit mempertahankan keutuhan keluarga)
REALITAS GENDER DALAM SISTEM PENDIDIKAN
Bahan ajar
Bahan ajar yang dipakai di sekolah-sekolah masih banyak mengandung bias gender terutama pada ilustrasi yang digunakan dalam menjelaskan suatu konsep tertentu terutama pada Buku pelajaran SD. seperti contoh dibawah ini:
'Ibu pergi kepasar Bapak pergi ke kantor'
'Budi bermain bola dan Ani bermain Boneka'
'Ani membantu Ibu di dapur dan Budi membantu Bapak di kebun'
Kalimat-kalimat diatas merupakan contoh dari kalimat yang ada di buku pelajaran dan terlihat bahwa telah terjadi proses domestifikasi peran perempuan yang menggambarkan perempuan sebagai manusia yang lemah.
Tingkat Pendidikan
Yaitu tidak memiliki tingkat pendidikan yang sama dan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan yang setinggi-tingginya. Dari data Susenas 2003 menunjukan penduduk perempuan usia 10 tahun keatas yang tidak/belum sekolah jumlahnya 2 kali lipat penduduk laki-laki (11,56 berbanding 5,43), sedangkan penduduk perempuan yang buta aksara sekitar 12, 28% dibanding jumlah laki-laki 5, 48% (Kompas 27 Juli 2005)
Penduduk usia 7-24 Tahun yang masih sekolah
menurut kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok umur
Laki-laki
Perempuan
Tahun 2001
7-12
13-15
16-18
19-24
12.663.627
4.940.218
3.286.462
1.369.545
11.931.928
4.753.432
2.980.305
1.125.056
Tahun 2002
7-12
13-15
16-18
19-24
12.966.014
4.830.169
3.247.320
1.331.430
12.047.483
4.631.099
2.966.034
1.149.234
sumber: BPS (Statistik indonesia 2002: 90) telah dimodifikasi SSBI Jurusan sosiolog UT, UI
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jumlah usia sekolah dari kelompok umur 7 s/d 24, dan yang paling penting di soroti dari hubungannya dengan gender ini adalah dari kelompok usia sekolah dasar (7-12) sampai dengan pendidikan tinggi (19-24) ternyata jumlah laki-laki masih lebih banyak dibanding jumlah perempuan. Fenomena ini merupakan cerminan masih berkuasanya budaya patriarki, dimana laki-laki lebih dipentingkan dibanding perempuan, Kalaupun perempuan juga memperoleh kesempatan untuk bersekolah tapi pada tingkat pendidikan tertentu saja.
REALITAS GENDER DALAM SISTEM POLITIK
Kehidupan Politik di Indonesia pada umumnya lebih dilihat dari kaca mata laki-laki, sehingga perspektif gender perlu untuk masuk kedalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan Pemerintah, yang akan menciptakan suatu hubungan atar sesama manusia yang lebih baru, lebih adil dan saling menghargai.
Dan politik merupakan alat sosial yang paling memungkinkan bagi terciptanya ruang kesempatan dan wewenang, serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui berbagai aksi bersama, diskusi, sharing dalam prinsip kesetaraan dan keadilan. Politik merupakan salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk mencurahkan semua kecemasannya (wijaksana 2004) dalam SSBI UT dan UI
Fakta yang ada di Indonesia pada tahun 2004 yang lalu hasil pemilu menunjukan masih rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, padahal telah ditetapkan 30% kuotanya bagi perempuan. Sistem kuota ini dibangun sebagai netralitas terhadap gender dalam arti untuk mengoreksi ruang keterwakilan perempuan maupun laki-laki. Akan tetapi kenyataannya partai politik berlomba-lomba mencari perempuan yang mau dimasukan sebagai anggota calon legislatif walaupun bukan dari simpatisan atau anggota partai, yang penting tujuan 30% terpenuhi. Sehingga rekrutmen yang terjadi tidak didasarkan untuk mengangkat isu perempuan kepermukaan tetapi lebih kepada kepentingan partai politik semata.
Partai Politik
Penghambat keterlibatan perempuan dalam partai politik menurut Syafiq Hasyim terdapat beberapa pendapat yang berkembang (Kusumaningtyas 2004)
Pandangan konservatif yang menyatakan Islam sejak kemunculannya di Mekah dan Madinah, tidak memperkenankan perempuan masuk dalam dunia politik.
Pandangan Liberal progresif, menyatakan islam sejak awal telah memperkenankan konsep keterlibatan perempuan dalam dunia politik.
Pandangan apologetis, menyatakan ada wilaya politik tertentu yang bisa dimasuki perempuan dan ada wilaya lainnya yang sama sekali tidak boleh dijamah perempuan.
Pandangan diatas menimbulkan adanya dua sikap pada partai politik dengan basis islam tentang isu perempuan sebagai berikut:
Partai islam modernis yang lebih medern dalam menafsirkan status perempuan yang mengeluarkan program tentang persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hukum, sosial, ekonomi dan politik. sehingga perempuan dapat bekerja di sektor publik, terlibat dalam kegiatan politik, bahkan menjadi sebagai kepala Negara.
Partai Islam Fondamentalis cendrung menolak persamaan laki-laki dan sensusperempuan dalam hukum, sosial dan politik. Akibatnya perempuan tidak bebas untuk beraktivitas diluar rumah karena harus dikawal oleh suami atau muhrimnya. tidak boleh bekerja di sektor publik dan secara tegas dilarang untuk menjadi kepala Negara.
selanjutnya menutut Hasym, isu keperempuanan di partai islam sangat beragam, dimana pada satu sisi memang didasarkan pada kebutuhan perempuan dan disisi lain isu-isu tersebut hanya dijadikanaksesori politik untuk membujuk pemilih perempuan sebagai jumlah terbesar di Indonesia untuk memilih partai mereka.
Lembaga Plitik
Ketimpangan gender dalam representasi di lembaga politik di Indonesia masih tejadi. Populasi perempuan di Indonesia mencapai 51 % di sensus tahun 2000.tapi jumlah yang besar tersebuttercermin dalam jumlah keberwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pembuat/pengambil kebijakan politik di Indonesia. (Soetjipto, 2005)
Perbandingan perempuan dan laki-laki
dalam lembaga politik formal
Lembaga
Jumlah
perempuan
Jumlah
Laki-laki
Jumlah
Perempuan %
MPR
18
177
9,2
DPR
45
455
9
MA
7
40
14,8
BPK
0
7
0
DPA
2
43
4,4
KPU
2
9
18,1
Gubernur
0
30
0
Bupati
5
331
1,5
Sumber www.cetro.or.perempuan.htm
Perempuan dalam lembaga legislatif 1955-2004
Periode
Perempuan
Laki-laki
1955-1960
17(6,3%)
272(93,7%)
Konstituante 1956-1959
25(5,1%)
488(94,9%)
1972-1977
36(7,8%)
460(92,2%)
1977-1982
29(6,3%)
460(93,7%)
1982-1987
39(8,5%)
460(91,5%)
1987-1992
65(13%)
500(87%
1992-1997
62(12,5%)
500(87,5%)
1997-1999
54(10,8%)
500(89,2%)
1999-2004
46(9%)
500(91%)
2004-2009
61(11,09%)
489(88,9%)
Sumber sekjen DPR RI. 2001.
Perempuan dalam DPR
No.
Komisi
Perempuan
Laki-laki
Total
1
Pertahanan dan keamanan
4(7%)
53(93%)
57
2
Hukum dan masalah dalam negeri
3(4,9%)
58(95,1%)
61
3
Pangan dan pertanian
3(5,7%)
49(94,3)
52
4
Transportasi dan pengadaan inprastruktur
4(7,2%)
51(92,8%)
55
5
Pembangunan dan industri
6(9,6%)
50(90,4%)
56
6
Agama, Bud. dan pendidikan
6(12,5%)
42(87,3%)
48
7
Kemasyarakatan dan kesehatan
11(25%)
33(75%)
44
8
Ilmu peng, tek,dan lingkungan hidup
4(7,2%)
51(92,8%)
55
9
Keuangan dan pembangunan
3(5,4%)
52(94,5%)
55
TOTAL
44(8,5%)
439(91,5%)
483(100%)
Sumber sekjen DPR 2002.
REALITAS GENDER DALAM SISTEM EKONOMI
Bekerja tidak hanya didominasi oleh laki-laki, bahkan semakin lama semakin banyak perempuan yang bekerja. Dan yang menjadi permasalahannya adalah ketika perempuan bekerja baik di wilayah domistik maupun di luar wilayah domistik seringkali hak-haknya tidak terlindungi dan bahkan sangat rentan terhadap kekerasan dan ketidakadilan. Padahal permintaan tenaga kerja perempuan dan pencari kerja perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Kasus ketidak adilan ini bisa terjadi di sektor pertanian, dimana upah buruh tani perempuan lebih kecil dari laki-laki dalam komposisi yang sama, buruh migran perempuan yang sering mendapatkan kekerasan dan tidak terlindungi hak-haknya, Pembantu rumah tangga(PRT) sering mendapatkan ketidak adilan gender antara lain kekerasan dan beban kerja dan begitu juga di sektor-sektor yang lain.
Sehingga timbul pertanyaan apakah anda perna menyarankan PRT. laki-laki anda untuk kursus menyetir atau memiliki ketermpilan lain? Kemudian apakah anda perna mendorong PRT. permpuan anda kursus komputer atau keterampilan lain diluar wilaya dapur dan rumah tangga? dan biasanya kesempatan itu lebih banyak laki-laki yang diberi kesempatan dari pada perempuan.
HUBUNGAN INDUSTRIAL
PENGANTAR
Hubungan industral merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk diantara pelaku proses produksi barang atau jasa yang melibatkan sekelompok orang dalam suatu organisasi kerja. Dan di Indonesia sistem hubungan industrial telah berubah dari sistem sentralisasi ke proses desentralisasi sejalan dengan konteks sosial politik yang lebih luas dimana rakyat Indonesia sedang mengubah dirinya dari masyarakat yang dikawal ketat oleh rezim ORBA. yang otoriter menjadi masyarakat yang demokratis.
Pengertian Hubungan Industrial.
Sebelum kita mengartikan hubungan industrial, terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan hubungan kerja. Menurut Shamad hubungan kerja adalah suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha diadakan perjanjian sebelumnya oleh kedua belah pihak. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya Pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan Pekerja dengan membayar upah. (Shamad 1997)
Hubungan Industial dapat diartikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang atau jasa (Suwarto, 2000) namun hubungan industrial tidak dapat dilihat hanya sekedar sistem hubungan diantara para pelaku ditempat kerja tetapi meliputi sekumpulan fenomena, baik didalam maupun diluar tempat kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan ketenagakerjaan. Bahkan perkembangan hubungan industrial tidak terlepas dari hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas. (Smeru 2002)
Tujuan dari hubungan industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan yang seimbang antara pekerja dengan pengusaha. Peningkatan produktipitas perusahaan dan kerja tidak bisa dicapai apabilah kesejahteraan pekerja tidak diperhatikan atau diberikan harapan tentang kesejahteraan yang lebih baik di masa depan. Sebaliknya kesejahteraan Pekerja tidak bisa dipenuhi atau ditingkatkan apabilah tidak terjadi peningkatan produktivitas perusahaan dan kerja.
Untuk mencapai hubungan industrial harus ada komitmen yang sungguh-sungguh dari masing-masing pihak dan sarana hubungan industrial yang bersipat kolektif.
Sarana hubungan industrial dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
Pada tingkat perusahaan ialah serikat buruh, Kesepakatan Kerja Bersama/Perjanjian Kerja bersama, Peraturan perusahaan, lembaga kerja sama bipartit, Pendidikan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan industrial.
Sarana yang bersipat makro yaitu serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama tripartit, peraturan perundang-undangan, penyelesaian perselisihan industrial dan pengenalan hubungan industrial bagi masyarakat luas. (smeru, 2002)
Pelaku Hubungan Industrial.
Pengusaha(Manajemen)
Istilah Pengusaha atau manajemen menunjuk pada individu-individu atau kelompok yang bertanggunga jawab untuk merealisasikan tujuan-tujuan dari pada pengusaha dan organisasi kerja mereka yang sekurang-kurangnya mencakup tiga kelompok:
Para pemilik dan pemegang saham(shareholders) perusahaan.
Jajaran direktur eksekutif dan manejer.
Personalia yaitu Human Resources Departement(HRD) dan hubungan industrial yang bertanggung jawab khusus dalam mengatur hubungan antara perusahaan dengan buruh dan serikat buruh.
Manajemen berperan penting dalam melakukan negosiasi dan menginvestasikan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan perusahaan tentang hubungan industrial (Katz dan Kochan 1992).
Buruh
Istilah buruh (labor) meliputi para pekerja dan serikat buruh yang mewakili mereka. Para buruh dapat mempengaruhi perusahaan untuk memenuhi berbagai tuntutan mereka, dan mengajukan berbagai tuntutan melalui serikat buruh (Katz dan Kochan, 1992).
Di Indonesia penduduk dapat dibedakan kedalam dua kelompok:
Angkatan kerja(labor force) adalah mereka yang sudah bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan atau yang dikenal dengan pengangguran terbuka.
Bukan angkatan kerjaadalah penduduk yang usia kerjanya (> 15 tahun) yang tidak bekerja atau tidak sedang mencari kerja seperti mereka yang sedang bersekolah, ibu rumah tangga dll. oleh karena itu yang dimaksud dengan buruh dalam konteks Indonesia adalah mereka yang termasuk dalam angkatan kerja. Namun pada umumnya, studi-studi hubungan industrial membatasi kategori buruh yang terlibat dalam hubungan antara pengusaha dan buruh, dan tidak memasukan kategori pegawai negeri (Swasono, 2000)
Pemerintah
Yang termasuk dalam istilah pemerintah adalah:
Pemerintah lokal dan pemerintah pusat
Lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam membuat dan merubah kebijakan-kebijakan publik yang dapat mempengaruhi hubungan industrial.
Pemerintah sebagai represintasi dari berbagai kepentingan publik.
Pemerintah dapat berperan sebagai regulator dengan mengeluarkan berbagai peraturan perburuhan seperti peraturan tentang bagaimana para pekerja membentuk serikat buruh, dan pengaturan hak dan kewajiban yang bisa dimiliki oleh serikat buruh (Katz dan Kochan, 1992)
Asal-usul dan Perkembangan Hubungan Industrial.
Mulai dikenal di eropa pada pertengahan abad 18 (delapan belas) seiring dengan munculnya repolusi industri. Pada awalnya hubungan industrial merupakan hubungan yang bersipat personal antara buruh dan pengusaha, bahkan hubungan yang terjadi bersipat kekeluargaan atau ketetangaan. Dan segala persoalan yang timbul akibat hubungan kerja diselesaikan secara peribadi dan kekeluargaan. Dan setela revolusi industri mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam berproduksi, bahan baku yang melimpah mendorong mendapatkan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Semakin besar perusahaan maka sekakin komleks permasalahan yang timbul, maka perlu untuk dibuat aturan permainan yang mengatur hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak agar tercipta ketenangan kerja dan produksi dalam perusahaan.
Pasca revolusi industri sampai akhir abad 19 (sembilan belas) di inggris dan eropa barat, hubungan industrial menjadi isu yang menonjol yang banyak dipengaruhi oleh paham liberalisme terhadap hubungan industrial yang dapat dilihat dari beberapa pandangan:
Pada dasarnya antara pengusaha dan buruh memiliki kepentingan yang berbeda yaitu pengusaha selalu berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sedang buruh berusaha mendapatkan upah yang sebesar-besarnya yang berakibat menimbulkan konflik terus menerus.
Hubungan antara pengusaha dan pekerja yang selalu dilandasi oleh konflik kepentingan itu akan berupaya mencari titik temu yang mengakibatkan terjadi adu kekuatan secara bebas(free fight) antara buruh dan penguasa. Dan menurut paham ini tidak ada pihak yang dibenarkan untuk mencampurinya sekalipun pemerintah.
akibat yang timbul dari paham liberalisme tersebut adalah muncul pandangan bahwa buruh merupakan bendah atau obyek ekonomi. Dalam kondisi demikian, posisi buruh menjadi lemah ketika berhadapan dengan pengusaha.
Pada akhir abat 19 (Sembilan belas) dan permulaan abad 20 (duapuluh) terjadi pergeseran pandangan dalam hubungan industrial yaitu muncul pendekatan manajemen baru yang dikenal denan scientific management yang dipopulerkan oleh F. W. Taylor. yang mulai mengakui perbedaan di antara pekerja berdasarkan tingkat keterampilan yang dimilikii pekerja.
Pada tahun 1930-an muncul pandangan modern dalam bidang manajemen dan hubungan industrial, yang memandang para pekerja sebagai mulai dipandang sebagai mahluk individu dan juga sosial yang berinteraksi dengan sesamanya.
Pada akhir abat 19 dan permulaan abad 20 hubungan industria dipengaruhi oleh perkembangan politik, yang waktu itu perkembangan politik didominasi oleh sistem politik demokrasi, yaitu masyarakat mulai berperan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan publik melalui lembaga-lembaga perwakilan. Sehingga buruh merasa semakin terlindungai ketika berhadapan dengan pengusaha melalui peraturan perundangan yang mengatur hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja seperti :
pengaturan tentang keselamatan kerja
sistem pengupahan
jam kerja dan lembur buruh dll.
yang tujuannya untuk menghindari pertarungan bebas antar burh dengan pengusaha karena ada pemerintah yang mempengaruhi kepentingan negara dan masyarakat.
Perspektif-perspektif dalam hubungan industrial.
Perspektif unitary memandang hubungan industrial merupakan suatu hubungan kerja sama antara pihak manajemen dan buruh yang bersipat harmonis, merupakan satu tim, satu kesatuan yang saling membutuhkan dimana manajemen adalah pihak yang menentukan kebijakan, sedang buruh merupakan pihak yang menjalankannya.
Perspektif konflik kelas (class conflict perspective) memandang pihak manajemen dan buruh sebagai pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda dan cendrung bersifat antagonis.(anantaraman 1990)
sedangkan Stephen J. Deery dan David H. Plowman (1991) Mengemukakan tiga perspektif yaitu:
Unitary tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Anantaraman diatas
Pluralist memandang bahwa suatu arganisasi kerja (perusahaan) meliputi berbagai kelompok dengan kepentingan, tujuan, dan aspirasi yang beragam. Dan menurut pandangan ini konflik dalam hubungan kerja tidak dapat dihindari karena merupakan sipat melekat padamanusia (inherent).
Marxist bertolak dari pemikiran bahwa dalam masyarakat industri selalu muncul konflik yang berdasarkan kelas yaitu konflik yang terjadi antara kelas pemilik modal atau pengusaha dengan kelas buruh, yang akan berlangsung tanpa kesudahan sampai kelas buruh mengusai alat-alat produksi.
Sementara itu menurut J. Dunlop (1958) mengatakan bahwa dalam menganalisa hubungan industrial perlu mempertimbangkan peraturan-peraturan di tempat kerja(the rules of the workplace) yaitu variabel dependen yang dipengaruhi oleh peroses interaksi para pelaku hubungan industrial sebagai variabel independen yang meliputi tiga hal :
status relatif dari pelaku (bagaimana posisi Pemerintah, posisi manajemen dan posisi pekerja)
kantek dimana para pelaku berinteraksi(selain dipengaruhi oleh faktor internal hubungan industrial juga dipengaruhi oleh faktor luar seperti karakter teknologi, Hambatan pasar dan pemilikan dan distribusi kekuasaan diantara aktor dalam suatu masyarakat.
ideologi dari sisten hubungan industrial( hubungan antara sistem industrial dengan sistem politik seperti di negara ketiga lebih berusaha menciptakan iklim kondusif ketimbang menghimpun modal dan meningkatkan keunggulan komparatif seperti upah buruh yang rendah, maupun menciptakan stabilitas sosial dan politik di sektor perburuhan.
ketiga perspektif siatas harus dikendalikan oleh peraturan yang bersipat independen yaitu aturan di tempat kerja.
Perselisihan Industrial
Tuntutan Non-normatif yaitu tuntutan yang berhubungan hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan perundangan dan PKB/KKB. yang timbul karena relatif rendahnya uang makan,susu, transportasi, sistem pembayaran upah, cuti haid, kejelasan status pekerja, pasilitas yang kurang memadai dan lain-lain.
Tuntutan normatif yaitu tuntutan yang tela diatur dalam peraturan perundangan dan hak-hak yang telah disepakati dalam PKB?KKB, maupun penyesuaian terhadap kebijakan pemerintah yang baru Seperti UMR, UMP atau upah yang telah menjadi kesepakatan bersama (tripartit) seperti uang lembur, uang cuti, tunjangan perkawinan dan melahirkan, bonus, pembentukan serikat pekerja, tunjangan hari tua, tunjangan hari raya dan pemberian pesangon.
Provokasi oleh pihak ketiga diluar perusahaan seperti oleh pekerja dari perusahaan lain, aksi solidaritas pekerja dan lain-lain.
Tekanan dari beberapa pekerja didalam perusahaan yang memaksa pekerja lain agar ikut berunjuk rasa. (hasil penelitian SMERU 2002)
HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA PASCA ORDE BARU
Berbagai gejolak yang timbul pasca kejatuhan orde baru tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan kepentingan mendasar antara pengusaha dengan buruh, namun dapat pulah dipicu oleh masalah kecil atau kesalahpahaman seperti kurang memahaminya peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan. Isu yang sering timbul adalah pengusaha berusaha menekan biaya produksi, sebaliknya buruh menuntut kenaikan upah yang lebih tinggi. Buruh melalui serikat buruh menilai pengusaha tidak terbuka untuk berdiskusi, merasa berkuasa dan kurang memperhatikan nasib buruh sehingga buruh kehilangan kepercayaan terhadap pengusaha dan manajemen perusahaan.
Hubungan Industrial yang harmonis adalah:
Hubungan kerja yang didasari oleh saling percaya
Saling menghargai dan dihargai
Saling menghargai dan dihargai
Saling memberi agar dapat menciptakan hubungan industrial yang harmonis
Menjalin komunikasi dua ara dengan buruh
Gaya kepemimpinan Pengusaha
Pengetahuan pengusaha dan buruh tentang hak dan kewajiban masing-masing serta penerapannya.
Iklim kerja yang mendukung
Kesediaan Pengusha dan Buruh untuk berunding
Beranggapan Buruh dan pengusaha mitra kerja dan bukan semata-mata Buruh dan majikan
Indikator adanya hubungan industrial yang harmonis tampak dari kepuasan dankesejahtraan buruh, tidak adanya unjuk rasa atau mogok kerja, Harmonisasi antara hubungan perusahaan dan buruh dapat dicapai dengan melaksanakan PP, KKB, PKB yang telah disepakati.
Faktor eksternal perusahaan yang sering memicu terganggunya hubungan industrial adala kebijakan Pemerintah yang dinilai tidak memihak kepada kepentingan buruh, dan penyusunan kebijakan tersebut sering tidak melibatkan perwakilan dari buruh. (Smeru 2002)
CARA-CARA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN UNTUK MENINGKATKAN DAN MEMPERTAHANKAN HUBUNGAN INDUSTRIAL YANG LEBIH BAIK DAN LEBIH HARMONIS:
Mengadakan tatap muka dengan Buruh dan serikat buruh secara rutin misalnya memberkan briefing 5-10 menit setiap pagi, atau seminggu sekali, atau sebulan sekali untuk mengatur kegiatan kerja, sekaligus menginformasikan kebijakan-kebijakan baru mengenai ketenagakerjaan dari perusahaan maupun dari Pemerintah.
Menyediakan kotak saran agar buruh dapat memberikan saran tanpa harus menyerahkan identitas. Dan bila masukan disampaikan melalui forum terbuka maka perusahaan akan memberikan insentif bagi mereka.
Memilih kepala bagian personalia yang mampu meredam perselisihan dan dapat mengatur perundingan antara buruh, Pengusaha dan Serikat Buruh secara adil.
Membuat program pendidikan dan pelatihan bagi buruh, termasuk untuk meningkatkan pemahaman buruh terhadap peraturan Pemerintah
Mengusahakan peneyelesaian cara bipartit atau kesepakatan bersama melalui musyawarah antara buruh atau serikat buruh dengan pihak manajemen, Mengundang dinas tenaga kerja untuk memberikan pengarahan kepada buruh secara berkala atau mendatangi Disnaker untuk memperoleh informasi perkembangan atau kebijakan baru tentang ketenagakerjaan
Mengikuti pertemuan-pertemuan APINDO (asosiasi pengusaha Indonesia) untuk memecahkan atau memberikan solusi tentang masalah ketenagakerjaan
Mengadakan kegiatan bersama seperti rekriasi, olahraga bersama dan pemilihan Karyawan teladan.
Kesimpulan:
Dimasa depan hubungan industrial di tingkat perusahaan diharapkan semakin didasari oleh perinsip keterbukaan. yaitu pola hubungan industrial yang memberikan peluang bagi serikat-serikat buruh tanpil dalam musyawarah dengan manajemen. Perlu adanya upaya pemberdayaan anggota-anggota serikat buruh terutama pada aspek pengetahuan sehingga sanggup mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kaum buruh ketika berhadapan dengan manajemen. (Smeru 2002)
OTONOMI DAERAH
Sebelum kita membahas otonomi daerah terlebih dahulu harus kita pahami bahwa tujuan dari setiap Negara adalah :
Keamanan dalam arti Negara harus dapat menjamin seluruh Warganya untuk dapat memperoleh rasa aman dalam segala hal.
Kesejahteraan dalam arti dapat memenuhi kebutuhan yang di perlukan oleh Warganegara.
Untuk mewujudkan hal tersebut diatas maka Negara-Negara di dunia ini menciptakan bentuk-bentuk Negara sebagai berikut:
Negara Pederal dima hukum negara bisa berbeda kecuali keuangan dan hubungan luar negeri.
Negara Kesatuan yang cirinya adalah yang berkuasa adala Negara pusat
Bentuk-bentuk Pemerintahan:
Bentuk Pemerintahan Kerajaan:
Absulut seperti Berunai, Arab
Konstitusional seperti malaisia, Inggeris dan belanda
Republik Yaitu kekuasaan ada ditangan rakyat yang terdiri dari :
Presidensial dimana kekuasaan pemerintahan ada ditangan presiden
Parlementer dimana kekuasaan ada di tangan parlemen.
Karena tujuan Negara adala Keamanan dan kesejahteraan maka untuk mewujudkannya tidak bisa semuanya bertumpuh kepada pemerintah pusat maka di perlukanlah Otonomi Daerah yang artinya berasal dari bahasa yunani yaitu:
Anto artinya sendiri
Nomes artinya Pemerintahan sendiri
Jadi dapat disimpulkan bahwa intisari dari Otonomi Daerah adala kemandirian, dan di Indonesia melalui UU. Otonomi daerah Pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendri, Karena yang lebih mengerti tentang daerah adalah penyelengara Pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Meskipun banyak terbentuk UU. otonomi daerah dari beberapa dekade di Indonesia, akan tetapi analisa yang mendasar yang perlu di pertimbangkan Untuk memberikan Otonomi kepada Pemerintahan Daerah di Indonesia yaitu pertimbangan-pertimbangan yang disesuaikan dengan tipologi Daerah yangdi ganbarkan sebagai berikut:
Gambar di atas dapat diasumsikan :
D2
D4
D1
D3
D. 1 Sumber daya alamnya Miskin, Pendidikan rendah, Rakyatnya pemalas maka tidak boleh diberi Otonomi yang besar./otonominya sedikit.
D.2 Alamnya subur, Strategis pertanian, pertambangan dan lain-lain lengkap tetapi pendidikannya rendah maka otonominya terbatas karena belum berpikiran luas.
D.3 Sumberdaya alamnya dan lain-lain miskin tapi rakyatnya cerdas dan bisa menjadi inspirator maka perlu otonominya besar.
D.4 Semuanya sempurna maka perlu diberi otonomi seluas-luasnya.
Kesimpulan
Dalam melaksanakan Otonomi Daerah Perinsip situasional suatu daerah perlu menjadi perhatian utama untuk memberikan ukuran seberapa besar otonomi yang akan diberikan kepada suatu daerah. agar tujuan Keamanan dan kesejahteran yang menjadi tujuan utama tidak bias.
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan:
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan
Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8]
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kota), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13]
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoriter ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harrus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:
melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
pembentukan negara federal; atau
membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya
diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
URUSAN PEMERINTAHAN YANG MASIH DIURUS OLEH PEMERINTAH PUSAT
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, tentu tidak semua urusan pemerintahan pusat diserahkan kepada pemerintah daerah, akan tetapi ada 6 (enam) urusan pemerintahan yang masih diurus oleh pemerintah pusat yaitu:
Urusan politik luar negeri
pertahanan dankeamanan
yustisi
moneter
fiskal nasional.
agama
Pemerintah pusat dalam penyelenggarannya dalat dilakukan sendiri atau melimpahkannya sebagian urusan pemerintahannya kepada perangkat pemerintah/wakil pemerintah di daerah atau menugaskan pemerintah daerah/desa.
Hak Daerah Otonom (ps. 21 UU. No. 32 Th. 2004)
Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
Memilih pimpinan daerah
Mengelola aparatur daerah
Mengelola kekayaan daerah
Memungut pajak daerah dan retribusi daerah
Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang ada di daerah
Mencari sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
Mendapatkan hak linnya yang diatur dalam peraturan perundangan
Kewajiban daerah Otonom( Ps. 22 UU No. 32 th. 2004)
Melindungi masyarakat
Menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI
Meningkatkan kehidupan demokrasi
Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan
Mewujudkan keadilan dan pemerataan
Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
Mengembangkan sistem jaminan sosial
Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
Mengembangkan sumber daya produktif di daerah
Melistarikan lingkungan hidup
Mengelola administrasi kependudukan
Melestarikan nilai sosial budaya
Membentuk dan menerapkan peraturan dan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya
Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan
Rincian Kewenangan Untuk Skala Provinsi:
Perencanaan dan pengendalian pembangunan
Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketertiban masyarakat
Penyediaan sarana dan prasarana umum
Penanganan bidang kesehatan
Penyelengaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
Penanggulangan masala sosial lintas propinsi/kabupaten/kota
Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas propinsi/kabupaten/kota
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas propinsi/kabupaten/kota
Pengendalian lingkungan hidup
Pelayanan pertanahan termasuk lintas propinsi/kabupaten/kota
Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
Pelayanan administrasi umum pemerintahan
Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas propinsi/kabupaten/kota
Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh Propinsi/kabupaten/kota
Urusan wajib lainnya yang belum diamanatkan oleh peraturan perundangan
Ada perbedaan sedikit tentang kewenangan skala propinsi dengan skala kabupaten/kota, yaitu untuk menyelenggarakan pendidikan tidak disertai dengan alokasi SDM potensial dan tidak menangani lintas kabupaten dan kota.
Beberapa tindakan yang mencerminkan daerah telah berprakarsa dan kreatif dalam melaksanakan otonomi daerah antara lain:
Pemda. memberikan beasiswa kepada pegawai dan karyawan untuk melanjutkan sekolah di daerah, di luar daerah, bahkan di luar negeri
Memberi beasiswa kepada anak sekolah yang berprestasi, tidak mampu, atau bahkan kepada semua anak sekolah di tingkatan tertentu
Daerah memberi tambahan tunjangan bagi guru didaerahnya yang sesuai dengan peruntukannya
Membentuk, menggabungkan, memekarkan instansi dilingkungan pemerintah daerah, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat agar dapat lebih baik dalam melayani masyarakat.
Referensi
UUD 1945 pasal 18 ayat 2
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kedua, Pasal 11
Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf c
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf e
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf b
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf f
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf d
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1)
^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 17
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30
Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)
INTEGRASI NASIONAL
Struktur Masyarakat indonesia ditandai oleh dua karakteristik, yaitu :
Horizontal yang ditandai oleh kesatuan sosial berdasar perbedaan suku bangsa, agama, serta kedaerahan. Hiteroginitas ini merupakan diferensiasi sosial berdasar parameter Nominal. Perbedaan horizontal inilah yang menunjukan indonesia sebagai masyarakat majemuk.
secara vertikal Struktur masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah seperti kelompok kaya dan miskin.
Untuk mempertahankan kesatuan negara republik Indonesia, Didalam perjalanannnya Integrasi Nasional Bangsa Indonesia dilalui dengan Integrasi Normatif, Koersif, dan Fungsional yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Integrasi normatif
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia integrasi normatif selalu dicoba untuk ditanamkan kedalam sendi-sendi kehidupan manusia. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, orde lama hingga ke orde baru, pemerintah selalu menekankan pada persatuan dan kesatuan bangsa melalui mekanisme politik. Sejarah mencatat dicanangkannya jargon Nasokom pada masa orde lama dan edeologi pancasila selama orde baru, merupakan kerangka utama untuk memperkuat integrasi normatif. Pada kondisi adanya musuh bersama yang datang dari pihak luar maka integrasi normatif seolah-olah menemukan titik puncaknya. Kesepakatan-kesepakatan politik antar pimpinan daerah, golongan atau kelompok secara otomatis diasumsikan sebagai indikataor tumbuh dan bekrmbangnya integrasi normatif. Pada masa orde baru kondisi ini diperparah dengan terorientasinya pembangunan yang hanya memfukuskan pembangunan pada bidang ekonomi sehingga sistem sosial budaya masyarakat dipandang sebelah mata dan ediologi normatif menjadi semakin hilang. Upaya-upaya penyeragaman budaya (bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika, justru melahirkan disorientasi budaya pada masyarakat lokal. setelah orde baru berakhir, kondisi integrasi normatif semakin kehilangan akarnya. Masyarakat kehilangan norma yang menjadi panduan dalam hidup bersama , kemudian muncul kelompok-kelompok ekstrem yang berusaha menghilangkan ediologi pancasila yang sebenarnya mengandung unsur kehidupan harmonis, jika dilaksanakan dengan sebenarnya.
Integrasi Koersif
integrasi ini diterapkan pada masa orde baru yang timbul akibat kekawatiran timbulnya tragedi G30 S. PKI. Upaya yang dilakukan dalam nenbentuk integrasi koersif adalah pergerakan operasi militer dan pembentukan jaringan intelejen hingga ketingkat yang paling bawah dari kehidupan bermasyarakat. Selain dalam bentuk operasi militer, Pemerinta juga menanamkan secara paksa ideologi tersembunyi(hegemoni) dalam bentuk penataran yang bersifat wajib dalam setiap kehidupan masyarakat.
dipermukaan memang terlihat keberhasilan pembangunan yang dicapai oleh Pemerintah, tidak ada gejolak politik, serta rasa aman yang tinggi, namun sesungguhnya keadaan tersebut menyimpan bom waktu yang pada akhirnya meledak ketika bangsa indonesia dilanda krisis moniter yang berkepanjangan yang puncaknya dimulai masa reformasi.
Integrasi fungsional
tujuan integrasi fungsional di Indonesia supaya konsep kemajemukan yang sesunggunya akan lebih mengena. akan tetapi karena timbulnya kesenjangan pembangunan seperti hanya terpusat di jawa, lebih terpusat pada golongan tertentu saja, sehingga integrasi fungsional semakin memudar, kesepakatn nilai dan norma semakin ditinggalkan dan tidak dipercayai lagi oleh masyarakat. Terlebih lagi di era globalisasi menimbulkan paham-paham seperti liberalisme, kapitalisme, serta wisternisasi semakin kuat pengaruhnya, sekalipun usaha pemerinta gencar untuk melembagakan ideologi Pancasila. sehingga dimasa reformasi yang semula seperti tidak terjadi apa-apa mulai muncul keinginan disintegrasi dimana-mana.
Adapun makna dari kemajemukan seperti yang disinggung pada ideologi fungsional diatas bisa mengandung empat (4) pengertian makna, yaitu:
Makna ideologis, yang mengacu pada keyakinan (doctrinal belief) yang biasa terdapat pada kelompok minoritas.
Makna Politis, mengacu pada terdapatnya banyak kelompok dan kepentingan kelompok yang masing-masing memiliki otonomi dan sangat berperan dalam penetapan kebijakan politik negara
Makna kultural, mengacu pada terdapatnya banyak kelompok etnik yang secara kultural memiliki latar belakang yang berbeda
Makna struktural, mengacu pada teori stratifikasi budaya secata vertikal, yaitu terdapatnya kelompok-kelompok sosial dengan latar belakang budaya yang berbeda
adapun saluran dari implementasi ke empat (4) makna tersebut bisa melalui tiga bentuk institusi seperti yang dikemukakan oleh Smith sebagai berikut:
Institusi Pokok/dasar (Compulsory institution) yaitu institusi yang menyajikan aktivitas pokok kehidupan kolektif, dimana setiap onggota kelompok wajib berpartisipasi dalam institusi ini, misalnya kekerabatan, agama, serta pendidikan.
Institusi alternatif (alternative institution) yaitu institusi yang menyajikan aktivitas tambahan, dimana anggota boleh menentukan pilihan untuk berpartisipasi atau tidak dalam institusi, seperti keanggotaan kelas sosial dan keanggotaan komunitas
Institusi eksklusif (exclusive institution) yaitu institusi yang menyajikan aktivitas tambahan namun hanya ditujukan bagi individu dengan kategori tertentu saja, misalnya asosiasi profisi.
Dalam hal integrasi perlu adanya pengembangan paradigma seperti yang di uraikan oleh Iwan Gardono Sujatmiko pada Kompas 20 Desember 1999 yang intinya adalah melihat daerah berintegrasi ke pusat lebih sebagai suatu hak dan bukan kewajiban.
Hal ini akan membuat pusat lebih sensitif dan tidak menganggap bahwa daerah secara otomatis wajib terintegrasi apapun yang dilakukan pusat kepada mereka.
alasan yang sah satu daerah meminta cerai antara lain karena terancam kebebasanya, keragamannya yang mengalami redistribusi yang diskriminatif, mengalami inifisiensi, mempertahankan budaya, bela diri, dan pemaksaan integrasi masa lalu. (Iwan Gardono Sujatmiko pada Kompas 20 Desember 1999)