LAPORAN TUTORIAL BLOK TRAUMATOLOGI SKENARIO 1
KELOMPOK XVIII ANING HANA FANIYA
G 0015022
DAMAR ILHAM NURSETA
G 0015050
DESTYA PUTRI AMALIA
G 0015054
FABIANUS ANUGRAH PRATAMA
G 0015072
GHINA HARISA AMALIA
G 0015096
HEINRICH GELUK PURBO
G 0015106
KARLA MONIKA PRAENTA
G 0015124
MUHAMMAD AFIF MURAD
G 0015162
NADYA LUPITASARI
G 0015180
RANI AGMARIDA MANURA
G 0015198
TAUFIK RIDWWAN HADI K
G 0015222
VIRA KHAIRUNISA NOVI
G 0015228
TUTOR : Novan Setiawan, dr., Sp.PA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2018
BAB I PENDAHULUAN
SKENARIO 1 SESAK NAFAS DAN PATAH TULANG SETELAH KECELAKAAN
Saat sedang bertugas jaga IGD, dokter jaga TRIAGE mendapat pasien korban kecelakaan lalu-lintas seorang laki-laki berusia 22 tahun diantar oleh tukang becak. Pasien sadar, mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin bertambah dan kaki kanan tidak dapat digerakkan. Dokter dibantu perawat segera melakukan primary survey dan Secondary Survey. Menurut keterangan pengantar, 2 jam SMRS pasien mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi, menabrak jembatan ketika menghindari penyebrang jalan. Penderita terjungkal dan jatuh dari motor, dada terbentur stang motor dan kaki tertimpa motor. Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15. Nafas cepat dan dangkal, suara tambahan tidak didapatkan (gurgling (-), snoring (-)). Vital sign : Nadi 110 x/menit, tekanan darah 100/70 mmHg, suhu 37,0oC, RR 30 x/menit. Terdapat jejas pada hemithorax kanan, pergerakan dada kanan tertinggal, perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler menurun, emfisema sub cutis (+). Femur dextra dapat luka terbuka sepanjang 3 cm, perdarahan aktif (+), fat globule (+), oedem (+), deformitas (+), angulasi (+), nyeri tekan (+) dan krepitasi (+). Dokter melakukan bebat tekan realignment femur dan imobilisasi. Dokter IGD menduga adanya pneumothorax ventil dan berencana untuk melakukan thorakosintesis segera. Keluarga Pasien belum ada yang dating. Sambal menunggu keluarga, dokter melakukan informed consent, permintaan cek lab darah dan radiologi.
BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut : 1. TRIAGE : klasifikasi trauma/menentukan prioritas penanganan melalui 4 warna 2. Gurgling : bunyi kumur-kumur akibat obstruksi saluran nafas bawah ak ibat cairan 3. Snoring : mengorok karena pangkal lidah menutupi saluran nafas 4. Primary survey : survey : penilaian pertama meliputi A-B-C-D-E dalam 2- 5 menit 5. Secondary survey : survey : penilaian lanjutan secara holistik setelah pasien stabil/melihat kelainan lain 6. SMRS : sebelum masuk rumah sakit 7. Fat globule : salah satu indikasi luka terbuka 8. Pneumothorax ventil : tension pneumothorax 9. Empisema sub kutis : adanya udara pada jaringan subkutis 10. Realignment : penyusunan kembali 11. Angulasi : salah satu manifestasi fraktur membentuk sudut
Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1. Bagaimana Prosedur yang dilakukan setelah masuk UGD? 2. Apakah primary Apakah primary and Secondary Survey dilakukan Survey dilakukan pada semua pasien UGD? 3. Mengapa sesak nafas dirasakan semakin memberat? 4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan ? 5. Apa beda fraktur tertutup dan fraktur terbuka? 6. Apa saja jenis-jenis trauma? 7. Mengapa dokter menduga adanya pnemothorax ventil? 8. Mengapa pasien perlu dimobilisasi dan bagaimana caranya? 9. Bagaimana tatalaksana pasien SMRS? 10. Apa indikasi dan kontraindikasi thorakosintesis? 11. Bagaimana prosedur thorakosintesis? 12. Prioritas pasien keberakah di UGD pada scenario? 13. Apakah nafas dangkal dan cepat akibat dada terbentur stang motor? 14. Kegawadaruratan seperti apa yang diberi tatalaksana tanpa IC? 15. Mangapa dokter melakukan cek darah?
Langkah III: Menganalisis
permasalahan
dan
membuat
pertanyaan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
1. Bagaimana Prosedur yang dilakukan setelah masuk UGD? Triage di UGD Diterapkan sehari-hari untuk assessment prioritas assessment prioritas penanganan pasien di UGD. Prioritas diberikan pada pasien yang paling membutuhkan. Sumber daya tersedia dalam kualitas dan kuantitas yang cukup baik. Prosedur Triage di UGD : a.) Menilai adakah tanda emergency (ABCD). Penatalaksanaan segera diberikan begitu teridentifikasi satu tanda emergency sebagai berikut : Jika terdapat tanda A, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari tanda B. Jika terdapat tanda B, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari tanda C. Jika terdapat tanda C, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari tanda D. Jika terdapat tanda D, atasi. Bila tidak terdapat tanda emergency, dilanjutkan dengan penilaian adakah tanda prioritas.
b.) Contoh kasus pengelompokan pasien sesuai klasifikasi warna Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat dan biru untuk sangat berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III > 25% Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka ringan Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis. 2. Apakah primary Apakah primary and Secondary Survey dilakukan Survey dilakukan pada semua pasien UGD? a.) Primary survey Petugas kesehatan menilai tanda vital pasien, luka yang diderita pasien, dan mekanisme terjadinya luka pada pasien. Penilaian didasarkan pada patokan ABCDE yaitu : 1) Airway maintenance with cervical spine protection (pemeliharaan jalan napas dengan perlindungan tulang belakang bagian leher) 2) Breathing and ventilation (pernapasan ventilation (pernapasan dan pertukaran udara) 3)
Circulation with hemorrhage control (sirkulasi dan kontrol perdarahan)
4) Disability : Neurologic status (status neurologis pasien) Penilaian status neurologis pasien menggunakan sistem Glasgow Comma Scale 5) Exposure / Environmental control : compeletely undress the patient, but prevent hypothermia h ypothermia ( Menanggalkan seluruh pakaian p akaian pasien tetapi harus menghindari terjadinya hipotermia) b.) Resusitasi sesuai Primary sesuai Primary survey Petugas kesehatan melakukan resusitasi sesuai dengan penemuan dari penilaian primary penilaian primary survey, survey , apabila pasien mengalami gagal napas harus dilihat apakah ada sumbatan jalan napas, bila ada harus segera dikeluarkan dari jalan napas. Setelah itu dilihat kembali apa pasien dapat bernapas normal. Bila belum dilakukan bantuan napas minimal 20x dalam waktu 3 menit. Bila pasien mengalami gagal jantung maka dilakukan resusitasi jantung paru dengan perbandingan 30 : 2 selama 5 siklus. Paling lambat 100 x pompa jantung per menit. Kedalaman tidak boleh lebih dari 5 cm dan harus bisa recoil sempurna. sempurna.
c.) Adjunct Primary survey Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan apabila pasien sudah stabil atau sudah ditangani kegawatdaruratannya. Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto roentgen, analisa gas darah, kateter urin, pulse oximetry dan tekanan darah. d.) Memeriksa kebutuhan transportasi Apabila di sebuah rumah sakit tidak memiliki alat yang lengkap untuk melakukan penanganan maka petugas kesehatan harus segera mengetahui apakah pasien tersebut memang membutuhkan transportasi untuk dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. e.) Secondary Survey Merupakan pemeriksaan dari kepala sampai kaki yang dilakukan setelah tahap primary survey dilakukan secara tuntas. Selain itu riwayat dari penderita juga digali secara menyeluruh menggunakan sistem AMPLE, yaitu : Alergi, Medikasi, Past illness/ Pregnancy (Riwayat penyakit dahulu/ kehamilan), Last meal (makanan yg terakhir dimakan), dan Events/ Environtment related to injury ( kejadian atau lingkungan terkait luka yg diderita pasien). f.) Adjunct Secondary Survey Pemeriksaan tambahan ulang yang dapat dilakukan apabila pasien sudah stabil atau sudah ditangani kegawatdaruratannya. Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto rontgen, analisa gas darah, kateter urin, pulse oximetry dan tekanan darah. g.) Re-evaluasi Pasien harus di evaluasi secara berkesinambungan untuk mencegah terjadinya efek sekunder yang disebabkan oleh luka pada pasien. h.) Definitive care Apabila ada permasalahan yang dialami pasien, pasien yang sudah stabil akan diberikan penanganan sesuai dengan kondisi yang dialami pasien. 3. Mengapa sesak nafas dirasakan semakin memberat? Karena pada pasien terjadi tension pneumothorax akibat terbenturnya bagian thorax dengan benda tumpul. Nantinya udara akan tersimpan pada cavum pleura
dan menekan paru-paru. Koomplikasinya nanti bakal menekan jantung, trachea, dan bronchus sehingga jalan napas juga terhambat dan nyeri pada daerah dada. Lebih parahnya bisa menghentikan vena return ke jantung dan menurunkan cardiac output yang berakibat pada gagal jantung. 4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan ? a.) Gcs 15 : normal komposmentis b.) Nafas cepat dan dangkal : menandakan ada tahanan pada n afas c.) Tidak ada gurglng atau snoring : tak ada hambatan jalan nafaas d.) Vital sign : e.) Nadi : 110 takikardi f.) Tkanan darah : 100/70 normal, mau kearaha syok g.) Suhu : normal 37 derajat h.) Rr : naik, seharusnya 20 jadi 30, ada peningkatan kompensasi dari nafas dan jantung i.) Pergerkan dada tertinggal : terdapat masalah p ada sistem pernaasan j.) Perkusi hipersonor : menandakan ada udara dalam toraks k.) Auskultasi vesikuler menurun :tidak proses pernasan dan udara tidak sampai ke paru sebelah kanan l.) Emfisema subkutis : pendarahhan dibawah kulit ak ibat trauma tumpul m.) Femur : luka terbuka : menandakan adanya lluka dan pendarahan n.) Fat globe : tanda faktur terbuka o.) Oedem : adanya inflamasi p.) Deformitas : tanda fraktur q.) Angulasi : tanda fraktur r.) Nyeri tekan : adanya masalah neurologis s.) Krepitasi : anda fraktur 5. Apa beda fraktur tertutup dan fraktur terbuka? Terjawab di PR 6. Apa saja jenis-jenis trauma? Trauma terjadi akibat adanya perpindahan energi yang berlebihan dari suatu benda ke tubuh manusia, oleh karena itu trauma bisa disebabkan oleh semua energi yang
berlebihan. Berikut ini adalah macam-macam trauma : a. Trauma tumpul
Suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda benda tumpul.Hal ini disebabkan oleh benda-benda yang mempunyai permukaan tumpul, seperti, batu, kayu, martil, bola, ditinju, jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya.Trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu luka memar (contusio), luka lecet (abrasio), dan luka robek (vulnus laceratum). Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Pada suatu kecelakaan lalu lintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita yang berada didalam mobil akan mengalami beberapa benturan (collision) berturut-turut sebagai berikut : 1) Primary Collision Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada posisi masing-masing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara: tabrakan depan (frontal), tabrakan samping (t-bone), tabrakan dari belakang dan terbalik (roll over). 2) Secondary Collision Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau sabuk pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat tergantung dari arah tabrakan. 3) Tertiary Collision Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam rongga tubuh akan melaju kearah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan langsung ataupun terlepas (robek) dari alat pengikatnya dalam rongga tubuh tersebut. 4) Subsidary Collision Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang mengalami tabrakan terpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain itu barang-barang yang berada dalam mobil turut terpentan dan menambah cedera pada penderita. Adapun jenis luka yang diakibatkan trauma tumpul : 1) Luka memar
Memar adalah cedera yang disebabkan benturan dengan benda tumpul yang mengakibatkan pembengkakan pada baian tubuh tertentu karena keluarnya darah dari kapiler yang rusak ke jaringan sekitarnya tanpa ada kerusakan kulit. Tanda-tanda luka memar adalah: a) Kulit kelihatan merah kebiru-biruan dan lama kelamaan kehijauan kemudian coklat dan akhirnya kuning lalu hilang setelah sembuh. b) Proses penyembuhan 1-4 minggu 2) Luka Lecet (Abrasio) Luka lecet adalah luka pada kulit yang superficial dimana epidermis bersentuhan dengan benda yang kasar permukaannya. Tanda-tanda dari luka lecet adalah: a) Kerusakan hanya sebatas epidermis b) Warna coklat kemerahan c) Permukaan tidak rata d) Sebagian atau seluruh epidermis hilang Sesuai dengan mekanisme terjadinya luka lecet dapat diklasifikasikan sebagai: Luka Lecet Gores Luka jenis ini diakibatkan oleh benda runcing yang menggeser lapisan permukaan kulit yang menyebabkan lapisan tersebut terangkatsehingga dapat menunjukkan arah kekerasan yang terjadi Luka Lecet Serut Merupakan variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan permukaan kulit lebih lebar Luka Lecet Tekan Luka yang disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit Luka robek Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul, yang menyebabkan kulit teregang kesatu arah dan bila batas elastisitas kulit terlampaui, maka akan terjadi robekan pada kulit. Patah tulang Pada trauma tumpul yang kaut dapat terjadi patah tulang. Pecahnya tulang dapat
menunjukkan arah trauma. Patah tulang dapat menimbulkan perdarahan luar dan perdarahan dalam. Yang paling bahaya adalah trauma tumpul pada tulang kepala, karena
dapat
terjadi
perdarahan
epidural,
subdural,
subarachnoid,
dan
intraserebral. Akibat yang ditimbulkan oleh patah tulang: Menimbulkan rasa nyeri dan gangguan fungsi Emboli pulmonal atau emboli otak oleh karena sel-sel lemak memasuki sirkulsi darah, biasanya terjadi pada fraktur tulang-tulang panjang Perdarahan ekstradural terjadi karena robeknya arteri meningea media yang berada pada bagian dalam tempurung kepala b. Trauma tajam
Suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda benda tajam.Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum), dan luka bacok (vulnus caesum). 1) Luka iris (inciseal wound) Luka iris adalah luka yang diakibatkan karena alat untuk memotong dengan mata tajam dengan cara menekan dan menggeser pada permukaan kulit, tenaga menggeser lebih besar daripada tenaga menekan. Ciri-ciri luka iris yaitu: Panjang luka lebih besar daripada dalamnya luka -
Tepi luka tajam dan rata, pada lipatan kulit tepi luka tajam dan berliku-liku
-
Ujing luka runcing
-
Rambut ikut teriris
-
Tidak ada jembatan jaringan
Luka sayat tidak begitu berbahaya, kecuali luka sayat mengenai pembuluh darah yang dekat ke permukaan seperti dileher, siku bagian dalam, pergelangan tangan dan lipat paha. 2) Luka tusuk (puncture wound) Luka tusuk adalah luka yang disebabkan oleh karena alat dengan ujung-ujung runcing, mata tajam atau tumpul atau alat dengan ujung runcing dengan penampang bulat, segitiga dengan cara menusukkan sehingga masuk ke dalam
jaringan tubuh. Luka tusuk ada 2 jenis yaitu :
Penetrasi
Pada luka ini benda menyebabkan penetrasi yang merobek kulit dan jaringan yang lebih dalam, lalu masuk ke rongga tubuh, seperti pada rongga thorax, abdomen,dll. Dengan denikian bahwa luka hanya merupakan tempat masuk
Perforasi
Jika luka merobek jaringan tubuh manusia sampai menembus dari satu sisi ke sisi yang lainnya. Ciri-ciri luka tusuk: -
Kedalaman luka lebih besar dibandingkan panjang antara lebarnya
-
Tepi luka tajam atau rata
-
Rambut terpotong pada sisi tajam
-
Sekitar luka terkadang ada luka memar (contussion), ekimosis karena tusukan sampai mengenai tangkai pisau
-
Sudut luka tajam namun kurang jtajam pada sisi tumpul
3) Luka bacok (chopped wound) Luka bacok adalah luka yang diakibatkan senjata tajam yang berat dan diayunkan dengan tenaga akan menimbulkan luka menganga. bentuknya hampirsama dengan luka sayat tetapi dengan derajat luka yang lebih berat dalam. Luka terlihat terbuka lebar atau ternganga pedarahan sangat banyak dansering mematikan. Ciri-ciri luka bacok: -
Ukuran luka bacok baiasanya besar
-
Tapi luka bacok tergantung pada mata senjatanya
-
Sudut luka bacok tergantung pada mata senjata
-
Hampir selalu mengakibatkan kerusakan pada tulang
-
Kadang-kadang memutuskan tubuh yang terkena bacokan
-
Disekitar luka dapat ditemukan luka memar (contusio) atau luka lecet (abrasio)
Perbedaan antara trauma tumpul dan trauma tajam : Trauma
Tumpul
Tajam
Bentuk luka
Tidak teratur
Teratur
Tepi luka
Tidak rata
Rata
Jembatan
Ada
Tidak ada
Rambut
Tidak ikut terpotong
Ikut terpotong
Dasar luka
Tidak teratur
Berupa garis / titik
Sekitar luka
Ada luka lecet atau
Tak ada luka lain
jaringan
memar
c. Trauma tembus (penetrating injury)
1) Senjata dengan energi rendah (Low Energy) Contoh senjata dengan energi rendah adalah pisau dan alat pemecah es. Alat ini menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena energi rendah, biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder. 2) Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high energy) Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk berburu. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang dilalui peluru tetapi juga pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan regangan jaringanyang dilalui peluru.
d. Trauma ledakan (Blast Injury)
Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu bahan dengan volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi produk produk gas. Trauma ledakan dapat diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian trauma yaitu primer, sekunder dan tersier. 1) Trauma ledak primer Merupakan hasil dari efek langsung gelombang tekanan dan paling peka terhadap organ – organ yang berisi gas. 2) Trauma ledak sekunder
Merupakan hasil dari objek-objek yang melayang dan kemudian menmbentur orang disekitarnya 3) Trauma ledak tersier Terjadi bila orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian membentur suatu objek atau tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier dapat mengakibatkan trauma baik tembus maupun tumpul secara bersamaan 7. Mengapa dokter menduga adanya pnemothorax ventil? Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas. 8. Mengapa pasien perlu dimobilisasi dan bagaimana caranya? Pasien dilakukan imobilisasi untuk menghindari cedera fraktur yang lebih parah dengan cara melakukan bebat bidai pada pasien. 9. Bagaimana tatalaksana pasien SMRS? Melakukan primary survey kepada pasien pada pertolongan awal sebelum masuk rumah sakit. 10. Apa indikasi dan kontraindikasi thorakosintesis? Indikasi torakosentesis adalah : 1. Pneumothorax trauma 2. Hemopneumothorax 3. Pneumothorax spontan 4. Fistula pada bronkus Efusi pleura Kontraindikasi : 1. Uncorrected bleeding diathesis 2. Sellulitis pada dinding dada
3. Emfisema 4. Pasien tidak kooperatif 11. Bagaimana prosedur thorakosintesis? Prosedur dilakukan pada SIC II linea midclavicula pada hemthorax yang cedera 12. Prioritas pasien keberakah di UGD pada scenario? 13. Apakah nafas dangkal dan cepat akibat dada terbentur stang motor? Nafas dalam dan dangkal yang dialami pasien bisa akibat trauma dinding thorax pasien pada stang motor yang mengakibatkan adanya pneumothorax ventil sesuai yang didiagnosis oleh dokter pada scenario. 14. Kegawadaruratan seperti apa yang diberi tatalaksana tanpa IC? Pada kasus dapat dilakukan Informed Consent secara lansung dikarenakan pasien sadar yang diketahui GCS 15. Serta terdapat keadaan gawat darurat berupa pneumothorax ventil yang apabila dibiarkan dapat membuat pulmo colaps. 15. Mangapa dokter melakukan cek darah? Untuk menuntukan ada atau tidak adanya infeksi pada pasien akibat trauma yang dialami pasien.
Langkah IV : Menginventarisasi Permasalahan Secara Sistematis Dan Pernyataan Sementara Mengenai Permasalahan Pada Langkah III
Trauma
Jenis Trauma
Sesak Napas dan Patah Tulang Triage
Hitam Merah Kuning Hijau Fraktur Femur
Sesak Napas
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Informed
Tatalaksana
Tatalaksana
Indikasi Bebat Tekan
Thoracosintesis Kontraindikasi
Bebat xxx Prosedur Xxx Femur Imobilisasi Pemeriksaan Penunjang
Langkah V: Merumuskan Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu memahami jenis-jenis trauma 2. Mahasiswa mampu memahami alur triage 3. Mahasiswa mampu memahami interpretasi pemeriksaan fisik 4. Mahasiswa mampu memahami tatalaksana sesak napas dan fraktur femur 5. Mahasiswa mampu memahami indikasi,kontraindikasi, dan prosedur thoracosinthesis 6. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang
Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru dengan belajar mandiri Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata informasi. Dalam penyusunan langkah VII disesuaikan dengan skema pada langkah IV dan langkah V 1. Macam – macam jenis trauma A. PENGERTIAN TRAUMA
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome d isorder. Ada tiga ciri khas trauma yaitu: 1. Adanya luka. 2. Pendarahan atau skar. 3. Hambatan dalam fungsi organ. B. MACAM-MACAM PENYAKIT TRAUMA
Secara umum trauma di bagi menjadi 3 yaitu : 1. Trauma
yang
disebabkan
oleh
manusia
(human-made).
Contohnya
:
perkelahian,pemerkosaan,terorisme,penculikan,korupsi,demonstrasi,kekerasan rumah tangga,dll. Di dalam trauma ini setidaknya melibatkan dua orang yang satu menjadi korban,dan yang satu menjadi pelaku.
2. Trauma yang disebabkan oleah alam (nature-caused). contohnya : gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dll. Tapi ada juga bencana alam yang diakibatkan oleh manusia itu sendiri, contohnya : banjir, tanah lon gsor. 3. Trauma akibat penyakit. Contohnya : HIV, malaria, TBC, dll. yang mengalami trauma tidak hanya pasien, tetapi juga keluarga pasien tersebut. Klasifikasi trauma berdasarkan sifat dan penyebab trauma : 1. Trauma mekanik a. Trauma tumpul : trauma yang disebabkan oleh benda yang permukaannya tidak mampu mengiris. Dua variasi utama dalam trauma tumpul adalah :
Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Sifat luka akibat persentuhan dengan permukaan tumpul :
Memar (kontusio, hematom).
Luka lecet, luka lecet di bagi menjadi dua, yaitu : luka lecet tekan dan luka lecet geser .
Luka robek.
Patah tulang .
b. Trauma tajam : trauma yang disebabkan oleh benda yang permukaannya mampu untuk mengiris sehingga kontinuitas jaringan hilang. Sifat luka dalam trauma tajam yaitu :
luka iris.
luka tusuk.
luka bacok.
c. Senjata api.
2. Trauma fisika a. Suhu (panas atau dingin)
Padat
Cair
b. Listrik atau petir
AC
DC
3. Trauma Kimia
Asam kuat
Basa kuat
C. PROSES PENYAKIT TRAUMA
Transmisi energi pada trauma dapat menyebabkan kerusakan tulang, pembuluh darah dan organ termasuk fraktur, laserasi, kontusi, dan gangguan pada semua sistem organ,sehingga tubuh melakukan kompensasi akibat ada trauma bila k ompensasi tubuh tersebut berlanjut tanpa dilakukan penanganan akan mengakibatkan kematian seseorang. Trauma mekanik Trauma tumpul,akibat luka : Luka memar → diskontinuitas pembuluh darah dan jaringan di bawah kulit tanpa rusaknya jaringan kulit. Teraba menonjol → pengumpulan darah dijaringan pembuluh darah rusak. Bentuk luka → menyerupai benda yang mengenai. Luka lecet → terjadi pada epidermis – gesekan dengan benda yang permukaannya kasar. Luka lecet tekan : arah kekerasan tegak lurus pada permukaan tubuh, epidermis yang tertekan melesak kedalam. Luka lecet geser → arah kekerasan miring membentuk sudut, epidermis terdorong dan terkumpul pada tempat akhir gerak benda tersebut. Luka lecet regang → diskontinuitas epidermis akibat peregangan yang letaknya sesuai dengan garis kulit.
Luka robek → terjadi pada epidermis jaringan dibawahnya akibat kekerasan yang mengenainya melebihi elastisitas kulit jaringan. a . Trauma tajam, akibat luka : 1) Luka iris → dalam luka lebih kecil dari pada panjang irisan luka. 2) Luka tusuk → dalam luka lebih besar atau lebih dalam dari pada panjang luka. 3) Luka bacok → dalam luka kurang lebih sama dengan panjang luka.
b. Senjata api 1) Kulit disekitar luka terbakar atau hitam karena asap. 2) Rambut disekitar luka hangus. 3) Pakaian yang menutupi luka hangus terbakar. 4) Warna hitam dan kelim tato lebih luar disekitar luka.
1. Trauma fisika a.
Suhu panas (luka bakar) 1) Eritem dengan ciri – ciri epidermis intak, kemereahan, sembuh tanpa meninggalkan sikatriks. 2) Vesikel, bulla dan bleps dengan albumin atau NaCl tinggi. 3) Necrosis coagulativa dengan ciri- ciri warna coklat gelap hitam dan sembuh dengan meninggalkan sikatriks (litteken). 4) Karbonisasi (sudah menjadi arang).
b.
Trauma dingin (hipotermia dan frostbiteHipotermia) 1) Kulit pucat akibat vasokonstriksi kemerahan akibat vasodilatasi karena paralisis vasomotor center. 2) Kulit berubah menjadi merah kehitaman, membengkak (skin blister), gatal dan nyeri. Kemudian timbul gangren superfisial yang irreversibel.
2. Trauma kimia a. Asam kuat → mengkoagulasikan protein → luka korosif yang kering, kertas seperti kertas permanen.
b. Basa kuat → membentuk reaksi penyabunan → luka basah, licin → kerusakan sampai kedalam.
2. Alur TRIAGE
Tatalaksana yang dilakukan saat menemukan korban adalah : D
Danger=
Menempatkan pasien ke tempat yang aman, sebelum melakukan
tindakan. R Respond= Mencari tahu kesadaran dari pasien dapat dilakukan dengan. a.
AAlert= Korban sadar penuh, tanpa diperlukan rangsangan apapun.
b.
VVerbal= Korban sadar setelah mendapatkan rangsangan suara.
c.
PPain= Korban sadar setelah mendapatkan rangsangan berupa nyeri atau
sakit. d.
UUnconscience= Korban tidak sadar setelah dilakukan berbagai usaha
seperti suara dan memberi nyeri. SSend for help= Mencari bantuan kepada pihak medis seperti ambulance. Setelah selesai melakukan DRS dapat dilanjutkan dengan melakukan metode START untuk triase. Triase dilakukan
untuk mengelompokan pasien manakah yang
memerlukan tindakan segera, tindakan kurang tidak segera, dan tindakan dapat ditunda.
Gambar 1. Alur triage dan penentuan prioritas 1, 2 ataupun 3
Tabel. 1 penentuan priortitas triage menggunakan sistem scoring
Variabel
Score
Tekanan Darah Sistolik (mmHg)
GCS
Respiratory rate (kali/menit)
>90
4
76-89 50-75 1-49 0 13-15 9-12 6-8 4-5 3 10-29
3 2 1 0 4 3 2 1 0 4
>29 6-9 1-5 0
3 2 1 0
Keterangan : Score 1-10 : prioritas 1 (merah) Score 11
: prioritas 2 (kuning)
Score 12
: prioritas 3 (hijau)
Score 0
: meninggal
Tatalaksana pada Pneumothorak adalah dengan melakukan Thorakosintesis yang dapat dilakukan pada SIC 2. Kenapa dilakukan pada SIC 2 ? Karena pada Thorakosintesis yang menyebabkan gangguan adalah karena adanya gas atau udara di cavum pleura. Sedangkan tindakan pemasangan kateter pada pleura diindikasikan apabila ditemukan adanya Hemothorax, Chylothorax yang dilakukan pada SIC 5- SIC 7.
3. Intepretasi dari pemeriksaan fisik pasien
Pada pemeriksaan tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale didapatkan skor 15. Ini menunjukkan pasien dalam keadaan sadar penuh (compos mentis), dimana pada ketiga komponen penilaian GCS didapat poin penuh (mata spontan membuka dan mengedip, orientasi penuh dan respon motorik sesuai perintah). Terdapat nafas cepat dan dangkal pada pasien menunjukkan adanya upaya untuk
meningkatan
ventilasi.
Peningkatan
ventilasi
ini
merupakan
usaha
mengeluarkan CO2 yang sudah berlebih di darah. Karbon dioksida akan mengalami serangkaian reaksi kimiawi yang pada akhirnya menghasilkan ion hidrogen yang mempu merangsang pusat pernapasan sentral dan menaikkan ventilasi. Pada pemeriksaan suara nafas tambahan didapatkan: gurgling (-), snoring (-). Hal ini menunjukkan tidak terdapat tumpukan cairan pada saluran pernapasan atas dan tidak adanya obstruksi parsial jalan nafas. Pemeriksaan vital sign menunjukkan adanya peningkatan frekuensi denyut nadi (110x/menit), hipotensi (tekanan darah 100/70 mmHg), suhu dalam batas normal 370C dan peningkatan frekuensi napas (respiratory rate 30x/menit). Jejas pada hemithorax kanan menunjukkan adanya trauma di daerah dada kanan. Pergerakan dada kanan tertinggal menunjukkan gerakan ekspansi dada yang asimetris, dimana dada kanan memiliki ketidakmampuan untuk mengembang dan mengempis sempurna saat respirasi. Pada pemeriksaan perkusi dada didapatkan hasil hipersonor serta pemeriksaan auskultasi didapat suara nafas vesikuler menurun yang menunjukkan adanya udara dalam jumlah besar yang terperangkap dan tidak bisa keluar dari rongga thorax. Udara yang terperangkap ini dapat bergerak hingga ke jaringan subkutan dan menyebabkan emfisema subkutis. Pada regio femur terdapat luka sepanjang 3 cm, didapatkan perdarahan aktif, serta didapatkan adanya oedem, deformitas, nyeri tekan, angulasi, fat globule dan krepitasi. Hasil penemuan ini merupakan tanda-tanda terjadinya fraktur diperkirakan terjadi fraktur femur.
4. Tatalaksana fraktur femur dan sesak napas Introduksi
Fraktur yang terjadi pada tulang femur termasuk fraktur yang sering ditemui pada praktik orthopaedi. Mengingat femur adalah tulang terbesar dan salah satu dari tulang penahan beban utama di ekstremitas bawah, fraktur pada tulang femur dapat mengakibatkan morbiditas yang panjang dan kecacatan ekstensif bila tata laksana tidak adekuat. Mekanisme trauma yang berkaitan dengan terjadinya fraktur pada femur antara lain : (I) pada jenis Femoral Neck fraktur karena kecelakaan lalu lintas, jatuh pada tempat yang tidak tinggi, terpeleset di kamar mandi dimana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi, sering terjadi pada usia 60 tahun ke atas, biasanya tulang bersifat osteoporotik, pada pasien awal menopause, alkoholism, merokok, berat badan rendah, penatalaksanaan steroid, phenytoin, dan jarang berolahraga, merupakan trauma high energy; (2) Femoral Trochanteric fraktur karena trauma langsung atau trauma yang bersifat memuntir; (3) Femoral Shaft fraktur terjadi apabila pasien jatuh dalam posisi kaki melekat pada dasar disertai putaran yang diteruskan ke femur. Fraktur bisa bersifat transversal atan oblik karena trauma langsung atau angulasi. Fraktur patologis biasanya terjadi akibat metastase tumor ganas. Bisa disertai perdarahan masif sehingga berakibat syok. Anatomi
Femur adalah salah satu dari tulang terbesar dan terkuat dalam tubuh manusia. Femur dapat dibagi menjadi regio head, neck, intertrochanter, subtrochanter (5 cm distal trochanter minor), shaft, supracondylar, and condylar. Struktur paha juga dapat dibagi menjadi beberapa kompartemen. Dalam kompartemen anterior terdpat otot-otot quadriceps femoris, sartorius, psoas, iliacus, pectineus, dan arteri, vena, dan nervus femoralis sepanjang nervus kutaneus femoralis lateralis. Kompartemen medial meliputi otot-otot gracilis, adductor brevis and longus, adductor magnus, obturator externus, arteri dan vena femoris profunda, dan arteri, vena,
dan
nervus
obturator.
Kompartemen
posterior
meliputi
otot-otot
semitendinosus, semimembranosus, biceps femoris, beberapa bagian adductor magnus, cabang perforantes arteri femoralis profunda, nervus sciatikus, and nervus kutaneus femoralis posterior. Area metafiseal dimulai dari proksimal dengan regio subtrochanter dan berakhir di distal dengan regio supracondylar dengan diafisis di antara keduanya. Pada posterior femur terdapat linea aspera yang merupakan tempat perlekatan utama fascia. Femur tidak lurus sempurna, femur memiliki lengkungan anterior. Tingkat lengkungan bergam per orang, hal ini menjelaskan perlunya nail yang melengkung untuk menahan reduksi. Femur memiliki suplai vasular yang banyak, terutama dari arteri femoralis profunda. Sebuah arteri nutrisi biasanya masuk sepanjang linea aspera di posterior dan proksimal femur dan menyuplai sirkulasi endosteal. Sirkulasi endosteal mensuplai 2/3 sampai 3/4 korteks, membuat darah mengalir secara sentrifugal. Sirkulasi periosteal masuk sebagian besar posterior sepanjang linea aspera. Sirkulasi periosteal hampir seluruhnya diarahkan sirkumferensial, dengan sedikit atau tanpa penyebaran longitudinal. Sehingga wire kecil dapat dipasang sekitar femur tanpa bahaya devaskularisasi sebuah area, namun pita besar sebaiknya dihindari. Sirkulasi periosteal diperkirakan hanya melayani seperemat luar korteks. Naun demikian, sirkulasi periosteal penting untuk penyembuahn fraktur di diafisis. Bila terjadi sebuah displaced fracture pembuluh medular terganggu dan pembuluh periosteal mendominasi sebagai suplai vaskular ke tempat fraktur selama penyembuhan
awal.
Sebagai
respon
terhadap
fraktur,
pembuluh
periosteal
berproliferasi, sementara sirkulasi endosteal pulih lebih lambat. Dengan demikian penggunaan nail yang berslot memungkinkan percepatan neovaskularisasi endosteal dan pola aliran darah yang lebih normal. Pentingnya aliran darah periosteal dalam penyembuhan juga menekankan pentingnya menghindari periosteal stripping terutama sepanjang linea aspera. Deformitas yang terjadi tergantung pada lokasi fraktur dan insersio dari otot paha yang berbeda. Segmen proksimal femur berada pada gaya abduksi valgus oleh
gluteus minimus, medius, and maximus. Rotator eksternal pendek juga memberikan gaya pada segmen proksimal fraktur. Komponen fleksi dan rotasi eksternal juga ada karena perlekatan iliopsoas pada trochanter minor. Adduktor meliputi medial femur dan memberikan gaya aksial dan varus pada femur. Beberapa dari gaya medial ini dilawan oleh tension band effect dari fascia lata. Femur distal berada di bawah pengaruh fleksi gastroknemius. Klasifikasi
Fraktur tulang femur terdiri atas : Femoral Head fraktur, Femoral Neck fraktur, Intertrochanteric
frakiur,
Subtrochanteric
fraktur,
Femoral
Shaft
fraktur,
Supracondylar/Intercondylar Femoral fraktur (Distal Femoral fraktur) Masing-masing dari fraktur tersebut di atas memiliki klasifikasi sendiri. Untuk fraktur shaft femur terdapat klasifikasi sebagai berikut: (1) Tipe A : Simple fraktur, antara lain fraktur spiral, oblik, transversal; (2) Tipe B : wedge/butterfly comminution fraktur; (3) Tipe C : Segmental communition Klasifikasi Winquist-Hansen 1) Type 0 : no communition; 2) Tipe 1: 25% butterfly; 3) Tipe 2: 25-50% butterfly
Klasifikasi OTA
3. Distal zone
(1) Tipe A : Simple fraktur, antara lain
fraktur
spiral,
oblik,
transversal; (2)
Tipe
A3 simple fracture, transverse (<30 °)
1. Subtrochanteric zone 2. Middle zone
B
:
wedge/butterfly
3. Distal zone
comminution fraktur; (3) Tipe C : Segmental communition
B1 wedge fracture, spiral wedge
1. Subtrochanteric zone Klasifikasi Winquist-Hansen
2. Middle zone 3. Distal zone
(1) Type 0 : no communition; (2) Tipe 1: 25% butterfly;
B2 wedge fracture, bending wedge
1. Subtrochanteric zone 2. Middle zone
(3) Tipe 2 : 25-50% butterfly; (4) Tipe 3 : >50% communition;
3. Distal zone
B3 wedge fracture, fragmented wedge
(5) tipe segmental ; (6) Tipe 5 : segmental dengan bone loss
1. Subtrochanteric zone 2. Middle zone 3. Marked displacement
Klasifikasi AO
A1 simple fracture, spiral
1. Subtrochanteric zone 2. Middle zone 3. Distal zone
A2 simple fracture, oblique (30° or more)
1. Subtrochanteric zone 2. Middle zone
C1 complex fracture, spiral
1. With 2 intermediate fragments 2. With 3 intermediate fragments
3. With more than 3 intermediate fragments
C2 complex fracture, segmental
1. With 1 intermediate segmental fragment 2. With 1 intermediate segmental and additional wedge fragment(s) 3. With 2 intermediate segmental fragments
C3 complex fracture, irregular
1. With 2 or 3 intermediate fragments 2. With limited shattering (<5 cm) 3. With extensive shattering (5 cm or more)
Untuk penegakkan diagnosis diperlukan diperlukan pemeriksaan fisik. Pada fraktur tipe femoral neck dan trochanteric, ditemukan pemendekan dan rotasi eksternal. Selain itu ditemukan nyeri dan bengkak. Juga dinilai gangguan sensoris daerah jam I dan II, juga pulsasi arteri distal. Pada fraktur shaft femur, paha pasien akan membengkak karena perdarahan
internal,
ditandai
dengan
deformitas
dan
instabilitas.
Diagnosisnya terlihat jelas secara klinis sehingga pemeriksaan radiografis sebaiknya ditunda sampai pembidaian faktur dan usaha resusitasi telah dilakukan. Penatalaksanaan/Indikasi Operasi
Pada fraktur femur anak, dilakukan penatalaksanaan berdasarkan tingkatan usia. Pada anak usia baru lahir hingga 2 tahun dilakukan pemasangan bryant traksi. Sedangkan usia 2 sampal 5 tahun dilakukan pemasangan hamilton-russel traction. Anak diperbolehkan pulang dengan hemispica. Pada anak usia 5 sampai 10 tahun ditata laksana dengan traksi kulit dan pulang dengan hemispica gips. Sedangkan usia 10 tahun ke atas ditatalaksana dengan pemasangan intamedullary nails atau plate dan
screw. Untuk fraktur femur dewasa, tipe Femoral Head, prinsipnya adalah reduksi dulu dislokasi panggul. Pipkin 1, II post reduksi dipenatalaksanaan dengan touch down weight-bearing 4-6 minggu. Pipkin I, 11 dengan peranjakan >1mm dipenatalaksanaan dengan ORIF. Pipkin 111 pada dewasa muda dengan ORIF, sedangkan pada dewasa tua dengan endoprothesis. Pipkin IV dipenatalaksanaan dengan cara yang sama pada fraktur acetabulum. Tipe Femoral Neck, indikasi konservatif sangat terbatas. Konservatif berupa pemasangan skin traksi selama 12-16 minggu. Sedangkan operatif dilakukan pemasangan pin, plate dan screw atau arthroplasti (pada pasien usia >55 tahun), berupa eksisi arthroplasti, hemiarthroplasti dan arthtroplasti total. Fraktur Trochanteric yang tidak bergeser dilakukan penatalaksanaan konservatif dan yang bergeser dilakukan ORIF. Penanganan konservatif dapat dilakukan pada supracondylar dan intercondylar, femur atau proksimal tibia. Beban traksi disesuaikan sampai terjadi re-alignment dan posisi lutut turns selama 12 minggu. Sedangkan untuk intercondylar, untuk penatalaksanaan konservatif, beban traksi 6 kg, selama 12-14 minggu. Fraktur shaft femur bisa dilakukan ORIF dan penatalaksanaan konservatif. Penatalaksanaan konsevatif hanya bersifat untuk mengurangi spasme, reposisi dan immobilisasi. Indikasi pada anak dan remaja, level fraktur terlalu distal atau proksimal dan fraktur sangat kominutif. Pada anak, cast bracing dilakukan bila terjadi clinical union. Penalatalaksanaan operatif fraktur shaft femur termasuk fiksasi interna dengan Kuntscher-Nail. Meskipun union tidak dipercepat namun farktur
dicegah dari angulasi atau pemendekan selama belum terjadi konsolidasi. Mengingat beberapa risiko yang harus dipertimbangkan, terutama infeksi, pemasangan ail intramedular tidak boleh dianggap “enteng” atau hanya untuk kenyamanan pasien atau ahli bedah. Indikasi tegas untuk operasi prosedur tersebut adalah: 1. Gagal mencapai reduksi yang acceptable dengan cara tertutup 2. Kaitan dengan cedera multipel (termasuk cedera kepala) 3. Adanya cedera areti femoral yang memerlukan repair 4. Pasien lanjut usia di mana tirah baring lama dapat meperburuk kondisi 5. Fraktur Patologis
Kontraindikasi Operasi
Pada pasien dengan fraktur terbuka, diperlukan debridement hingga cukup bersih untuk dilakukan pemasangan ORIF. Kontraindikasi untuk traksi, adanya thrombophlebitis dan pneumonia. Atau pada pasien yang kondisi kesehatan tidak memungkinkan untuk operasi Pemeriksaan Penunjang
Untuk pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen posisi anteroposterior dan lateral. Sedangkan pemeriksaan laboratorium antara lain hemoglobin, leukosit, trombosit, CT, BT. Komplikasi
Komplikasi pada fraktur femur, termasuk yang dipenatalaksanaan secara
konservatif antara lain, bersifat segera: syok, fat embolism,
neurovascular injury seperti injury nervus pudendus, nervus peroneus, thromboembolism, volkmann ischemia dan infeksi. Komplikasi lambat: delayed union, non union, decubitus ulcer, ISK dan joint stiffhess. Pada pemasangan K- nail adventitious bursa, jika fiksasi terlalu panjang dan
fiksasi tidak rigid jika terlalu pendek. Mortalitas
Mortalitas berkaitan dengan adanya syok dan embolisme. Perawatan Pasca Bedah
Pasien dengan pemasangan traksi, rawat di ruangan dengan fasilitas ortopedi. Sedangkan pada pasien dengan pemasangan ORIF, rawat di ruangan pemulihan, cek hemoglobin pasca operasi. Follow Up
Untuk Follow up pasien dengan skeletal traksi, lakukan isometric exercise sesegera mungkin dan jika udem hilang, lakukan latihan isotonik. Pada fraktur femur 1/3 proksimal traksi abduksi >30˚ dan eksorotasi. Pada 1/3 tengah posisi abduksi 30˚ dan tungkai mid posisi, sedangkan pada 1/3 distal, tungkai adduksi < 30˚ dan kaki mid posisi. Pada fraktur distal perhatikan ganjal lutut, berikan fleksi ringan, 15°. Setiap harinya, perhatikan arah, kedudukan traksi, posterior dan anterior bowing. Periksa denan roentgen tiap 2 hari sampai accepted, kemudian tiap 2 minggu. Jika tercapai clinical union, maka dilakukan weight bearing, half weight bearing dan non weight bearing dengan jarak tiap 4 minggu. Sedangkan untuk follow up pasca operatif, minggu pertama kaki fleksi dan ektensi, kemudian minggu selanjutnya miring-miring. Minggu ke-2 jalan dengan tongkat dan isotonik quadricep. Fungsi lutut harus pulih dalam 6 minggu. Pada pasien anak, follow up dengan roentgen, jika sudah terjadi clinical union, pasang hemispica dan pasien boleh kontrol poliklinik.
ALGORITMA DIAGNOSA DAN LANGKAH PENGOBATAN
Penanganan konservatif atau
Tanpa penyulit
operatif menggunakan Fraktur diafisis shaft femur daerah isthmus
Rujuk spesialis Dengan penyulit
Orthopaedi dan Traumatologi
Fraktur femur selain yang terjadi pada
Rujuk spesialis
isthmus diafisis
Orthopaedi dan
shaft humerus
Traumatologi
Penanganan dispnea Penanganan dispnea pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat terhadap penyakit yang mendasarinya. Bila kondisi pasien memburuk sehingga mungkin terjadi gagal napas akut maka perhatian lebih baik ditujukan pada keadaan daruratnya dulu sebelum dicari penyebab yang melatarbelakanginya. Disebut gagal napas akut bila pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan PaO2 <50 mmHg atau PaCO2 >50 mmHg dengan pH di bawah normal. Periksa orofaring untuk memastikan saluran napas tidak tersumbat karena pembengkakan atau suatu benda asing. Intubasi endotrakeal dilakukan apabila pasien mengalami henti napas atau mengarah ke gagal napas progresif. Oksigen harus diberikan kecuali ada bukti bahwa retensi CO2 akan
memburuk karena tingginya fraksi oksigen (FIO2) yang diberikan. Sisten ventury mask delivery dengan FIO2 sebesar 24 atau 28% biasanya aman. Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 sebesar
60-70
mmHg dengan kenaikan CO2 minimal. Tujuan penatalaksanaan dispnea 1.
Mengurangi sensasi usaha dan meningkatkan fungsi otot pernapasan a. Penghematan energy b. Strategi bernapas (purse lip breathing) c. Posisi (misalnya bersandar) d. Koreksi obesitas atau malnutrisi e. Latihan otot pernapasan f. Mengistirahatkan
otot
inspirasi
(nasal
ventilation,
transtrakeal) g. Obat (misalnya teofilin)
2.
Menurunkan respiratory drive a. Oksigen b. Exercise conditioning c. Vagal nerve section d. Reseksi bodi carotid
3.
Mengubah fungsi sistem saraf pusat a. Edukasi b. Intervensi psikologik c. Istirahat dan sedative
4.
Latihan sendiri atau dengan rehabilitasi paru a. Meningkatkan kemampuan mengurus diri sendiri b. Memperbaiki efisiensi gerakan
oksigen
c. Desensitisasi dispnea
5. Indikasi dan kontraindikasi penatalaksanaan thoracosentesis I.
Pengertian
Adalah suatu tindakan baik dignostik maupun terapeutik dengan cara memasukkan jarum ke rongga pleura untuk menemukan dan mengeluarkan cairan pleura. II.
Tujuan
Mengeluarkan cairan dari rongga pleura.
III.
Indikasi
Pasien dengan efusi pleura
IV.
Kontraindikasi
1) Pasien dengan terapi antikoagulan 2) Koagulapathy 3) Thrombositopenia
V.
Persiapan
A. Pasien :
Persetujuan tindakan pungsi cairan pleura dari penderita yang diketahui keluarga terdekat dengan saksi petugas medis, setelah pasien diberi penjelasan tentang tindakan dan tujuan pemeriksaan serta komplikasinya (informed consent ).
Penerangan prosedur tindakan.
Pemeriksaan faktor pembekuan darah bila perlu.
B. Alat dan Bahan :
Foto thoraks, kalau bisa pada dua lapang pandang
Spuit 5 cc,10 cc, 50 cc lubang pinggir
Jarum catheter no 18
Three way stopcock
Transfusion set yang sudah dimodifikasi
Kontainer, duk steril
Handscoen steril
Lidocaine 1% / 2%
Kapas, alkohol 70% dan povidon iodin.
VI.
Lokasi Aspirasi Pleura
Posisi penderita duduk dengan lengan ke depan. Tempat punksi: prinsip punksi dilakukan pada tempat yang paling rendah dari cavum pleura dengan memperhatikan foto foto thoraks dan pemeriksaan fisik, yaitu pada ICS: 6 – 7 atau 7 – 8 (ada yang 8 – 9) linea aksilaris posterior atau ditempat ditemukannya cairan pleura. Pasien yang tidak bisa dalam posisi duduk pungsi pleura bisa dilakukan dengan posisi pasien miring pada sisi effusi pleura dengan posisi lateral dekubitus. Pungsi pleura dilakukan pada linea mid axillar y. VII.
Desinfeksi
Kulit dibersihkan dengan povidon iodin dan sisanya dibersihkan dengan alkohol, dipasang duk steril, pada lapang operasi. VIII.
Punksi Percobaan ( Aspirasi untuk dignosa )
Pada tempat yang telah ditentukan diaspirasi dengan spuit 5/10 cc, apakah ada cairan atau tidak. Apabila ada cairan dilakukan anestesi.
IX.
Anestesia
Dengan lidocain 1% atau 2% sebanyak 2 – 4 cc, infiltrasi mulai dari kulit, subcutan diteruskan kedalam secara perlahan sampai cavum pleura. X.
Tehnik Aspirasi Pleura:
1. Mencuci tangan sebelum tindakan dan menggunakan handscoen selama tindakan. 2. Tangan kiri memegang/ memfiksir intercosta (tempat yang telah ditentukan) dan tangan kanan memegang jarum yang tersambung dengan three waystopcok dengan selang infusnya. 3. Jarum ditusukan pada tempat yang telah dianestesi. 4. Spuit 50 cc dhubungkan dengan three waystopcok dan dilakukan penyedotan secara perlahan, bila spuit terisi penuh, cairan dibuang dst. 5. Bila dianggap cukup, jarum dilepas. Jumlah cairan diambil sebanyak mungkin/ sampai habis, selama keadaan umum penderita baik ( 1000 – 1500 cc dihentikan). 6. Aspirasi dihentikan apabila ada tanda-tanda batuk, sesak nafas, nyeri dada, presyok/ syok. 7. Bekas luka jarum diberi alkohol/ povidon iodine dan kemudian ditutup kain kassa steril dan diplester. 8. Spesimen cairan pleura diperiksakan : a. Mikrobiologi (ditampung steril). b. Sitologi (cairan pleura dicampur dengan alkohol 70%). c. Analisa ( PH, Protein, Rivalta, LDH, Glukosa, Sel PMN dan MN).
6. Pemeriksaan penunjang pasien dalam skenario A. Pemeriksaan Darah pada Kasus Trauma
Pemeriksaan darah pada kasus trauma digunakan sebelum tindakan operatif. Pemeriksaan darah pada kasus trauma meliputi complete blood
count, elektrolit (natrium dan kalium), urea, kreatinin, dan profil koagulasi ( prothrombin time dan partial tromboplastin time) (Duggan, Tillotson dan McCann., 2011). 1. Pemeriksaan Darah Lengkap atau Comple Blood Count .
Pemeriksaan darah lengkap terdiri atas : a. Hemoglobin b. Hematokrit c. Leukosit (White Blood Cell / WBC) d. Trombosit (platelet) e. Eritrosit ( Red Blood Cell / RBC) f. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC) g. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) h. Hitung Jenis Leukosit ( Diff Count ) i.
Platelet Disribution Width (PDW)
j.
Red Cell Distribution Width (RDW)
2. Pemeriksaan Serum Elektrolit a. Natrium
Nilai normal : 135 – 144 mEq/L SI unit : 135 – 144 mmol/L b. Kalium (K+)
Nilai normal: (1) 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L SI unit : 3,6 - 5,2 mmol/L (2) ≥ 18 tahun : 3,6 – 4,8 mEq/L SI unit :3,6 – 4,8 mmol/L 3. Pemeriksaan Profil Koagulasi a. Waktu protrombin (Prothrombin time/PT)
Nilai normal: 10 – 15 detik (dapat bervariasi secara bermakna antar laboratorium) Deskripsi: Mengukur secara langsung kelainan secara potensial
dalam sistem tromboplastin ekstrinsik (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII dan X). a.
aPTT (activated Partial Thromboplastin Time)
Nilai normal : 21 – 45 detik ( dapat bervariasi antar laboratorium). Rentang terapeutik selama terapi heparin biasanya 1,5 – 2,5 kali nilai normal (bervariasi antar laboratorium) (Herawati., 2011).
B. Pemeriksaan Radiologi pada Trauma Thoraks dan Femur 1.
Pemeriksaan X-Ray Regio Thoraks
Foto X-Ray regio thoraks atau sering disebut sebagai Chest X-Ray (CXR). Foto thoraks terdiri atas foto anteroposterior (AP) dan Lateral. a. Syarat foto Lateral (1) Diafragma (2) Sternum (3) Jantung (4) Paru
Gambar 1. Foto Thoraks Lateral Sinister Normal.
Gambar 2. Foto Thoraks Lateral Sinister Pneumothoraks
b. Syarat foto Anteroposterior (1) Pulmo dekter et sinister (2) Jantung (3) Margin dexter et sinister (4) Trakea (5) Apeks Jantung
Gambar 3. Foto Thoraks Anteroposterior Normal.
Gambar 4. Foto Thoraks pada Pneumothoraks. 2. Pemeriksaan X-Ray Regio ekstermitas Bawah : Femur
Foto X-ray femur dilakukan dalam dua posisi yaitu anteroposterior dan lateral. Pada foto lateral dan lateral setelah cedera. Foto femur melibatkan dua sendi, yaitu sendi coxae dan sendi genu.
Gambar 5. Foto X-Ray Femur dan Artikulasio Coxae Anteroposterior normal.
Gambar 6. Foto X-Ray Femur dan Artikulasio Genu Anteroposterior normal
7. Primary Survey dan Secondary Survey
A. PRIMARY SURVEY Pengelolaan penderita dengan luka parah memerlukan penilaian yang cepat dan tepat. Penilaian awal ini meliputi tahap persiapan,trease, primary survey, resusitasi, adjunct, secondary survey, reevaluasi, dan terapi definitive. Persiapan penderita berlangsung dari fase pra rumah sakit hingga ke fase rumah sakit. Pada fase pra rumah sakit, titik berat diberikan pada penjagaan saluran nafas, kontrol pendarahan dan syok, immobilisasi penderita, dan segera ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang memadai. Persiapan pada fase rumah sakit mencakup persiapan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang diperlukan untuk resusitasi. Penilaian primary survey berpatokan pada urutan ABCDE : 1) Airway (jalan nafas) 2) Breathing (bantuan nafas) 3) Circulation (bantuan sirkulasi) 4) Defibrillation (terapi listrik) 5) Exposure (environmental control)
a. Airway dengan kontrol servikal 1) Penilaian a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi) b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi 2) Pengelolaan airway a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal inline immobilisasi b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal d) Pasang airway definitif sesuai indikasi. 3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula. 5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi
Oksigenasi 1) Penilaian a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tandatanda cedera lainnya. d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor e) Auskultasi thoraks bilateral 2) Pengelolaan a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit) b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask c) Menghilangkan tension pneumothorax d) Menutup open pneumothorax e) Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
c. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan 1) Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal b) Mengetahui sumber perdarahan internal c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera. d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis. e) Periksa tekanan darah 2) Pengelolaan a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah. c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa. d) Cegah hipotermia 3) Evaluasi
d. Disability 1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS 2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi 3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
e. Exposure/Environment 1) Buka pakaian penderita 2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
B. SECONDARY SURVEY / Survey Sekunder Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC (Airway, Breathing, Circulation) pasien sudah stabil. Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali mengulangi PRIMARY SURVEY. Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama : A.
Pemeriksaan kepala : 1. Kelainan kulit kepala dan bola mata 2. Telinga bagian luar dan membrana timpani 3. Cedera jaringan lunak periorbital
B.
Pemeriksaan leher 1. Luka tembus leher 2. Emfisema subkutan 3. Deviasi trachea 4. Vena leher yang mengembang
C.
Pemeriksaan neurologis 1. Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 2. Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik 3. Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks
D.
Pemeriksaan dada 1. Clavicula dan semua tulang iga 2. Suara napas dan jantung 3. Pemantauan ECG (bila tersedia)
E.
Pemeriksaan rongga perut (abdomen) 1. Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah 2. Pada pasien trauma tumpul abdomen maka dapat dipasang dengan pipa nasogastrik kecuali bila ada trauma wajah 3. Periksa dubur (rectal toucher) 4. Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus
F.
Pelvis dan ekstremitas 1. Mencari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis dilarang untuk melakukan tes gerakan apapun karena memperberat perdarahan) a.
Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
b.
Cari luka, memar dan cedera lain
2. Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk : a.
Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus
nampak) b.
Pelvis dan tulang panjang
c.
Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma
kepala tidak disertai defisit neurologis fokal Foto atas daerah yang lain dilakukan secara selektif. Foto dada dan pelvis kemungkinkan sudah diperlukan sewaktu survei primer 8. Perbedaan fraktur terbuka dan tertutup
A. Fraktur Terbuka Fraktur terbuka adalah patahnya struktur tulang yang disertai dengan adanya sebuah luka. Fraktur terbuka berhubungan dengan risiko infeksi yang tinggi akibat kontaminasi luka yang terjadi pada saat trauma. Oleh karena itu, selain penyembuhan dari fraktur dan mengembalikan fungsi ekstremitas, tujuan penanganan dari fraktur terbuka yang penting
adalah adalah pencegahan infeksi (Gustilo, 1990). 1. Klasifikasi Fraktur Terbuka Menurut Gustilo, fraktur terbuka dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi dari fraktur itu sendiri, dan derajat kontaminasi luka. Sehingga insiden infeksi luka, delayed-union dan non-union, amputasi, dan kecacatan fungsi ekstremitas sangat dipengaruhi oleh tipe fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I, luka yang menghubungkan fraktur dengan lingkungan luar berukuran kurang dari 1 cm. Pada umumnya berupa luka tusuk yang relatif bersih akibat tusukan fragmen tulang yang tajam melalui kulit. Kerusakan jaringan lunak pada tipe I ini ringan dan tidak ditemukan tanda-tanda crush injury. Konfigurasi frakturnya dapat berupa fraktur sederhana, transverse, atau short oblique dengan kominusi yang minimal (Gustillo, 1990). Pada fraktur terbuka tipe II, luka berukuran lebih dari 1 cm tanpa disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, flap, maupun avulsi. Pada tipe ini juga ditemukan tanda-tanda crush injury ringan hingga sedang, dengan kontaminasi menengah. Konfigurasi frakturnya disertai dengan kominusi yang menengah (Gustillo, 1990). Fraktur terbuka tipe III ditandai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi otot, kulit, dan struktur neurovaskuler. Konfigurasi fraktur pada tipe ini disertai dengan derajat kominusi yang berat. Fraktur terbuka pada tipe ini dapat dibagi menjadi tiga subtipe. Pada tipe IIIA, walaupun disertai dengan laserasi yang luas, pembentukan flap dan derajat kominusi fraktur yang berat, namun jaringan lunak masih dapat menutupi daerah faktur secara adekuat. Pada subtipe ini termasuk fraktur kominutif atau segmental akibat high energy trauma tanpa menghiraukan ukuran dari luka. Fraktur terbuka tipe IIIB berhubungan dengan cedera yang luas atau kehilangan
jaringan lunak, disertai dengan periosteal stripping dan bone expose, kontaminasi yang masif, dan derajat kominusi yang berat. Setelah dilakukan debridement dan irigasi, segmen tulang masih terekspos dan membutuhkan flap untuk menutupinya. Pada tipe IIIC meliputi semua fraktur terbuka yang disertai dengan cedera vaskular yang harus diperbaiki, tanpa memperhatikan derajat cedera pada jaringan lunak (Gustillo, 1990). B. Fraktur Tertutup Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robekan pada kulit dan tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. 1. Klasifikasi Fraktur Tertutup Berdasarkan sistem klasifikasi Tscherne fraktur tertutup dapat dibagi menjadi beberapa derajat yaitu:
Grade 0
● Tanpa cedera atau cedera minimal pada jaringan lunak di sekitarnya ● Pola fraktur transversal ● Akibat trauma yang terjadi secara tidak langsung (torsi pada ekstremitas)
Grade 1
● Terdapat abrasi atau memar yang sifatnya superfisial
Grade 2
● Fraktur yang lebih berat dengan kontusio pada kulit dan otot ● Abrasi yang dalam ● Pola fraktur yang kompleks
● Akibat trauma yang terjadi secara langsung pada tulang Grade 3
● Kerusakan berat pada otot dan jaringan lunak di sekitarnya ● Akibat terjadinya crush injury ● Terdapat compartment syndrome ● Avulsi subkutan
(Ibrahim et al., 2016)
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil diskusi skenario 1 blok Traumatologi ini didapatkan bahwa pasien
mengalami
fraktur
clavicula
dan
pneumothorax
ventil
yang
menyebabkan pasien dibawa ke IGD. Seharusnya sebelum dibawa ke IGD pasien tersebut dilakukan tatalaksan sebelum masuk rumah sakit berupa tindakan Basic Life Support jika didapati gagal nafas atau gagal jantung, dan dilakukan tindakan immobilisasi pada tulang yang dicurigai terjadi patah tulang. Adapun patah tulang tersebut ditandai dengan nyeri hebat, oedema dan deformitas pada tulang yang terkena, serta adanya krepitasi. Selanjutnya, di IGD pasien tersebut diberikan penanganan sesuai dengan hasil TRIAGE atau pengklasifikasian berdasar berat atau ringannya keluhan serta urgensi penanganan. Penilaian pasien di IGD dilakukan dengan Primary Survey dan Secondary Survey oleh dokter jaga IGD dan dibantu oleh perawat. Dari penilaian atau pemeriksaan tersebut maka dicurigai pasien mengalami fraktur clavicula yang juga mengakibatkan komplikasi berupa pneumothorax ventil atau dikenal dengan tension pneumothorax. Adapun penanganan yang dilakukan adalah tindakan immobilisasi terhadap tulang clavicula yang dicurigai mengalami patah tulang dengan metode ransel verband, yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologi untuk diagnosis pasti. Sedangkan untuk penatalaksaan adanya pneumothorax ventil dilakukan tindakan thorakosentesis tanpa menunggu konfirmasi pemeriksaan radiologis.
B. Saran
Dalam pelaksanaan tutorial sudah berjalan dengan baik, semua anggota berpartisipasi aktif. Selanjutnya, diharapkan: Untuk kelompok tutorial :
-
Lebih aktif dalam diskusi
-
Lebih banyak membaca beragam sumber dan literatur
Untuk tutor : -
Tutor sudah tepat dalam membimbing tutorial, tutor mengkoreksi bila ada yang kurang tepat Sehingga, kami dapat mengetahui sejauh mana ketercapaian LO.