TINJAUAN PUSTAKA
Oktober, 2016
SPONDYLITIS TUBERCULOSIS
Disusun Oleh : Rinaimah Zahra Amaliah N 111 16 077
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2016
SPONDYLITIS TUBERCULOSIS PENDAHULUAN Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sejak obat anti tuberkulosis dikembangkan dan peningkatan kesehatan masyarakat, tuberkulosis tulang belakang menjadi menurun di daerah negara industri, meskipun tetap menjadi penyebab yang bermakna di negara berkembang. Gejala yang ditimbulkan antara lain demam, keringat terutama malam hari, penurunan berat badan dan nafsu makan, terdapat masa di tulang belakang, kiposis, kadang-kadang berhubungan dengan kelemahan dari tungkai dan paraplegi. Spondilitis tuberkulosis dapat menjadi sangat destruktif. Berkembangnya tuberkulosis di tulang belakang berpotensi meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologi yang permanen dan deformitas yang berat. Pengobatan medikamentosa atau kombinasi antara medis dan bedah dapat mengendalikan penyakit spondilitis tuberkulosis pada beberapa pasien.1 Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal juga sebagai Pott's disease merupakan manifestasi TB skeletal yang paling sering ditemukan. Angka kejadian spondilitis TB adalah 40-50% dari seluruh kasus TB skeletal. Progresifitas spondilitis TB biasanya lambat dan keluhan utamanya berupa nyeri punggung yang tidak spesifik.6 Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB. Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris.1
A. Definisi Spondilitis Tuberkulosis (TB) atau Pott disease ialah suatu osteomielitis kronik tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Infeksi umumnya mulai dari korpus vertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke jaringan sekitarnya. Daerah yang paling sering terkena, berturut-turut ialah daerah torakal terutama bagian bawah, daerah lumbal dan servikal.7 Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.2 Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.2 B. Epidemiologi Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang meninggal akibat penyakit ini.Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan malnutrisi. Walaupun manifestasi tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai organ apapun, seperti tulang, traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat.4 Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus tuberkulosa ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang, yaitu sekitar 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang. Keterlibatan spinal biasanya
merupakan akibat dari penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi pada sistem genitourinarius.4 Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.3 Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.3 C. Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.3 Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum
(penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.3 D. Pathogenesis Spondilitis tuberkulosa merupakan sekunder infeksi dari ekstraspinal tuberkulosa pada tulang belakang ini dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari focus tuberkulosa yang sudah adasebelumnya di luar tulang belakang.8 Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran bakteri sangat kecil 1-5 µ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.1 Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).1 Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.1 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.1 Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah8 peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan.1
E. Gambaran Klinis Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen.1 Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif. Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100, 20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300. Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal.1 Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.1 Seddon Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjaditiga tipe: 9 1. Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut. Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen). 2. Type II Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.
3. Type III/ yang berjalan kronis. Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural fibrosis miningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (thrombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis ). F. Diagnosis 1. Gambaran klinis Mayor: a. Riwayat nyeri punggung kronis lebih dari 3 bulan b. Gejala konstitusi; demam tidak terlalu tinggi, keringat malam, kehilangan selera makan dan kehilangan berat badan c. Peningkatan laju endap darah.5 Minor: a. Riwayat tuberkulosis sebelumnya/kontak dengan pasien tuberkulosis b. Deformitas gibbus c. Defi sit neurologis d. Cold abscess e. Mantoux test positif.5 2. Radiologi Sinar X Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.2 Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess.27 Namun,
sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik (gambar 1).2
Gambar 1 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB. Sinar-X memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang merupak cold abscess (panah putih).
Computed Tomography – Scan (CT) CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan (gambar 2).2
Gambar 2 Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam),
edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah putih besar)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.2 MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.31 Bagaimana membedakan spondilitis TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada bagian diagnosis diferensial setelah ini.2
G. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi akibat spondilitis tuberkulosa meliputi:8 1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuestra dari diskus intervertebralis (contoh: Pott’s paraplegia prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh: meningomyelitis- prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan korda spinalis. 2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura. H. Penatalaksanaan
Penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien spondilitis TB pada umumnya bisa diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah dan mengobati defi sit neurologis, serta memperbaiki kifosis.2 1. Medikamentosa Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada TB paru dapat pula digunakan pada TB ekstraparu, namun rekomendasi durasi pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini masih belum konsisten antarahli. World Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan setidaknya
selama
menyarankan
bahwa
6
bulan.43 spondilitis
British TB
Medical
Research
Council
torakolumbal
harus
diberikan
kemoterapi OAT selama 6 – 9 bulan.2 Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defi sit neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan durasi kemoterapi selama 9– 12 bulan.2 The Medical Research Council Committee for Research for Tuberculosis in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin harus selalu diberikan selama masa pengobatan.9 Selama dua bulan pertama (fase inisial), obat-obat tersebut dapat dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin sebagai obat lini pertama. Hal ini senada dengan penelitian Karaeminogullari dkk19 yang mengobati pasien spondilitis TB lumbal dengan rifampisin dan insoniazid saja selama 9 bulan, dengan hasil yang memuaskan.2 Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus resisten pengobatan. Yang termasuk sebagai OAT lini kedua antara lain: levofl oksasin, moksifl oksasin,
etionamid, tiasetazon, kanamisin, kapreomisin, amikasin, sikloserin, klaritomisin dan lain-lain.2 2. Pembedahan Dengan berkembangnya penggunaan OAT yang efektif, terapi pembedahan relatif ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama pada spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang belakang pada spondilitis sangat bervariasi, namun pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap kasus harus dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien yang direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi OAT harus sudah diberikan.41 Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing.2 Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi drainase abses; debridemen radikal; penyisipan tandur tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur tulang; dengan atau tanpa instrumentasi/ fi ksasi, baik secara anterior maupun posterior; dan osteotomi.2 I. Prognosis Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan:3 1. Mortalitas Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat). 2. Relaps Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%. 3. Kifosis Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit
neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. 4. Defisit neurologis Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini. 5. Usia Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa. 6. Fusi Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis tuberkulosa.
DAFTAR PUSTAKA 1. Paramarta I. G, Purniti P, Subanada I. 2008. Spondilitis Tuberkulosis. Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Hal. 177-183. [Diakses: 7 Oktober 2016]
2. Zuwanda, Janitra R. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK-208, Vol. 40, NO. 9, Hal. 661-673. [Diakses 7 Oktober 2016] 3. Vitriana. 2009. Spondilitis Tuberkulosa. FK Unpad, Hal. 2-25. Journal of Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP.dr.HASAN SADIKIN/ FK-UI/ RSUPN dr.CIPTOMANGUNKUSUMO. [Diakses 7 Oktober 2016] 4. Sahputra R.K, Irsal Munandar. 2015. Spondilitis Tuberkulosa Cervical. Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 4, No. 2, Hal. 639-648. [Diakses 9 Oktober 2016] 5. Jacobus D. J. 2014. Pott’s Disease. CKD-220, Vol. 41, No. 9, Hal. 676-683. [Diakses 7 Oktober 2016] 6. Surjono D. 2011. Diagnosis dan Tatalaksana Spondilitis TB pada anak. Damianus Journal of Medicine, Vol.10, No.3, Hal. 177-186. Journal of Departemen 7. Maulana M. 2016. Wanita Usia 33 Tahun dengan Tuberkulosis Spondilitis. J Medula Unila, Vol. 4, No. 4, Hal. 100-105. Journal of FK Lampung. [Diakses 9 Oktober 2016] 8. Zairin N. H. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Edisi 2. Penerbit Salemba Medika. Page 186-190: Jakarta 9. Marjono M. et al. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat. Page 427: Jakarta