TAFSIR AYAT TENTANG HARTA Oleh: Widad as-Saadah, Durrotun Nafisah, Nurus Shoimah I.
Pendahuluan
Al-Qur’an Al-Qur’an al-Karim al-Karim adalah sumber hukum pertama bagi umat Muhammad. Kebahagiaan
mereka
bergantung
pada
kemampuan
memahami
maknanya,
pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami al-Qur’an al-Qur’an tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-ayatnya sedemikian gamblang, gamblang, jelas dan rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sedang kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik. Di dalam dua kelompok ini pun terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika al-Qur’an al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian pengkajian intensif. Misalnya dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan harta. Bila kita cermati tidak sedikit orang Islam yang masih tergoda dengan iming-iming dunia, hal ini tentu bertentangan dengan ayat al-Qur’an al-Qur’an yang justru melarang kita untuk mendahulukan kesenangan dunia. K arena kebahagiaan yang haqiqi bukanlah di dunia, melainkan di akhirat. Tetapi bukan berarti kita harus meninggalkan dunia seutuhnya, karena dunia merupakan ladang amal kita untuk menjadi bekal kita di akhirat kelak.
II.
Pembahasan A. Makna al ‘Am
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa ya ng diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)
Setelah Allah menjelaskan ayat-ayat tersebut sebelum menjelaskan tentang kesibukan orang kafir tentang dunia dan seisinya dan Allah membelokkan mereka dari kebenaran, dan sesungguhnya ia memiliki anggota tubuh, disini kita menjelaskan tentang tertipunya orang kafir ataupun kehati-hatian dari mereka, dengan menjadikan harta tersebut untuk menuruti hawa nafsu mereka, dan mengingatkan mereka bahwa sebaiknya mereka tidak menjadikannya akhir kehidupan dan sibuk mengerjakan amal akhirat dengan menjadikan dunia sebagai ladangnya dan perantara pekerjaan yang membahagiakan di dalamnya.1
B. Asbab an-Nuzūl
Ayat ini dianggap masih berkaitan dengan ayat sebelumnya sehingga melahirkan beberapa pendapat mengenai objek atau khitāb khitāb ayat ini. Salahsatu pendapatnya adalah bahwa sekiitar delapan delapan puluh ayat pertama surat ini turun pada golongan nasrani Najran. Diriwayatkan bahwa golongan itu berjumlah 60 pejalan kaki, mereka memasuki masjid nabawi dengan mnggunakan baju atau jubah berbahan sutera, mereka juga menggunakan cincin emas. Ketika mereka hendak mengerjakan shalat para sahabat ingin mencegahnya namun nabi memerintahkan untuk membiarkan mereka. Ketika orang-orang fakir muslim melihat kemewahankemewahan sehingga jiwa mereka tergiur dengan hal-hal duniawi sehingga turunlah ayat tersebut. C. Mabahis Arabiyah
1. (
) sesuatu yang menarik yang menimbulkan kesenangan, adapun al-mazin-
nya adalah Allah untuk menguji hambanya atau syaitan dengan tipu dayanya hingga menjadikan suatu kecondongan.2 2. (
) menjadikan cinta yang berlebihan yang teranggap baik oleh nafsunya,
tidak memandang keburukan. 3 1
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, ((1946),1, Zus 3, hal 104. Wahbah bin Musa az Zakhily , Al- Tafsir al-Muni r (Mesir: (Mesir: Dar al Fikr, 1418), 2, Zus 3, hal 164. 3 Jabir bin Musa, Aisar Musa, Aisar at Tafasir li Kalam al Ali al Kabir, (Madinah: al Ulum wal Hikam, 2003), 5, Zus 1, hal 291 2
3. (
) jama’ jama’ dari
, kesenangan nafsu dalam memperolehnya, yakni
keinginan-keinginan untuk memperoleh kenikmatan.
4
seperti keinginan
memperoleh makanan atau minuman yang lezat keduanya. 5 4. )
( Adalah jama’ jama’ dari lafadz
, diambil dari susunan
dan yang dimaksud disini adalah harta yang melimpah. Lafadz
berbeda dengan lafadz
dalam bentuk jama’ jama’nya,
ulama’ berselisih pendapat mengenai huruf nun dalam lafadz
. Satu
golongan mengatakan bahwa nun pada lafadz
itu adalah asli yang
mengikuti wajan
. Dan ada juga yang
sebagaimana lafadz
mengatakan bawha nun-nya nun-nya adalah tambahan mengikuti wajan kitab Aisarut Tafasir dijelaskan bahwa
. 6 dalam
adalah seratus ribu auqiyah,
sedangkan auqiyah dalam kamus al-Mufid adalah 12 Dirham atau atau 28 gram. dan dari Said bin Jabir bahwa 5. ( 6. (
itu adalah seratus ribu Dinar 7
) banyaknya sebagian sesuatu mengalahi sebagian yang lain. ) yang biasa dipergunakan untuk berkendara baik digunakan
untuk peperangan ataupun jihad.8 7. (
) jama’ jama’ dari
yang merupakan isim jama’ jama’ yang tidak memiliki makna
tunggal dari lafadznya.9 Mencangkup unta, sapi, kambing, domba. 10
4
Ahmad bin Musthofa, Tafsir Al Maraghi, (1946),1, Maraghi, (1946),1, Zus 3, hal 108. Jabir bin Musa, Aisar Musa, Aisar at Tafasir li Kalam al Ali al Kabir, (Madinah: al Ulum wal Hikam, 2003), 5, Zus 1, hal hal 292 6 Muhyiddin bin Ahmad Musthofa, I’rabul Musthofa, I’rabul Qur’an wa Bayanihi, (Mesir: Bairut, Dar Yamamah, 1415), 4, Zus 1, hal 468 7 Wahbah bin Musa az Zakhily , Al- Tafsir al-Munir (Mesir: (Mesir: Dar al Fikr, 1418), Zus 3, hal 164 8 Jabir bin Musa, Aisar Musa, Aisar at Tafasir li Kalam al Ali al Kabir, (Madinah: al Ulum wal Hikam, 2003), 5, Zus 1, hal 292. 9 Muhyiddin bin Ahmad Musthofa, I’rabul Musthofa, I’rabul Qur’an wa Bayanihi, (Mesir: Bairut, Dar Yamamah, 1415), 4, Zus 1, hal 469 10 Wahbah bin Musa az Zakhily , Al- Tafsir al-Munir (Mesir: (Mesir: Dar al Fikr, 1418), 2, Zus 3, hal 164. 5
8. (
) ladang, kebun atau sawah dan tumbuh tumbuhan yang dapat diambil
banyak manfaat darinya.11 D. Penjelasan Ayat Kata al-shahwāt al-shahwāt merupakan merupakan jamak dari kata al-shahwat yang yang berarti reaksi
dari rasa ingin terhadap sesuatu yang dianggap enak atau menyenangkan. Dalam ayat ini menggunakan kata zī kata zī nah nah (perhiasan) karena kecintaan mereka terhadap harta ibarat perhiasan yang menghiasi tak sekalipun terlihat terlihat kejelekan darinya. Karena terkadang manusia dalam mencintai sesuatu padahal dia tau hal itu tidak baik, dia tau hal itu membahayakan membah ayakan dan bahkan terkadang berharap andai dia tak menyukainya, karena sudah mengerti dampak negatif yang akan ditimbulka. AlRāzi membuat perumpaan sebagaimana sebagian manusia dalam mencintai perkara- perkara perkara haram. Rāshid Riḍā berkata bahwa Muhammad Abduh memberi contoh hal ini dengan kecintaan manusia terhadap rokok padahal sudah tau bahanya. Seorang dalam mencintai sesuatu jika tidak menghiasi rasa cintanya bisa saja suatu saat rasa itu berubah dari cinta ke benci atau benci ke cinta (sesuai dengan siklus perubahan hatinya) namun sebaliknya jika rasa cinta itu dihiasi dengan indah dalam hal-hal duniawi maka kemungkinan besar rasanya tidak akan berubah, akan semakin cinta tak tak sedikitpun berubah benci. Karna itu merupakan tingkatan tertinggi dalam rasa cinta, jika sudah cinta tahap ini maka akan buta dalam menimbang kadar kebaikan atau keburukan di dalamnya dan enggan untuk move on meskipun sadar tentang adanya keburukan atau efek negatif yang akan ditimbulkan. Si Majnun dalam syairnya berkata:
:
...
Mereka berkata: “ kalau kamu mau, kamu bisa berpaling darinya, Namun aku berkata berkata pada mereka, aku tak bisa.” Allah berfirman:
14 :47[
11
Jabir bin Musa, Aisar Musa, Aisar at Tafasir li Kalam al Al i al Kabir, (Madinah: al Ulum wal Hikam, 2003), 5, Zus 1, hal 292
Para mufassir berbeda pendapat tentang penyandaran lafadz tazyī n dalam konteks ini sebagian menyandarkan tazyī n kepada setan. Oleh karena menuruti syahwat merupakan hal yang tercela, apalagi kata syahwat masih umum sehingga segala jenis keharaman dapat dikategorikan masuk di dalamnya menurut pendapat mereka, pun sebagaimana banyaknya harta juga hal yang tercela dalam agama menurut pandangan mereka karena hal-hal yang sering kali disebut sebagai perhiasan dunia merupakan hal yang sebenarnya seb enarnya telah disiapkan bagi b agi orang-orang yang bertaqwa di hari qiyamat pendapat ini dipengaruhi oleh Hasan al-Bisrī. al-Bisrī. Padahal jika ditela’ah kembali Allah memperbolehkan perhiasan itu justru mengingkari orang yang mengharamkannya sebagaimana dalam ayat:
]32 :7[ Sehingga diperbolehkannya menggunakan zī menggunakan zī nah nah di dunia bukan berarti tidak bisa memperolehnya kelak di akhirat bahkan hal-hal tersebut dapat menjadi perantara dalam memperoleh kebaikan akhirat dengan banyaknya keturunan, shodaqah, jihad dan lain sebagainya. Sebagian orang-orang Muktazilah berpendapat dengan rinci, mereka membagi syahwat menjadi beberapa bagian, syahwat yang terpuji, tercela, mubah dan haram. Allah menghiasi nafsu yang pertama (mahmūdah) , jika , jika yang menghiasi menghiasi setan maka hal ini merupakan syahwat yang tercela dan haram. Persandarannya dilihat dari sesuatu yang mendorong, apabila syahwat atau keinginan tersebut mendorong pada kejelekan berarti syahwat tersebut dari setan oleh karena itu al-Qur’an al-Qur’an dalam menyandarkan tazyin dalam hal-hal negatif hanya kepada setan sebagaimana dalam ayat:
]48 :8[ juga tertera dalam ayat:
43 :6[
Berbeda dengan realita atau segala ciptaan Allah yang baik maka hanya disandarkan kepada Allah untuk menguji kadar ketaqwaan serta kebaikan amal para hambaNya sebagaimana dalam ayat:
]7 :18[ Setelah membahas seputar shahwat dan tazyī n, penjelasan dapat diteruskan mengenai macam-macam dari perhiasan dunia yang sangat dicintai manusia: 1. An-nisā’ An-nisā’ (wanita), (wanita), wanita merupakan deretan paling awal dari sekian macam zinah dalam zinah dalam ayat ini karena mencintai wanita merupakan rasa cinta yang tidak ada hal apapun dari perhiasan dunia yang dapat mengunggulinya, wanita merupakan perhiasan yang indah dipandang mata, menjadi tempat cinta dan kesenangan serta ketenangan bahkan penghibur jiwa. Betapa banyak lelaki yang merasa kaya padahal miskin, miskin padahal kaya karena wanita, b etapa banyak lelaki yang mulya menjadi hina, hina menjadi mulya karena cinta mereka pada wanita. Bagaimana bisa orang yang miskin menjadi kaya sebab wanita orang yang rendah menjadi mulia sebab wanita pula. Hal ini perlu diteliti dan diketahui penyebabnya. Rashid Riḍā menanggapi hal ini bahwa, seseorang jika ia mencintai orang yang memiliki kemuliaan dan kedudukan yang tinggi maka tidak ada cara lain untuk mendekatinya kecuali dengan mencari banyak harta serta memperoleh jabatan yang tinggi serta terus berusaha sampai mendapatkannya. Cinta wanita tidak seperti lelaki, wanita bisa mengontrol bahkan menyimpan rasa cintanya dan lebih bisa menjaga hartanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan cerita yang sering kita dengar bahwa ratusan bahkan ribuan lelaki yang mengemis-ngemis, menghinakan diri bahkan gila sebab cinta wanita. Dan belum ditemukan sepuluh wanita saja yang mengalami hal itu karena mabuk cinta kepada lelaki. Laki-laki merupakan penopang wanita karena kekuatannya serta kemampuannya dalam menjada dan menafkahi mereka. Rasa berlebihan mereka dalam mencintai pastilah memiliki pengaruh tersendiri dalam kehidupan masyarakat.
2. Al-banīn Al-banīn (anak) cinta terhadap anak memang lebih kuat cobaannyapun lebih besar menurut kebiasaan. Meskipun cinta anak dirasa lebih kuat dari pada wanita penyebutan anak diakhirkan dari wanita karena adanya anak sebab ada wanita. Cinta orang tua kepada anak merupakan kasih sayang sejak anak di dalam kandungan bukan hal yang baru atau tiba-tiba ada. Hikmah Allah dalam menganugrahkan rasa cinta dalam kehidupan rumah tangga dan anak adalah bersambungnya keturunan. 3. Al- qanātīr al -muqan -muqanṭ arah arah min al-dahab wa al-fiḍḍ ah, ah, maksudnya di sini adalah banyaknya harta. Karena harta bisa dijadikan sebagai perantara dalam memperoleh hal-hal yang disenangi dari hal-hal duniawi. Sebagaimana dalam ayat:
]48:11[ Dan dalam ayat:
. ]8:28[
4. Al-khail al-musawwamah, sebagian ulamak berpendapat bahwa Al-khail almusawwamah di sini adalah kuda untuk perang berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbās12, Disebut lebih dulu dari pada al-‘an’ā al-‘an’ām m kadar kemewahannya lebih tinggi.13 5. Al-‘an’ā Al-‘an’ām m (hewan ternak) seperti sapi, unta, karena jenis hewan-hewan ini merupakan peliharaan orang-orang desa, menjadi kebanggaan mereka serta sumber keidupan. 6. Al-harts ( ladang, sawah), karena sawah, ladang, merupakan sumber kehidupan bagi ornag-orang desa dalam melanjutkan hidup. Dapat ditarik benang merah dari penjelasan di atas bahwa syahwat merupakan karakter manusia yang tidak melulu berpotensi buruk, tergantung 12
Muhammad Rashid Riḍā,Tafsīr Riḍā, Tafsīr al -Qur’ān al -hakīm,( hakīm,( : Hai’ah Hai’ah al -Mishriyah -Mishriyah al-‘Ammah al-‘Ammah li al - Kitāb,1990),195 Kitāb,1990),195200. 13 Al-Suyuṭī, Al-Suyuṭī, Hashiah Hashiah al-Shāwī al-Shāwī ‘ala Tafsīr al - Jalālain, Jalālain, (Jakarta:Haramain, t.th),193.
bagaimana manusia menyalurkan dan mewujudkannya. Jika perkara-perkara di atas di tarik pada sosial maka jelas memiliki pengaruh. Di sini kami memberikan satu contoh saja seputar anak. Orang tua jika terlalu mencintai an ak maka akan menimbulkan sifat sifat pelit, karena orang tua berfikir dari pada harta atau uangnya mereka berikan kepada orang lain lebih baik mereka berikan kepada anaknya. Sebagaimana dalam hadis Tabrani:
Sesungguhnya anak merupakan penyebab sifat pelit dan pengecut. E. Munasabatul Ayat Disebutkan dalam ayat yang lalu hukuman menipu dengan harta dan anak,
kemudian disebutkan bentuk-bentuk penipuan dan sebabnya agar manusia berhati-hati menghamba pada hawa nafsunya, dan sibuk atasnya daripada akhirat.14 F. Fiqhul ayat
1. Allah memberikan suatu keindahan hiasan kepada manusia dengan artian Allah telah menjadikan perhiasan atau keindahan tersebut dicintai oleh manusia dengan tujuan menguji dan termasuk juga sebuah cobaan terhadap hambanya. Allah swt telah berfirman
7:
}
{
Dan syaitan juga memberikan tipu daya dengan keindahan untuk menyesatkan. Maka Allah memberikan keindahan pada hal yang indah, dan memberikan keburukan pada hal yang buruk, sedangkan syaitan menipu daya dengan keindahan untuk keburukan, dan keburukan untuk keindahan. 2. Keindahan keindahan hiasan dalam ayat ini adalah termasuk keindahan yang diberikan dari Allah untuk pengujian atau cobaan, dan semua keindahan tersebut adalah nyata yang mana di dalamnya tidak mengandung keburukan kecuali jika keindahan tersebut dicari dengan cara tidak semestinya dan diperoleh dengan cara buruk sehingga dapat memberikan efek buruk bagi 14
Dr. wahbah bin Musthofa az-Zuhri, Tafsir al-Munir, (damaskus, darul fikr al-ma’asir, al-ma’asir, tobaqoh 1418), III, hal 164.
pemiliknya dan lupa akan adanya Allah, sehingga rusaklah dia dengan sebab hartanya atau keindahan yang diperolerhnya, sebagaimana orang yahudi, nasrani dan orang-orang musyrik. 3. Segala sesuatu yang berada di dunia hanyalah sekedar hiasan yang hanya bersifat sementara dan sedikit, dan hiasan tersebut akan sirna, maka bagi orang yang berakal setidaknya berangan angan akan hal tersebut, maka janganlah mencarinya dengan jalan yang diharamkan atau yang dilarang. Adapun segala kebaikan hanyalah kembali kehadapan Allah.
{
)16(
)15(
} ) 17( 15
III.
Kesimpulan Syahwat merupakan karakter yang Allah karuniakan kepada manusia yang dengan
hal itu dapat menjadi parameter dalam ketakwaan serta kebaikan perbuatan, selain itu juga dapat menjadi sumber ujian untuk kemudian berlatih untuk bersabar. Dengan penjelasan ayat di atas kita dapat mengambil perlajaran bahwa mencintai dunia dan seisinya tidak perlu berlebihan karena dunia dan seisinya meskipun indah, dapat menjadi sumber pahala juga menjadi sumber dosa, menjadi ujian bahkan cobaan. Yang penting bagaimana kita bisa menghadapi dan mengolah karankter ini dengan hasil yang yang tak lain hanya kebaikan.
15
Jabir bin Musa, Aisar Musa, Aisar at Tafasir li Kalam wal Hikam, 2003), 5, Zus 1, hal 293 Kalam al Ali al Kabir, (Madinah: al Ulum wal