Teknis Penyusunan dan Strategi APBD Berbasis Kinerja[1]
Oleh :
Kodrat Wibowo, SE, PhD.[2]
1. Pendahuluan
Perubahan sistem pemerintahan menuju era desentralisasi yang secara
efektif diberlakukan sejak tahun 2001 lewat implementasi langsung UU No. 22
dan 25 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah, telah membawa perubahan mendasar pada
sistem pemerintahan di Indonesia – terutama pada sistem pemerintahan
daerah. Lebih besarnya peran yang diberikan pada pemerintahan
kota/kabupaten diharapkan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada
masyarakatnya dan sekaligus juga diharapkan dapat menciptakan efisiensi
pengelolaan sumber daya yang lebih baik bagi pembangunan di Indonesia.
Kedua undang-undang ini kemudian diubah menjadi UU No. 32 dan 33 tahun 2004
yang secara lebih detail dan jelas menyatakan bahwa pemberian kewenangan
yang seluas-luasnya kepada daerah – disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah – merupakan salah satu upaya agar
penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi efisien dan efektif.
Efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui desentralisasi
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan
pembangunan yang menekankan pada peran pemerintah daerah yang semakin
tinggi diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan responsivitas terhadap
publik, serta memperhatikan preferensi masyarakat, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan peran serta masyarakat lokal dalam pembangunan di daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu bentuk
dokumen perencanaan pembangunan yang diharapkan mampu mencerminkan aspirasi
dan preferensi sosial dari masyarakat, secara umum karena APBD
menggambarkan alokasi sumber daya milik publik ke berbagai jenis prasarana,
barang, dan pelayanan publik. Oleh sebab itu proses penyusunan APBD
diharapkan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat – sebagai upaya untuk
menjaring aspirasi dan preferensi masyarakat – dan juga diharapkan mampu
meningkatkan akuntabilitas publik sehingga upaya pembangunan yang
dijalankan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat bisa tercapai dalam waktu yang lebih singkat.
Sistematika pembahasan makalah ini dimulai dengan pendahuluan dan
selanjutnya akan menjelaskan produk-produk perencanaan daerah. Bagian
ketiga akan membahas definisi dan pentingnya arti perencanaan APBD,
diteruskan oleh bagian keempat dan kelima yang akan membahas teknis
penyusunan APBD beserta substansi dan strukturnya. Terakhir adalah ulasan
singkat tentang pertimbangan strategi sistem anggaran defisit.
2. Produk-Produk Perencanaan Daerah
Perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mencapai suatu
tujuan yang dapat dicapai melalui perwujudan maksud dan sasaran tertentu
yang telah ditentukan sebelumnya dan telah dirumuskan baik oleh pribadi
sendiri maupun oleh suatu organisasi tertentu. Tujuan yang telah ditetapkan
tersebut harus sudah menjadi suatu kesepakatan.[3] Perencanaan diperlukan
agar alokasi sumberdaya menjadi lebih efisien dan efektif, dengan tujuan
agar keadaan dimasa yang akan datang menjadi lebih baik. Dalam kaitannya
dengan perencanaan pembangunan daerah, maka perencanaan dapat berbentuk
pengaturan dan kontrol terhadap hubungan atau tindakan-tindakan antara
pemerintah daerah dengan mekanisme pasar (masyarakat, baik konsumen maupun
produsen—selanjutnya disebut sebagai sektor swasta). Perkembangan kegiatan
aktivitas, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta menimbulkan
kebutuhan akan pengaturan kegiatan-kegiatan tersebut. Pemerintah harus
terus menerus mencoba, pada berbagai tingkat dan derajat tertentu, mengatur
dan mencoba mengarahkan aktivitas masyarakat sehingga dapat memacu proses
pembangunan diluar apa yang dapat dicapai oleh kekuatan mekanisme pasar itu
sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut jelaslah bahwa perencanaan
pembangunan dibutuhkan untuk mencapai hasil pembangunan yang lebih baik
lagi.
Agar proses perencanaan pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik
maka perlu disusun beberapa dokumen perencanaan. UU No, 4/1999 tentang GBHN
menyatakan bahwa langkah awal dari perencanaan pembangunan daerah adalah
dengan membuat pola dasar (Poldas)– sebagai garis besar arah pembangunan
daerah selama 5 tahun kedepan yang bisa terlihat melalui visi, misi, serta
strategi dan arah kebijakan pembangunan masing-masing daerah. Selanjutnya
berdasarkan UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas),
ditetapkan bahwa setiap daerah harus memiliki Program Pembangunan Daerah
(Propeda) yang berisi sasaran dan program perencanaan pembangunan yang akan
dilaksanakan di daerah. Bersama RTRW dan kerangka Makro Ekonomi maka Poldas
menjadi dasar dari visi, misi, serta strategi dan arah kebijakan
pembangunan yang ada dalam Propeda. Terkait dengan Propeda maka selanjutnya
PP No. 108/2000 mengharuskan daerah/unit kerja daerah membuat Rencana
Strategis (Renstra) sebagai wujud keterukuran sasaran dan program yang
telah ditetapkan pada Propeda. Semua dokumen perencanaan tersebut merupakan
dokumen perencanaan jangka menengah. Produk terakhir dari dokumen
perencanaan pembangunan adalah dokumen perncanaan jangka pendek. UU No.
33/2004 menyatakan bahwa setiap daerah menyusun Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) sebagai rencana tahunan kegiatan pembangunan di daerah.
Selanjutnya setiap unit kerja/perangkat daerah akan menyusun Rencana Kerja
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang merupakan detilasi dari
RKPD. Seperti rencana operasional pada umumnya hal-hal yang diatur dalam
RKPD dan Renja SKPD sangat detail dan akurat, termasuk rencana alokasi
biaya yang dibutuhkannya, serta target hasil yang hendak dicapai selama
periode perencanaan. Terkait dengan alokasi biaya yang dibutuhkan bagi
pelaksanaan kegiatan pembangunan maka disusunlah Rencana Kerja dan Anggaran
Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD) yang merupakan dokumen perencanaan
dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan SKPD serta anggaran yang
diperlukan untuk melaksanakannya. Kumpulan RKA SKPD dari setiap unit
kerja/perangkat daerah disusun menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. APBD disusun berdasarkan aspek sumber pembiayaan pembangunan dan
alokasi dana tersebut bagi kegiatan-kegiatan pembangunan. APBD harus dapat
menjamin keseimbangan antara permintaan dan penawaran, menghindari inflasi
dan mendorong stabilisasi ekonomi. Gambar 1 menunjukkan keterkaitan antara
dokumen perencanaan mulai dari tingkat nasional hingga ke kabupaten/kota,
sementara gambar 2 dan 3 menggambarkan detilasi dari keterkaitan tersebut
berdasarkan tingkatan perencanaan serta penekanannya pada tingkat
Kabupaten/Kota.
Keberhasilan proses penyusunan APBD di suatu daerah tidak lepas dari
hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif di daerah. Eksekutif, dalam
hal ini pemerintah daerah (Pemda) sebagai pelaksana kegiatan pembangunan di
daerah bertugas menyusun program-program pembangunan daerah. Berbagai
dokumen perencanaan pembangunan daerah (seperti Poldas, Propeda, Renstrada,
RKPD, hingga RAPBD) disusun oleh eksekutif dengan tujuan meningkatkan
pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan kepada masyarakat. Legislatif
(anggota dewan) – sebagai perwakilan masyarakat – berupaya menjamin agar
penyusunan dokumen perencanaan tersebut telah sesuai dengan aspirasi dan
preferensi masyarakat. Dengan demikian dirasakan perlunya pengetahuan yang
cukup dalam masalah perencanaan anggaran, bagi anggota legislatif, karena
berdasarkan landasan hukum UU No 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa DPRD lah
yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan persetujuan tentang layak
tidaknya sebuah RAPBD untuk disahkan menjadi APBD.
3. Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD)
Menurut definsisi manajemen keuangan, anggaran merupakan suatu
perencanaan untuk memperoleh penerimaan dan mengalokasikan-nya dalam bentuk
belanja untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Dengan kata lain, anggaran
merupakan informasi atau pernyataan mengenai rencana dan kebijakan di
bidang keuangan organisasi atau badan usaha untuk jangka waktu tertentu --
biasanya selama satu tahun. Perencanaan ini biasanya menggambarkan pula
bagaimana item-item penerimaan bisa ditingkatkan, dan alokasi sumberdaya
bisa secara lebih luas dialokasikan dalam satu periode tertentu. Dalam
perencanaan ini juga diikut sertakan masalah-masalah penting lain seperti
skala prioritas, strategi, alokasi sumberdaya dan system control serta
akuntabilitas anggaran.
Secara teori, pendekatan anggaran yang biasa digunakan dalam teknis
penyusunan anggaran secara umum ada empat jenis:
1) Incremental Budgeting: mengambil jumlah yang telah dianggarkan ditahun
sebelumnya dan menambahkan sejumlah tambahan untuk tiap item/program
anggaran (biasanya dalam persentase peningkatan yang sama).
Kelemahan: anggaran tidak mencerminkan prioritas politik, juga
biaya dalam waktu tersebut (tidak akuntabel dan efisien)
Kelebihan: Mudah dan cepat
2) Zero-based Budgeting: menentukan alternative biaya tiap aktifitas
program, dan lalu melakukan pengambilan suara untuk pemilihan biaya
yang cocok, dilakukan tiap tahun.
Kelemahan: terlalu lama, membutuhkan banyak informasi, dan tidak
selalu penting untuk membiayai tiap program untuk tiapa awal tahun
terutama untuk kegita yang sedang berjalan.
Kelebihan: anggaran mencerminkan prioritas, akuntabilitas, dan
efisiensi.
3) Program-based Budgeting: Setelah anggaran berdasarkan zero-based sudah
ditetapkan, anggaran program kemudian ditelaah kembali dan disesuaikan
setiap tahun dengan melihat perkembangan skala prioritas, dan
kebijakan, serta perubahan tingkat aktifitas dan biaya sumberdaya yang
menjadi input.
Kelemahan: memungkinkan adanya monitoring apakah program sejalan
dengan prioritas, sumberdaya input ditentukan biayanya, dan secara
efisien ditinjau ulang tiap tahun, anggaran adalah realistis, dan
akuntabilitas dapat terjamin.
Kelebihan: banyak informasi yang dibutuhkan
4) Performance Budgeting: Anggaran yang didasarkan pada anggaran program,
namun menggunakan criteria kinerja sebagai basis untuk alokasi
anggarannya.
Kelemahan: banyak informasi yang dibutuhkan.
Kelebihan: sama seperti program-base budgeting, dan alokasi
didasarkan pada output yang diinginkan oleh bidang yang berkaitan
dengan program.
Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah perkiraan pendapatan
dan belanja yang diharapkan akan terjadi dalam jangka waktu tertentu, satu
tahun, yang dinyatakan dalam satuan mata uang dan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah (Perda). Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen,
dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran
berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta
pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya
untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu
dilakukan pengaturan secara jelas peran legislatif dan eksekutif dalam
proses penyusunan dan penetapan anggaran. Sehubungan dengan itu UU No.
17/2003 menyebutkan bahwa belanja daerah dirinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut
berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar
kegiatan, dan antar jenis belanja harus mendapat persetujuan DPRD.
Berkaitan dengan penggunaan metode anggaran berbasis kinerja (performance
budgeting system), pemerintah telah mengeluarkan PP No. 105 dan PP No. 108
Tahun 2000 yang mengatur penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) berdasarkan kinerja[4] dan pertanggung-jawaban APBD untuk penilaian
kinerja berdasarkan tolok ukur rencana strategis (Renstra). Lebih jauh,
dikeluarkan peraturan yang lebih tinggi lagi yaitu: UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara yang benar-benar berfungsi sebagai motor penggerak
(driving force) diterapkannya anggaran berbasis kinerja diseluruh tingkat
pemerintahan, nasional, daerah hingga unit kerja terkecil. Hakikatnya,
undang-undang ini secara substansial mengatur sisi yuridis-politis Keuangan
Negara, dan pada prinsipnya UU ini mengatur hubungan hukum antara lembaga
legislatif dan lembaga eksekutif dalam pengelolaan keuangan negara,
terutama dalam penyusunan dan penetapan APBN (anggaran pendapatan dan
belanja negara) maupun APBD. Secara operasional, azas umum dan pendekatan
kinerja dalam perencanaan dan penganggaran daerah dituangkan dalam
Kepmendagri 29/2002. Kepmendagri ini secara rinci mengatur substansi dan
proses yang harus ditempuh oleh pemerintah daerah agar perencanaan dan
penganggaran sesuai dengan azas umum penganggaran dan pendekatan kinerja.
Berbagai kebijakan mengenai perencanaan keuangan tersebut di atas,
selanjutnya diberi payung hukum yang lebih kokoh yaitu UU No. 17/2003
tentang Keuangan Negara, yang mengatur sistem keuangan —termasuk proses
penyusunannya— baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Berdasarkan
UU No. 17/2003, penyusunan anggaran daerah meliputi beberapa tahap penting
yaitu:
a. Penyusunan arah kebijakan umum APBD, yang memuat komponen-komponen
pelayanan dan tingkat pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang
kewenangan Pemerintah Daerah.
b. Penyusunan strategi dan prioritas APBD, agar dapat mempercepat
pencapaian – melalui percepatan pencapaian target kinerja berdasarkan
prioritas dan sumberdaya (manusia, dana dan teknlogi) yang tersedia –
seperti yang ditetapkan pada arah kebijakan umum
c. Penyusunan rencana anggaran satuan kerja, dan
d. Pembahasan RAPBD.
e. Penetapan APBD sebagai dokumen perencanaan
Penyusunan arah dan kebijakan umum APBD mempertimbangkan berbagai aspek
dari dokumen perencanaan yang telah ada, baik pada tingkat nasional,
provinsi, maupun kabupaten/kota, mempertimbangkan hasil pencapaian masa
lalu, serta mempertimbangkan aspirasi dan preferensi masyarakat. Pemerintah
Daerah dan DPRD akan membuat nota kesepakatan apabila mereka sepakat
mengenai arah dan kebijakan umum APBD yang dihasilkan. Berdasarkan arah dan
kebijakan umum APBD, Pemerintah Daerah melalui Tim Penyusunan Anggaran
Eksekutif menyusun strategi dan prioritas APBD untuk kemudian disampaikan
pada Panitia Anggaran Legislatif agar dikonfimasi kesesuaiannya dengan arah
dan kebijakan umum APBD. Tim Anggaran Eksekutif bersama-sama dengan Unit-
unit Kerja Pemerintah Daerah menjabarkan strategi dan prioritas APBD dalam
Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) yang kemudian menjadi konsep RAPBD
untuk diajukan pada Panitia Anggaran Legislatif. Oleh Panitia Anggaran
Legislatif draft RAPBD tersebut di bahas pada rapat anggaran DPRD untuk
dimintai pertimbangan DPRD. Kegiatan tersebut berlangsung hingga DPRD
menganggap bahwa anggaran yang disusun Pemerintah Daerah bisa disetujui.
Setelah DPRD menyetujui RAPBD untuk dapat disahkan sebagai APBD maka
dibuatlah Peraturan Daerah tentang APBD. Setelah APBD disahkan maka RASK
disahkan oleh Kepala Daerah sebagai Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK)
untuk kemudian dapat dilaksanakan oleh masing-masing Unit Kerja Pemerintah
Daerah. Dalam UU No. 33 Tahun 2004, tugas DPRD dikembangkan kembali dimana
setelah RAPBD disepakati dengan kata lain disetujui oleh DPRD, Pemda dan
DPRD harus bertemu kemabli guna membahas prioritas dan plafon sementara.[5]
Proses penyusunan anggaran tersebut secara skematis ditunjukkan oleh gambar
4.
Sejalan dengan proses penyusunan APBD seperti yang ditunjukkan pada gambar
4 tersebut, perlu diperhatikan beberapa tahap kegiatan yang terkait dengan
proses penyusunan APBD, terutama yang terkait dengan penerapan sistem
anggaran kinerja, diantaranya adalah:
1) Tahap penyusunan anggaran.
Beberapa hal yang terkait dengan penyusunan anggaran adalah :
- Penyusunan rencana tahunan
- Penetapan nota kesepakatan arah & kebijakan umum APBD antara
eksekutif dan legislatif (Pemda dan DPRD),
- Penyusunan strategi dan prioritas APBD
- Penerbitan Surat Edaran KHD tentang penyusunan anggaran
- Penyusunan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK), dengan
mempertimbangkan ; (1) Kajian target/tujuan organisasi, (2) Kajian
tentang perkiraan kemampuan, (3) Kajian tentang perkiraan
kebutuhan, (4) Analisa kebutuhan dan kemampuan, (5) Penentuan
prioritas kebutuhan, dan (6) Perhitungan dan analisa kewajaran
biaya
- Pembahasan RASK dengan Panitia Anggaran Eksekutif
- Penyusunan Rancangan PERDA APBD termasuk lampiran-lampiran
2) Tahap pengesahan/otorisasi anggaran, proses tersebut terdiri atas
rangkaian kegiatan seperti :
- Pengajuan Rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
- Pembahasan RAPBD oleh komisi-komisi DPRD,
- Rapat paripurna DPRD (beberapa kali)
- Pembahasan antara eksekutif dan legislatif,
- Sosialisasi dan penjaringan aspirasi masyarakat
- Penyelesaian RAPBD oleh eksekutif
- Pengambilan keputusan oleh DPRD
- Pengesahan RAPBD oleh Kepala Daerah menjadi Perda APBD
- Penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD
- Penetapan RASK menjadi Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK)
4. Penyusunan APBD Berbasis Anggaran Kinerja
Berdasarkan PP No. 105/2000, dijelaskan bahwa pengertian APBD adalah
suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan
Daerah tentang APBD. Sementara yang dimaksud dengan Keuangan Daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dapat dinilai dengan monetary value termasuk didalamnya segala
bentuk kekayaan (assets) yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah
tersebut, tentunya dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Selanjutnya disebutkan juga bahwa azas umum pengelolaan Keuangan daerah
dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat (pasal 66 ayat 1 UU No.
33/2004). Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung
dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.
Pasal 8 PP No. 105/2000 menyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan
kinerja. Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran
yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan
alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Unsur penting dalam anggaran
kinerja adalah adanya penggunaan indikator kinerja (Performance Indicator).
Beberapa manfaat yang bisa dirasakan dengan adanya pengukuran kinerja ini,
diantaranya adalah :
- Akuntabilitas organisasi publik kepada DPRD dan publik lebih
mudah dilihat
- Lebih memotivasi peningkatan pelayanan kepada publik
- Peningkatan kepercayaan publik kepada pemerintah
- Anggaran kinerja menekankan pada sasaran kinerja dan pencapaian,
bukan pada pembelian yang dilakukan oleh organisasi
Anggaran Kinerja adalah proses penganggaran yang mengkaitkan belanja
dengan hasil yang diharapkan. Unsur-unsur terpenting dalam Anggaran Kinerja
termasuk pernyataan tentang:
- Visi (menjelaskan ke arah mana unit kerja akan dibawa)
- Misi (menyatakan sesuatu yang harus diemban oleh unit kerja)
- Tujuan (penjabaran dari misi yang menyatakan apa yang ingin
dicapai dalam jangka waktu satu tahun)
- Sasaran (penjabaran dari tujuan yang teridentifikasi dengan
jelas dan terukur mengenai sesuatu yang ingin dicapai).
- Program (sekumpulan kegiatan yang direncanakan untuk
dilaksanakan agar tercapainya sasaran yang ditetapkan).
- Kegiatan (tindakan yang akan dilaksanakan untuk memperoleh
keluaran atau hasil tertentu.)
Penyusunan APBD berbasis anggaran kinerja mencakup dua hal utama, yaitu
penyusunan rancangan anggaran setiap unit kerja serta penyusunan rancangan
APBD Pemerintah Daerah oleh Tim Anggaran Eksekutif. Dalam menyusun
rancangan anggaran, masing-masing unit kerja membuat pernyataan anggaran
(PA) yang memuat pernyataan mengenai visi, misi unit kerja, deskripsi tugas
pokok dan fungsi (Tupoksi) unit kerja, rencana program dan kegiatan unit
kerja berikut tolok ukur kinerja, dan target kinerjanya. Pernyataan
Anggaran yang dibuat masing-masing unit kerja dievaluasi oleh Tim Anggaran
Eksekutif. Jika proses evaluasi tersebut selesai hasil akhir, PA kemudian
dijadikan dasar untuk menyusun rancangan APBD.
Ciri khas dari anggaran kinerja adalah adanya ukuran dari kinerja
setiap unit kerja yang terdiri atas masukkan, keluaran, hasil, manfaat, dan
dampak yang mengukur keberhasilan yang dicapai pada setiap unit organisasi
perangkat daerah (Unit Kerja).Ukuran kinerja keuangan tersebut ditentukan
oleh standar analisa biaya (SAB), tolok ukur kinerja dan standar biaya (PP
No. 105/2000). SAB mengukur penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya
terhadap suatu kegiatan. Tolok ukur kinerja merupakan ukuran keberhasilan
yang dicapai oleh setiap unit kerja – biasanya diukur dengan standar
pelayanan minimum – sedangkan standar biaya mengukur harga satuan unit
biaya yang berlaku bagi masing-masing daerah. Proses penyusunan anggaran
berbasis kinerja ditunjukkan pada gambar 5.
Pengukuran kinerja dari masing-masing kegiatan yang ada pada APBD
didasarkan pada prinsip value for money (ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas) dengan 4 indikator (masukan, keluaran, hasil dan manfaat) yang
bisa dirasakan oleh masyarakat. Pada dasarnya pengukuran tersebut merupakan
penerapan dari prinsip cost effectiveness yang biasa digunakan dalam
pengajaran mata kuliah ekonomi: evaluasi proyek. Adapun struktur pengukuran
kinerja dari masing-masing kegiatan dapat digambarkan seperti pada gambar
6, sedangkan keputusan untuk memilih kegiatan yang dapat dilaksanakan
ditunjukkan seperti gambar 7.
Pengukuran indikator input/ekonomi menyangkut berapa besar jumlah input
yang digunakan, sedangkan indikator output menggambarkan berapa besar
tingkat pelayanan yang terjadi, adapun indikator efektivitas diukur dengan
tingkat pencapaian sasaran/dampak dari jenis pelayanan yang dirasakan oleh
masyarakat. Indikator terakhir (efisiensi) terkait dengan biaya per-unit
output yang dikeluarkan untuk memberikan pelayanan dengan target dampak
tertentu yang dirasakan oleh masyarakat.
Gambar 6
Pengukuran Kinerja dari Kegiatan
Untuk memastikan kegiatan-kegiatan mana yang bisa dianggarkan, maka
disusunlah matriks kesesuaian dan biaya. Kesesuaian tidak lain merupakan
wujud dari kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat dalam menggunakan
kegiatan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Kesesuaian merupakan
penggabungan dari ketersediaan pelayanan (output) dengan dampak yang
dirasakan oleh masyarakat. Tingkat kesesuaian yang tinggi menggambarkan
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah telah dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat, hal ini berarti bahwa aspirasi dan preferensi masyarakat telah
tercukupi – dan sebaliknya jika tingkat kesesuaian rendah. Agar tingkat
kesesuaian dapat diukur maka setiap kegiatan yang dilakukan harus disertai
dengan penetapan standar pelayanan minimum. Pelaksanaan kegiatan
pemerintah diharapkan memberikan tingkat kesesuaian yang tinggi dengan
menggunakan pembiayaan tertentu, sehingga biaya yang dikeluarkan dapat
dikatakan efektif. Kegiatan-kegiatan yang menimbulkan biaya tinggi dengan
kesesuaian yang rendah perlu dihindari, sedangkan kegiatan-kegiatan yang
memiliki biaya tinggi dengan kesesuaian yang tinggi pula perlu disesuaikan
dengan mencoba menurunkan biayanya – melalui upaya-upaya mendorong kearah
efisiensi kegiatan. Adapun kegiatan dengan biaya dan kesesuaian yang
rendah perlu dikaji ulang penetapan sasaran dan tujuannya, apabila ternyata
tetap tidak menunjukkan kesesuaian yang lebih baik maka kegiatan tersebut
bisa ditinggalkan.
Gambar 7
Keputusan Pemilihan Kegiatan
5. Substansi dan Struktur APBD
Pelaksanaan pembangunan di daerah bertujuan agar pengelolaan sumberdaya
yang ada dapat digunakan secara efisien dan efektif. Selain itu pembangunan
di daerah juga ditujukan agar dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan dan stabilitas. Oleh sebab itu APBD yang disusun harus
didasarkan pada prinsip-prinsip keuangan negara yaitu :
a. Prinsip keadilan anggaran (fungsi distribusi)
b. Prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran (fungsi alokasi)
c. Prinsip disiplin anggaran
d. Prinsip tranparansi dan akuntabilitas
Untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut maka pemerintah menyusun aturan
baku penyusunan APBD. Pasal 15 ayat 1 PP No. 105/2000 menyatakan bahwa
Sruktur APBD terdiri atas 3 bagian penting, yaitu :
a. Pendapatan, yaitu semua penerimaan Kas Daerah yang merupakan hak
daerah yang bersifat menambah ekuitas daerah (Aset dikurangi
kewajiban/utang = Ekuitas Daerah)
b. Belanja, adalah semua pengeluaran kas daerah yang merupakan kewajiban
daerah dan mengurangi ekuitas dana daerah
c. Pembiayaan, sumber dana untuk menutup defisit (kelebihan belanja atas
pendapatan), atau pengunaan surplus anggaran (kelebihan pendapatan
atas belanja merupakan) . Pembiayaan terdiri atas dua bagian ;
Penerimaan pembiayaan : penerimaan pinjaman/obligasi, hasil
penjualan perusahaan milik negara, pemindahan dari dana
cadangan, dan akumulasi surplus anggaran s/d periode sebelumnya.
Pengeluaran pembiayaan: pembayaran kembali pokok
pinjaman/obligasi, pengeluaran untuk perolehan perusahaan milik
negara, pembentukan/penambahan dana cadangan.
Agar kebijakan penyusunan anggaran menjadi lebih efektif, maka fokus
alokasi anggaran harus :
a. Diarahkan kepada sektor-sektor yang dapat mendistribusikan serta
mengalokasikan anggaran ke sektor lain
b. Dengan melihat kinerja pembangunan sektoral, kebijakan dan
pengelolaan anggaran diarahkan kepada sektor yang mempunyai kinerja
lebih dari satu
c. Dengan memperhatikan keterkaitan terpadu dari semua sektor
pembangunan, dapat diciptakan suatu sektor yang saling kait mengait
dengan sektor lain.
d. Penyusunan program suatu sektor harus dapat mencakup semua aspek
yang ada di sektor lain.
Sebagai produk dokumen perencanaan pembangunan APBD diharapkan mampu
memberikan keyakinan pada masyarakat bahwa apa yang telah disusun merupakan
bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, yang mampu
menampung aspirasi stakeholder sehingga dapat dijadikan stimulus bagi
pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh sebab itu APBD bersifat multi-aspek,
seperti :
a. Aspek Ekonomi, dalam artian bahwa besaran anggaran pemerintah
mencerminkan skala kegiatan ekonomi sektor pemerintahan dan
pengaruhnya terhadap ekonomi sektor swasta
b. Aspek Politik, yang berarti bahwa anggaran yang ditetapkan
merupakan perwujudan dari kehendak politik pemerintah dan
masyarakat dalam bentuk kebijakan keuangan
c. Aspek Hukum, dalam artian bahwa yaitu agar dapat dilaksanakan,
anggaran perlu ditetapkan degan peraturan daerah, sehingga anggaran
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan harus dipatuhi oleh
semua pihak yang melaksanakan
d. Aspek Manajemen. Anggaran mencerminkan pelaksanaan fungsi-fungsi
manajemen pemerintah
Selain itu APBD yang disusun juga harus terkait dengan kebijakan keuangan
pada tingkat pemerintahan yang lain, seperti APBN dan juga APBD propinsi.
Keterkaitan tersebut menunjukkan adanya hubungan antar perencanaan yang ada
di tingkat pemerintah pusat dengan perencanaan yang ada di tingkat daerah.
Gambar 8 menjelaskan alokasi dan sumber pembiayaan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah sebagai hubungan keuangan antara pusat dan daerah.[6]
Tabel 1 menunjukkan format struktur APBD berdasarkan anggaran kinerja
seperti yang ditetapkan oleh Kepmendagri No. 29/2002 dan disesuaikan dengan
aturan yang tercantum dalam UU No. 33 Tahun 2004. Berdasarkan tabel
tersebut terlihat bahwa ada berbagai sumber penerimaan untuk melaksanakan
pembangunan di daerah. Prinsip anggaran secara fleksibel dapat dimungkinkan
untuk defisit maupun surplus.[7] Format ini berbeda dibandingkan format
struktur APBD dengan menggunakan dasar line item-budgeting yang berbentuk T-
Account dan selalu menggunakan prinsip anggaran berimbang (balance budget).
Struktur APBD terdiri atas 3 bagian utama, dimana masing-masing bagian
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk bagian penerimaan, susunan
penerimaan didasarkan pada UU No. 33/2004 yang menyatakan bahwa sumber-
sumber penerimaan daerah terdiri atas :
a. Pendapatan Daerah, terdiri atas:
- Pendapatan Asli Daerah
- Dana Perimbangan
- Lain-lain pendapatan yang sah
b. Pembiayaan Daerah, terdiri atas :
- Sisa lebih perhitungan anggaran daerah[8];
- Penerimaan pinjaman dan obligasi daerah;
- Dana cadangan daerah; dan
- Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Sedangkan untuk bagian belanja pemerintah daerah didasarkan pada
Kepmendagri No. 29/2002, yang menyatakan bahwa belanja daerah terdiri atas
dua bagian, yaitu :
a. Belanja Aparatur Daerah,
b. Belanja Pelayanan Publik
Masing-masing bagian belanja tersebut kemudian dirinci menurut kelompok
belanja, yaitu :
- Belanja Administrasi Umum
- Belanja Operasi dan Pemeliharaan, dan
- Belanja Modal
Untuk kemudian setiap kelompok belanja akan dirinci menurut objek
belanjanya masing-masing, dan untuk setiap objek belanja akan dirinci
menurut rincian objek belanja. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 dengan lebih
detail mengklasifikasikan kembali jenis belanja daerah menjadi 3 jenis
yaitu belanja daerah menurut aspek[9]:
1. Bidang/Organisasi yang disesuaikan dengan susunan perangkat
daerah/lembaga teknis daerah;
2. Fungsi, terdiri antara lain: layanan umum, ketertiban kemanan,
ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasiliitas umum, kesehatan,
pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial;
3. Jenis belanja (sifat ekonomi) terdiri dari a.l belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan
sosial.
Strategi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dengan format struktur APBD yang baru,
dimungkinkan adanya strategi defisit, surplus dan juga berimbang dalam
sebuah penyusunan APBD. Format ini memang secara tidak langsung merupakan
perubahan paradigma public fiscal yang sebelumnya idealistik mengenai
kondisi anggaran berimbang yang notabene sebenarnya adalah anggaran defisit
walaupun ditambahi embel-embel berimbang dinamis. Surplus terjadi bila sisi
penerimaan daerah lebih besar daripada sisi pengeluaran. Sebaliknya defisit
terjadi bila sisa penerimaan lebih kecil dibandingkan sisi
penerimaannya[10]. Kecenderungan yang terjadi memang kebanyakan pemerintah
daerah memilih untuk menggunakan sistem anggaran defisit mengingat makin
terbukanya kesempatan yang makin luas bagi masing-masing daerah untuk
mencari sumber pembiayaan pengeluaran secara kreatif dan inovatif. Tidak
heran dalam UU No 33 tahun 2004 dijelaskan pula bahwa menteri keuangan
mengatur batas maksimal defisit untuk masing-masing daerah. Ditambah lagi
ketentuan bahwa kumulatif defisit tidak boleh melebihi 3% dari PDB. Hal ini
dapat dimengerti karena defisit daerah yang berlebihan dapat membahayakan
posisi fiskal/keuangan negara yang merupakan tanggung jawab pemerintah
pusat. Disisi lain penggunaan sistem anggaran defisit ini dipicu pula oleh
masih dimungkinkannya pembentukan dana off-budget oleh pemerintah pusat
bagi para daerah. Ditambah lagi dengan pengaturan adanya item dana cadangan
dalam sisi pembiayaan APBD yang makin memberi peluang untuk menerapkan
strategi anggaran defisit ini.
Dari sisi lain, penggunaan sistem anggaran defisit didasari pula oleh
pemikiran bahwa sistem ini dapat membawa efek multiplier bagi kegiatan
perekonomian lewat makin giatnya usaha mengumpulkan penerimaan daerah lewat
upaya formal seperti untuk pengumpulan pajak daerah atau retribusi maupun
lewat alternatif pembiayaan lain yang diperbolehkan dan tidak bertentangan
dengan kewenangan kebijakan keuangan pemerintah pusat.[11] Selain itu
terdapat anggapan bahwa sistem anggaran berimbang dan surplus mengakibatkan
kecenderungan adanya pemborosan pada sisi pengeluaran karena asumsi bahwa
pengeluaran harus sama jumlahnya dengan sisi pengeluaran.[12] Dengan kata
lain pendekatan sistem anggaran defisit bisa membuat pihak pelaksana
kegiatan pemerintahan untuk dapat berhemat atau minimal menerapkan prinsip
disiplin anggaran yang pada akhirnya dapat menutup besaran defisit
tersebut.
Kecenderungan penggunaan sistem defisit dikarenakan pula oleh
dimungkinkannya upaya melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk
dijadikan sumber pembiayaan yang diatur oleh UU No. 33 Tahun 2004.[13]
Terlebih lagi banyak daerah yang kemudian mulai sadar akan kenyataan bahwa
asset kekayaan daerahnya dapat dijadikan jaminan pinjaman. Lebih jauh,
upaya opsi pinjaman ini dapat dipandang secara implisit sebagai upaya
pelemparan beban tanggung jawab membayar hutang beserta bunga dan kewajiban-
kewajiban lainnya pada pihak penerus roda pemerintahan selanjutnya.
Namun dari pendapat umum baik teoritis, empiris dan juga logis,
seluruh rasionalitas dari penerapan sistem anggaran defisit ini tetap
memiliki kelemahan yang mungkin pada gilirannya akan mengakibatkan biaya
pada segi akuntabilitas dan fiscal profligasi. Bila kita tinjau alasan
karena adanya kesempatan dalam menempatkan dana cadangan dan daba non-
budgetaire sebagai bemper bila terjadi kesulitan fiskal membuat alokasi
dana yang tidak efektif, karena secara normative, dana tersebut dapat
digunakan untuk hal-hal lain yang lebih mendasar serta tinggi kadar
produktifitasnya. Bila rasionalitas yang dipakai adalah makin giatnya upaya
pengumpulan sisi penerimaan pajak dan retribusi misalnya, hal ini akan
mengarah pada makin berkurangnya minat investasi dan domisili dari
masyarakat.[14] Hipotesis Tiebout tentang persaingan daerah merupakan salah
satu alasan berbahayanya pola pikir tentang manfaat sistem anggaran defisit
terhadap peningkatan produktifitas perekonomian. Ditambah lagi dengan
adanya hipotesa Peacock dan Wiseman yang menyatakan bahwa masyarakat pada
dasarnya tidak pernah ingin dipungut berbagai jenis pajak sedangkan
pemerintah selalu ingin memajak, sekali lagi yang dipertaruhkan disini
adalah tingkat akuntabilitas pemerintahan. Dan alasan yang paling berbahaya
adalah menggunakan opsi pinjaman daerah dimana yang terjadi kemungkinan
adalah persaingan antara publik dan pihak swasta terutama perbankan dalam
menyerap dana segar dari masyarakat maupun dana perbankan. Selain itu
pinjaman dapat mengakibatkan makin sedikitnya masyarakat generasi
berikutnya dalam pemilikan stok capital. Kemudian secara prinsip keuangan
publik, asas manfaat akan menjadi timpang karena penerima manfaat dari
kegiatan perekonomian di tahun bersangkutan tidak harus pusing mengurusi
tanggung jawab kewajiban pada saat harus melunasi pinjaman serta biaya-
biaya tambahannya, apalagi dengan adanya resiko pertimbangan moral dan
politis dimana mungkin akan muncul persepsi masyarakat bahwa pemerintah
daerah dan DPRD untuk daerah yang hobby-nya menghutang, berarti tidak becus
kinerjanya sebagai pelaksana pemerintahan. Dan mungkin tidak akan terplih
lagi periode berikutnya.
Tabel 1. Ringkasan APBD
"I. Pendapatan "II. Belanja "
"1. Pendapatan Asli Daerah : "Kepmendagri No. 29/2002 "
"Pajak Daerah " "
"Retribusi Daerah "1. Belanja Aparatur Daerah "
"Hasil BUMD dan Hasil Pengelolaan "Belanja Administrasi Umum "
"Kekayaan Daerah yang Tidak "Belanja Operasi dan pemeliharaan "
"Dipisahkan "Belanja Modal "
"Lain-lain PAD yang sah. "2. Belanja Pelayanan Publik "
"hasil penjualan kekayaan daerah yang "Belanja Administrasi Umum "
"tidak dipisahkan "Belanja Operasi dan pemeliharaan "
"Jasa giro "Belanja Modal "
"Pendapatan bunga "Belanja Bagi Hasil dan Bantuan "
"Keuntungan selisih nilai tukar rupiah"Keuangan "
"terhadap mata uang asing. "Belanja Tidak Tersangka "
"Komisi, potongan dari penjualan dan " "
"atau pengadaan barang/jasa "UU No. 33/2004: "
"2. Dana Perimbangan " "
"Dana Bagi Hasil dari PBB, BPHTB, PPh "Belanja Bidang/Organisasi, "
"Ps. 25, 29, 21, Dana Reboisasi & "disesuaikan dengan susunan perangkat"
"penerimaan SDA "daerah/lembaga teknis daerah; "
"Dana Alokasi Umum, "Belanja Fungsi,: layanan umum, "
"Dana Alokasi Khusus "ketertiban kemanan, ekonomi, "
"3. Lain-lain Pendapatan "lingkungan hidup, perumahan dan "
"Pendapatan hibah "fasiliitas umum, kesehatan, "
"Pendapatan Dana Darurat. "pariwisata, budaya, agama, "
"Penerimaan-penerimaan yang sesuai "pendidikan, serta perlindungan "
"dengan UU yang berlaku "sosial; "
"III. Pembiayaan "Belanja Ekonomi: belanja pegawai, "
"1. Penerimaan Daerah "belanja barang, belanja modal, "
"Sisa lebih Perhitungan Anggaran Tahun"bunga, subsidi, hibah, dan bantuan "
"Lalu "sosial. "
"Transfer dari Dana Cadangan " "
"Penerimaan Pinjaman dalam negeri dan " "
"Obligasi " "
"Hasil penjualan kekayaan daerah yang " "
"dipisahkan " "
"Pengeluaran Daerah " "
"Transfer ke Dana Cadangan " "
"Penyertaan Modal " "
"Pembayaran Utang Pokok dan jatuh " "
"tempo " "
"Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun" "
"Berjalan " "
Daftar Pustaka
Ahmad, E (1996), Financing Decentralizing Expenditures, Edward Elgar
Publishers,
Cheltenham, U. K.
Bagdja Muljarijadi, Pembangunan Daerah di Indonesia ; Paradigma Baru
Menghadapi Era Desentralisasi, Semiloka Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Grand Ballroom Savoy Homann, 29 Juni – 1 juli 2000
Gregorio, Mila V, Kerangka Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, Refreshing
Workshop P2TPD, 26 Juni 2003
Hyman David, Public Finance: A Contemporary Application Of Theory To
Policy, Seventh Edition, Thompson Learning, 2002
Kodrat Wibowo, Ringkasan Tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah di
Indonesia Pasca Desentralisasi, Pelatihan Pendalaman Kompetensi Bidang
Tugas Legislatif Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi", Sukabumi Jawa Barat, 6-7
Desember, 2004a.
Kodrat Wibowo, "Lessons from Previous Taxes' Studies to Indonesian Local
and Regional Geovernment after Fiscal Decentralization", Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan, Vol. III No. I, 2004b, p. 25-40
Lewis Dan Chakeri, Decentralized Local Government Budgets In Indonesia:
What Explains The Large Stock Of Reserves?, World Bank , Jakarta Indonesia,
2004.
Masykur Wiratmo & Ahmad Makhfatih, Penyusunan Anggaran (RAPBD) Berdasarkan
Pendekatan Kinerja, Workshop Penyusunan Anggaran Berdasarkan Kinerja, Pusat
Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik,Universitas Gadjah Mada, 2002
Republik Indonesia. 2004a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Jakarta.
Republik Indonesia. 2004b. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Jakarta.
Republik Indonesia. 2000a. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,
Jakarta.
Republik Indonesia. 2000b. Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Jakarta.
Republik Indonesia. 2000c. Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 Tentang
Pertanggung-jawaban APBD untuk Penilaian Kinerja Berdasarkan Tolok Ukur
Rencana Strategis (Renstra), Jakarta.
-----------------------
[1] Disampaikan pada "In House Training bagi anggota DPRD Pemerintah Daerah
Kabupaten Tasikmalaya", 23 Februari 2005
[2] Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE-UNPAD, Sekretaris
dan Peneliti utama pada LP3E FE-UNPAD, dan dosen luar biasa di Institut
Ilmu Pemerintahan (IIP), Jakarta, serta Sekolah Staf Komando Angkatan Darat
(SESKOAD), Bandung.
[3] Dalam Ilmu Ekonomi Publik, keputusan bersama ini harus merupakan hasil
dari voting mayoritas lewat sistem demokrasi lewat perwakilan.
[4] Penjelasan lebih lanjut dari isi PP ini akan dibahas lebih detail pada
bagian selanjutnya.
[5] Lihat Kodrat Wibowo (2004a)
[6] Item-item yang tercantum dalam gambar 8 telah disesuaikan dengan isi UU
No. 33 Tahun 2004.
[7] Lewis dan Chakeri (2004) membuktikan bahwa perkembangan surplus pada
pemerintahan daerah sangat tinggi setelah diberlakukannya otonomi daerah.
Terdapat rata-rata pertumbuhan surplus sebesar 10% dari tahun 2000 ke tahun
2001.
[8] Sampai dengan tahun 2002 dana cadangan daerah naik menjadi 16% dari
total belanja negara, atau kira-kira sebanding dengan 1,2% dari total PDB.
[9] Lihat Kodrat Wibowo (2004a).
[10] Hyman David (2002), Public Finance: A Contemporary Application Of
Theory To Policy, Seventh Edition , Thompson Learning
[11] Di negara-negara lain opsi untuk menggunakan lottery atau undian
berhadiah bagi pemerintah daerah sebagai alternatif sumber pembiayaan sudah
bukan merupakan hal tabu, karena secara empiris banyak pula dibuktikan
bermanfaat dan berisiko rendah.
[12] Dalam ilmu ekonomi makro asumsi ini memang dibenarkan dimana kendala
anggaran bagi para pelaku ekonomi (budget constraint & Isocost) yang
tersedia selalu merupakan fungsi linear.
[13] Sebelumnya UU No. 25/2004 membolehkan pinjaman luar negeri yang
diprotes banyak pihak karena bertentangan dengan UU No. 22 tahun 2004 yang
mengatur wewenang pemerintah dari tiap tingkat.
[14] Pada akhir tahun 2001 sejak implementasi otonomi daerah sudah terdapat
lebih dari 1000 jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang baru (Kodrat
Wibowo, 2004b).
-----------------------
Perencanaan Taktis-Strategis
Perencanaan Manajerial
Dokumen Politis/ Perencanaan Induk
Naskah Akademis
KAB/KOTA
PROPINSI
PUSAT
PAD
PAD
POLA DASAR KAB/KOTA
POLA DASAR PROPINSI
PEMB NAS & DAERAH
APBD KOTA/KAB
PROPEDA KAB/KOTA
RENCANA EKONOMI KAB/KOTA
RTRWK
APBD PROPINSI
PROPEDA PROPINSI
RENCANA EKONOMI PROPINSI
RTRWP
SEKTOR
RK Pusat
(APBN)
PROPENAS
KERANGKA MAKRO EKONOMI NASIONAL
RTRWN
ASPEK LINGKUNGAN
GBHN
UUD 45
Gambar 1
Keterkaitan Produk Perencanaan Pada Berbagai Tingkatan Pemerintahan
RENCANA PEMBANGUNAN TAHUNAN
RENCANA PEMBANGUNAN 5 TAHUNAN
APBD
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (Nota Keuangan):
- Arah & Kebijakan
- Strategi - Prioritas
- Program - Kegiatan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah / RKPD (REPETADA):
- Arah & Kebijakan
- Strategi - Prioritas
- Program - Kegiatan
RENSTRADA :
- Visi, Misi
- Strategi
- Arah & Kebijakan
- Program
- Kegiatan
PROPEDA:
- Visi, Misi
- Strategi
- Arah & Kebijakan
- Program
- Kegiatan
POLA DASAR :
- Visi, Misi
- Strategi
- Arah & Kebijakan
Gambar 3
Keterkaitan Produk Perencanaan Pada Pemerintahan Kabupten/Kota
WAJAR
DASAR PENILAIAN SAB OLEH TIM ANGGARAN EKSEKUTIF
Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD)
- Arah & Kebijakan
- Strategi - Prioritas
- Program - Kegiatan
APBD Kab/Kota
RKPD Kab/Kota
APBD PROV
Gambar 4
Diagram Proses Penyusunan APBD
RKPD PROV
RK Pusat
APBN
RENSTRA K/K
APBD Kab/Kota :
1. PAD
2. Dana Perimbangan
DAU
DAK
Bagi Hasil
RENSTRA PROV
APBD PROV :
3. PAD
4. Dana Perimbangan
DAU
DAK
Bagi Hasil
RENSTRA DEPARTEMENT
PROPEDA K/K
- APBN
- APBD PROV
- APBD K/K
- SWASTA
- MASYARAKAT
PROPEDA PROV
- APBN
- APBD PROV
- SWASTA
- MASYARAKAT
PROPENAS
- APBN
- BANTUAN LN
- SWASTA
- MASYARAKAT
POLDAS KAB/KOTA
- VISI
- MISI
- STRATEGI
POLDAS PROV
- VISI
- MISI
- STRATEGI
GBHN
Regional Indeks:
- Analisis Situasi
- Proyeksi
Pertumbuhan
- PDRB
- Analisis
Lingkungan
- Angka Kemiskinan
- Angka
Pengangguran
- Potensi Ekonomi
- Sektor Unggulan
Indikator Kinerja
Pelaksanaan Teknis Operasional
Hasil yang Diharapkan
Penurunan Biaya
Eliminasi atau
Redesign
Eliminasi
Biaya Rendah
Kesesuaian Tinggi
Biaya Rendah
Kesesuaian Rendah
Biaya Tinggi
Kesesuaian Tinggi
Pembiayaan Tinggi
Kesesuaian Rendah
Biaya
Kesesuaian dengan tujuan strategis dan output
Tingkat penggunaan
Tingkat Pelayanan
MASYARAKAT
DAMPAK
OUTPUT
INPUT
BIAYA
Efektivitas
Efisiensi
Ekonomi
Gambar 8
Keterkaitan Antara APBN dan APBD
Pengesahan KDH
Sosialisasi kpd masyarakat & Pembahansan
RAPBD
Penilaian RASK
Penyusunan RAPBD
Pengajuan Rancangan Perda APBD
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi Masyarakat
Nota Keuangan
Konsep Perda APBD
Persetujuan APBD
PERDA APBD
Keputusan KDH
Penjab. APBD
DASK
RASK
UNIT KERJA
Keputusan KDH tentang Standar Pelayanan
Standar Biaya
Perda pengelolaan Keu Daerah
Surat Edaran KDH Penyusunan Anggaran
TIM EKSEKUTIF ANGGARAN
PEMDA
KEPALA DAERAH
PANITIA ANGGARAN LEGISLATIF
DPRD
Strategi & Prioritas
Nota Kesepakatan Arah & Keb Umum APBD
Pokok Pikiran DPRD
Penjaringan Aspirasi
Masyarakat
Dokumen Perencanaan lain
Laporan Kinerja Historis
Kebijakan Pemerintah Pusat
Restrada
Lampiran RAPBD
STANDAR ANALISA BIAYA / PERNYATAAN ANGGARAN
1. Belanja Pegawai
2. B. Barang & Jasa;
3. B. Perjalanan Dinas;
4. B. Pemeliharaan.
FORMULIR USULAN
KEGIATAN / PERNYATAAN ANGGARAN :
5. Nama Kegiatan
6. Masukan
7. Keluaran
REKAP KEGIATAN:
8. Target Keluaran
9. Indikasi Outcome
PERNYATAAN
ANGGARAN UNIT KERJA:
10. Tupoksi
11. Tujuan Unit Kerja
12. Sasaran Unit Kerja
13. Prioritas Program
RINGKASAN APBD
INDIKASI OUTCOME
PROGRAM
KEGIATAN
PRIORITAS STRATEGI
KEBIJAKAN UMUM APBD:
14. Tujuan Umum
15. Sasaran Umum
NOTA KEUANGAN DAERAH
SUB UNIT KERJA
UNIT KERJA
DAERAH
Gambar 5
Diagram Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja
ANGGARAN DAERAH
TIDAK DISANGKA
BELANJA MODAL
OPERASI DAN PEMELIHARAAN
ADMINITRASI UMUM
Subsidi: listrik, BBM, bunga kredit program, beras, dll
PELAYANAN PUBLIK
BELANJA MODAL
OPERASI DAN PEMELIHARAAN
ADMINITRASI UMUM
APARATUR DAERAH
Pinjaman & Obligasi Daerah
DAK
DAU
DANA BAGIAN DAERAH: PPh, PBB, BPHTB, Penerimaan SDA , Minyak Gas Bumi
Penerimaan lain2
PAD
- Pajak Daerah
- Retribusi Daerah
- Hasil BUMD
- Lain-lain PAD
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
DANA ALOKASI UMUM (DAU)
DANA BAGIAN DAERAH: Migas&Panas Bumi, PPh, PBB & BPHTB, dan Penerimaan SDA
ANGGARAN PEMB
- ANGG PEMB SEKTORAL
- ANGG PEMB
PEMBIAYAAN PROYEK
ANGGARAN RUTIN
ANGGARAN PUSAT
PINJAMAN PROYEK
PINJAMAN PROGRAM
PNBP – BUMN, DLL
PNBP - SDA
PBB & BPHTB
PAJAK EKSPOR DLL
CUKAI
BEA MASUK
PPH, PPN
PENERIMAAN MIGAS DAN PANAS BUMI
BELANJA DAERAH
PENERIMAAN DAERAH
BELANJA PUSAT
PENERIMAAN PUSAT
BAGI HASIL DAN BANTUAN
PEMBIAYAAN
Masukan (Input)
Keluaran (Output)
Hasil (Outcomes)
Dampak (Impact)
Masukan (Input)
Keluaran (Output)
Hasil (Outcomes)
Dampak (Impact)
Masukan (Input)
Keluaran (Output)
Hasil (Outcomes)
Dampak (Impact)
LPJ GUB
LPJ Bup/Wal
Gambar 2
Tata Urut Dokumen Perencanaan Pembangunan