TEORI HABITUS PIERRE BOURDIEU
Pendahuluan
Perkembangan penting dalam teori sosiologi akhir akhir ini adalah yang
terjadi di sebagian besar wilayah Amerika Serikat. Meskipun tidak
mengingkari teori-teori yang mendahuluinya, perkembangan yang dimulai pada
sekitar tahun 1980-an dan masih berlangsung hingga sekarang tersebut,
ditandai dengan semakin banyaknya minat terhadap isu pertautan mikro-
makro[1].
Di Eropa, terjadi perkembangan yang sejajar tetapi isu yang mereka
minati bukan pertautan mikro-makro melainkan hubungan antara agensi dan
struktur. Meskipun pertautan antara mikro-makro dan hubungan antara agensi-
struktur tampaknya sama tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang
signifikan[2]. Walapun agen pada umumnya mengacu pada level mikro tetapi
agen juga bisa mengacu pada level makro atau kolektif yang bergerak.
Seperti pendapat Burns yang melihat agen meliputi individu, kelompok yang
terorganisir dan juga bangsa. Mikro memang sering mengacu kepada individu
atau aktor yang kreatif maupun 'pelaku'. Demikian juga dengan struktur,
pada umumnya mengacu pada struktur-struktur sosial berskala besar tetapi
struktur juga dapat berupa interaksi antara individu yang berada pada level
mikro. Seperti pendapat Antony Giddens tentang sistem-sistem. Sistem-sistem
disini menyiratkan kedua jenis struktur di atas yaitu « hubungan-hubungan
yang direproduksi antara para aktor/individu atau antara kolektivitas ».
Salah satu teori sosiologi yang berkembang di Eropa, yang membahas
pemaduan antara agen dan struktur adalah teori yang dilahirkan oleh Pierre
Bourdieu yang dikenal dengan sebutan teori Habitus.
Berdasarkan konteks sosial dan politik yang melatarbelakanginya, teori
Habitus yang dimunculkan oleh Pierre Bourdieu bukan disebabkan oleh
perubahan sosial besar seperti yang telah dijelaskan di atas tetapi
berdasarkan studi yang mendalam dan penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh Bourdieu di daerah Kabylie dan Collo, Aljazair. Sebelumnya ia adalah
seorang penganut strukturalisme tetapi ketika ia terlibat dalam studi
etnografi terhadap komunitas-komunitas petani di kedua daerah tersebut di
atas, Bourdieu melihat keterbatasan strukturalisme. Ia mulai menulis serta
merumuskan teori dan metodologinya sendiri untuk mengatasi kesulitan
dikotomi seperti individu dan masyarakat, kebebasan dan tanggung jawab,
kepentingan individu atau kelompok dan sistem, dan lain lain. Kemudian ia
memasukkan dikotomi-dikotomi tersebut ke dalam satu kategori dikotomi
epistemologi besar yaitu antara 'subyektivisme' dan 'obyektivisme'[3].
Subyektivisme mewakili bangunan pengetahuan tentang dunia sosial yang
didasarkan pada pengalaman utama dan persepsi-persepsi individu. Ia
meliputi aliran-aliran pemikiran seperti fenomenologi, teori tindakan
rasional dan bentuk-bentuk tertentu sosiologi interpretatif, antropologi
dan analisis bahasa (yang disebut Volosinov 'subjektivisme
individualistik'). Di bidang sastra, cakupan ini meliputi semua teori
idealistik dan esensialis yang berbasis ideologi kharismatik tentang
penulis sebagai 'pencipta' atau creator.
Sedangkan Objektivisme, di sisi lain, berusaha menjelaskan dunia sosial
dengan menempatkan pengalaman individu dan subyektivitas serta
memfokuskan diri pada kondisi-kondisi objektif yang menstrukturkan
kebebasan praktis kesaradan manusia. Sudut pandang ini bisa ditemukan di
banyak teori sosial seperti semiology Saussurian, antropologi structural
dan Marxisme Althusserian.
Baik subyektivisme maupun obyektivisme tidak mampu mendukung pemikiran
Bourdieu, oleh sebab itu, ia kemudian mengagas sebuah konsep yang
disebutnya « structuralisme constructiviste » atau « constructivisme
structuraliste ». Konsep tersebut menunjukkan bahwa ia ingin melewati
konsep-konsep dikotomi sosiologi, khususnya melawan strukturalisme yang
menyatakan patuhnya individu terhadap aturan-aturan struktur dan melawan
konstruktivisme yang menyatakan dunia sosial adalah hasil dari tindakan
bebas para aktor.
Kata Kunci
Teori yang dikemukakan Pierre Bourdieu dimaksudkan untuk melewati
batas-batas oposisi yang telah terstruktur dalam teori-teori ilmu sosial
seperti subjectivisme dan objectivisme, micro dan macro, constructivisme
dan déterminisme serta structure dan agency. Teori tersebut mempunyai tiga
kata kunci yaitu Habitus (Habitus), Arena (Champ) dan Modal (Capital).
1. Habitus
Habitus terdiri dari sejumlah disposisi, skema tindakan atau persepsi
bahwa individu telah menerimanya melalui pengalaman bermasyrakatnya.
Melalui pengalaman tersebut, setiap individu secara perlahan-lahan
menyatukan sejumlah cara berfikir, cara merasakan dan cara beraksi yang
akan terlihat secara nyata dalam waktu lama. Bourdieu percaya bahwa
disposisi-disposisi ini merupakan sumber praksis individu di masa yang akan
datang.
Habitus terbentuk tidak secara tiba-tiba tetapi melalui proses panjang
berupa pengalaman-pengalaman individu ketika berinteraksi dengan dunia
sosial. Habitus dibangun melalui proses pendidikan yang oleh Bourdieu
membaginya menjadi tiga hal yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sosial
dan pendidikan sekolah. (Wempi, 2012) dan (Bédard, 2003).
Sesungguhnya Habitus akan menuntun individu untuk memproduksi kembali
secara otomatis apa yang telah diterima sebelumnya. Habitus bukan merupakan
kebiasaan yang dilakukan tanpa sengaja, melainkan dipikirkan atau diolah
terlebih dahulu. Habitus bisa disamakan dengan grammar dalam bahasa. Berkat
gammar yang dipelajari, individu dapat memproduksi kalimat-kalimat yang tak
terbatas untuk menghadapi semua situasi, dengan tidak mengulangi kalimat
yang sama secara terus menerus. Demikian halnya dalam habitus, disposisi-
disposisi yang berupa skema persepsi dan tindakan akan membuat individu
memproduksi sejumlah praksis baru yang telah beradaptasi dengan dunia
sosial tempat individu tinggal.
Habitus adalah « structures structurées prédisposées à fonctionner
comme structures structurantes » (susunan terstruktur yang cenderung
digunakan agar berfungsi sebagai susunan yang tersusun). Maksudnya, habitus
dikatakan structure structurée karena habitus dihasilkan melalui proses
sosialisasi individu. Selain itu, habitus juga dikatakan structure
structurante karena habitus merupakan penyusun struktur dan bisa melahirkan
praksis baru yang tak terbatas.
Selama disposisi-disposisi ini membentuk suatu sistem, habitus merupakan
alat pemersatu pemikiran dan tindakan setiap individu. Dan sebaliknya
apabila setiap individu berasal dari kelompok sosial yang sama dan telah
hidup dalam sosialisasi yang sama pula, maka habitus juga bisa menjelaskan
bagaimana persamaan cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak dari
setiap individu yang mempunyai kelas sosial yang sama. Meskipun begitu
tidak berarti bahwa disposisi-disposisi habitus tidak berubah/sama dari
satu turunan ke turunan selanjutnya. Pergerakan sosial individu-individu
dapat merubah habitus mereka, menyesuaikan dengan lingkungan dan keadaan
tempat yang baru tetapi tidak akan merubah secara keseluruhan habitus
mereka.
Habitus mempunyai beberapa sifat sebagai berikut ; pertama Hystérésis
de l'habitus, Bourdieu menjelaskan bahwa Hystérésis de l'habitus adalah
sifat 'bertahan lama' dalam arti bertahan di sepanjang rentang waktu
tertentu dari kehidupan seorang agen. 'Bertahan lama' pada seorang agen
bahkan sampai disposisi yang disosialisasikan tidak lagi berlaku seperti
kisah Don Quichotte (dicontohkan oleh Marx dan dikutip oleh Bourdieu).
Kedua Transposabilité de l'habitus, adalah sifat 'dapat
dialihpindahkan' dalam arti disposisi-disposisi yang telah diterima melalui
kegiatan sosial tertentu, misalnya dalam sebuah keluarga, mampu
dialihpindahkan ke dalam dunia profesional. Akibat dari sifat 'dapat
dialihpindahkan' ini maka akan terbentuk 'lifestyle' dan 'lifestyle' ini
berbeda pada posisi kelas yang berbeda pula, demikian penjelasan Bourdieu
dalam bukunya yang berjudul La Distinction.
Dalam La Distinction, yang terutama berisi tentang struktur sosial,
Bourdieu menggarisbawahi adanya 'style de vie' atau 'lifestyle' dan
'lifestyle' tersebut berdasarkan posisi kelas yang berbeda. Sebagai contoh
terdapat hubungan antara praktik-praktik sosial (atau tingkah laku) para
buruh. Misalnya hubungan antara makanan buruh berbanding sejajar dengan
selera seninya. Bagi buruh makanan itu yang penting, mengenyangkan, sering
berat dan berlemak, tanpa menghiraukan makna kesehatannya. Hal ini sama
dengan selera seninya yang menyukai aliran realis dan tidak suka seni
abstrak, yang nota bene susah dicerna. Bourdieu juga menemukan bahwa cara
berpakaian para buruh tetap ada hubungannya dengan jenis makanan yang
dikonsumsinya dan selera seninya. Mereka lebih memilih pakaian yang
bermanfaat, tidak menghiraukan keindahannya. Lifestyle para buruh ini
saling terkait dan selalu berhubungan dengan 'manfaat'nya bukan
'keindahan'nya. Menurut Bourdieu lifestyle para buruh ini dibentuk atau
dibangun berdasarkan substansinya (atau kegunaannya tadi) bukan pada
bentuknya (atau keindahan tadi).
Ketiga, sifat Générateur de l'habitus. Sifat 'mampu menurunkan
keturunan' ini sebenarnya menjelaskan fungsi structure structurée dan
fungsi structure structurante dari habitus. Dalam fungsinya tersebut di
atas, habitus sebenarnya mempunyai sifat khas seperti sumber yang tidak ada
habisnya dalam memproduksi praksis. Melalui sejumlah disposisi yang
terbatas, seorang agen mampu menciptakan banyak strategi, seperti cara
grammar dalam sebuah bahasa, misalnya dalam bahasa Prancis, dengan
seperangkat aturan grammar yang terbatas, akan membuat pembicara
menciptakan kalimat-kalimat yang tak terbatas, pada setiap beradaptasi
dengan situasi.
Dalam sifat ketiga ini habitus mengandung prinsip lain yang disebut
Bourdieu sebagai 'sens pratique' (pratical sens) dan 'illusio'. Melalui
'sens pratique' Bourdieu ingin mengatakan bahwa habitus adalah gambaran
dunia sosial, habitus beradaptasi dalam dunia sosial dan mengijinkan setiap
agen untuk bereaksi secara cepat dan tanpa banyak berfikir terhadap
kejadian-keadian yang dihadapi oleh mereka. 'Sens pratique' digambarkan
seperti seorang pemain tenis yang telah faham dengan logika permainannya ;
ia akan mengejar menuju bola yang dilempar oleh lawan mainnya tanpa
memikirkan lagi gerakannya (reflex permainan). Demikian juga dengan setiap
agen, ia akan bereaksi dengan cara yang sama dalam beradaptasi terhadap
tuntutan-tututan dalam dunia sosial tempat ia hidup. Ia akan mengembangkan
strategi-strategi yang benar berkat habitus-nya.
Seperti seorang pemain tenis yang berbakat, ia mendapat strateginya
melalui pengalaman bermainnya (secara tidak sadar) dan melalui pelajaran-
pelajaran yang diperolehnya (secara sadar). Strategi-strategi yang
merupakan tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan tersebut
berfungsi secara otomatis di dalam kesadarannya ketika ia berada di medan
permainan. Demikian halnya dengan setiap agen, berdasarkan interaksi-
interaksi saat ini dan berdasarkan disposisi-disposisi yang diterimanya
dari dunia sosial pada masa lalu, setiap agen akan mempunyai strategi-
strategi yang bertujuan lebih baik dan mendapat keuntungan. Strategi-
strategi tersebut tidak benar-benar dipilih/disengaja dan bahkan mungkin
akan lebih berfungsi dari strategi-strategi yang disengaja.
Dengan 'sens pratique' (naluri bertindak) ini Bourdieu mengkritik
teori aktor rasional. Ia menolak gagasan yang mengatakan bahwa para aktor
berstrategi dengan sangat sadar dan penuh kalkulasi dalam mengejar
kepentingan. Bagi Bourdieu setiap agen akan bertindak dengan cara
sebaliknya, dengan disposisi-disposisi dan ketrampilan yang telah ada dalam
diri agen, memungkinkan setiap agen bertindak dengan cara 'sens pratique'
dan tidak melalui reaksi yang penuh kesadaran. Tulis Bourdieu « l'habitus
enferme la solution des paradoxes du sens objectif sans intention
subjective : il est au principe de ces enchaînements de coups qui sont
objectivement organisés comme des stratégies sans être le produit d'une
véritable intention stratégique » atau « Habitus menawarkan solusi dari
pertentangan antara obyektif dan subyektif (dalam ilmu sosial). Pada
prinsipnya, habitus merupakan rangkaian tindakan yang secara obyektif
disusun sebagai strategi-strategi tanpa menghasilkan sebuah niatan
berstrategi yang sesungguhnya».
Bourdieu memperluas kritiknya terhadap teori aktor rasional. Bagi
Bourdieu kepentingan tidak hanya kepentingan materiil (seperti apa yang
dipaparkan dalam teori actor rasional). Menurut keyakinannya, individu
berfikir bahwa setiap kegiatan sosial itu penting dan harus dikejar. Jadi
terdapat banyak kepentingan sebanyak arena sosial : setiap arena sosial
menawarkan isu (hal yang diperebutkan) yang spesifik.
Jadi kepentingan yang dikejar oleh politikus tidak sama dengan
kepentingan yang dikejar oleh pengusaha : orang politik yakin bahwa
kekuasaan merupakan sumber utama dari kepentingan, sedangkan bagi pengusaha
sumber utama kepentingannya adalah kekayaan. Bourdieu menyebut kepentingan
ini sebagai 'illusio'. Dengan kata ini, Bourdieu ingin menggarisbawahi
bahwa semua kepentingan adalah sebuah kepercayaan, sebuah illusio : untuk
meyakinkan bahwa sebuah kepentingan memang layak untuk dikejar. Dengan
sebutan illusio (untuk sebuah kepentingan) akan terlihat bahwa memang
kepentingan tersebut layak untuk diperjuangkan.
Illusio diterima oleh seorang agen melalui sosialisasi. Agen percaya
bahwa sebuah kepentingan diperlukan karena ia disosialisasikan bahwa hal
tersebut penting. Kepentingan-kepentingan dan juga keyakinan-keyakinan
ditanamakan kepada agen secara sosial dan divalidasi secara sosial pula.
2. Arena
Pierre Bourdieu menggambarkan masyarakat seperti sebuah arena (champ)
yang tersusun saling berkaitan. Terdapat bermacam-macam arena: arena
pendidikan, arena ekonomi, arena politik, arena seni, arena budaya, arena
agama dll. Para agen, bisa aktor atau institusi, tidak bergerak dalam ruang
kosong tetapi bergerak dalam arena. Arena merupakan situasi-situasi sosial
nyata yang ditata dan dikuasai oleh hubungan-hubungan sosial objektif.
Arena digambarkan sebagai sebuah arena pertempuran atau arena perjuangan
untuk merebut kekuasaan diantara kekuatan-kekuatan yang ada. Pertarungan
yang terwujud bisa berupa mentransformasi/mengganti atau mempertahankan
arena kekuasaan.
Dinamika arena didasarkan pada pertarungan perebutan posisi dalam
arena. Pierre Bourdieu mengatakan bahwa setiap arena, baik budaya, politik,
ekonomi dan lainnya merupakan arena yang relatif otonom namun homologus
(memiliki kesamaan struktur). Struktur arena untuk setiap saat tertentu
ditentukan oleh hubungan-hubungan antara posisi-posisi para agen yang
berada di dalam arena, karenanya arena adalah sebuah konsep yang dinamis.
Setiap perubahan posisi agen akan membuahkan perubahan struktur arena[4].
Dalam teori arena, Pierre Bourdieu mengemukakan dua konsep yaitu 'les
strategies' (strategi-strategi) dan 'la trajectoire' (jejak). Strategi
merupakan produk dari habitus yang berada dibawah kesadaran, merupakan sens
pratique dari agen yang memahami aturan-aturan permainan dalam ruang dan
waktu tertentu. Strategi dilakukan tergantung pada kedudukan agen dalam
arena serta tergantung pula pada masalah yang menjadi dasar pertikaian.
Jika agen berada pada kedudukan dominan maka strategi yang dilaksanakan
adalah mempertahankan statusquo sedangkan bila agen berada kedudukan yang
didominasi maka strategi yang dilakukan adalah usaha untuk menaikan
kedudukan sosialnya. Strategi inilah yang membangun bentuk pertempuran dan
menjadi orientasi arah penyelesaiannya.[5]
Bourdieu melalui teorinya mengajarkan kepada kita bahwa habitus tidak
sepenuhnya ditentukan oleh struktur-struktur objektif tetapi juga
ditentukan oleh tindakan subjektif agen. Agen memperoleh haknya untuk
berkreasi melalui posisi-posisi yang terdapat dalam champ atau arena. Maka
situasi yang demikian memberi kesempatan kepada agen untuk menggunakan
berbagai strategi. (Fashri, 2007)
Strategi berperan sebagai cara para pemain untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan posisi mereka dalam arena permainan. Usaha memperoleh
pengakuan, kekuasaan, modal dan atau akses terhadap posisi-posisi bisa
terwujud melalui strategi-strategi yang mereka lakukan. Bourdieu
menyebutkan bahwa ada tujuh macam strategi yaitu strategi investasi
keturunan (stratégie d'investissement biologique), strategi suksesif
(stratégie successorale), strategi pendidikan (stratégie éducative),
strategi investasi ekonomi (stratégie d'investissement économique),
strategi investasi sosial (stratégie d'investissement social), strategi
ikatan perkawinan (stratégies matrimoniales), strategi investasi simbolik
(stratégie d'investissement symbolique) serta strategi khusus (stratégie de
sociodicée) (Bourdieu, 1994). Haryatmoko (2003:15) menjelaskan bahwa konsep
strategi Bourdieu tersebut sesungguhnya dipahami sebagai (a) strategi
investasi ekonomi yang terkait dengan menambah serta mempertahankan modal
ekonomi; (b) strategi investasi simbolik, mempertahankan dan meningkatkan
pengakuan sosial yang didapat; (c) strategi investasi biologis, yakni
kontrol pengaturan jumlah keturunan; (d) strategi pewarisan, terkait dengan
modal ekonomi yang dipandang sebagai modal yang signifikan dalam arena
kekuasaan; (e) strategi edukatif, yakni praktik yang mengarah pada usaha
menghasilkan pelaku sosial yang memiliki keahlian tertentu.
La trajectoire secara harafiah berarti jejak yang dilalui atau
riwayat. Pierre Bourdieu membedakan trajectoire menjadi beberapa konsep
yang berbeda ; trajectoire individuelle, trajectoire sociale, trajectoire
collective[6].
3. Modal
Untuk masuk dan ikut bermain dalam pertempuran adu kekuatan yang ada
di arena, agen harus memiliki habitus yang sesuai untuk bisa beradaptasi.
Agen harus memiliki pengetahuan, ketrampilan dan bakat yang tepat agar bisa
berjuang dalam arena tersebut, dan supaya berhasil agen harus mempunyai
modal serta memanfaatkannya sebesar mungkin. Pierre Bourdieu menggambarkan
modal sebagai semua sumber daya sosial yang merupakan akumulasi yang
memungkinkan individu untuk memperoleh manfaat. Dalam arena, agen akan
menempatkan dirinya berdasarkan fungsi dan jumlah modal yang dimilikinya
serta berdasarkan relatif kepentingan kapital tersebut. Para pelaku
menempati posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi:
pertama, menurut besarnya kapital yang dimiliki; dan kedua, sesuai dengan
bobot komposisi keseluruhan modal mereka: "untuk memahami bahwa sistem
kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam arena perjuangan
kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji,
konsusmsi makanan, praktik prokreasi, opini politik atau praktik keagamaan,
dan bahwa bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda
di satu arena dengan yang lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin
modal budaya, ditempat lain mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal
sosial, dan seterusnya." (Haryatmoko: 2003 dan Fashri 2007:96-98)
Konsep kapital Bourdieu tidak sama persis dengan Karl Marx. Marxisme
klasik melihat kapital hanya dari sisi ekonomi saja sedangkan Bourdieu
memasukkan unsur budaya dan sosial. Kapital ekonomi memang masih menjadi
kekuatan sentral dalam mendorong perbedaan kelas tetapi kapital budaya juga
mempunyai peran besar dalam petempuran di arena. Bourdieu membedakan empat
macam kapital yaitu:
Le capital économique atau modal ekonomi mengukur semua sumber daya
ekonomi individu, termasuk pendapatan dan warisannya.
Le capital culturel atau modal budaya mengukur semua sumber daya budaya
yang dapat menempatkan kedudukan seorang individu. Kapital ini terdiri
dari tiga bentuk, pertama incorporées yang meliputi pengetahuan umum,
ketrampilan, nilai budaya, agama, norma, bakat turunan, dll; kedua
objectivées yang meliputi kepemilikan benda-benda budaya yang bernilai
tinggi; ketiga institutionalisé meliputi gelar, tingkat pendidikan,
keahlian tertentu yang diperoleh melalui jenjang pendidikan.
Le capital social atau modal sosial mengukur semua sumber daya yang
berkaitan dengan kepemilikan jaringan sosial berkelanjutan dari semua
relasi dan semua orang yang dikenal.
Le capital symbolique atau modal simbolik menunjukkan segala bentuk
kapital (budaya, sosial atau ekonomi) yang mendapat pengakuan khusus
dalam masyarakat.
Modal ekonomi dan modal budaya, bagi Bourdieu, adalah dua hal yang paling
penting tetapi setiap modal meimliki kekhususan dalam setiap arena dan
modal juga menentukan struktur arena serta menentukan hal yang
dipertaruhkan dalam arena.
Modal budaya merupakan semua sumber daya budaya yang dapat menentukan
kedudukan seorang individu dalam arena. Modal budaya bisa diperoleh
individu melalui bentukan dan internalisasi padanya sejak kecil terutama
melalui ajaran orangtua dan pengaruh lingkungan keluarganya, bisa diperoleh
melalui pendidikan formal, non-formal atau warisan keluarga dan bisa berupa
materi yang berkaitan dengan seni. Bourdieu sendiri menggolongkan modal
budaya menjadi tiga dimensi yaitu Capital culturel incorporé (embodied)
yang meliputi pengetahuan umum, ketrampilan, bakat turunan, nilai budaya,
agama, norma, dll; Capital culturel objectivé (objectified) yang meliputi
kepemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi. Kepemilikan tersebut bisa
diperoleh dengan cara membeli atau mendapat warisan dan Capital culturel
institutionalisé (institutionalized) yang meliputi gelar, tingkat
pendidikan, keahlian tertentu yang diperoleh melalui jenjang pendidikan.
(Bourdieu, 1994)
Modal ekonomi adalah semua sumber daya ekonomi individu atau segala
bentuk kekayaan materi yang dimiliki oleh agen termasuk pendapatan,
warisan, investasi atau tabungan yang berwujud uang, giro, emas dan
perhiasan, saham, tanah, rumah serta barang mewah lain. Bisa juga berupa
alat-alat produksi dan materi. Komponen modal ekonomi bersifat nyata, kasat
mata dan dapat dipegang. (Bourdieu, 1994)
Sedangkan modal sosial mengukur semua sumber daya yang berkaitan
dengan kepemilikan jaringan sosial berkelanjutan dari semua relasi dan
semua orang yang dikenal. Jadi hakikat modal sosial adalah hubungan sosial
yang terjalin dalam masyarakat yang mencerminkan hasil interaksi sosial
dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga terjalin pola kerjasama,
menghasilkan jaringan dan pertukaran sosial (network social), saling
percaya (trust). Sedangkan nilai, norma dan peraturan yang mendasari
hubungan sosial tersebut juga termasuk dalam modal sosial. (Bourdieu, 1980)
Teori Ruang Sosial
Selain tiga kata kunci tersebut di atas, Pierre Bourdieu juga
mengembangkan teori ruang sosial yang bertujuan untuk menjelaskan logika
dari susunan masyarakat yang terbentuk, menjelaskan lifestyle dan
dinamikanya serta menjelaskan bagaimana mereproduksi susunan masyarakat
bisa terjadi. Teori ini tidak bisa lepas dari konsep habitus, modal dan
arena yang telah dijelaskan pada point sebelumnya.
Logika terbentuknya susunan masyarakat.
Dalam La Distiction, Bourdieu menyebutkan bahwa teori ruang sosialnya
berbeda dengan teori tradisional Karl Marx yang mengatakan bahwa struktur
masyarakat tersusun berdasarkan sumber-sumber produksi ekonomi. Sumber
produksi ekonomi adalah hal-hal yang berhubungan produksi yaitu mereka yang
langsung menghasilkan barang produksi (buruh) dan mereka yang memiliki
sarana produksi (kapitalis). Kapitalisme inilah yang menciptakan dua kelas
sosial yaitu buruh dan kaum borjuis kapitalis. Kedua kelompok sosial ini
berada dalam pertarungan dan kaum borjuis mengeksploatasi kaum buruh. Jadi
produksi ekonomi telah membentuk masyarakat dengan menciptakan kelas-kelas
sosial yang bertentangan.
Bourdieu tidak setuju dengan pendapat marxisme tersebut, ia setuju dengan
apa yang dikemukakan oleh Max Weber bahwa susunan masyarakat tidak hanya
berdasarkan logika ekonomi. Bourdieu mengatakan bahwa dalam masyarakat
modern, jumlah sumber budaya yang dimiliki oleh agen lebih memegang peran
penting dalam posisi sosialnya, misalnya posisi sosial seorang individu
ditentukan oleh ijasah yang ia miliki daripada oleh kekayaan yang ia
warisi.
Teori ruang sosial Bourdieu terdiri dari dua dimensi. Dimensi pertama
dibentuk oleh modal ekonomi dan dimensi kedua oleh modal budaya. Seorang
agen memposisikan dirinya dalam ruang sosial berdasarkan fungsi dan jumlah
kedua modal tersebut serta berdasarkan relatif penting tidaknya dari masing-
masing modal tersebut secara keseluruhan. Diagram di bawah ini menjelaskan
bagaimana dimensi pertama dan dimensi kedua membentuk susunan masyarakat
sekaligus hirarkinya.
Diagram 1.
Susunan Masyarakat Menurut Teori Ruang Sosial Pierre Bourdieu
(Sumber: http://fr.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu)
" "
Penjelasan Diagram/Istilah yang ada dalam Diagram
"Capital Total=Modal secara menyeluruh "Techniciens=Teknisi "
"Professions libérales=Profesi bebas "Instituteurs=Guru SD/SMP "
"Professeurs supérieurs=Dosen "Cadre moyen "
"Cadre privé=Direksi perusahaan swasta "administratifs=Direksi menengah "
"Ingénieur=Insinyur "bagian administrasi "
"Patron commerce=Pemimpin perusahaan "Petit commercant=Pedagang kecil "
"dagang "Artisant=Pengrajin "
"Patron industrie=Pemimpin perusahaan "Employés commerce=Pegawai "
"industri "perusahaan dagang "
"Cadre public=Direksi perusahaan negeri"Employés du bureau=Pegawai "
"Artiste=Seniman "kantor "
"Professeurs secondaires=Guru SMA "Exploitants agricole=Penggarap "
"Sevices Medico-Sociaux=Pekerja layanan"pertanian/sawah "
"kesehatan masyarakat "Contremaitres=Mandor/Pengawas "
"Intermediare culturelle=Penyelenggara "pekerja "
"kegiatan budaya "Ouvriers qualifié=Buruh terlatih"
"Cadre moyens du commerce=Direksi "Ouvriers spécialiste=Buruh "
"menengah perusahaan dagang "spesialis "
" "Manœuvres=Buruh kasar "
"Piano=Piano "Tennis=Olahraga tenis "
"Golf=Golf "Voile=Berlayar "
"Equitation=Berkuda "Chasse=Berburu "
"Echecs=Catur "Natation=Berenang "
"Wishky=Wiski "Marche=Berjalan "
"Champagne=Sampanye "Eau mineral=Air mineral "
"Montagne=Gunung (naik gunung) "Guitare=Permainan gitar "
"Comédie musicale=Komedi musik "Bière=Minuman bir "
"Pétanque=Permainan pétanque "Pernod=Nama minuman ( ?) "
"Pèche=Memancing "Belot=Permainan kartu "
"Football=Olahraga Sepak bola "Vin rouge ordinaire=Anggur merah "
" "biasa "
Diagram di atas menjelaskan posisi individu yang mempunyai modal
ekonomi lebih banyak daripada modal budaya akan menempati daerah sebelah
kanan atas. Kelompok sosial ini biasanya berprofesi sebagai pengusaha
sukses, sebaliknya individu yang mempunyai modal budaya lebih banyak
daripada modal ekonomi akan menempati daerah sebelah kiri atas, kelompok
sosial ini biasanya berprofesi sebagai dosen di Universitas, seorang
insinyur, seorang artis sukses, dll. Capital Total + menunjukkan jumlah
kedua modal tersebut paling banyak dan makin turun makin mendekati Capital
Total – menunjukkan makin sedikit jumlah kedua modal tersebut dimiliki oleh
individu.
Bourdieu menegaskan bahwa visi-nya tentang ruang sosial adalah
relasional, maksudnya posisi masing-masing agen tidak tampak bila berdiri
sendiri. Posisi itu akan tampak bila dibandingkan dengan jumlah modal yang
dimiliki oleh agen lain. Modal ekonomi dan modal budaya merupakan hal
paling penting dalam membentuk susunan masyarakat tetapi dua modal lainnya
yaitu modal sosial dan modal simbolik akan menunjang posisi agen dalam
menduduki tempat penting. Melalui teori tersebut di atas, dapat dipahami
bagaimana susunan masyarakat bisa terbentuk.
Lifestyle dan dinamikanya.
Bagi Bourdieu lifestyle individu merupakan cerminan posisi sosial mereka.
Bourdieu menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara cara hidup,
selera seni, cara bertindak dan cita rasa (rasa suka dan tidak suka)
seorang individu dengan posisi sosialnya dalam susunan hirarkis masyarakat.
Habitus-lah yang menjadi mediasi dasar dari korelasi ini. Seorang individu
pada posisi sosial tertentu akan memperoleh disposisi-disposisi budaya
tertentu pula. Sebagai contoh, seorang anak buruh akan menerima disposisi-
disposisi sebuah kehidupan dimana kebutuhan ekonomi merupakan hal yang
utama, seperti kehidupan buruh iru sendiri; misalnya pandangannya terhadap
makanan, bagi mereka yang penting mengenyangkan, tidak memperhatikan nilai
gizi-nya ; pandangan terhadap seni, mereka lebih memahami aliran realis,
yang dapat dinikmati dengan mudah; pandangan terhadap pakaian, mereka lebih
memilih pakaian yang memberi manfaat, bukan karena nilai keindahan.
Bourdieu juga menjelaskan bahwa dalam ruang lifestyle bermain sebuah
aspek penting dari legitimasi tatanan sosial. Lifestyle mempunyai efek
pembeda dan legitimasi, misalnya kelompok sosial yang lebih tinggi menyukai
sebuah musik yang dianggap lebih bermutu oleh masyarakat daripada kelompok
sosial yang lebih rendah. Musik merupakan sumber pembeda dalam selera
mereka. Dan pembeda ini, pada saat yang sama, merupakan sebuah legitimasi
bahwa kelompok sosial yang lebih tinggi berbeda karena mereka menyukai
musik yang berbeda.
Selanjutnya Pierre Bourdieu mengatakan bahwa antar kelompok sosial
dalam tatanan hirarkis masyarakat sebenarnya sedang dalam melakukan
pertarungan simbolik. Individu dari kelompok yang lebih rendah berusaha
meniru atau mengimitasi praktek-praktek budaya dari kelompok yang lebih
tinggi untuk menaikkan mutu diri secara sosial dalam masyarakat.
Selanjutnya individu dari kelompok yang lebih tinggi, yang peka terhadap
tindakan imitasi ini, cenderung akan merubah praktek sosial budaya mereka.
Mereka mencari praktek sosial budaya lain dan selalu mampu menciptakan
perbedaan simbolik mereka. Pengungkapan dialektik ini yaitu tindakan
imitasi dan usaha pencarian perbedaan, merupakan sumber dari perubahan
praktek-praktek budaya. Tetapi pertentangan simbolik ini hanya membuat
kelompok yang lebih rendah merugi sebab dengan melakukan imitasi berarti
mereka mengakui adanya perbedaan (diantara mereka) tanpa bisa menciptakan
budaya baru.
Sebagaimana dikatakan Bourdieu sebelumnya bahwa ruang sosial bersifat
relasional. Perbedaan simbolik antara kelompok sosial dalam tatanan
hirarkis masyarakat tidak akan tampak bila tidak ada pembedanya. Golf tidak
akan dapat dibedakan jika tidak ada olahraga lain seperti sepakbola,
sehingga orang bisa membedakannya. Meskipun perbedaan praktek sosial budaya
berubah setiap waktu seiring dengan adopsi praktek sosial budaya oleh
kelompok yang lebih rendah, tetapi perbedaan simbolik tersebut selalu ada
pembedanya.
Mereproduksi susunan masyarakat
Bagi Bourdieu, perubahan susunan masyarakat dilakukan melalui perubahan
hirarki sosial sekaligus melalui legitimasi/pengesahan dari perubahan itu
sendiri. Menurutnya pendidikan memainkan peran penting dalam perubahan
tatanan sosial di tengah masyarakat modern. Jadi Bourdieu mengembangkan
sebuah teori pendidikan yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa:
1. Pendidikan dapat mereproduksi susunan masyarakat, dengan cara mendidik
anak-anak kelas dominan untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya yang
pada waktunya nanti, memungkinkan mereka untuk dapat menempati
kedudukan/posisi-posisi penting dalam masyarakat.
2. Pendidikan melegitimasi/mengesahkan adanya penggolongan sekolah
individu. Berdasarkan « ideologie bakat bawaan », penggolongan ini
terjadi dengan tidak memperhatikan asal usul sosialnya tetapi sebaliknya
dengan memperhatikan hasil dari kemampuan yang dimiliki sejak lahir dari
individu tersebut.
Dalam bukunya La reproduction, Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron
berusaha keras untuk menunjukkan bahwa pendidikan membentuk sebuah
«kekerasan simbolik yang kuat », yang berperan memberikan
legitimasi/pengesahan sesuai dengan kekuatan asal dari hirarki sosial.
Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Bourdieu mengatakan bahwa pendidikan
mentransfer pengetahuan yang dekat dengan kelas dominan. Jadi, anak-anak
kelas dominan memiliki modal budaya yang memungkinkan untuk menyesuaikan
diri dengan tuntutan sekolah dengan mudah dan sebagai akibatnya, mereka
bisa berhasil dengan lebih baik dalam pendidikan mereka. Bagi Bourdieu, hal
itu memungkinkan adanya legitimasi mereproduksi susunan masyarakat.
Penyebab keberhasilan sekolah dari kelas dominan memang tetap tersembunyi,
sedangkan kenaikan mereka pada posisi sosial dominan, berkat tingkat
pendidikannya, diakui karena ijazah yang dimilikinya. Sebagaimana yang
Bourdieu catat, dengan menyembunyikan kenyataan bahwa anggota kelas dominan
berhasil di sekolah mereka karena memiliki kedekatan antara budaya mereka
dengan budaya pendidikan sehingga sekolah memungkinkan memberikan
legitimasi atas mereproduksi susunan sosial yang mereka dapat.
Bagi Bourdieu, proses legitimasi dijaga melalui dua keyakinan yang
mendasar. Pertama, sekolah dianggap netral dan pengetahuan-pengetahuan yang
diperoleh sebagai sesuatu yang independen. Jadi sekolah tidak dipersepsikan
sebagai penanaman sebuah perlindungan budaya yang menyerupai apa yang
dimiliki oleh golongan bojuis – yang membuat kelas kaum borjuis diakui
(selalu berada pada kelas dominan). Kedua, kegagalan atau keberhasilan
sekolah seringkali dianggap sebagai « warisan » yang dikembalikan pada
pembawaan/watak individu. Kegagalan sekolah bagi mereka yang mengalaminya,
kemudian akan dipahami sebagai sebuah kegagalan pribadi, yang dikembalikan
pada ketidakmampuannya sendiri (misalnya karena kurang pintar). Menurut
Bourdieu, « ideologi warisan» ini memainkan peran yang menentukan dalam
penerimaan oleh individu-individu sebagai takdir sekolah mereka dan takdir
sosial yang diterimanya.
Teori tentang pendidikan ini dikembangkan dalam buku Bourdieu yang berjudul
La Noblesse d'État yang diterbitkan pada 1989 dan bekerjasama dengan
Monique de Saint-Martin. Bourdieu menonjolkan cengkraman yang semakin lama
semakin kuat apa yang dinamakannya sebagai « mode perubahan yang terdiri
dari unsur pendidikan » yang menghasilkan ijazah menjadi syarat mutlak
untuk bisa memasuki perusahaan-perusahaan birokrasi modern, demikian juga
bagi kaum borjuis industri yang telah berlangsung lama untuk mentransfer
kedudukan sosialnya.
Saat ini, hampir semua kelas sosial dipaksa untuk memastikan bahwa anak-
anak mereka memperoleh ijazah agar dapat merubah kedudukan sosial mereka,
termasuk para pemilik perusahaan, mereka juga menuntut anak-anaknya untuk
memiliki ijazah bisnis agar dapat meneruskan memimpin perusahaan orang
tuanya. Hal itu telah merubah sistem pendidikan secara mendalam, khususnya
Grandes Écoles yg mengajarkan tentang kekuasaan. Bourdieu berusaha keras
untuk menunjukkan bahwa Grandes Écoles tempat diajarkan terutama tentang
kecakapan-kecakapan pendidikan tradisional, sekarang tersaingi oleh
perguruan tinggi-perguruan tinggi baru, yang hanya mengajarkan tentang
kekuasaan.
Sebagai contoh, École Normale Supérieure (ENS) telah tergeser kedudukan
dominannya dengan adanya École Normale d'Administration (ENA). Pada saat
yang sama perguruan tinggi-perguruan tinggi yang bukan unggulan, misalnya
European Business School, dengan persyaratan yang tidak terlalu ketat,
bermunculan, yang fungsinya memberikan kemungkinan kepada anak-anak yang
berasal dari kelas dominan untuk mendapatkan ijazah yang tidak bisa mereka
dapatkan dari Grandes Écoles.
Kekerasan Simbolik
Menurut Bourdieu kekerasan selalu ada di dalam lingkaran kekuasaan,
yang berarti bahwa kekerasan merupakan dasar dan hasil dari praktek
kekuasaan. Ketika kelas dominan berusaha menguasai kelas yang tidak dominan
maka akan terjadi kekerasan. Tetapi aksi dominasi kelas dominan ini sering
diupayakan supaya tindakannya tidak mudah dikenali. Mekanisme kelas dominan
dalam menguasai kelas yang tidak dominan dilakukan secara halus tetapi
kontinyu dan pasti sehingga yang didominasi tidak terasa kalau sedang
terdominasi atau tertindas. Bahkan kelas yang terdominasi tadi merasa
memang sudah sepatutnya demikian. Inilah yang disebut dengan kekerasan
simbolik.
Kekerasan simbolik merupakan penerapan dominasi sedemikian rupa
sehingga praktik dominasi tersebut diakui secara salah (misrecognized) dan
meskipun demikian ia diakui (recognized) sebagai sesuatu yang sah
(legitimate). Oleh sebab itu kekerasan simbolik yang mengambil bentuk
sangat halus ini tidak akan mengundang resistensi karena ia sudah mendapat
legitimasi sosial (Fashri, 2010:131).
Konsep violence symbolique atau kekerasan simbolik digunakan Bourdieu
dalam menggambarkan proses belajar di pendidikan formal. Seseorang yang
berhasil dalam pendidikan cenderung merupakan hasil dari perilaku budaya
dalam keluarga yang sangat luas, baik itu kebiasaan mengerjakan PR,
kebiasaan belajar sampai pada hal-hal yang seolah-olah tidak berkaitan
dengan akademis seperti gaya berjalan, cara berpakaian atau cara
berbicara/aksen. Anak-anak dari kalangan atas cenderung telah mempelajari
perilaku-perilaku ini dari lingkungan keluarga mereka sehingga mereka tidak
merasa kesulitan mengikuti pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka
yang juga mempunyai budaya yang sama. Sebaliknya anak-anak yang berasal
dari kalangan bawah tidak mempelajarinya dari keluarga sehingga mereka
kesulitan mengikuti pola-pola yang diharapkan oleh guru dan mereka tampak
susah diatur yang berujung pada kegagalan studinya. Apabila ingin berhasil
dalam pendidikan formal maka bersikap, bertindak dan berperilakulah seperti
anak-anak dari kalangan atas.
Konsep ini menjelaskan bagaimana kelas atas yang dominan dalam
masyarakat dapat memaksakan ideologi, budaya atau gaya hidup mereka kepada
kelompok kelas bawah. Masyarakat kelas bawah dipaksa untuk menerima,
mengakui dan mempraktekkan ideologi, budaya atau gaya hidup kelas atas yang
memang dianggap lebih layak dipraktekkan dan membuang jauh-jauh ideologi
budaya atau gaya hidup kelas bawah mereka (Martono, 2012).
Pengaruh Pemikiran atau Teori Sebelumnya
Seperti telah diketahui bersama bahwa tidak ada satupun teori sosial
yang lahir tanpa pengaruh dari teori lain sebelumnya. Pengaruh teori sosial
terhadap teori yang lahir sesudahnya dapat dilihat melalui dua jalan;
pertama, mengikuti sebagian konsep (kemudian mengembangkannya) dari teori
sebelumnya dan kedua, tidak sependapat dengan teori sosial sebelumnya.
Teori sosial Pierre Bourdieu merupakan sintesis dari para teoretisi
klasik seperti Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber. Dari Weber,
Bourdieu mengambil dimensi penting dari pengakuan/legitimasi simbolik semua
dominasi dalam kehidupan sosial, seperti gagasan tatanan sosial, yang dalam
teori Bourdieu disebut sebagai des champs atau arena. Bourdieu mengambil
konsep kapital dari Karl Marx, hanya saja Bourdieu memandangnya dari semua
dimensi kegiatan sosial seperti budaya, politik dll, tidak hanya dalam
dimensi ekonomi seperti teori yang dikemukakan Karl Marx. Dari Durkheim,
Bourdieu mendapat teori deterministe dan melalui tangan Marcel Mauss serta
Claude Levi-Strausse, ia kemudian menjadi penganut Strukturalisme.
Selain itu Ludwig Wittegenstein juga termasuk teoretisi yang menjadi
sumber inspirasi bagi Bourdieu, terutama pemikirannya tentang sifat aturan-
aturan yang diikuti oleh para agen sosial, dengan kata lain teori Bourdieu
yang mengatakan bahwa agen sosial pada saatnya akan mengikuti aturan-aturan
yang ditetapkan, terinspirasi oleh teori yang dikemukakan oleh
Wittegenstein.
Teoretisi lain yang sangat mempengaruhi pemikiran Bourdieu adalah Blaise
Pascal. Kalimat Bourdieu dalam artikelnya yang berjudul Meditations
Pascaliennes[7], menunjukkan tentang hal ini : « J'avais pris l'habitude,
depuis longtemps, lorsqu'on me posait la question, généralement mal
intentionnée, de mes rapports avec Marx, de répondre qu'à tout prendre, et
s'il fallait à tout prix s'affilier, je me dirais plutôt pascalien […] »
atau « Sejak lama saya sudah terbiasa menjawab secara keseluruhan, ketika
orang-orang menanyakan yang pada umumnya bermaksud tdk baik, kaitan saya
dengan Karl Marx, jika harus bergabung, secara tegas, saya cenderung
mengatakan bahwa saya adalah penganut paham Blaise Pascal […] »
Mengapa pikiran-pikiran Pierre Bourdieu (1930-2002) penting dan menarik
dalam khasanah ilmu sosial? Setidaknya, ada dua hal yang membuat pikiran
Bourdieu unik dan signifikan, terkait dengan upayanya mengatasi masalah
dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, dan kebebasan-
determinisme, yang kemudian disebutnya sebagai strukturalisme genetis,
strukturalisme konstruktivis, atau konstruktivisme strukturalis. 190 "
KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
Pertama, konsep-konsep kuncinya yaitu habitus, modal, dan field bisa
digunakan untuk menyingkap dominasi yang diasumsikan selalu ada dalam
masyarakat, dengan melacak kepemilikan atau akumulasi kepemilikan modal
masing-masing anggota masyarakat. Pada titik ini, Bourdieu keluar dari
tradisi Marxian dengan mendefinisikan model-model dominasi yang tidak hanya
berdimensi ekonomi sebagaimana Marx, tetapi juga dominasi budaya, politik,
gender, seni, dan sebagainya dalam beragam ranah. Bourdieu juga
mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolis (praktik kuasa dalam
konteks simbolis) untuk membedakan analisisnya dengan analisis Marxian
klasik, di antaranya dengan menyodorkan konsep modal simbolik, modal
kultural, modal sosial, dan modal ekonomi. Dalam kacamata Bourdieu,
hubungan atau pemetaan kekuasaan di dalam masyarakat tidak berbentuk
piramida atau tangga, tetapi lebih berupa konfigurasi yang berdasar
kepemilikan dan komposisi modal-modal yang dimiliki.
Dengan kata lain, Bourdieu mengoreksi Marx yang dianggap terlalu
memperhatikan hubungan-hubungan produksi ekonomi (mereduksi bidang sosial
hanya pada ubungan-hubungan produksi ekonomi) dan mengabaikan hubungan-
hubungan produksi budaya. Dalam pembagian kelas Bourdieu tidak sepenuhnya
mengikuti Marx yang meletakkan basis analisisnya pada hubungan produksi
ekonomi. Jika Marx membagi kelas ke dalam hubungan antagonis antara kelas
pemilik modal/feodal dengan buruh/proletar, Bourdie membaginya ke dalam
kelas dominan, borjuasi kecil, dan populer dengan merujuk pada kepemilikan
atau konfigurasi kepemilikan atas empat jenis modal.
Kedua, perspektif yang khas seperti inilah yang kemudian membuat pikiran-
pikiran Bourdieu bisa digunakan untuk menjelaskan beragam fenomena, atau
tepatnya digunakan untuk membongkar atau menyingkap dominasi (praktik
kuasa) yang ada di dalam beragam ranah, mulai ranah politik, budaya,
akademis, sastra, kesenian, jurnalistik dan sebagainya. Bahkan perspektif
yang dikembangkan Bourdieu ini kemudian mampu menyingkap kepentingan-
kepentingan dominatif di balik apa yang disebut ideologi bakat dan selera
budaya.
Secara ringkas, pemikiran Bourdieu setidaknya dibangun di atas integrasi
empat paradigma, yaitu positivisme (tampak pada analisisnya mengenai hukum-
hukum yang berlaku dalam suatu ranah berikut penggunaan data kuantitatif
dalam konsepnya tentang kelas sosial), fenomenologi (tampak pada konsep
habitus sebagai skema kesadaran tindakan seorang agen), strukturalisme
(sebagai paradigma maupun metode analisis), dan Marxisme (tampak pada
kepekaan terhadap relasi kuasa dalam struktur ranah dan mewujud dalam
konsepnya tentang dominasi serta kekerasan simbolik).
Sampai ajal menjemputnya pada 23 Januari 2002, Bourdieu telah menulis
puluhan bahkan ratusan tulisan yang tersebar ke dalam bentuk buku maupun
jurnal.Pikiran-pikiran khas itu tidak lahir dari ruang hampa, tetapi dari
beragam konteks, yaitu konteks pengalaman hidupnya sendiri, konteks sosial-
politik di Prancis saat itu, serta konteks perkembangan ilmu sosial yang
terjadi di Eropa (Prancis) dan Amerika Serikat waktu itu.
Biographie Pierre Bourdieu
Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di sebuah desa kecil yang bernama
Denguin, di wilayah Pyerenia Atlantik, Prancis. Masa kecil dilewatkannya
dalam kehidupan pedesaan yang sederhana. Bisa disebut, dia berasal dari
keluarga yang kurang berpendidikan. Ayahnya tidak pernah menyelesaikan
sekolah formal, meski ibunya masih bisa melanjutkan pendidikan formalnya
sampai usia 16 tahun. (Grenfell: 2008)
Lulus dari sekolah dasar, Bourdieu melanjutkan pendidikan ke Pau, sebuah
kota yang letaknya cukup jauh dari desanya. Di sini, dia mulai menunjukkan
bakat akademiknya dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dia kemudian
menempuh pendidikan di Louis-le-Grand, Paris, yang disebut-sebut sebagai
"tempat pelatihan" untuk memasuki kampus elite di Paris yang bernama Ecole
Normale Superieure (ENS). Pada tahun 1951, Bourdieu lulus tes ke ENS, dan
memilih menekuni filsafat sampai lulus tahun 1951.
Di sinilah terjadi ketegangan dan traumatisme yang kemudian mempengaruhi
warna gagasan Bourdieu. Gagasannya dipengaruhi trauma saat dia dicerabut
dari asal-usulnya ketika dia memasuki Louis-le-Grand di Paris dan kemudian
ENS di Paris. ENS adalah sekolah tinggi yang amat prestisius. Di kampus itu
juga belajar tokoh-tokoh ilmu sosial seperti Sartre, Levinas, atau
Foucoult.
Di ENS, rasa rendah diri mengelayuti hatinya karena merasa berasal dari
daerah terpencil yang nyaris tak dikenal. Dunia yang bukan lingkungannya
membuatnya gagap, terutama saat berhadapan dengan rekan-rekannya yang
kebanyakan berasal dari kalangan borjuis. Mereka tampil cerdas, terpelajar,
lincah dalam bicara. Mereka memiliki kelenturan dalam menggunakan bahasa-
cerdik, baik dalam tulisan maupun tutur kata. Sementara bagi Bourdieu,
bahasa-cerdik bukanlah bahasa ibu. Kendati berhasil dalam karir
intelektual, tulisannya tidak memiliki alur penalaran yang mudah. Kalimat-
kalimatnya banyak diwarnai parafrase, yang merupakan ungkapan tak percaya
diri yang ingin menjelaskan segalanya supaya tidak disalahmengerti. Meski
sudah sering diundang sebagai pembicara, tetap saja dia bukan orator yang
fasih. (Haryatmoko: 2003)
Rasa rendah diri itulah yang sepertinya "membimbing" Bourdieu membentuk
cara berpikirnya yang tajam membongkar dominasi dalam masyarakat, dan tidak
hanya meletakkan basis analisisnya di atas hubungan produksi ekonomi
melainkan juga budaya. Konsep-konsep khasnya seperti habitus, modal, dan
ranah (yang kemudian digunakan untuk membongkar atau menyingkap dominasi di
dalam beragam ranah) terlihat seperti cerminan kehidupan masa kecil dan
mudanya yang diselubungi rasa rendah diri atau perasaan keterasingannya
dari lingkungan.
Lulus dari ENS, Bourdieu berpindah-pindah mengajar di berbagai tempat,
mulai di Moulins, Fakultas Satra di Alger, Lille, dan menduduki jabatan-
jabatan prestisius seperti direktur Ecole des Hautes Etudes en Sciences
Sociales (EHESS), direktur pusat kajian sosiologi Eropa dan majalah Actes
de la Rocherche en Sciences Sociales, editor di penerbit Le Sens Common.
Pada masa-masa ini, dia menulis berbagai buku yang diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa.
Dari Filsafat ke Sosiologi Kritis
Bourdieu mengalami peristiwa yang kemudian ikut mempengaruhi karir
akademisnya dari menekuni filsafat menjadi sosiologi (kritis), yaitu
keterpaksaannya mengikuti wajib militer dan keterlibatannya dalam gerakan-
gerakan sosial-politik. Peristiwa itulah yang membuatnya kian tajam menyoal
dominasi.
Pada 1956, saat masih mengajar di Moulins, dia mendapat panggilan wajib
militer ke Aljazair. Pada tahun 1956 dia tiba di Aljazair sebagai serdadu
dan filsuf, namun pulang ke Prancis pada tahun 1960 sebagai etnografer
otodidak dan antropolog sosial. Kehadirannya sebagai serdadu yang juga
filsuf di Aljazair membuatnya senantiasa berupaya menangkap realitas akibat
pendudukan Prancis sebagai bagian dari refleksi teoritisnya (Jenkins:
1992).
Saat tiba di Aljazair, Bourdieu melihat sejumlah kondisi sosial-politik
yang melingkupi Aljazair di bawah kolonialisme Prancis. Pertama, terdapat
ketegangan antara bangsa Barbers Arab, penduduk minoritas yang merupakan
warga asli, dan ―pied noir" (warga Prancis yang menetap di sana). Kedua,
dia menemukan adanya ketidakstabilan dan kegoyahan pemerintah (penguasa)
yang saat itu dikuasai Fourth Republic. Ketiga, perasaan terluka yang
dialami pasukan Prancis menyusul kekalahan perang di Indo-China pada bulan
Mei 1954 (Robin: 1991).
Ketegangan antara orang Eropa dan penduduk Aljazair ini memberi pengaruh
pada hasil karya Bourdieu, yang lalu diterbitkan dengan judul Sosiologie de
l'Agerie, yang ikut memposisikan dirinya dalam kelompok orang besar dalam
ilmu sosial. Dengan menggunakan strukturalisme Saussure dan Levi Strauss,
Bourdieu memberi penafsiran terhadap bentuk rumah suku Kabyle dan menemukan
oposisi binernya. Studi ini yang disebut-sebut sebagai awal Bourdieu
meninggalkan dikotomi objektivis dan subjektivis (Jenkins: 1992). Dalam
buku ini, Bourdieu terlihat meninggalkan perspektif filsafat menuju
antropologi sosial. Perubahan yang terlihat dipengaruhi oleh keprihatinan
mendasar Bourdieu terhadap lingkungan sosial dan hasratnya terhadap
perubahan.
Pengalamannya menjadi bagian kelompok sosial yang didominasi membuat
perjalanan intelektualnya sampai pada keputusan melibatkan diri ke dalam
gerakan politik dan alternatif pada dekade 1990-an. Awal keterlibatannya ke
dalam dunia politik sebenarnya dimulai pada tahun 1984 dan 1988, Bourdieu
menjadi anggota komite yang dibentuk pemerintah sosialis di bawah Francois
Mitterand untuk mengkaji ulang kurikulum dan sistem pendidikan di Prancis.
Namun keterlibatannya tidak lama. Pada 1993, dia menerbitkan buku The
Weight of the World yang mengungkapkan penderitaan sosial di Prancis yang
diakibatkan kebijakan neoliberal yang diadopsi pemerintah sosialis di sana.
Beruntun, dia menulis serangkaian buku dengan tema yang sama (Grenfell:
2008).
Pada periode 1990-an, Bourdieu menjelma menjadi figur publik atau
intelektual yang berpengaruh. Seiring kian banyaknya karya yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, ketertarikan kepada Bourdieu kian
tumbuh di daratan Inggris Raya dan Amerika Serikat. Pada akhir 1980-an, dia
telah menjelma menjadi salah satu ilmuwan sosial Prancis yang paling banyak
dikutip di Amerika Serikat, bahkan mengalahkan nama besar seperti tokoh
strukturalis Claude Levi-Strauss. Sumbangannya terhadap kajian antropologi,
sosiologi bahasa, relasi budaya dan kelas sosial, dan sosiologi kebudayaan
mendapat pengakuan luas. Karya-karyanya menjadi referensi standar kajian-
kajian sosiologi kebudayaan. Tema-tema karyanya merentang luas dari
etnografi masyarakat petani di Aljazair, analisis sosiologis terhadap
seniman dan penulis pada abad ke-19, pendidikan, bahasan, selara konsumen
dan selera budaya, agama, sampai sains dalam masyakarat Prancis modern.
Melalui karya-karyanya, Bourdieu mengukuhkan dirinya sebagai teoritisi
sosial besar yang juga melakukan riset empiris (Swartz: 1997).
Dia kemudian juga muncul di radio dan televisi, sesuatu yang dia hindari
sebelumnya, dan menjadi partisipan aktif dari kelompok-kelompok penekan.
Pada fase ini, Bourdieu mulai menjadi aktivis politik. Beda dengan sejumlah
intelektual Prancis pada masanya, Bourdieu bergabung dengan aktivis di luar
kampus dan terlibat langsung dalam aksi protes atau pemogokan (Susen dan
Turner: 2011).
Dia juga menyerukan intelektual mendukung pemogokan pekerja kerata api di
Prancis pada 1995. Pada Maret 1996 dia bahkan menandatangani petisi
pembangkangan sipil melawan hukum Prancis yang memperkeras legislasi
imigrasi. Bourdieu juga membela kaum tunawisma, pensiunan, kaum buruh,
aktivis antirasisme, lesbian-gay, dan imigran. Saat bekas kampusnya
diduduki para pengangguran pada 1998, Bourdieu memihak pendudukan tersebut.
Dia juga melawan penghapusan subsidi atas nama kompetisi global dan pasar
bebas. (Mutahir: 2011) Bourdieu dipandang telah menciptakan posisi baru
dalam ranah intelektual: posisi intelektual yang mau terlibat dalam kerja
emansipasi.
Karena tulisan dan aktivitas kritisnya, Bourdieu disemati berbagai julukan.
Dia disebut sebagai nabi, dewa, sosiolog teroris (sociological terrorist),
diktator intelektual (intellectual dictator), pemimpin pemujaan (cult
leader), dan sebagainya. (Cabin dalam Dortier: 2005) Nama Bourdieu bahkan
diotak-atik dalam permainan kata menjadi "bour-dieu," yang dalam bahasa
Prancis berarti dewa. Pemberontakan sang dewa ini baru berhenti pada 23
Januari 2002 setelah tubuhnya takluk oleh kanker.
Pierre Bourdieu soutient en 1953, sous la direction d'Henri Gouhier, un
mémoire sur les Animadversiones de Leibniz[réf. nécessaire]. En plus de son
cursus, il suit aussi le séminaire d'Éric Weil à l'École pratique des
hautes études sur la philosophie du droit de Hegel. Agrégé de philosophie
en 1954, il s'inscrit auprès de Georges Canguilhem pour une thèse de
philosophie sur les structures temporelles de la vie affective, qu'il
abandonne en 1957 afin de se consacrer à des études sociologiques de
terrain.
Pada tahun 1953 Pierre Bourdieu mengerjakan skripsi/tesis, atas bimbingan
Henri Gouhier, tentang Animadversiones Leibniz [r f. diperlukan]. Selain
studinya, dia juga mengikuti seminar ErickWeil di l'École pratique des
hautes études tentang filsafat hukum Hegel. Bergabung pada filososfie pada
tahun 1954, ia mendaftarkan diri, atas persetujuan Georges Canguilhem,
untuk sebuah tesis filosofie tentang struktur2 temporal dari kehidupan
afektif, yang kemudian ia tinggalkan pada tahun 1957 dengan tujuan lebih
berkonsentrasi pada studi bidang sosiologi.
Georges Canguilhem place son thésard à proximité de Paris, comme professeur
au lycée de Moulins en 1954-1955. Mais Pierre Bourdieu doit remplir ses
obligations militaires. Après avoir refusé de suivre la formation d'élève
officier de réserve, il est d'abord muté à Versailles au service
psychologique des armées. Cependant, il est trouvé en possession d'un
numéro censuré de L'Express relatif à la question algérienne. Il aurait
ainsi perdu son affectation pour raisons disciplinaires, et, rapidement
embarqué avec des jeunes appelés en Algérie dans le cadre de la «
pacification », il y accomplit l'essentiel du service militaire, qui dure
deux ans.
Georges Canguilhem menempatkan Bourdieu di SMA Moulin untuk mengajar dari
tahun 1954 sampai 1955. Tapi Pierre Bourdieu harus memenuhi wajib
militernya. Setelah menolak (wajib militer) untuk mengikuti pelatihan
d'élève officier de réserve , ia pindah ke Versailles pada pelayanan
psikologi tentara. Pada saat itu ia ditemukan mempunyai nomer ……….. dan
akhirnya dia wajib militer di Aljazair dalam bingkai « pengamanan/usaha
menegakakan keamanan » di Aljazair., selama dua tahun. (1956-1957)
Il fait d'abord partie d'une petite section qui garde un dépôt d'essence.
Puis, en raison de ses capacités rédactionnelles, il est affecté dans les
services administratifs de la Résidence Générale, sous les ordres de Robert
Lacoste. De 1958 à 1960, souhaitant poursuivre ses études sur l'Algérie, il
prend un poste d'assistant à la Faculté des Lettres d'Alger.
Pertama, ia bertugas untuk menjaga sebuah pom bensin. Kemudian dengan
alasan kemampuan nya dalam redaksional kemudian ia bertugas di pelayanan
administratif di la Résidence Générale, dibawah pimpinan Robert Lacoste.
Dari tahun 1958 sampai 1960, berharap bisa melanjutkan studi nya di
Aljazair, ia mengambil posisi sebagai asisten di Fakultas Sastra Aljazair.
Cette période algérienne est décisive : c'est là, en effet, que se décide
sa carrière de sociologue. Délaissant les « grandeurs trompeuses de la
philosophie », il conduit ainsi toute une série de travaux d'ethnologie en
Algérie, qui aboutissent à l'écriture de plusieurs livres. Ses premières
enquêtes le mènent dans les régions de Kabylie et de Collo, bastions
nationalistes où la guerre fait rage. Sa Sociologie de l'Algérie, synthèse
des savoirs existants sur ces trois départements français, est publiée dans
la collection « Que sais-je ? » en 1958. Après l'Indépendance algérienne,
il publie, en 1963, Travail et travailleurs en Algérie, étude de la
découverte du travail salarié et de la formation du prolétariat urbain en
Algérie, en collaboration avec Alain Darbel, Jean-Paul Rivet et Claude
Seibel. En 1964, il publie Le Déracinement. La crise de l'agriculture
traditionnelle en Algérie, en collaboration avec son ami algérien
Abdelmalek Sayad, sur la destruction de l'agriculture et de la société
traditionnelle, et la politique de regroupement des populations par l'armée
française. Après son retour en France, Bourdieu profite, jusqu'en 1964, des
vacances scolaires pour collecter de nouvelles données sur l'Algérie
urbaine et rurale de l'époque.
Periode Aljazair ini sangat penting : mulai saat itulah, pada kenyataannya
, ia memutuskan karirnya sebagai seorang sosiolog . Meninggalkan "se-jumlah
filsafat yg menyesatkan ", ia kemudian memimpin serangkaian kerja Ethnology
di Aljazair, yang mengarahkannya untuk menulis beberapa buku . Angket
pertamanya membawa dia ke daerah Kabylia dan Collo , kubu nasionalis di
mana perang berkecamuk . Sosiologinya ttg Aljazair , sintesis pengetahuan
yang ada pada tiga departemen Perancis ini, diterbitkan dalam koleksi " Que
sais-je ? " pada tahun 1958 . Setelah kemerdekaan Aljazair pada tahun 1963,
ia menerbitkan, Travail et travailleurs en Algérie, yaitu mempelajari
penemuan upah buruh dan pembentukan proletariat perkotaan di Aljazair,
bekerja sama dengan Alain Darbel , Jean - Paul Rivet dan Claude Seibel .
Pada tahun 1964 , bekerja sama dengan teman Aljazair Abdelmalek Sayad, ia
menerbitkan Le Déracinement. Krisis pertanian tradisional di Aljazair,yaitu
ttg kehancuran pertanian dan masyarakat tradisional , dan politik populasi
pengelompokan oleh tentara Perancis. Setelah kembali ke Prancis (th 1960)
sampai 1964, Bourdieu mengambil manfaat liburan sekolah untuk mengumpulkan
data baru pada perkotaan dan pedesaan Aljazair pada saat itu .
Le terrain ethnologique de la Kabylie ne cessa, même après qu'il eut cessé
de s'y rendre, de nourrir l'œuvre anthropologique de Pierre Bourdieu. Ses
principaux travaux sur la théorie de l'action Esquisse d'une théorie de la
pratique (1972) et Le Sens pratique (1980) naissent ainsi d'une réflexion
anthropologique sur la société kabyle traditionnelle. De même, son travail
sur les rapports de genre, La Domination masculine (1998), s'appuie sur une
analyse des mécanismes de reproduction de la domination masculine dans la
société traditionnelle kabyle.
Penelitian etnologis tentang Kabylia tidak pernah berhenti, bahkan setelah
ia pulang dari sana, tetap memperkaya karya antropologis dari Pierre
Bourdieu. Pekerjaan utama ttg teori Action Esquisse d'une theorie de la
pratique (teori tindakan sketsa teori praktek) (1972) dan teori Le sens
pratique (1980) lahir dari refleksi antropologi tentang masyarakat Kabyle
tradisional. Demikian pula, karyanya pada hubungan gender, La Domination
Masculine (1998), didasarkan pada analisis mekanisme reproduksi dominasi
laki-laki dalam masyarakat Kabyle tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre, 1979, La Distinction, Critique Sociale du Jugement, Les
éditions de minuit, Paris
Bourdieu, Pierre, 2010, Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi
Budaya, terjemahan, Kreasi Wacana, Bantul
Bourdieu, Pierre, Méditations Pascaliennes, Paris, Seuil, coll. « Liber »,
1997, 316 p. (ISBN 2020320029) dalam
http://fr.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu
Bertens, K. 1996, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Prancis, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoritis Gerakan
Sosial Menurut Pierre Bourdieu, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-
52, November-Desember, 2003)
Ritzer George, 2012, Teori Sosiologi, Dari Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern, Pustaka Pelajar: Jakarta
http://www.jesuismort.com/biographie_celebrite_chercher/biographie-
pierre_bourdieu-2944-pour_imprimer.php
Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropnasi, Reflektivi
Pemikiran Pierre Bourdieu. Bantul Yogyakarta: Juxtapose
Wempi, Jefri Audi. 2012. Teori Produksi Kultural: Sebuah Kajian Pustaka.
Exposure – Journal of Advanced Communication, Vol.2, No.1, Februari.
Bédard, Melanie. 2003. La famille et l'école: entre le particulier et
l'universel. Les conceptions de Condorcet, Hegel, Durkheim, Parsons,
et Bourdieu et Passeron. (Skripsi yang tidak diterbitkan) Diakses
Maret 17, 2016
http://theses.ulaval.ca/archimede/fichiers/21211/ch05.html
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi
Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
PIERRE BOURDIEU, SANG JURU DAMAI dalam KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014,
Hal. 107-206
Nanang Krisdinanto
Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Email:
[email protected]
-----------------------
[1] Teori Sosiologi, Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, George Ritzer, 2012, Pustaka Pelajar: Jakarta, hal. 852
[2] Idem hal 887
[3] Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi
Budaya, terjemahan, 2010, kreasi Wacana, Bantul
[4] http://etnosentrisna.blogspot.com/2012/10/pierre-bourdieu-arena-
reproduksi.html
[5] Lihat buku la distinction bab 2 halaman 145-146
[6] Lihat buku la distinction bab 2 halaman 122-126
[7] Pierre Bourdieu, Méditations pascaliennes[8]
-+? ? ' '´µ¿ÃñõZ
^
ž
Ý
íÛÈíÛ¶© ŠwŠfYwYKYKYKY: hØ`wh"t~OJ[9]QJ[10]^J[11]mH sH hXöh"t~, Paris,
Seuil, coll. « Liber », 1997, 316 p. (ISBN 2020320029)