Page 1 of 1
Kesultanan Aceh Darussalam
Muhammad Yardho Irhama (1206267993)
[email protected]
Abstrak
Pada jurnal ini, penulis mengambil judul Kesultanan Aceh Darussalam yang menjadi bahasan penulis untuk ditelaah lebih lanjut mengenai sejarahnya. Jurnal ini ditulis yang bertujuan mencari informasi yang mendalam pada aspek sejarah Kesultanan Aceh Darussalam mulai dari terbentuknya, tokoh-tokoh yang menjadi tumpuan kepemimpinan kesultanan, masa kejayaan kesultanan yang menjadi masa dimana Kesultanan Aceh Darussalam sebagai acuan ilmu pengetahuan Agama Islam di Nusantara, strategi militer yang diterapkan oleh kesultanan Aceh, serta proses keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam pada awal abad ke-20. Metode penyusunan yang dilakukan penulis pada masa penulisan jurnal ini adalah pengambilan data yang berasal dari berbagai sumber kepustakaan, seperti buku, jurnal ilmiah, serta artikel yang berhubungan dengan jurnal yang akan penulis buat. Setelah itu, penulis membaca dan menelaah data dengan memperhatikan kejelasan data dan relevansi dari setiap informasi yang didapat, serta dilakukan penyelidikan lebih lanjut dengan membandingkan suatu data dengan data yang lain yang terkait. Setelah itu, barulah penulis menulis suatu isi yang akan dibahas pada jurnal ini, lalu dibuatlah kerangka jurnal yang sistemasis, kemudian memasukan tulisan isi jurnal ke dalam jurnal ini. Setelah semua tersusun, maka dibuatlah berbagai kelengkapan format jurnal yang dibutuhkan.
Kata Kunci: Masjid Baiturrahman; Snouck Hugronje; Sultan Ali Mughayat Syah; ulama; Sultan Iskandar Muda.
Pendahuluan
Begitu banyaknya hal yang membuat penulis tertarik akan informasi-informasi tentang Kesultanan Aceh Darussalam salah satunya adalah kesultanan yang dapat bertahan dan terus memerangi penjajah hingga abad ke-20. Kesultanan Aceh Darussalam sangat kuat dalam mempertahankan wilayah yang termasuk wilayah nusantara pada masa itu. Berbagai faktor menjadikan kesultanan ini tetap kokoh dibawah panji-panji Islam yang senantiasa mereka pegang sebagai dasar dari kebijakan kesultanan. Ini merupakan suatu hal yang menarik bagi penulis yang kala ini menemui berbagai kasus permasalahan tentang agama Islam yang konon menjadi suatu belenggu terhadap kemajuan zaman. Namun, penulis percaya akan keberhasilan yang dapat dicapai dengan keteguhan memegang dasar syariat Islam seperti yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh Darussalam.
Selain itu, juga informasi-informasi yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh pada masa itu menjadi faktor lain dalam penulisan jurnal ini. Sangatlah berharga sekiranya penulis menjelaskan dalam jurnal ini tentang hal-hal yang menyangkut dengan Kesultanan Aceh Darussalam, mulai dari terbentuknya hingga keruntuhannya. Dari sana kita dapat menelaah lebih dalam bagaimana peradaban Kesultanan Aceh Darussalam terbangun hingga proses keruntuhannya, serta kesultanan inilah yang menjadi acuan keilmuan Agama Islam Nusantara oleh berbagai pihak, khususnya di Nusantara.
Jurnal ini ditulis berangkat dari dibutuhkannya suatu informasi dan telaah lebih lanjut tentang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Informasi yang banyak tentang Kesultanan Aceh Darussalam dari berbagai tempat menjadikan jurnal ini penting untuk dibuat secara sistematis. Serta tidak ketinggalan juga merupakan suatu proses pembelajaran bagi penulis dalam menyelesaikan mata kuliah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia.
Penulis memiliki tujuan yang menjadi sarana pembelajaran penulis dalam penulisan-penulisan karya ilmiah, khususnya jurnal. Selain itu, penulis juga bertujuan untuk dapat mengetahui hasil telaah dari berbagai informasi yang penulis kumpulkan, yaitu mengetahui sejarah Kesultanan Aceh Darussalam mulai dari berdirinya hingga proses keruntuhannya yang membutuhkan banyak telaah mendalam, serta penulis dan pembaca juga dapat menjadikan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam sebagai bahan informasi untuk mengambil hikmah dari setiap pelajaran yang ada dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Metodologi dan kerangka teori
Jurnal ini dibuat dengan pendekatan metodologi sejarah. Hal ini disebabkan pembahasan pada jurnal ini merupakan tentang suatu tinjauan sejarah yang lebih dibahas. Pengambilan data yang penulis lakukan yaitu, pertama dengan mengumpulkan data yang diperlukan terkait hal yang akan dibahas. Pengumpulan data dan informasi ini meliputi tinjauan tentang awal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, tokoh-tokoh yang berperan selama peradaban Kesultanan Aceh Darussalam berlangsung, masa kejayaan kesultanan, hingga pada proses kehancuran kesultanan. Data-data yang diambil berasal dari berbagai sumber seperti buku, dan artikel yang terkait dengan pembahasan.
Proses kedua setelah dilakukannya pengambilan data yaitu pemilihan data dan teori yang dianggap relevan dan kuat. Ini didasarkan pada kejelasan isi serta penguatan suatu data dengan data yang lain. Proses selanjutnya yaitu pembuatan kerangka jurnal yang dibutuhkan, mengisi hal-hal yang diperlukan pada bagian-bagian jurnal, lalu disusunlah isi yang akan dibahas dengan berteori pada bahan bacaan dan data yang telah dipilih untuk menjadi landasan penulisan.
Pembahasan pada jurnal ini berangkat dari teori yang menurut penulis relevan dengan hal yang ingin penulis bahas di jurnal ini. Teori pertama adalah tentang ketegasan seorang pemimpin dalam berprinsip akan didukung oleh pengikutnya yang setia. Hal ini akan menjadi modal dasar bagi Sultan Ali Mughayat Syah dalam mengembangkan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa awal berdirinya. Bagian yang kedua yaitu masyarakat yang memiliki pemahaman dan keyakinan yang kuat akan nilai-nilai agama mereka –dalam hal ini adalah Agama Islam—menjadi bekal mereka dalam membangun suatu peradaban secara bersama-sama. Selain itu, masyarakat yang sangat taat pada Ajaran Islam dan para pemimpin mereka yaitu sultan dan para ulama lebih kuat masyarakatnya dalam hal persatuan. Dan sebagai teori yang penulis dapat pada bagian akhir adalah suatu pernyataan bahwa keruntuhan suatu peradaban Islam dapat runtuh bukan dengan cara konfrontasi oleh pihak penjajah, namun dengan cara infiltrasi yang dilakukan Snouck Hugronje.
Pembahasan
Asal mula Kesultanan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri ketika masa-masa kemunduran kerajaan Islam pertama nusantara, yaitu Kerajaan Samudera Pasai sekitar abad ke-13. Kemunduran Kerajaan Samudera Pasai salah satunya disebabkan oleh pertempurannya dengan Majapahit serta masuknya bangsa Portugis di wilayah Aceh. Kemunduran ini menyebabkan kekuatan Pasai di Aceh semakin redup. Setelah itu, muncullah Aceh Darussalam dengan pendirinya untuk mengusir penjajah Portugis.
Menurut penelitian mengenai makam para sultan-sultan Aceh, ditemukan adanya keterangan tentang ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang berada di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Keterangan tersebut terkuak pada makam Sultan Firman Syah yang pernah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam. Dari sana juga diketahui Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada tanggal 1 Jumadil Awal 913 H, atau bertepatan dengan 8 September 1507 masehi. Selain itu, keterangan yang didapat mengenai Kerajaan Aceh Darussalam adalah tentang pendiri dan penguasa pertama, yaitu Sultan Ali Mughayat Syah. Keterangan lain menyebutkan bahwah Kerajaan Aceh Darussalam adalah penerus dari Kerajaan Lamuri. Hal ini didapat dari ditemukannya beberapa keterangan yang berasal dari makam Sultan Munawwar Syah yang dianggap sebagai moyang dari Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Lamuri yang berpindah ibukota ke Mahkota Alam ini berkembang menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada abad ke-13 kerajaan Lamuri telah ada pada teks-teks Cina yang disebut Lan-wu-li. Pelabuhan di Lamuri menjadi salah satu pelabuhan yang berpengaruh di Nusantara. Penghasilan yang didapat adalah mengenai ramainya pelabuhan tersebut oleh kapal-kapal asing. Mereka membeli rempah-rempah, khususnya lada, untuk dibawa ke berbagai negara. Kapal-kapal tersebut umumnya berasal dari India, Arab, Turki, Roma, Persia, Gujarat, dan Jawa.
Ditemukan oleh beberapa tokoh –seperti Marco Polo dan Rasid ad-Din- bahwa disana telah ada agama Islam pada sekitar abad ke-13. Pasca kekuatan Majapahit dengan Lamuri sebagai wilayah bawahannya yang berada di Aceh, kekuatan beralih pada dua kesultanan besar di Aceh, yaitu Pasai dan Pidir. Bahkan, dahulu Pidir yang menguasai pintu masuk ke selat-selat, yang menjadi kesempatan besar untuk meramaikan pelabuhannya.
Aceh abad ke-16
Keadaan geografis Aceh yang strategis sangat menguntungkan. Aceh yang berada di ujung pulau sumatera menjadi tempat persinggahan berbagai kapal, baik dari dalam negeri atau luar negeri. Di Banda Aceh sebagai ibukota kesultanan Aceh memiliki teluk untuk kapal-kapal merapat, namun ada pulau-pulau kecil yang mengganggu sistem pendaratan kapal-kapal besar yang akan merapat, seperti Pupau Weh, Breuh, dan Bunta. Selain itu, setelah kapal-kapal merapat, ada keadaan geografis yang tidak dapat dihindari oleh kapal-kapal yang ingin mendarat, yaitu angin-angin keras. Ini terjadi dimungkinkan karena berbatasan langsung dengan lepas pantai samudera hindia.
Setelah menyusuri tepi pantai dan teluk di Banda Aceh, disana terdapat sungai yang bermuara dilaut tersebut. Dari pinggir sungai, terdapat sebuah pertahanan alamiyah yaitu kubu bundaran. Selain itu, juga terdapat meriam-meriam yang mengarah ke sungai dan dijaga oleh tembok sebagai benteng. Jika lebih ke dalam lagi terdapat taman indah yang dengan kolam dan jalan-jalan. Taman tersebut dikelilingi parit dan dinding dari tanah berumput. Bagian kota yang terbesar adalah Istana yang berada di sebelah barat laut. Bagian tersebut tidak memiliki benteng secara fisik, disebabkan karena medan yang juga sulit untuk dilewati sebagai benteng alamiyah. Namun juga Kesultanan Aceh pada masa itu memiliki kekuatan dan kewibawaan yang tinggi di hadapan rakyatnya. Juga gajah-gajah perang yang cukup mumpuni untuk menjadi benteng istana kesultanan.
Dengan perlindungan yang cukup kuat dan armada perang yang tiada duanya, Aceh mempunyai kehidupan yang tenang dan damai. Pasar-pasar dan masjid ramai. Biasanya penduduk Aceh menjadikan lapangan yang luas sebagai pasar untuk bertransaksi. Penduduk Aceh juga biasanya bermukim di rumah yang dibuat dari alang-alang dan bambu. Hanya sedikit rumah yang terbuat dari batu. Selain itu wilayah Aceh merupakan daerah pesisir yang terkena banjir. Banyak rumah-rumah yang hanyut tersapu banjir dan dibawa ombak ke laut. Aceh juga berada dalam wilayah yang sering terjadi gempa bumi.
Sultan Ali Mughayat Syah
Kerajaan Aceh Darussalam yang berdiri atas prakarsa Sultan Ali Mughayat Syah sekaligus sebagai Sultan pertama telah mendapat tantangan di awal masa berdirinya. Belum setahun penobatan Sultan Ali Mughayat Syah sebagai Sultan pertama, Wilayah Aceh yang masih ada kekuatan Kerajaan Malaka telah diserang oleh calon penjajah yang berasal dari Portugis, yang berambisi menguasai wilayah Aceh. Pasukan yang dipimpin oleh Diogo Lopez de Sequeira itu kalah menghadapi pasukan Kerajaan Malaka.
Pasca kekalahan tersebut, Portugis berusaha menyerang lagi wilayah Aceh yang kini berhadapan dengan pasukan Aceh Darussalam dalam pertempuran pada bulan Mei tahun 1521 masehi. Pasukan Aceh yang dipimpin langsung oleh Sultan Ali Mughayat Syah ini sukses mengalahkan dan mengusir Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Britto yang tewas dalam pertempuran tersebut. Setelah kekalahan tersebut, Portugis melarikan diri ke Kerajaan Padir, namun pasukan Aceh terus mengejar hingga Portugis dan Sultan Ahmad (Raja Kerajaan Pedir) meminta perlindungan pada Kerajaan Samudera Pasai. Hingga akhirnya pada 1524 pasukan Aceh dapat menaklukan perlawanan Kerajaan Samudera Pasai. Kemudian Portugis mundur ke Perlak, namun Sultan Ali Mughayat Syah dan pasukannya terus mengejar dan menggempur Portugis. Masih dalam pengejaran, Portugis kembali mundur. Saat itu mereka mundur ke daerah Aru, namun pasukan Sultan Ali Mughayat Syah terus mengejarnya. Portugis terus dikejar oleh pasukan Sultan dan melarikan diri ke Malaka. Mereka lalu pergi ke Goa, India untuk mencari perlindungan, dan Malaka dapat dikuasai oleh pasukan Sultan Ali Mughayat Syah.
Dari kemenangan tersebut, Kerajaan Aceh Darussalam menjadi semakin kuat dengan harta rampasan perang yang didapat, juga dengan perluasan wilayah yang luas. Hal ini membuat Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kesultanan yang sangat kuat di Aceh.
Selain menaklukan Portugis beserta kerajaan-kerajaan sekutunya, pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah juga dapat menaklukan beberapa kerajaan disekitar Aceh, seperti Kerajaan Deli, Kerajaan Haru, Kerajaan Johor, Kerajaan Pahang, Kerajaan Pattani, dan Kerajaan Daya. Selain itu, Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakan dasar-dasar politik luar negeri Kesultanan Aceh Darussalam, yakni mencukupi pihak sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak lain. Selain itu Sultan juga menjalin hubungan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di Nusantara. Bersikap waspada pada kolonialisme Barat menjadi sikap yang tidak dapat ditoleran dari Sultan. Juga Sultan menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar, contohnya adalah bantuan meriam dari Turki Utsmani. Dan yang terpenting yang juga menjadi tujuan Sultan adalah menjalankan dakwah Islam ke seluruh wilayah nusantara.
Sepeninggal Sultan Ali Mughayat Syah
Sepeninggal Sultan Ali Mughayat Syah, naiklah Sultan Ad Din (putra pertama Sultan Ali Mughayat Syah) sebagai Sultan kedua Kerajaan Aceh Darussalam. Namun dengan kepemimpinannya kurang mendapat kemajuan yang diinginkan. Lalu kepemimpinan kesultanan dialihkan kepada anak bungsu sang pendiri kesultanan, yaitu Sultan Ala ad-Din Ri'ayat Syah al-Kahhar. Pada masa kepemimpinannya beliau pernah menyerang orang Batak yang bermukim di pedalaman, dengan bantuan pasukan dari berbagai belahan dunia seperti Turki.
Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki hubungan luar negeri yang sangat erat dengan beberapa kekuasaan seperti penguasa Turki. Sultan Ala ad-Din Ri'ayat Syah al-Kahar pernah mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan meriam. Namun tidak hanya bantuan senjata perang yang didapat, tetapi juga tenaga-tenaga ahli persenjataan dikirim untuk membantu Aceh melawan Portugis. Selain itu juga Sultan menyerang kerajaan yang bersekutu dan membantu Portugis, seperti kerajaan Malaka, Kerajaan Haru, dan mengalahkan Sultan Johor. Setelah menaklukan berbagai kerajaan local, Sultan Ala ad-Din Ri'ayat Syah al-Kahar mengangkat putra pertamanya yang bernama Sultan Abdullah untuk memerintah wilayah Kerajaan Haru yang telah ditaklukan. Namun karena banyaknya pertarungan dengan Portugis Sultan Abdullah wafat pada pertempuran yang terjadi tanggal 16 Februari 1568.
Kemudian Sultan Ala ad-Din Ri'ayat Syah al-Kahar wafat pada tanggal 28 September 1571, lalu digantikan dengan putra keduanya yang bernama Sultan Ali Ri'ayat Syah. Sultan Ali Ri'ayat Syah sangat menyayangi rakyatnya, namun keberhasilan ayahnya tidak dapat ia turunkan. Hingga puncaknya pada pertempuran melawan Johor, beliau ditangkap sebagai tawanan. Beliau wafat pada 18 Juni 1578 masehi yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabi'ul Awal 987 Hijriyah.
Sepeninggal Sultan Ali Ri'ayat Syah, Kesultanan Aceh Darussalam berada pada masa-masa kelamnya. Pengganti dari Sultan Ali Ri'ayat Syah adalah putranya yang bernama Sultan Muda. Namun kepemimpinan Sultan Muda tidak berlangsung lama, hanya 7 bulan karena wafat. Beliau wafat tanpa ada keturunan yang dapat mewarisi kesultanannya, lalu diangkatlah anak ke-4 dari Sultan Mansyur Syah, yaitu Sultan Sri Alam. Namun kepemimpinan Sultan Sri Alam juga tidak berlangsung lama, yaitu hanya dua bulan kepemimpinannya karena wafat dibunuh.
TIdak berbeda dengan beberapa pemimpin sebelumnya. Sepeninggal Sultan Sri Alam, ia digantikan oleh anak dari Sultan Abdullah –sultan wilayah kerajaan Haru yang wafat- yaitu Sultan Zainal Abidin. Namun Sultan Zainal Abidin juga tidak memberikan kemajuan pada kesultanan. Ia justru terbalik dengan kakeknya yaitu Sultan Ala ad-Din Ri'ayat Syah al-Kahar. Beliau memerintah secara otoriter dan tidak segan untuk berlaku kasar untuk memenuhi ambisinya. Kepemimpinan selanjutnya juga mengalami hal serupa, umur kepemimpinan yang relatif pendek, juga disebabkan karena pembunuhan. Setelah tonggak beberapa masa kepemimpinan berganti-ganti dengan durasi yang relatif pendek, muncullah seorang yang masyhur memimpin pasukan Aceh untuk menghadapi kolonial-kolonial yang semakin gencar untuk menghancurkan Aceh, yaitu Perkasa Alam yang lebih dikenal dengan nama Sultan Iskandar Muda. Pada masa ini telah terjadi serangan kolonial yang gencar yang berasal dari beberapa pasukan dari Eropa, yakni Belanda dan Inggris.
Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
Pada saat masuknya kolonial dari Inggris dan Belanda, Kerajaan Aceh Darussalam sedang mengalami krisis internal antara Sultan Ali Ri'ayat Syah sebagai pemimpin Aceh Darussalam dengan saudara kandungnya, Sultan Husin yang memimpin wilayah Pedir. Sultan Husin kecewa akan kepemimpinan saudara kandungnya itu karena dianggap tidak mampu membawa kemajuan Aceh. Kekecewaan juga dirasakan oleh Perkasa Alam yang kelak akan memimpin masa keemasan Kesultanan Aceh Darussalam. Munculnya Perkasa Alam membuat Sultan Ali Ri'ayat Syah berpikir untuk menyingkirkannya untuk mengokohkan kedudukannya. Namun niat tersebut telah diketahui oleh Perkasa Alam, kemudian ia meminta perlindungan kepada saurdara kandung Sultan Ali Ri'ayat Syah, yakni Sultan Husin di Pedir. Hal ini membuat Sultan Ali Ri'ayat Syah semakin marah. Untuk itu Sultan Ali Ri'ayat Syah menyerang Pedir dan berhasil menangkap Perkasa Alam serta memenjarakannya.
Ketika Perkasa Alam berada dipenjara, ia mendengar kabar tentang kekacauan yang terjadi pada kesultanan Aceh dan rakyatnya, serta semakin kuatnya pengaruh Portugis untuk menguasai Acer juga disebabkan ketidakmampuan Sultan Ali Ri'ayat Syah mengendalikannya. Untuk itu, Perkasa Alam meminta kepada sultan untuk dibebaskan agar dengan janji akan memukul mundur Portugis dari wilayah Aceh. Permintaan Perkasa Alam dikabulkan, lalu ia memimpin pasukan untuk melawan kolonial Portugis. Dengan segenap kemampuan pasukan Aceh, Perkasa Alam beserta pasukannya berhasil memukul mundur Portugis, serta menguasai benteng yang pernah direbut Portugis. Pada 4 April 1607 Sultan Ali Ri'ayat Syah wafat, terjadilah perselisihan dalam menentukan siapa yang berhak untuk menjadi sultan berikutnya. Dengan dukungan tokoh adat dan para pembesar kesultanan, Perkasa Alam dinobatkan sebagai sultan berikutnya yang bergelar Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam.
Masa Kejayaan
Angkatan Bersenjata
Aceh dengan kepemimpinan Sultan Iskandar Muda –yang sebelumnya telah menjadi tumpuan kemenangan dalam perang- memerlukan kekuatan militer yang mumpuni untuk meneruskan kejayaan yang ditorehkan –setidaknya oleh Sultan Ali Mughayat Syah- pada masa lampau. Selain itu, Aceh juga memerlukan kekuatan yang kuat untuk melancarkan misi-misi kerajaan yaitu membebaskan wilayah Aceh dan sekitarnya dari kolonialisme dan penjajahan –khususnya kepada Portugis dan Belanda.
Aceh memiliki armada kapal perang yang kuat. Dengan ukurang yang sederhana, namun isi dari kapal tersebut memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Panjangnya 120 kaki atau sekitar 36 meter, dan terdapat galias yang baik yang tiap galias dilengkapi dengan tiga meriam yang ampuh dengan empat puluh pon peluru. Dalam kapal itu terdapat 600-800 awak kapal tiap kapal. Dengan demikian, kapal-kapal itu menjadi kekuatan Aceh di lautan. Orang-orang kaya menjadi penopang biaya perawatan kapal-kapal tersebut, sehingga kesultanan tidak terbebani oleh biaya perawatan kapal tersebut dan dapat mengembangkan kekuatan Aceh di lautan.
Jika di lautan Aceh memiliki kapal yang sederhana namun kuat, lain halnya di daratan yang ditopang oleh kekuatan gajah-gajah yang berani dan kuat. Gajah-gajah itu tidak takut akan tembakan dan api. Gajah-gajah itu terbiasa dilatih dengan cara ditembakan suatu senjata tajam dari telinganya sehingga tidak takut akan suara tembakan. Selain itu jerami-jerami kering dibakar di dekat gajah tersebut untuk melatih gajah terbiasa melihat api.
Selain gajah, kuda juga menjadi salah satu kendaraan perang di darat. Kuda-kuda tersebut digunakan oleh pasukan berkuda sebagai pelengkap pasukan di darat. Pasukan angkatan darat berasal dari rakyat yang berjihad. Mereka berbondong-bondong ikut perang dengan tekanan dari kesultanan hingga membuat kemalasan mereka berubah menjadi kekuatan pasukan perang. Bekal para pasukan disediakan oleh kesultanan, namun tidak sedikit yang membawa bekal sendiri.
Alat perang yang menjadi andalan pasukan Aceh adalah meriam. Meriam-meriam yang digunakan berasal dari kerajaan Turki Utsmani. Pada sebuah sumber disebutkan terdapat 5000 pucuk meriam yang ada di kesultanan. Orang-orang Aceh sangat pandai dalam pembuatan dan penggalian parit. Ini menjadi keuntungan dan strategi andalan dari pasukan Aceh yang berperang.
Ekspedisi Militer
Pada awal-awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh berada dalam kondisi yang belum stabil. Aceh memerlukan waktu untuk memulihkan keadaan ekonomi, pemerintahan, dan masyarakat pasca pertempuran yang dipimpin Sultan Iskandar Muda sebelum naik tahta. Awal ekspansi dilakukan pada 1612 dengan menyerang kota-kota di pantai timur Sumatera. Aceh dapat menguasai Deli dan Aru hingga awal tahun 1613. Setelah itu, Aceh bergerak melintasi selat mengalahkan Sultan Johor yang terdapat kantor dagang Belanda. Usaha tersebut dapat dilalui dengan baik, dan Sultan Iskandar Muda mulai membenahi kota tersebut dan menempatkan seorang raja yang patuh terhadap kesultanan pusat agar tidak dapat dicampuri oleh pihak asing, terutama Portugis.
Perkembangan pendidikan
Sultan Iskandar Muda yang memperhatikan pendidikan di Aceh membuat beberapa lembaga pendidikan yang diawali dengan madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) dengan sistem pendidikan yang diatur oleh ulama-ulama Aceh. Setelah madrasah ibtidaiyah, dilanjutkan dengan madrasah tsanawiyah, lalu madrasah aliyah.
Sistem pendidikan yang diberlakukan pada sekolah-sekolah di Aceh adalah sistem pendidikan agama yang memprioritaskan ilmu agama dalam setiap pengajarannya. Pada tingkat awal para murid diajarkan dengan palajaran membaca dan menulis huruf Arab, pelajaran agama, bahasa melayu, akhlak, dan sejarah Islam, serta yang terpenting adalah pelajaran pengkajian Al-Qur'an. Tingkat pendidikan tsanawiyah diajarkan pelajaran tentang bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung dan akhlak.
Selain sebagai tempat menimba ilmu, lembaga pendidikan yang ada juga mengurusi hal-hal tentang pelaksanaan sholat lima waktu, puasa, shalat tarawih, penyelenggaraan zakat fitrah, tempat mengadakan musyawarah, juga mengadakan acara-acara maulud. Layaknya seperti pesantren yang dikenal pada masa kini, madrasah-madrasah itu juga menjadi pusat keilmuan Aceh, baik untuk warga Aceh sendiri, maupun yang datang dari berbagai tempat, bahkan luar negeri.
Begitu kuatnya pendidikan agama di Aceh yang menyebabkan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam berada pada puncak kejayaan dengan masyarakat yang madani dan dekat dengan para ulama. Peran ulama sangat kuat hubungannya dengan pemerintah Aceh pada masa itu dan sangat dihormati. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah akan dikonsultasikan kepada para ulama sebelum diberlakukan.
Para ulama yang menjadi tempat konsultasi pemerintahan di Aceh merupakan ulama yang telah menimba ilmu dari berbagai tempat. Banyak dari ulama tersebut yang telah belajar dari timur tengah dan Persia lalu kembali ke Aceh untuk mengembangkan pendidikan di Aceh.
Kehidupan Aceh
Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam berada dalam puncak kejayaannya. Dengan tangan kepemimpinannya, ia dapat membawa kesultanan memperluas daerah kekuasaan, seperti menguasai seluruh wilayah pantai barat pulau sumatera sampai Bengkulu. Selain memperluas wilayah kekuasaan, ia juga berhasil membuat Aceh sejahtera dengan aktifitas ekonomi yang maju. Pelabuhan-pelabuhan dagang yang dibawah komando kesultanan maju pesat dengan berbagai transaksi baik dari luar maupun dalam negeri. Kegiatan ekspor-impor lebih aktif dibandingkan dengan masa-masa sebelum kepemimpinannya.
Berhasil dengan berbagai ekspansi wilayah dan memajukan kesejahteraan rakyat Aceh, Sultan Iskandar Muda terus memikirkan cara untuk mengusir penjajah Portugis yang menunggangi kesultanan Malaka. Posisi Portugis yang bisa dikatakan menguasai Malaka dianggap sebagai sebuah ancaman besar yang nanti kelak akan membahayakan Kesultanan Aceh Darussalam. Untuk itu, sultan mencoba untuk membumihanguskan Portugis serta menguasai Malaka agar tidak lagi dikuasai oleh Portugis. Selain itu, Aceh juga pernah menyerang Kedah yang didomplengi oleh pihak asing dalam perdagangan lada di Sumatera. Sultan Iskandar Muda wafat pada tanggal 28 Rajab 1046 yang bertepatan dengan tanggal 27 Desember 1636.
Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Masa-masa pasca wafatnya Sultan Iskandar Muda, kepemimpinan kesultanan menurun. Aceh berada dalam ambang kehancuran dengan berganti-ganti sultan dengan waktu yang singkat. Selain itu, karena ketidaktersediaan pemimpin laki-laki dalam silsilah kesultanan, kesultanan pernah dipimpin oleh wanita, seperti Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam dan Sri Paduka Patroe. Pada akhir abad ke19 dan awal abad 20 Belanda menemukan cara untuk menguasai Aceh dengan memasukkan Snouck Hugronje pada tatanan strata ulama di Aceh. Menyisipkan Snouck Hugronje ke dalam kalangan ulama adalah cara yang efektif untuk menghancurkan Aceh, karena ulama dianggap sebagai tonggak hukum dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Aceh. Snouck Hugronje yang notabene lulusan Universitas Leiden pernah masuk Islam untuk mempelajari Islam secara mendalam dan dapat menghancurkan Aceh dari dalam masyarakat.
Ulama-ulama
Kesultanan Aceh Darussalam yang memiliki nama yang besar di mancanegara membuat banyak orang dari luar Aceh datang ke Aceh, tidak terkecuali para pedagang-pedagang yang berasal dari Gujarat, India, juga timur tengah. Kedatangan mereka yang juga memiliki misi menyebarkan agama Islam membuat perkembangan pengetahuan keIslaman semakin maju –walaupun telah berkembang pesatnya ajaran Islam sebelum munculnya Kesultanan Aceh Darussalam.
Peran para pedagang yang sekaligus sebagai da'i menjadikan banyak orang Aceh yang ingin lebih serius menimba ilmu tentang keIslaman. Banyak dari orang aceh yang belajar ke timur tengah atau di wilayah Arab. Mereka menimba ilmu hingga bertahun-tahun lamanya hingga mereka kembali lagi ke Aceh untuk mengembangkan pengetahuan Islam. Dari sanalah muncul ulama-ulama besar dari Aceh yang memiliki peran yang penting di Aceh.
Hamzah Fansuri adalah satu dari sekian banyak ulama Aceh yang terkenal dan memiliki peran pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Ia adalah seorang ulama sufi yang menguasai bahasa Arab, Persia, dan juga bahasa Urdu. Ia memiliki karya yang terkenal tentang hal-hal yang berhubungan dengan tasawwuf. Ia adalah ulama pada masa Sultan Alaudin Ali Ri'ayat Syah. Karya-karyanya antara lain Syarab al-'Asyiqin, Asrar al-'Arifin, dan Al Muntahi.
Selain Hamzah Fansuri, ada juga ulama besar sufi Aceh yaitu Syamsudin al-Sumatrani. Syamsudin al-Sumatrani adalah ulama yang sangat dekat dengan Sultan Iskandar Muda. Ia memiliki kedudukan tinggi di Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Walaupun seorang ulama yang berpaham tasawwuf, namun ia juga seorang ulama yang ahli di bidang politik dan ketatanegaraan. Ia memiliki karya yang ditulis dengan bahasa Melayu dan Arab. Karya-karyanya antara lain Kitab al-Haraka, Jauhar al-Haqaiq, Mir'at al-Muhaqqiqin, dan Kitab al-Martaba.
Ulama selanjutnya adalah Nuruddi ar-Ranini. Ia adalah seorang ulama sekaligus sastrawan. Ia dikenal sangat menyukai bahasa Melayu walaupun ia sendiri keturunan Gujarat yang diwarisi oleh ayahnya yang orang Gujarat. Ia memiliki kepercayaan sebagai Syaikhul Islam yang diberikan oleh Sultan Iskandar Tani. Perannya sebagai ulama tepercaya di Kesultanan Aceh Darussalam membuatnya merubah ajaran-ajaran dan pemikiran yang menyimpang secara tegas. Ia mulai memperbaharui pengetahuan Islam secara murni dan mengajarkan kemurnian ajaran Islam kepada segenap masyarakat Aceh. Ia memiliki karya lebih dari 40 buku, diantaranya adalah Umdad al-I'tiqad, Jauhar al'Ulum, Lata'ih al-Asrar, dan Daral al-Faraid.
Satu lagi ulama yang sangat berjasa dalam pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam adalah Abdul Rauf al-Sangkiri. Ia adalah ulama yang belajar ke Haramayn sebelum kembali ke Aceh dan mengabdikan diri untuk masyarakat Aceh. Ia memiliki kedudukan yang penting di kesultanan, dipercaya menjadi mufti kesultanan pada masa Ratu. Salah satu karyanya adalah Li'l Malik al-Wahhab.
Peninggalan
Peninggalan-peninggalan yang masih dapat disaksikan pada masa kini adalah peninggalan yang menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Aceh dengan semangat jihad di jalan Allah mempertahankan wilayahnya dari serangan penjajahan dan imperialism. Salah satu saksinya adalah benteng Kuta Lubok yang letaknya di Krueng Lam Reh, dekat Krueng Raja. Benteng ini disebut-sebut sebagai benteng yang didirikan Portugis ketika berhasil menguasai wilayah Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Ali Ri'ayat Syah, sebelum kemudian direbut kembali oleh pasukan gajah yang dipimpin Perkasa Alam (nama sebutan lain Sultan Iskandar Muda) pada tahun 1606 M.
Peninggalan yang bisa dijumpai juga adalah sebuah makan seorang guru agama di Kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Makam itu bertuliskan nama Imam Sadik bin Abdullah yang wafat pada 23 Sya'ban 998 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 27 Juni 1590 Masehi. Disamping itu, ada juga prasasti yang merupakan singgasana Sultan, uang logam emas Kesultanan Aceh Darussalam, dan juga makam Sultan Iskandar Muda. Makam tersebut terletak dekat dengan Krueng Daroy, yang bersebelahan dengan Meuligoe Banda Aceh, kediaman resmi Gubernur Nangro Aceh Darussalam. Makam tersebut –yang berdampingan dengan museum Aceh—pernah dihilangkan jejaknya oleh Belanda ketika terjadi perang melawan Aceh. Pada 19 Desember 1952 makam tersebut dapat ditemukan kembali.
Suatu peninggalan yang sangat terkenal di Indonesia, bahkan di dunia adalah Masjid Agung Baiturrahman di Aceh. Masjid yang terletak di pusat kota Aceh ini terlihat dengan menara setinggi 35 meter dengan 7 kubah besar dan 7 menara masjid menjadi contoh untuk masjid-masjid lain. Masjid ini dibangun pada tahun 1621 hanya dengan bahan kayu. Pada peperangan, masjid ini pernah dihancurkan oleh Belanda, namun kemudian dibangun kembali.
Penutup
Aceh yang menjadi wilayah terakhir yang berhasil dikuasai oleh bangsa asing pada masa penjajahan ternyata memiliki kekuatan yang tidak hanya berasal dari bidang militer, namun juga memiliki masayarakat yang memiliki jiwa pejuang dengan jihad sebagai jalan yang mereka dambakan. Selain itu didukung juga dengan alat-alat militer yang baik, sederhana namun sangat dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan Aceh dari penjajahan –setidaknya hingga akhir abad ke-19.
Penulis juga berkesimpulan bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang sangat religius dan taat pada pemimpin merupakan modal yang sangat kuat dalam mempertahankan Aceh sebagai peradaban yang religius dan makmur. Walaupun akhirnya penyusup –yang berperan sebagai pemimpin (ulama)—yang juga menjadi faktor keruntuhan kesultanan Aceh Darussalam dari kolonialisme dan penjajahan bangsa asing.
Daftar Pustaka
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Jakarta :Koperasi Populer Gramedia, 2006.
Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan :PT Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981.
A Hasjmi. Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda. Jakarta :Penerbit Bulan Bintang, 1977.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 56
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 58-59.
Salah satu kerajaan Islam yang ada di Aceh, selan Kerajaan Malaka dan Samudera Pasai.
Salah seorang Sultan dari Kerajaan Lamuri
Seorang sultan yang membawa Kerajaan Aceh Darussalam pada puncak kejayaannya
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 58-59
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 58-59
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 57
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 59.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Koperasi Populer Gramedia, 2006 hlm. 63-65
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 69-72.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 : hlm. 73-74.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 75.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 77-78.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 64-65.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Koperasi Populer Gramedia, 2006 hlm. 63-65
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 63-65
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 63-65
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 66-67
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 66.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 65-67
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Koperasi Populer Gramedia, 2006 hlm. 66-67.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 66.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 66
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 66-67.
Juga dikenal dengan nama Darma Wangsa
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Koperasi Populer Gramedia, 2006 hlm. 67
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 67
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Koperasi Populer Gramedia, 2006 hlm. 67
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 67
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 134
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 125-127
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 129
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 131
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 131-132
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Koperasi Populer Gramedia, 2006 hlm. 132-133
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 133
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 134-137
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 134-137
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 134-137
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006 hlm. 134-137
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2006hlm. 134-137
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, Jakarta :Koperasi Populer Gramedia, 2006
"Ulama-ulama Penyiar Islam Awal di Aceh (Abad 16-17 M)." Balai Pelestarian Budaya Aceh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1 Oktober 2013.
Ulama-ulama Penyiar Islam Awal di Aceh (Abad 16-17 M)." Balai Pelestarian Budaya Aceh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1 Oktober 2013.
Ulama-ulama Penyiar Islam Awal di Aceh (Abad 16-17 M)." Balai Pelestarian Budaya Aceh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1 Oktober 2013.
Ulama-ulama Penyiar Islam Awal di Aceh (Abad 16-17 M)." Balai Pelestarian Budaya Aceh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1 Oktober 2013.
Ulama-ulama Penyiar Islam Awal di Aceh (Abad 16-17 M)." Balai Pelestarian Budaya Aceh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1 Oktober 2013.
Ulama-ulama Penyiar Islam Awal di Aceh (Abad 16-17 M)." Balai Pelestarian Budaya Aceh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1 Oktober 2013.
"Masjid Agung Baiturrahman: Fenomena Arsitektur Islami." Indonesias's Official Tourism Website, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.