CLINICAL SCIENCE SESSION TRAUMA PADA IBU HAMIL DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Ilmu Bedah Presentan: Rizki Perdana Ardyan Premata G Partisipan: Astri Restuastuti Muslimah Shella Arrum Wardhani Mariska Inggrida Eva Fieldiana Sari Preseptor: Arief Guntara, dr., SpB
SMF ILMU BEDAH RSUD AL-IHSAN PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2010
BAB I TRAUMA PADA IBU HAMIL I.
Pendahuluan Injury dapat terjadi pada 6-7% ibu hamil dan menjadi penyebab kematian nonobstetrik pada ibu hamil. Selain itu, kejadian ini dapat pula menjadi salah satu penyebab kematian janin akibat trauma. Prinsip yang harus dipegang dalam menjalankan “save the mother, save the fetus” adalah penanganan dini pada ibu hamil korban trauma.
II. Perubahan anatomis dan konsekwensi klinis A. Uterus -
Bertambahnya ukuran (7 cm/70 g; 36 cm/1,100 g)
-
Lokasi intraabdomen setelah minggu ke-12
Gambar 1. Ukuran uterus berdasarkan tinggi fundus -
Dinding muskularis yang bertambah tipis.
-
Peningkatan aliran darah (60 mL/menit)
3
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Increased susceptibility to injury b. Peningkatan pendarahan c. Kompresi IVC pada posisi berbaring (supine hypotension syndrome)
B. Plasenta -
Penurunan elastisitas
-
Sensitivitas katekolamin
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Mudah terjadi separasi dari dinding uterus (abruption) b. Penurunan
aliran
darah
plasenta,
disertai
stres
menyebabkan gangguan janin C. Pelvis -
Venous engorgement
-
Relaksasi ligamen
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Meningkatnya keparahan pendarahan b. Instabilitas gaya berjalan dan meningkatnya risiko jatuh c. Perubahan gambaran radiologis dan misdiagnosis
D. Genitourinaria -
Dilatasi collecting system
-
Perubahan letak buli intraabdomen
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Perubahan gambaran radiologis dan misdiagnosis b. Meningkatnya risiko injury
E. Gastrointestinal -
Perubahan letak usus menuju kuadran atas
-
Perubahan pada gastroesophageal juntion
-
Peritoneal “stretching”
akan
4
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Altered injury pattern b. Penurunan sensitivitas peritoneum dan dapat mengaburkan pemeriksaan fisik c. Peningkatan risiko terjadinya refluks dan aspirasi
F. Diafragma -
Meninggi (4 cm)
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Perubahan peta anatomis (contoh: salah menempatkan chest tube) b. Perubahan functional residual capacity (FRC)
G. Jantung -
Perubahan arah sefalik jantung (cephalad)
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Perubahan EKG – left axis deviation; T-wave flattening, inversion lead III & aVF
H. Hipofisis -
Mengalami pembesaran 135%
-
Peningkatan kebutuhan aliran darah
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Keadaan syok akan menyebabkan nekrosis pada kelenjar hipofisis interior yang akan menyebabkan insufisiensi hipofisis (Sheehan’s syndrome)
III. Perubahan Fisiologis atau Konsekwensi Klinis Potensial A. Kardiovaskular -
Peningkatan cardiac output
-
Peningkatan nadi
-
Peningkatan tekanna darah (pada trimester II)
5
-
Penurunan CVP
-
Penurunan resistensi vaskular perifer
-
Peningkatan ektopi
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Perubahan tanda-tanda vital b. Kondisi hiperdinamik
B. Hematologi -
Peningkatan volume darah yang disebabkan peningkatan volume plasma
-
Penurunan hematokrit (32-36%) karena peningkatan plasma yang lebih besar daripada volume sel darah merah
-
Peningkatan WBC count (18-25 WBC/mm3)
-
Penurunan plasminogen activator levels
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Perubahan parameter hematologis b. “Anemia” fisiologis; “hipervolemia” fisiologis c. Gejala-gejala pendarahan akan “terlambat”; 1/3 volume darah ibu dapat hilang tanpa perubahan nadi atau tekanan darah d. Hiperkoagulabilitas;
peningkatan
risiko
venotromboemboli C. Respirasi -
Peningkatan ventilasi per menit
-
Peningkatan volume tidal
-
Penurunan FRC
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Chronic respiratory alkalosis b. Penurunan respiratory buffering capacity c. Perubahan respon terhadap inhalasi, saat anestesi d. Kecenderungan rapid oxygen desaturation
terjadinya
6
e. Penurunan toleransi terhadap hipoksemia D. Ginjal -
Peningkatan aliran darah ginjal
-
Peningkatan creatinine clearance
-
Peningkatan glomerular filtration rate
-
Penurunan resorpsi glukosa
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Penurunan BUN b. Penurunan kreatinin serum c. Glukosuria
E. Gastrointestinal -
Penurunan pengosongan lambung
-
Peningkatan produksi asam lambung
-
Gangguan kontraksi kandung empedu
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Peningkatan risiko refluks asam atau aspirasi b. Bile statis atau peningkatan risiko pembentukan batu empedu
F. Endokrin -
Peningkatan laktogen plasenta
-
Peningkatan progesteron
-
Peningkatan estrogen
-
Peningkatan parathormon
-
Peningkatan kalsitonin
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Resistensi insulin atau pregnancy-induced diabetes b. Relaksasi sfinkter esofagus bawah c. Delayed gastric emptying d. Peningkatan absorbsi kalsium
7
G. Sistem Saraf -
Pregnancy-induced hypertension (eclampsia)
-
Konsekwensi klinis potensial: a. Peningkatan risiko pendarahan intrakranial b. Peningkatan risiko kejang c. Mimics head injury
IV. Mechanism of Injury A. Tumpul/blunt -
Kecelakaan kendaraan bermotor (motor vehicle collisions/MVC), jatuh, kekerasan
-
MVC penyebab terbanyak mortalitas nonobstetri ibu hamil dan janin
-
Placental
abruption
merupakan
penyebab
kematian
janin
walaupun ibu selamat -
Fraktur pelvis merupakan trauma yang menyababkan kematian janin
-
Sebagian besar kematian janin disebabkan oleh fraktur tengkorak disertai dengan pendarahan intrakranial
-
Ruptur uterin berkaitan dengan terlemparnya ibu dari kendaraan dan disertai adanya syok sang ibu dan uterine tenderness
-
Penggunaan sabuk pengaman merupakan faktor terpenting mencegah maternal injury yang berhubungan dengan kematian janin
-
Kelemahan pada ligamen pelvis dan perut yang membesar berdampak pada ketidakstabilan gaya berjalan dan meningkatkan insidensi jatuh pada ibu hamil
B. Penetrasi/penetrating -
Luka tembakan (gunshot wounds/GSW), luka tusukan
8
-
Berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga
-
Risiko perlukaan pada uterus meningkat pada trimester II dan III
-
Fetal injury berhubungan dengan uterin bisa terjadi dan merupakan penyebab mortalitas yang tinggi (40-65%)
-
Kematian ibu hamil jarang terjadi dibandingkan kematian janin pada truma ini
-
Penetrasi pada perut atas berhubungan dengan kerusakan pada saluran cerna dan pembuluh darah
V. Manajemen A. Hal-hal yang harus diperhatikan 1. Perhatikan potensi kehamilan pada setiap wanita yang mengalami trauma sesuai usianya. Pemeriksaan β-hCG dilakukan secara rutin. 2. Walaupun pada ibu hamil terdapat dua individu yang harus ditangani, prioritas tetap sama (yaitu: ATLS). Penanganan yang paling baik bagi janin adalah resusitasi ibu. 3. Konsultasi obstetrik dini dan penentuan keadaan janin merupakan hal yang penting. B. Prehospital 1. Janin sangat sensitif terhadap keadaan hipoksia dan hipovolemi, penanganan prehospital pada kecelakaan ibu hamil harus mencakup pemberian suplemen oksigen dan cairan intravena sesegera mungkin. 2. Pada kehamilan lanjut, berbagai posisi dapat menjadi komplikasi karena faktor-faktor anatomis. Sindrom hipotensi supinasi dapat dicegah dengan memosisikan pasien hamil dari kompresi uterin terhadap IVC, seperti posisi lateral dekubitus, atau paha kanan lebih tinggi sehingga uterus secara manual akan berpindah. Jika dicurigai trauma pada spinal, imobilisasi dengan menggunakan
9
papan di bagian punggung yang dimiringkan 150 ke kiri. 3. Pneumatic anti shock garment (PSAG) pada keadaan biasa berguna untuk stabilitas fraktur dan mengendalikan pendarahan, namun hal ini merupakan kontra indikasi pada pasien hamil karena dapat meningkatkan gangguan venous return. 4. Persiapan di RS harus disertai dengan penyediaan konsultasi dengan ahli obstetri dan neonatus. 5. Jangan melakukan asesmen pada tempat kejadian, namun harus segera dipindahkan dengan imobilisasi yang baik agar keselamatan ibu dan janin dapat terjamin. C. Hospital 1. Survei primer a. Resusitasi tanda-tanda vital, identivikasi dan manajemen trauma yang mengancam jiwa seperti pada penanganan pasien lainnya. b. Pertimbangkan intubasi dini dan ventilasi mekanik pada pasien hamil manapun dengan memonitor status ventilasi untuk mencegah hipoksia janin. c. Karena dapat terjadi “hipervolemia fisiologis”, pasien hamil dapat mengalami kehilangan volume darah (1.500 mL) tanpa adanya tanda-tanda hipovolemia; walaupun tanda-tanda vital
ibu
dalam
keadaan
normal,
janin
dapat
mengalami perfusi yang tidak adekwat. d. Akses intravena pada ekstrimitas atas lebih diutamakan, dan inisiasi resusitasi cairan segera dilakukan. Pertimbangkan untuk
transfusi
RBC.
Obat-obat
vasopresor
dapat
menyebabkan penurunan aliran darah dan harus dihindari dalam mengendalikan hipotensi maternal.
10
2. Survei sekunder a. Riwayat obstetri 1) Hari pertama menstruasi terakhir 2) Perkiraan kelahiran 3) Presepsi awal pergerakan fetus 4) Status kehamilan saat ini dan sebelumnya b. Tentukan ukuran uterus dengan mengukur tinggi fundus dalam sentimeter dari simfisis pubis untuk mengetahui umur janin (1 cm = 1 minggu usia kehamilan). c. Pemeriksaan
perut
pada
pasien
hamil
harus
disertai
pemeriksaan uterine tendernessi and consistency, adanya kontraksi, dan letak serta pergerakan janin. Pemeriksaan pelvis dilakukan dengan memperhatikan adanya darah pada vagina atau cairan amnion, dan lainnya. Pemeriksaan pH amnion (pH > 7) dan vagina (pH = 5) harus dilakukan. 3. Fetal assessment a. Pada janin berusia > 20 minggu, dapat dilakukan auskultasi jantung janin untuk mengetahui nadi janin (normal = 120 – 160 x/menit). Bradikardia janin merupakan indikasi terjadinya fetal distress. b. Kardiotopografi dapat dilakukan pada janin berusia 20 – 24 minggu untuk menentukan viabilitas janin. c. USG dapat digunakan untuk evaluasi umur janin, aktivitas jantung, dan pergerakan janin. 4. Modalitas diagnostik a. Pemeriksaan dimungkinkan,
radiologi lindungi
(termasuk
CT
perut
bagian
scan),
dan
bawah
jika
dengan
menggunakan apron timbal dan hindari pengulangan. b. Paparan radiasi pada embrio preimplantasi (<3 minggu)
11
bersifat letal. Pada fase organogenesis (2-7 minggu), embrio sensitif terhadap teratogen, keterbelakangan pertumbuhan, dan efek neoplastik akibat radiasi. Paparan radiasi <0,1 Gy secara umum bersifat aman. c. DPL
(diagnostic
peritoneal
lavage)atau
FAST
(focused
abdominal sonography for trauma) dapat dilakukan sama seperti pada pasien biasa. d. FAST dapat sangat membantu untuk mengetahui cairan bebas pada perut setelah terjadi trauma. 5. Penanganan devinitif a. Jika ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik dan modalitas diagnostik maka dapat dilakukan operasi. b. Pasien hamil dengan trauma yang keadaannya sangat kritis harus dipantau di intensive care unit dan disediakan onsite obstetric care dan bedside fetal monitoring. c. Pasien hamil yang stabil yang memerukan rawat inap harus diobservasi keadaan obstetrinya selama 24 hingga 48 jam. Pasien yang memiliki janin berusia 20 – 24 minggu harus dimonitor
mengunakan
kardiotopografi
(continuous
cardiotokographic monitoring/CTM) d. Pasien hamil yang asimptomatik dengan janin berusia 20-24 minggu dengan trauma minor dan tidak memerlukan rawat inap dengan temuan normal pada CTM selama 4 jam dapat pulang dengan instruksi yang jelas dan follow-up. VI. Caesarean Section dan Trauma A. Indikasi 1. Faktor janin a. Risiko distres janin akan meningkatkan risiko prematuritas
12
b. Abruptio plasenta c. Ruptur uterin d. Malposisi janin dengan kelahiran prematur e. Fraktur pelvis dan spinal lumbosakral 2. Faktor ibu a. Evaluasi yang tidak adekwat untuk mengontrol injury lainnya b. Disseminated intravascular coagulation (DIC) B. Perimortem SC dapat dipertimbangkan pada janin berusia 26 minggu, dan interval antara kematian ibu dengan proses kelahiran < 15 menit. RJP maternal harus tetap dilakukan ketika SC dan neonatal intensive care support harus segera dilakukan. VII.
Beberapa Permasalahan Khusus pada Kehamilan
A. Abruptio plasenta merupakan penyebab tersering kematian janin walaupun ibu selamat. Pada kehamilan lanjut, trauma minor dapat menyebabkan keadaan ini. Separasi plasenta dari dinding uterus dapat menyebabkan kematian janin (50%). Penemuan klinis mencakup nyeri perut, pendarahan vagina, keluarnya cairan amnion, rigiditas dan nyeri pada uterus, ekspansi tinggi fundus, dan syok maternal. Separasi dengan derajat minimal dapat memungkinkan keselamatan janin dengan terus melakukan USG serial, monitor janin, dan observasi transfusi fetomaternal. B. DIC disebabkan oleh pelepasan thromboplastic substances saat placental abruption atau amniotic fluid embolism. Kematian ibu dapat terjadi pada keadaan ini. Penanganan yang dilakukan termasuk evakuasi emergensi uterus dan komponen darah untuk membalikan koagulopati. C. Transfusi fetomaternal, pendarahan janin ke dalam sirkulasi ibu merupakan kejadian yang dapat terjadi setelah trauma (26%).
13
Transfusi fetomaternal
dapat menyebabkan anemia dan kematian
janin. D. Kelahiran prematur didefinisikan adanya onset kontraksi yang terjadi sebelum usia janin mencapai 36 minggu yang cukup kuat sehingga cukup untuk menyebabkan dilatasi serviks dan effacement. Keadaan ini merupakan komplikasi yang sering terjadi pada trauma ibu hamil. E. Kematian janin intrauterin tidak membutuhkan intervensi operasi segera. Kelahiran biasanya terjadi dalam 48 jam. Monitor keadaan koagulasi diperlukan karena DIC dapat menyebabkan syok maternal dan kematian. VIII. Medikasi pada Kehamilan A. Analgetik 1. Pemberian narkotik (fetal respiratory depression) dan NSAID harus diberikan secara hati-hati (dosis rendah dan monitor rutin). B. Antibiotik 1. Penisilin, sepalosporin, eritromisin, dan klindamisin merupakan jenis antibiotik yang aman. 2. Pemberian aminoglikosid (fetal ototoxicity), sulfonamid (neonatal kericterus), quinolon, dan metronidazol harus diberikan secara hati-hati. 3. Kloramfenikol (maternal and fetal bone marrow toxicity), dan tetrasiklin
(inhibition
of
fetal
bone
growth)
merupakan
kontraindikasi. C. Antikoagulan 1. Heparin diindikasikan karena tidak melewati plasenta dan memiliki waktu paruh yang pendek dan dapat diberikan protamin untuk menghilangkan efeknya. 2. Warfarin merupakan kontraindikasi karena dapat
melewati
14
plasenta dan memiliki waktu paruh yang panjang sehingga membutuhkan waktu yang lama agar efeknya hilang. D. Antikonvulsan 1. Pemberian benzodiazepin dan barbiturat (fetal respiratory depression) harus diberikan secara hati-hati. 2. Fenitoin (teratogenik) merupakan kontraindikasi. E. Antiemetik 1. Metoklorpamid dan proklorperazin merupakan jenis yang aman diberikan F. Karena agen anastesi lokal dapat menembus plasenta maka pemberiannya harus dilakukan secara hati-hati dan menghindari pemberian dosis yang tinggi. G. Agen anastesi umum dan neuromuscular blockers aman untuk digunakan. H. Profilaksis stres 1. Sukralfat aman untuk diberikan 2. Penggunaan H2 blockers harus diberikan secara hati-hati I. Profilaksis tetanus dapat diberikan sesuai acuan standar. IX. Kesimpulan -
Prinsip utama penanganan adalah “save the mother, save the fetus”.
-
Lakukan pemeriksaan β-hCG pada setiap wanita usia hamil
-
Pada transportasi pasien hamil lanjut, diposisikan uterus berada pada sisi sebelah kiri.
-
Janin masih dapat terancam walaupun ibu mengalami trauma ringan.
-
Walaupun dalam keadaan ibu hamil terdapat dua individu yang ditangani, prioritas penanganan tetap sama.
15
-
Penanganan dini yang paling baik bagi janin adalah resusitasi ibu.
-
Kehilangan darah yang signifikan pada ibu hamil dapat muncul tanpa adanya perubahan tanda-tanda vital.
-
Abruptio plasenta merupakan penyebab utama kematian janin pada pasien hamil yang berhasil selamat.
-
Kematian janin bukan merupakan indikasi dilakukannya SC.
-
Tidak ada keadaan apapun yang menuntut mempertahankan kehamilan daripada menangani ibu yang mengalami kecelakaan.
BAB II KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA I.
Definisi Secara definisi, KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi: a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). II.
Bentuk-bentuk KDRT Kekerasan dalam rumah tangga memiliki beberapa bentuk yang tidak
terbatas pada kekerasan fisik saja. Bentuk-bentuk KDRT adalah : a. Kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat b. Kekerasan psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang c. Kekerasan seksual, adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
17
wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. d. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. III.
Dasar Hukum Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada
tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal. Dan pada pasal 10 yaitu tentang hakhak korban, diantaranya adalah: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. Pelayanan bimbingan rohani Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban :
18
a. Tenaga kesehatan; b. Pekerja sosial; c. Relawan pendamping; dan/atau d. Pembimbing rohani. Selain itu dalam undang undang ini, diatur pula kewajiban pemerintah, diantaranya adalah: a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender. Selain
itu,
untuk
penyelenggaraan
pelayanan
terhadap
korban,
pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya: a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian; b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani; c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban; d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban. Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
19
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan kepada korban; c. Memberikan pertolongan darurat; dan d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian. Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan. IV.
Sanksi Hukum Sedangkan untuk hukumannya, telah diatur pada pasal 47 dan pasal 48,
Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”. Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”.
20
Dalam undang undang ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Alat bukti yang sah lainnya itu adalah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.
DAFTAR PUSTAKA Peitzman, Andrew B., Michael, et all. The Trauma Manual. Pensylvannia: Lippincot Williams & Wilkins Publisher. 2002. Nathan, Lauren. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 9th Ed. California: McGraw – Hill Companies, Inc. 2003.