TREN DAN ISU DALAM KEPERAWATAN JIWA Pelatihan Keterampilan Komunikasi pada Pasien Isolasi Sosial Untuk memenuhi tugas SP Mental Health Nursing
Disusun Oleh: Nurul Aisyiyah Puspitarini Puspitari ni 135070200111025 Kenny Maharani
135070201111016
Fiddiyah Galuh Anggraini 135070201111018 135070201111018 Ana Zerlina Zerlin a Fitria
135070207131007
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang
karena
orang
lain
menyatakan
sikap
yang
negatif
dan
mengancam atau suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi Anna Kelliat, 2006). Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku isolasi sosial. (Budi Anna Kelliat, 2006). Gambaran
menurut
penelitian
WHO
(2009),
prevalensi
masalah
kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk dunia diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara 18-20 tahun 1% diantaranya adalah gangguan jiwa berat, potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa memang tinggi, setiap saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak permasalahan jiwa, saraf maupun perilaku. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang paling banyak terjadi di seluruh dunia adalah gangguan jiwa skizofrenia. Prevalensi skizofrenia didunia 0,1 per mil dengan tanpa memandang perbedaan status sosial atau budaya Menurut National Institute of Mental Health gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai Negara. Berdasarkan
hasil
sensus
penduduk
Amerika
Serikat
tahun
2004,
diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18-30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa, jika prevalensi gangguan jiwa diatas 100 jiwa per 1000 penduduk dunia, maka berarti di Indonesia mencapai 264 per 1000 penduduk
Hasil Riset Dasar Kesehatan Nasional Tahun 2007, menyebutkan bahwa sebanyak 0,46 per mil masyarakat Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Mereka adalah yang diketahui mengidap skizofrenia dan mengalami gangguan psikotik berat (Depkes RI, 2007). Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di Provisi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (24,3%), di ikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%), Sumatra Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%) (Depkes RI, 2008). Peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa juga terjadi di Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat 100 persen dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada awal 2008, RSJ Sumut menerima sekitar 50 penderita per hari untuk menjalani rawat inap dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan. Sementara pada 2006-2007, RSJ hanya menerima 25-30 penderita per hari. Peran perawat dalam penanggulangan klien dengan gangguan konsep diri : Isolasi Sosial Menarik Diri meliputi peran promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative. Pada peran promotif, perawat meningkatkan dan memelihara kesehatan mental melalui penyuluhan dan pendidikan untuk klien dan keluarga. Dari aspek preventif yaitu untuk meningkatkan kesehatan mental dan pencegahan gangguan konsep diri : Isolasi Sosial Menarik Diri. Sedangkan pada peran kuratif
perawat merencanakan dan melaksanakan
rencana tindakan keperawatan untuk klien dan keluarga. Kemudian peran rehabilitative berperan pada follow up perawat klien dengan gangguan konsep diri : Isolasi Sosial Menarik Diri melalui pelayanan di rumah atau home visite. Berdasarkan gambaran masalah di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat
judul
pengaruh
latihan
keterampilan
sosialisasi
terhadap
kemampuan berinteraksi klien isolasi socsal.
1.2 Rumusan Masalah “Bagaimana
pengaruh
latihan
keterampilan
sosialisasi
terhadap
kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial.” 1.3 Tujuan 1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui
pengaruh latihan keterampilan sosialisasi terhadap
kemampuan berinteraksi klien isolasi social.
1.3.2
Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mengidentifikasi pengaruh latihan keterampilan sosialisasi 1.3.2.2 Mengidentifikasi kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial
1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1
Manfaat Akademik Menambah pengetahuan untuk mengetahui pengaruh latihan keterampilan sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial
1.4.2
Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi Intitusi Pendidikan Menambah pengetahuan untuk mengetahui pengaruh latihan
keterampilan
sosialisasi
terhadap
kemampuan
berinteraksi klien isolasi social. 1.4.2.2 Bagi Penulis Diharapkan tugas kelompok ini dapat dijadikan kerangka berfikir
dan
sebagai
infomasi
untuk
meningkatkan
pengetahuan bagi pembaca mengenai pengaruh latihan keterampilan sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial. 1.4.2.3 Bagi Pembaca Tugas kelompok ini dapat dijadikan referensi dalam membuat informasi selanjutnya tentang pengaruh latihan keterampilan sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial.
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Definisi Isolasi Sosial
a. Isolasi sosial adalah usaha menghindar dari interaksi yang berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan (Rawlins & Heacock). b. Isolasi social merupakan suatu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel,
tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minat
terhadap
lingkungan
sosial
secara
langsung
yang
dapat
bersifat
sementara atau menetap (Depkes RI, 2009) c. Isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya (Townsend).
2.2 Etiologi Terdapat beberapa penyebab terjadinya isolasi social menurut Riyadi (2009) diantaranya adalah: Faktor Presipitasi : a. Perasaan negatif terhadap diri sendiri b. Hilangnya kepercayaan diri c. Merasa gagal mencapai keinginan atau tujuan d. Adanya penyakit yang memperparah kondisi tubuh e. Adanya kecemasan yang ekstrim yang dialami individu f.
Keterbatasan menghadapi masalah tertentu
g. Mengalami perpisahan dengan orang terdekat
2.3 Epidemiologi Menurut WHO (2013) lebih dari 450 juta orang dewasa secara global akan mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah itu hanya kurang dari separuh yang
bisa
mendapatkan
pelayanan
yang
dibutuhkan.
Menurut
data
kementerian Kesehatan tahun 2013 jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia lebih dari 28 juta orang dengan kategori gangguan jiwa ringan
14,3% dan 17% atau 1000 orang menderita gangguan jiwa berat. Di banding rasio dunia yang hanya satu permil, masyarakat Indonesia yang telah mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat telah mencapai 18,5% menurut data Depkes RI (2009). Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di Provisi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (24,3%), di ikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%), Sumatra Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%) (Depkes RI, 2008).
2..4 Manifestasi
RENTANG RESPON SOSIAL
RESPON ADAPTIF
RESPON MALADAPTIF
Menyindiri Otonomi Kerjasama (mutualisme) interdependen
a. Menyendiri
kesepian Menarik diri dependen
Manipulasi Implusif Curiga
: merenung tentang apa yang dilakukan dilingkungan
sosialnya b. Otonomi
: kemampuan individu untuk menyampaikan ide dan
perasaan dalam hubungan social c. Kerjasama
: saling membutuhkan bantuan satu sama lain
d. Interdependen : hubungan saling memberi dan menerima e. Kesepian
: merasa sendiri dan tidak ada perhatian dari lingkungan
sekitar f.
Menarik diri
: tidak dapat mempertahankan hubungan dengan orang
lain g. Dependen
: selalu tergantung dengan orang lain
h. Manipulasi
: tidak
dapat dekat dengan
orang lain dan hanya
berinteraksi dengan dirinya sendiri. i.
Implusif dapat diandalkan
: tidak mampu merencanakan sesuatu dan tidak
j.
Curiga
: selalu berpikir negative pada orang lain.
Menurut Muhith (2015) terdapat beberapa tanda gejala isolasi social : a. Tidak mau berbicara atau bicara tidak jelas b. Menyendiri c. Ekspresi sedih d. Melamun e. Merasa kesepian f.
Merasa tidak berguna
g. Merasa tidak aman dengan orang lain atau menghindari bertemu orang lain h. Keberanian berkurang i.
Tidak dapat membuat keputusan
j.
Tidak peduli dengan lingkungan sekitar
2.5 Definisi Latihan Keterampilan Sosialisasi Latihan keterampilan sosialisasi atau yang biasa dikenal dengan Social skills training (SST) adalah salah satu intervensi dengan teknik modifikasi perilaku didasarkan pada prinsip-prinsip bermain peran, praktek dan umpan balik guna meningkatkan kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah pada klien depresi, schizophrenia, klien dengan gangguan perilaku kesulitan berinteraksi, mengalami social phobia dan klien yang mengalami kecemasan (Pinilih, 2012) Menurut Cartledge dan Milbun (1995, dalam Chen, 2006, yang dikutip dalam Pinilin, 2012), Social skills training adalah kemampuan yang dapat dipelajari
oleh
seseorang
sehingga
memungkinkan
orang
tersebut
berinteraksi dengan memberikan respon positif terhadap lingkungan dan mengurangi respon negatif yang mungkin hadir pada dirinya. Social skills training kemapuan
seseorang
merupakan berinteraksi
hal dalam
penting suatu
untuk
meningkatkan
lingkungan.
Adanya
kemampuan berinteraksi menjadi kunci untuk memperkaya pengalaman hidup, memiliki pertemanan, berpartisipasi dalam suatu kegiatan dan bekerjasama dalam suatu kelompok.
2.6 Teknik Pelaksnaan Latihan Keterampilan Sosialisasi Social
skills
ketidakmampuan
training
diberikan
dan
penurunan
kepada
individu
keterampilan
yang sosial,
mengalami yaitu
:
ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan dan tidak memiliki keterampilan sosial meliputi memberikan pujian, mengeluh karena ketidaksetujuan, menolak permintaan dan ketidakmampuan bekerjasama dengan orang lain (Michelson, 1985 dalam Pinilih, 2012). Pelaksanaan social skills training dapat dilakukan secara individu atau kelompok. Ada beberapa keuntungan apabila dilakukan secara kelompok, yaitu : penghematan tenaga, waktu dan biaya. Pendekatan kelompok dalam SST dapat diberikan dalam format pendek ( workshop format) dan dalam format panjang. Format pendek ditujukan bagi klien dengan fungsi sosial yang tergolong tinggi. Sedangkan format panjang efektif bagi klien dengan sifat pemalu yang sangat ekstrim atau individu dengan permasalahan gangguan sosial ansietas, dalam setting kelompok kecil yang terdiri dari 3 sampai 8 orang. Social skills training dilakukan 1-2 jam perhari dalam 10-12 kali pertemuan untuk klien yang mengalami defisit keterampilan sosial dan penurunan kemampuan berinteraksi. Untuk klien yang hanya ingin meningkatkan keterampilan sosial atau ingin menambah pengalaman dapat dilaksanakan 12 hari saja (Prawitasari, 2002 dalam Pinilih, 2012). Menurut Ramdhani (2002 dalam Pinilih, 2012), s ocial skills training dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu : a. Modelling ,
yaitu
tahap
penyajian
model
dalam
melakukan
suatu
keterampilan yang dilakukan oleh terapis b. Role play , yaitu tahap bermain peran dimana klien mendapat kesempatan untuk memerankan kemampuan yang telah dilakukan oleh terapis sebelumnya c. Performance feedback , yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik harus diberikan segera setelah klien mencoba memerankan seberapa baik menjalanka latihan d. Transfer training , yakni tahap pemindahan keterampilan yang diperoleh klien kedalam praktek sehari-hari Kinsep dan Nathan (2004 dalam Pinilih, 2012), mengemukakan pelaksanaan social skills training diawali dengan :
a. Intruksi, terapis memberikan gambaran mengenai pelaksanaan s ocial skills training sehingga klien memperoleh pengetahuan terhadap aktifitas dalam social skills training dan termotivasi untuk melaksanakannya b. Rasional, terapis melakukan diskusi tentang alasan klien melakukan social skills training dan mengamati bagaimana respon klien terhadap pelaksanaan terapi c. Discuss components, terapis menjelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pelaksanaan s ocial skills training dan memastikan klien paham terhadap apa yang disampaikan d. Role play, terapis melakukan salah satu keterampilan sosial yang sering ditemui dalam berinteraksi e. Review , terapis mendiskusikan dengan klien tentang peran yang dilakukan oleh terapis/model f. Umpan balik positif, terapis memberikan dukungan terhadap keberhasilan yang didapatkan klien dan motivasi klien untuk menghilangkan pikiran negatif yang muncul g. Terapis memberikan umpan balik dengan cara yang baik, tidak bermaksud
menyudutkan
klien
atau
menolak
klien,
tetapi
lebih
mengarahkan klien ke perilaku yang lebih baik h. Ulangi latihan lebih lanjut, terapis minta klien untuk melakukan peran yang lebih baik sesuai dengan yang dilakukan pada waktu terapis melakukan role play i. Terapis dan klien harus jujur, mainkan 2-4 peran dalam role model dengan umpan balik setiap satu peran dilakuakn klien j. Terapis meminta klien mengaplikasikan keterampilan sosial dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dianggap sebagai pekerjaan rumah bagi klien.
2.7 Hasil Pembahasan
Dalam jurnal ini, kriteria umur, responden yang berumur 41 tahun ke atas adalah sebanyak 17 orang sedangkan responden yang berumur kurang dari 40 tahun sebanyak 13 orang (43,3%). Berdasarkan kriteria lama dirawat, responden responden yang dirawat kurang dari 10 tahun adalah sebanyak 25 orang (83,3%), sedangkan responden yang dirawat lebih dari 11 tahun sebanyak 5 orang (16,7%). Alasan peneliti memilih responden bedasarkan waktu atau lamanya seseorang
terpapar
stressor
akan
memberikan
dampak
keterlambatan dalam mencapai kemampuan dan kemandirian.
terhadap
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank menyatakan bahwa nilai signifikansi adalah 0,000 atau lebih kecil dari nilai signifikasi 0,05 (0,000 < 0,005). Dari nilai diatas maka dapat diambil kesimpulan yaitu H0 ditolak atau terdapat pengaruh penerapan latihan sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial
Manusia merupakan makhluk sosial yang tak lepas dari sebuah keadaan yang bernama interaksi dan senantiasa melakukan hubungan dan pengaruh timbal balik dengan manusia yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kehidupannya. Dalam mengatasi masalah gangguan interaksi pada pasien gangguan jiwa khususnya pasien isolasi sosial dapat dilakukan upaya – upaya tindakan keperawatan bertujuan untuk melatih klien melakukan
interkasi
sosial
sehingga
klien
merasa
nyaman
ketika
berhubungan dengan orang lain. Salah satu tidakan keperawatan tersebut yang termasuk kelompok terapi psikososial adalah social skills training (SST).
Latihan ketrampilan sosial atau yang sering disebut dengan SST ( Social Skill Training ) diberikan pada pasien dengan gangguan isolasi sosial untuk melatih keterampilan dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan lingkungannya secara optimal bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi seseorang dengan orang lain. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Berhimpong dkk (2016) tentang pengaruh latihan keterampilan sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial, peneliti mengambil sampel 30 pasien dengan isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.V.L. Ratumbuysang Manado dan sampel tersebut diberikan latihan keterampilan sosial yang berisi diskusi tentang penyebab isolasi sosial, Latihan keterampilan sosial berisi diskusi tentang penyebab isolasi sosial, diskusi tentang keuntungan bersosialisasi dan kerugian tidak bersosialisasi serta latihan-latihan berkenalan dengan satu orang atau lebih dari satu orang. Dari hasil diskusi yang didapatkan dari penelitian, rata-rata klien mengatakan penyebab menarik diri yaitu karena malas bersosialisasi dan mengatakan bahwa orang lain berbuat jahat pada dirinya. Klien juga bisa menyebutkan keuntungan bersosialisasi dan kerugian tidak bersosialisasi dengan orang lain. Klien melakukan latihan berkenalan dengan satu orang atau lebih dan memasukkan ke dalam jadwal sebagai bukti telah melakukan latihan berkenalan dengan klien lain di dalam satu ruangan. Hal ini sesuai dengan tujuan strategi pertemuan yaitu klien mampu membina hubungan saling percaya, menyadari penyebab isolasi sosial dan mampu berinteraksi dengan orang lain. Menurut Keliat (2009 dalam Berhimpong dkk, 2016) untuk membina hubungan saling percaya dengan klien isolasi sosial kadang membutuhkan waktu yang lama dan interaksi yang singkat, serta karena tidak mudah bagi klien untuk percaya pada orang lain. Oleh karena itu perawat harus konsisten bersikap terapeutik terhadap klien. Selalu menepati janji adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan. Pendekatan yang konsisten akan membuahkan hasil. Jika pasien sudah percaya dengan perawat, program asuhan keperawatan lebih mungkin dilaksanakan. Perawat tidak mungkin secara drastis mengubah kebiasaan klien dalam berinteraksi dengan orang lain karena kebiasaan tersebut telah terbentuk dalam jangka waktu yang lama.
Untuk itu perawat dapat melatih klien berinteraksi secara bertahap. Mungkin pada awalnya klien hanya akan akrab dengan perawat, tetapi setelah itu perawat harus membiasakan klien untuk dapat berinteraksi secara bertahap dengan orang-orang disekitarnya. Latihan keterampilan sosial secara luas memberikan keuntungan dengan meningkatkan interaksi, ikatan aktivitas sosial, mengekspresikan perasaan kepada orang lain dan perbaikan kualitas kerja. Pasien mulai berpartisipasi dalam aktivitas sosial seperti interaksi dengan teman dan perawat. Latihan keterampilan sosial sangat berguna dalam meningkatkan fungsi sosial pada pasien skizofrenia kronis karena pasien dapat belajar dan melaksanakan keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk hidup mandiri, belajar dan bekerja dalam komunitas tertentu (Kumar,2015 dalam Berhimpong dkk., 2016).
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Isolasi sosial merupakan salah satu masalah gangguan jiwa dimana keadaan pasien dengan sikap menghindar dari interaksi yang berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan. Pasien dengan isolasi sosial biasanya selalu berpikir negatif dengan
sikap
yang
selalu
menutup
diri
sehingga
kesulitan
untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Manusia merupakan makhluk sosial sehingga pasien isolasi sosial membutuhkan pertolongan agar dapat kembali menjadi makhluk sosial salah satunya yaitu dengan melatih keterampilan sosialisasi. Tujuan latihan ini yaitu melatih keterampilan dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan lingkungannya secara optimal bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi seseorang dengan orang lain. Latihan dilakukan dengan berdikusi dalam jangka waktu yang lama namun singkat pada tiap pertemuannya. Ini dikarenankan pasien membutuhkan waktu untuk dapat membina hubungan saling percaya. Harapannya setelah latihan ini yaitu pasien isolasi sosial dapat kembali berinteraksi dengan orang lain sehingga dapat mengungkapkan perasaannya dan menghilangkan pikiran negative terhadap dirinya.
3.2 Saran Pelatihan kemampuan sosialisasi yang ada di Indonesia sekarang sudah cukup bagus. Hanya saja terkadang ada kendala misalnya pasien yang sudah merasa bosan dengan bentuk latihannya. Perawat juga mungkin membutuhkan pelatihan yang cukup terlebih dahulu sebelum memberi latihan ke pasien karena pasien isolasi sosial susah untuk percaya dengan orang lain, sehingga perawat harus benar-benar siap saat merawat pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Berhimpong, Eyvin, Sefty Rompas, Michael Karundeng. 2016. Pengaruh Latihan Keterampilan Sosialisasi terhadap Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi Sosial di RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado. Online Depkes RI. (2008). Keperawan Jiwa: Teoridan Tindakan Keperawatan Jiwa. [online] tersedia di: depkes.go.id Muhith, Abdul. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Penerbit Andi. Riyadi dan Purwanto. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu Pinilih, Sambodo Sriadi. 2012. Pengaruh Social Skills Training (SST) terhadap Keterampilan Sosialisasi dan Social Anxiety pada Renaja Tunarungu di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kabupaten Wonosobo.
Online.
[http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20314
Diakses
dari 840-T31915-
Pengaruh%20social.pdf] diakses pada 4 Agustus 2016