Menurut pendapat Nanda (2005 : 4), diagnosa tersebut sudah tepat. Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan dalam membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernafasan untuk menjaga bersihan jalan nafas. Batasan
karakteristik dari bersihan jalan nafas tidak efektif
adalah dispneu, penurunan suara nafas, orthopneu, suara nafas tambahan seperti rales, crakles, ronchi, wheezing .
Batuk
efektif atau
tidak dapat batuk, produksi sputum meningkat, sianosis, kesulitan bicara, mata melebar, perubahan ritme dan frekuensi pernafasan, gelisah. Penulis menegakkan diagnosa ini karena pasien terlihat sesak nafas, batuk, suara nafas ronchi basah, produksi sputum meningkat dan belum keluar, respirasi 40 kali/menit. Penulis mengangkat diagnosa ini karena menurut hierarki Maslow, bernafas adalah kebutuhan fisiologis manusia untuk bertahan hidup dan merupakan tingkat dasar dari kehidupan. Bersihan
jalan nafas tidak efektif terjadi karena peningkatan
produksi sputum. Dampak buruk apabila masalah ini tidak diangkat akan menyebabkan sianosis, sentral takipneu, menurunnya volume tidal, dispneu, setelah itu terjadi hipoksemia dan hipoksia bisa menyababkan kematian.
lxxii
Penulis membuat rencana tindakan dengan NOC : Status pernafasan: ventilasi. Kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu pasien dapat menunjukan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tidak ada dispneu, sputum dapat keluar, mendemonstrasikan batuk efektif. Berdasarkan
hal tersebut, penulis menyusun rencana tindakan
NIC : Airway Managemen dengan intervensi antara lain : posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, lakukan fisioterapi dada bila perlu, keluarkan sekret dengan batuk atau suction, auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan, kaji tanda vital dan status respirasi, bantu pasien latihan nafas dalam dan melakukan batuk efektif, kolaborasi pemberian oksigen dan obat brokodilator serta mukolitik ekspektoran. Implementasi tindakan keperawatan ada beberapa tindakan keperawatan yang ada dalam teori tetapi tidak penulis lakukan seperti membantu pasien latihan nafas dalam, melakukan batuk efektif dan melakukan fisioterapi dada. Hal ini dikarenakan menurut penulis, pada pasien yang berusia 10 bulan, tidak dapat melakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif seperti yang diajarkan perawat. Selain itu, apabila dilakukan fisioterapi dada, ada kemungkinan akan terjadi penumpukan sputum dikarenakan tidak dapat melakukan batuk efektif guna mengeluarkan sputum yang dihasilkan. Bila lendir tetap banyak, dapat dilakukan postural drainase. Caranya, bayi dibaringkan lxxiii
tengkurap diatas pangkuan, didepannya letakkan handuk sebagai alas, dibawah perutnya diganjal guling sehingga posisi kepala lebih rendah. Lakukan tepukan dengan kedua tangan yang dicekungkan di punggung bayi secara ritmik sambil sering dihisap lendirnya dari lubang mulut dan hidung. Lama tindakan ini kira-kira 5-10 menit dan dapat dilakukan pagi dan sore. Jika lendir sudah berkurang, maka fisioterapi dada dapat dilakukan sekali sehari, biasanya pagi saja. Akibat kelalaian yang dilakukan dapat berdampak pada masih adanya penumpukan
sputum
sehingga
menghambat
jalan
nafas
yang
menyebabkan berkurangnya suplai oksigen. Selain itu, karena kurang ketelitian penulis dalam membuat rencana tindakan sehingga ada tindakan keperawatan yang penulis lakukan tetapi tidak ada dalam rencana tindakan yaitu menganjurkan kepada keluarga untuk sering memberikan air hangat kepada pasien guna mengencerkan sputum. Kekuatan dari tindakan yang dilakukan oleh penulis adalah keluarga memberikan respon positif dan kooperatif dengan tindakan yang dilakukan penulis misalnya keluarga pasien terutama ibu pasien memberikan jawaban atas pertanyaan perawat, keluarga mau menuruti anjuran perawat untuk memberikan air hangat pada pasien. Di samping itu, penulis dalam memberikan tindakan keperawatan juga tidak lalai menggunakan komunikasi terapeutik dan menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti. lxxiv
Hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan selama 1 hari menunjukan bahwa pasien masih batuk dan masih terdapat ronchi basah, sputum juga belum dapat keluar sehingga masalah belum teratasi. Untuk selanjutnya, penulis bekerja sama dengan perawat ruangan untuk melanjutkan tindakan keperawatan antara lain dengan mempertahankan posisi pasien untuk memaksimalkan ventilasi, monitor suara nafas, kolaborasi pemberian oksigen d an obat mukolitik. b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventilasi. Menurut pandapat Nanda (2005 : 93), diagnosa tersebut kurang tepat, seharusnnya Kerusakan Pertukaran Gas. Kerusakan Pertukaran Gas adalah lebih atau kurang dalam eliminasi oksigenasi dan atau karbondioksida di membran kapiler-alveolar. Batasan
karakteristik dari diagnosa tersebut adalah gangguan
visual, penurunan karbondioksida, takikardia, hiperkapnea, kelelahan, somnolen, iritabilitas, hipoksia, kebingungan, dispneu, Analisa Gas Darah (AGD) abnormal, sianosis (pada neonatus), warna kullit abnormal (pucat, kehitam-hitaman), hipoksemia, hiperkabnia, sakit kepala ketika bangun, abnormal frekuensi, irama dan kedalaman nafas, abnormal pH arteri, nasal faring (nafas cuping hidung). Penulis memprioritaskan diagnosa ini pada urutan ke dua karena tanda hipoventilasi belum terlihat dengan jelas, tidak ada sianosis, kesadaran komposmentis. Penulis menegakan diagnosa ini lxxv
karena adanya hasil pengkajian yang mendukung, yaitu respirasi 40 kali/menit, nadi 118 kali/menit, pemberian oksigen 2 liter/menit, terlihat retraksi dinding dada, pasien masih sesak dan batuk. Dari hasil pengkajian
tersebut,
penulis
mengangkat
diagnosa
gangguan
pertukaran gas karena apabila masalah tersebut tidak segera diatasi akan berakibat fatal, yaitu adanya gangguan dalam pertukaran oksigen dengan karbondioksida yang apabila ini terjadi dapat menyebabkan kematian. Penulis membuat rencana tindakan NOC : Status pernafasan : ventilasi. Kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu pasien dapat mendemonstasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, memelihara
kebersihan
paru,
bebas
dari
tanda-tanda
distres
pernafasan, TTV dalam rentang normal. Berdasarkan
hal tersebut, penulis menyusun rencana tindakan
NIC : Terapi oksigen dengan intervensi antara lain : pertahankan jalan nafas yang paten dengan memberikan posisi semi fowler , observasi warna kulit, kelembaban mukosa, catat adanya sianosis, atur peralatan oksigenasi, monitor aliran oksigen, observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi, monitor tanda-tanda vital. Pelaksanan tindakan keperawatan, tindakan yang ada dalam teori sudah dapat dilaksanakan oleh penulis. Tetapi karena kurangnya pengetahuan dan ketelitian penulis dalam melakukan tindakan lxxvi
keperawatan yaitu mengobservasi tanda-tanda hipoventilasi jika hal ini tidak diobservasi dengan baik akan mengakibatkan kekurangan oksigen pada jaringan dan sel yang dapat mengakibatkan terjadinya asidosis respiratori (FKUI, 2002 : 276). Kekuatan dari tindakan yang dilakukan oleh penulis adalah keluarga memberikan respons positif atas tindakan yang dilakukan penulis misalnya keluarga ikut mengawasi aliran oksigen agar selalu lancar, ikut mengawasi adanya tanda-tanda hipoventilasi seperti pucat pada muka dan bibir. Hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan selama 1 hari menunjukan bahwa nadi 110 kali/menit, respirasi 44 kali/menit, tidak ada sianosis, pasien masih sesak dan batuk. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan masalah ini belum teratasi. Untuk selanjutnya penulis bekerja sama dengan perawat ruangan untuk melanjutkan tindakan keperawatan kepada An. F antara lain : pertahankan jalan nafas yang paten dengan memberikan posisi semi fowler , observasi adanya sianosis, monitor aliran oksigen, observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi, monitor tanda-tanda vital. c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi. Menurut pendapat Nanda (2005 : 107) definisi dari diagnosa hipertermia adalah peningkatan temperatur tubuh di atas rentang normal. lxxvii
Batasan
karakteristik dari diagnosa tersebut adalah peningkatan
suhu tubuh di atas rentang normal, kejang atau konvulsi, takikardi, frekuensi nafas meningkat, diraba hangat, kulit memerah. Penulis memprioritaskan diagnosa tersebut menjadi diagnosa ketiga karena untuk termoregulasi dan respirasi lebih vital dan harus segera ditangani masalah respirasi. Penulis menegakan diagnosa ini karena adanya hasil pengkajian yang mendukung, yaitu suhu tubuh 38,3ºC, nadi 118 kali/ menit, akral teraba hangat. Dari hasil pengkajian tersebut, penulis mengangkat diagnosa hipertermi karena apabila masalah tersebut tidak segera diatasi akan mengakibatkan munculnya masalah yang lain seperti kekurangan cairan yang dapat menyebabkan kekurangan cairan atau dehidrasi yang bisa mengakibatkan syok hipovolemik karena 70%-75% dari tubuh anak terdiri dari air (FKUI : 2002 : 270). Penulis membuat rencana tindakan NOC :
T ermoregulation.
Dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu pasien dapat menunjukan suhu tubuh dalam batas normal, nadi dan respirasi dalam rentang normal, tidak ada perubahan warna kulit, tidak ada pusing. Berdasarkan
hal tersebut, penulis menyusun rencana tindakan
NIC : F ever treatment intervensi yang dapat dilakukan antara lain : monitor suhu tubuh 1 jam sekali, monitor warna dan suhu kulit, monitor tekanan darah, nadi dan respirasi, monitor intake dan output, lxxviii
kolaborasi pemberian antipiretik, berikan kompres hangat pada leher, lipatan ketiak atau lipatan paha. Pelaksanaan tindakan keperawatan ada beberapa tindakan yang ada dalam teori tetapi tidak penulis lakukan seperti memonitor intake dan output. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan pengkajian pasien menggunakan
pempers
sehingga
dalam
penghitungan
output
mengalami kesulitan. Kekuatan tindakan yang dilakukan oleh penulis adalah keluarga memberikan respons positif atas tindakan yang dilakukan penulis, seperti anak tidak memakai baju yang tebal atau menyelimuti anak dengan kain tebal melakukan, keluarga mau melakukan kompres air hangat secara mandiri setelah diberikan contoh. Hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan selama 1 hari didapatkan setelah 1 jam diberikan obat antipiretik dan dikompres air hangat suhu tubuh pasien turun menjadi 37,3ºC, nadi 110 kali/menit, respirasi 44 kali/menit. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah sudah bisa teratasi tetapi masalah tersebut masih bisa muncul lagi karena sifatnya hilang timbul. Untuk selanjutnya penulis bekerja sama
dengan
perawat
ruangan
untuk
melanjutkan
tindakan
keperawatan pada An. F antara lain dengan memonitor suhu tubuh 1 jam sekali, monitor warna dan suhu kulit, nadi dan respirasi, monitor
lxxix
intake dan output, kolaborasi pemberian antipiretik, berikan kompres hangat pada leher, lipatan ketiak atau lipatan paha. 2. Diagnosa yang tidak muncul a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih. Menurut Nanda (2005 : 91) definisi diagnosa Resiko kekurangan volume cairan adalah resiko untuk mengalami dehidrasi intraseluler, seluler atau vaskuler. Diagnosa ini tidak penulis angkat karena turgor kulit pasien cukup baik, mukosa lembab, tidak berkeringat banyak dan tidak muntah. Apabila terjadi kehilangan cairan yang berlebihan dan tidak segera diatasi, maka akan dapat menimbulkan efek-efek yang merugikan seperti penururnan filtrasi glomerulus, penurunan perfusi jaringan dan apabila volume cairan sangat rendah, maka beresiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi pasien kekurangan volume cairan, maka perlu diberikannya terapi intravena yang diberikan kepada pasien dan membangkitkan motivasi keluarga agar menambah asupan oral.
lxxx
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah. Menurut Nanda (2005 : 139), diagnosa perubahan nutrisi kurang
dari
kebutuhan
tubuh
kurang
tepat,
seharusnya
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Definisi dari ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake nutrisi tidak mencukkupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan
karakteristiknya antara lain : berat badan dibawah
ideal, melaporkan intake makanan kurang dari kebutuhan yang dianjurkan, kunjungtiva dan membran mukosa pucat, lemah otot untuk menelan dan mengunyah, melaporkan kurang makan, tidak mampu mengunyah makanan. Diagnosa ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh seharusnya ditegakkan dalam asuhan keperawatan karena dalam pengkajian diperoleh data berat badan pasien mengalami penurunan yaitu sebelum sakit 6,2 kg dan selama sakit menjadi turun 5,9 kg. Hal ini terjadi karena asupan dari makanan dan ASI kurang. Pasien cepat merasa lelah pada saat makan dan minum karena merasa sesak. Penulis tidak menegakan diagnosa ini karena penulis tidak teliti dalam menegakan diagnosa. Dampak dari tidak ditegakannya diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat menyebabkan malnutrisi lxxxi
yang
bisa
berdampak
pada
terganggunya
pertumbuhan
dan
perkembangan pasien. Anak membutuhkan lebih banyak makanan untuk tiap kilogram berat badannya, karena sebagian dari makanan tersebut harus disediakan untuk pertumbuhan dan pertukaran energi yang lebih aktif (FKUI, 2002 : 361). c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan. Menurut Nanda (2005 : 1) definsi dari intoleransi aktivitas adalah resiko untuk mengalami ketidakcukupan energi secara fisiologis, psikologis dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari yang dibutuhkan atau diperlukan. Faktor-faktor resikonya adalah tidak pengalaman terhadap akt ivitas, terdapatnya masalah sirkulasi/respirasi, riwayat intoleransi sebelumnya dan status tak terko ndisikan. Diagnosa intoleransi aktivitas seharusnya ditegakkan dalam asuhan keperawatan karena dalam pengkajian didapatkan adanya gangguan
sirkulasi/respirasi
yaitu
dengan
adanya
penyakit
bronchopneumonia ini serta pasien lemas. Hal ini karena penulis tidak teliti dalam menegakkan diagnosa. Dampak dari tidak ditegakannya diagnosa intoleransi aktivitas dapat menyebabkan terganggunya ADL pasien karena adanya kelemahan.
lxxxii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui beberapa tahap proses keperawatan yang meliputi pengkajian, analisa data, perumusan diagnosa keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi, dibutuhkan ketrampilan dan penguasaan materi terhadap penyakit yang bersangkutan. Selama memberikan asuhan keperawatan pada An. F selama satu hari yaitu pada tanggal 9 Juli 2009, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengkajian yang dilakukan pada An. F dengan bronchopneumonia menggunakan metode wawancara, obeservasi dan pengkajian fisik yang didalamnya memuat pengkajian pola fungsional Gordon. Pada saat pengkajian ditemukan adanya tanda dan gejala sesak nafas, batuk, produksi sputum banyak dan belum keluar, suhu tubuh juga meningkat 38,3°C. pada pasien An.F diperlukan adanya pengawasan terhadap penumpukan sputum, frekuensi pernafasan, bunyi nafas dan suhu tubuh yang naik turun. Sedangkan data yang tidak ditemukan misalnya pasien tidak terlihat menggigil, sakit kepala dan nyeri otot. 2. Pada pasien An. F, diagnosa keperawatan yang muncul sesuai dengan hasil pengkajian yang ditemukan adalah bersihan jalan nafas tidak efektif, gangguan pertukaran gas dan hipertermi. Dalam penulisan beberapa lxxxiii
diagnosa keperawatan kurang tepat jika dibandingkan dengan literatur yang ada. Ada diagnosa yang seharusnya diangkat tetapi tidak penulis lakukan, yaitu resiko kekurangan cairan, perubahan nutrisi dan intoleransi aktivitas,
kurang
pengetahuan.
Hal
ini
karena
masih
kurangnya
pengetahuan dan kekurangtelitian dari penulis. Diagnosa yang telah teratasi adalah hipertermi. Sedangkan diagnosa keperawatan yang lain belum teratasi sehingga dilakukan pendelegasian kepada perawat ruangan untuk melanjutkan asuhan keperawatan kepada An. F. Adanya diagnosa keperawatan yang belum teratasi dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis serta adanya keterbatasan waktu, dimana pada penyakit bronchopneumonia diperlukan waktu yang cukup lama dalam proses penyambuhannya. 3. Intervensi yang direncanakan penulis untuk diagnosa pertama NIC : Airway Managemen dengan intervensi antara lain : posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, lakukan fisioterapi dada bila perlu, keluarkan sekret dengan batuk atau suction, auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan, kaji tanda vital dan status respirasi, bantu pasien latihan nafas dalam dan melakukan batuk efektif, kolaborasi pemberian oksigen dan obat brokodilator serta mukolitik ekspektoran. Untuk diagnosa kedua intervensi yang direncanakan yaitu NIC : Terapi oksigen dengan intervensi antara lain : pertahankan jalan nafas yang paten dengan memberikan posisi semi fowler , observasi warna kulit, kelembaban lxxxiv
mukosa, catat adanya sianosis, atur peralatan oksigenasi, monitor aliran oksigen, observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi, monitor tanda-tanda vital. Intervensi untuk diagnosa ke tiga antara lain NIC : F ever treatment intervensi yang dapat dilakukan antara lain : monitor suhu tubuh 1 jam sekali, monitor warna dan suhu kulit, monitor tekanan darah, nadi dan respirasi, monitor intake dan output, kolaborasi pemberian antipiretik, berikan kompres hangat pada leher, lipatan ketiak atau lipatan paha. 4. Tindakan keperawatan yang dilakukan antara lain memberika terapi injeksi Amphicillin 300 mg, Gentamicin ampul, Dexametason 15 mg, memberikan posisi yang nyaman untuk memaksimalkan ventilasi dengan memberikan bantal di bahu agar kepala ekstensi, menganjurkan kepada keluarga pasien untuk sering memberikan air hangat guna mengencerkan sputum, memberi obat mukolitik untuk mengencerkan sputum, memonitor aliran oksigen, memberikan obat antipiretik dan mengobservasi tandatanda vital. Kendala yang dialami penulis saat memberi asuhan keperawatan antara lain kurang pengetahuan dan ketelitian penulis dalam mengobservasi tanda-tanda hipoventilasi, dan dalam memonitor cairan kurang cermat. 5. Hasil dari asuhan keperawatan pada pasien An. F adalah untuk diagnosa keperawatan yang telah teratasi yaitu hipertermi. Hal ini dibuktikan setelah
dilakukan
pengompresan
dan
pemberian
obat
antipiretik
Parasetamol ½ sendok teh, setelah satu jam dilakukan pemeriksaan lagi lxxxv
suhu badan turun menjadi 37,3°C. Sedangkan diagnosa yang belum teratasi adalah bersihan jalan nafas tidak efektif dan gangguan pertukaran gas. Hal ini terjadi karena masih kurangnya pengetahuan penulis serta kurangnya waktu dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada An. F. untuk asuhan keperawatan yang belum teratasi, maka penulis melakukan pendelegasian kepada perawat ruangan guna melanjutkan asuhan keperawatan pada An. F.
B. Saran
Saran yang diberikan untuk menjadi pokok dasar dari pelaksanaan keperawatan pada pasien dengan bronchopneumonia yang bertujuan untuk paningkatan mutu asuhan keperawatan pada pasien bronchopneumonia yang akan datang sebaiknya: 1. Pengkajian pada bronchopneumonia harus dilakukan secara teliti dan komprehensif agar didapatkan data yang lengkap dan komprehensif sehingga dapat menentukan masalah sesuai kondisi pasien. 2. Diperlukan perumusan diagnosa keperawatan yang tepat. Perawat dituntut untuk merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat dan cermat agar sesuai dengan perumusan masalah secara konsep teori tetapi sesuai dengan kondisi pasien. 3. Dalam menyusun dan membuat rencana keperawatan harus sesuai dengan masalah yang muncul dan disesuaikan dengan kondisi pasien sehingga lxxxvi
tindakan yang akan dilakukan nantinya sesuai yang dibutuhkan dan dapat mengatasi masalah secara paripurna atau optimal. 4. Di dalam malakukan implementasi harus mengacu pada family care atau melibatkan keluarga dalam setiap tindakan keperawatan sehingga implementasi dapat terlaksana dengan baik dan dapat menunjang kesembuhan pasien. Guna tercapainya implementasi perlu adanya kerja sama dari tim medis, ahli gizi, dan pet ugas kesehatan yang lain. 5. Evaluasi sebaiknya dilakukan terus menerus baik sebelum melakukan tindakan keperawatan maupun setelah melakukan tindakan keperawatan secara keseluruhan. Hal ini bertujuan untuk memantau keadaan atau perkembangan pasien serta memantau sejauh mana keberhasilan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
lxxxvii
DAFTAR PUSTAKA
Bets,
Cecily L., 2002, Buku Saku K eperawatan Pediatrik, Alih
Bahasa
: Jan
Tambayong, EGC : Jakarta.
Doengoes, Marilynn E., dkk., 2000, Rencana Asuhan K eperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC : Jakarta.
Hidayat, A. A., 2005, Pengantar Ilmu K eperawatan Anak, Edisi 1, Salemba Medika : Jakarta.
Hidayat, A. A., 2005, Pengantar Ilmu K eperawatan Anak, Edisi 2, Salemba Medika : Jakarta.
Jhonson, Marion., 2000,
N ursing
Outcomes Classification ( N OC), Mosby :
Philadelphia USA.
Mansjoer, Arif., dkk., 1999,
K apita
selekta kedoktera, Edisi ketiga, Jilid I, Media
Aesculapius FKUI : Jakarta.
MC. Closky., 2000, N ursing Intervention Classification ( N IC), Mosby : Philadelphia USA.
lxxxviii